Thursday, August 30, 2007

Pangan


Lahan Pertanian Abadi

Khudori

Salah satu persoalan besar bangsa di masa depan adalah bagaimana menjamin ketersediaan pangan yang cukup bagi perut semua warga. Jika KB berhasil, pada 2030 penduduk Indonesia mencapai 425 juta jiwa.

Agar semua perut kenyang, dibutuhkan 59 juta ton beras. Karena luas tanam padi sekarang 11,6 juta hektar, pada saat itu diperlukan tambahan luas tanam baru 11,8 juta hektar. Ini pekerjaan yang mahaberat.

Dewasa ini, lahan pertanian kian sempit dan kelelahan. Keuntungan pertanian on farm belum menjanjikan, produktivitas padi melandai, diversifikasi pangan gagal, jumlah penduduk kian banyak, sementara karena deraan kemiskinan, konversi lahan pertanian berlangsung kian masif. Rentang 1992-2002, laju tahunan konversi lahan baru 110.000 hektar, tetapi empat tahun terakhir melonjak 145.000 hektar per tahun.

Lahan pertanian terancam punah. Menurut Badan Pertanahan Nasional (BPN), pada 2004 luas sawah 8,9 juta hektar: 7,31 juta hektar beririgasi dan 1,45 juta hektar nonirigasi. Dari sawah irigasi yang subur, 3,099 juta hektar hendak dikonversi oleh pemerintah daerah. Dari jumlah itu, 1,67 juta hektar (53,8 persen) merupakan sawah beririgasi di Jawa dan Bali. Jika permintaan itu diluluskan BPN, akan menjadi ancaman serius bagi masa depan bangsa.

Selama ini 56-60 persen produksi padi bertumpu pada sawah-sawah yang subur di Jawa. Didukung irigasi teknis, sawah di Jawa memiliki produktivitas tinggi (51,87 kuintal/hektar) ketimbang di luar Jawa (39,43 kuintal/hektar).

Jika konversi lahan tak terkendali, surplus beras di Jawa tidak akan terjadi. Rawan pangan meruyak. Tenaga kerja di sektor pertanian jobless (kehilangan pekerjaan), jumlah penganggur meningkat. Arus urbanisasi tak terbendung lagi. Ini semua akan membiakkan kerawanan sosial dan masalah baru di kota.

Pertumbuhan ekonomi, transformasi struktur ekonomi dan laju pertambahan penduduk yang tinggi merupakan determinan utama konversi lahan pertanian. Semua itu membutuhkan tapakan lahan. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi juga mendongkrak mutu sosial-ekonomi lahan nonpertanian. Perpaduan antara permintaan dan rente lahan nonpertanian yang terus meningkat inilah yang menyebabkan konversi lahan berjalan masif.

Pertanyaannya, apakah skenario konversi dalam jangka panjang (secara ekonomi dan lingkungan) merupakan pilihan paling efisien? Adakah alternatif lain agar konversi lahan tidak menyebabkan pengorbanan yang lebih tinggi ketimbang manfaat (sesaat)?

Sebagai negara berpenduduk besar, pangan adalah soal hidup-mati. Saat ini kemiskinan masih 37,17 juta jiwa (16,58 persen) dan penderita gizi buruk 2,3 juta jiwa. Konversi lahan membuat ketahanan pangan rapuh, produksi pangan domestik merosot, lalu kita tergantung dari pangan impor. Sebagian besar pasar pangan dunia bersifat oligopoli, pasarnya tipis dan harganya tidak stabil. Bergantung pada pangan impor jelas tidak menguntungkan.

Ditilik dari sisi mana pun, konversi sawah (beririgasi) amat tidak menguntungkan. Menurut Bulog, setiap satu hektar sawah di Jawa dikonversi hilang 4.000 dollar AS untuk membuat kebun beras. Dengan laju konversi 145.000 hektar/tahun, lenyap nilai 580 juta dollar AS dan 1,3 juta ton gabah per tahun.

Kerugian kian besar apabila biaya pemeliharaan sistem irigasi dan rekayasa kelembagaan pendukung diperhitungkan. Menurut Sumaryanto dan Tahlim Sudaryanto dari Pusat Studi Sosial Ekonomi Institut Pertanian Bogor (IPB), investasi mengembangkan ekosistem sawah per hektar Rp 210 juta pada 2005. Ini belum termasuk hilangnya kesempatan kerja dan pendapatan petani penggarap, penggilingan padi, buruh tani, industri input, dan sektor pedesaan lain.

Sawah terkonversi bersifat irreversible. Pernahkah Anda membayangkan dampak jika seperempat dari luas sawah yang ada sekarang dikonversi? Hampir pasti, suhu udara meningkat, kemungkinan erosi, banjir dan longsor lebih besar, kualitas dan kuantitas air akan berkurang drastis. Demikian juga keindahan alam, bio-diversity dan kebudayaan perdesaan cepat punah, bahkan akan muncul disharmoni kelembagaan sosial di desa.

Dampak berganda konversi itu tidak pernah disadari karena kita hanya menilai sawah sebagai penghasil pangan dan serat (tangible). Padahal, sawah mempunyai multifungsi, yaitu menjaga ketahanan pangan, menjaga kestabilan fungsi hidrologis DAS, menurunkan erosi, menyerap tenaga kerja, memberikan keunikan dan daya tarik pedesaan, serta mempertahankan nilai-nilai sosial budaya perdesaan. Fungsi ini tidak bisa dipasarkan (non-marketable) dan tidak mudah dikenali (intangible).

Sudah banyak peraturan dibuat untuk mencegah konversi, tetapi semuanya mandul. Untuk mengatasi ini, penentuan lahan pertanian abadi, seperti diatur RUU Lahan Pertanian Abadi yang dibahas DPR, perlu segera ditunaikan.

Lahan abadi diutamakan pada lahan utama, yakni lahan beririgasi, produktivitas tinggi dan berindeks pertanaman lebih dari dua. Konversi lahan utama tetap dimungkinkan, tetapi dengan kompensasi tinggi. Tanpa ini, konversi akan meruyak karena sawah dinilai terlalu murah (undervalue).

Khudori Peminat Masalah Sosial- Ekonomi Pertanian, Alumnus Fakultas Pertanian Universitas Jember

Wednesday, August 29, 2007

Lagi-lagi ke Realisasi


Itulah kesimpulan kita dari polemik tak langsung antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah hari-hari belakangan ini.

Polemik itu tentang tersimpannya anggaran pemerintah daerah di bank pembangunan daerah dan kemudian diparkir lagi dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI).

Meski latar belakang dan alasannya memang kompleksnya, ujungnya bermuara pada kurangnya realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Hari Kamis 23 Agustus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berbicara di depan sidang Dewan Perwakilan Daerah. Presiden di antaranya menyinggung soal tersimpannya anggaran daerah sampai Rp 90 triliun di bank-bank. Hal itu dinilai Presiden sebagai ironi karena seharusnya dana itu digunakan untuk mendorong pembangunan di daerah-daerah. Sekarang, dengan disimpannya dana tersebut dalam bentuk SBI, negara harus membayar lagi bunganya yang tidak kecil.

Pada kesempatan itu Kepala Negara juga mengingatkan perihal maraknya pemekaran daerah.

Dua teguran itu sangat kena. Pemekaran daerah baru memberi kesan seperti wabah dan bernuansa ikut-ikutan tanpa pertimbangan menyeluruh yang bijak sehingga ada kesan Indonesia sebagai negara yang sekadar dikapling-kapling. Jika dibiarkan berlarut, jangan-jangan hal itu berdampak negatif terhadap kekokohan negara.

Kita harus cerdas, bijak, dan menangkap jati diri Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi tidak sama dengan pengaplingan. Terhadap masukan Presiden, beberapa hari kemudian daerah menanggapinya, di antaranya dari Ketua Umum Badan Kerja Sama Kabupaten Seluruh Indonesia Azikin Solthan. Beberapa sebab merupakan latar belakang keadaan itu, misalnya pemda tidak mudah memperoleh persetujuan DPRD. Juga maraknya ketakutan pejabat daerah untuk bertindak sebagai penanggung jawab proyek. Pejabat lain berargumen dana yang disimpan di bank cepat bisa dicairkan manakala diperlukan.

Terlepas dari hadirnya kontra argumen, kita berpendapat persoalan yang dilontarkan Presiden perlu mendapatkan perhatian kita. Latar belakang permasalahan, kita maklum sebutlah masa peralihan dari sentralisme ke otonomi daerah. Namun, janganlah hal itu kita jadikan dalih untuk membenarkan hal yang tak wajar dan menghambat tujuan otonomi itu. Tujuannya jelas ialah semakin memacu pembangunan di daerah, mendekatkan pemerintah dengan rakyat dan semakin mempercepat kesejahteraan rakyat. Tujuan politiknya, agar dalam otonomi itu, NKRI justru semakin kokoh karena semakin nyata "pengayomannya".

Secara umum masuk akal sekadar membuat "yang baru" itu menarik dan mudah. Memberi makna dan isi yang nyata lebih memerlukan kerja keras dan realisasi konkret. Politik sebagai wacana amat kita pahami dan kita gemari. Politik yang sekaligus realisasi dan pengabdian belum sepenuhnya kita sadari, apalagi kita laksanakan. Dapat dimengerti memang desentralisasi disertai permasalahan. Justru di situ letak tantangan kita. Permasalahan bukan sekadar diwacanakan, tetapi diselesaikan. Memang juga kita perlukan kecerdasan yang bijak. Kebijakan yang ujiannya terletak pada realisasi. Rakyat semakin maju dan makmur.

***

Berilah Kesempatan kepada Maliki

Sangat wajar dan masuk akal kalau Perdana Menteri Irak Nouri al-Maliki tersinggung oleh pernyataan sejumlah pemimpin negara Barat.

Ia dituding sebagai sumber ketidakstabilan Irak dan dianggap tak mampu mengatasi konflik sektarian. Kalau mau jujur, sumber kekacauan Irak saat ini adalah AS dan negara-negara koalisinya yang bersama-sama menginvasi Irak dan menyingkirkan Saddam Hussein.

Washington berharap dengan tumbangnya Saddam Hussein akan dapat dibangun sebuah negara demokratis di Irak dan dari sana akan meluas ke seluruh kawasan. Irak ibarat "dian menyala yang diletakkan di atas bukit" dan bias sinarnya menerangi seluruh kawasan.

Akan tetapi, hampir lima tahun setelah Saddam dijatuhkan, Irak tidak seperti yang diharapkan AS dan negara-negara pendukung invasinya. Irak justru lebih buruk dalam segala segi. Apa yang disebut "perang saudara" sulit sekali untuk ditutup-tutupi.

Apakah itu semata-mata kesalahan para pemimpin Irak, semisal Nouri al-Maliki? Bukan! Persoalan bermula dari invasi militer AS, karena itu AS pun sudah sewajarnya harus bertanggung jawab.

Bertanggung jawab tidak berarti lantas memaksakan kehendaknya. Irak adalah negara merdeka dan berdaulat. Karena itu, sikap-sikap atau pernyataan yang bernada merendahkan Irak, atau menganggap Irak tak berdaya tanpa campur tangan negara-negara Barat, tidak membantu dalam usaha memulihkan keadaan.

Yang bisa menyelesaikan masalah Irak adalah rakyat Irak sendiri; bukan Washington, Paris, bukan pula London, tetapi Baghdad! Nasib Irak di tangan rakyat Irak.

Oleh karena itu, sudah sewajarnya kalau semua pihak memberikan kesempatan atau mendukung upaya-upaya yang dilakukan pemerintahan Maliki untuk membangun rekonsiliasi nasional, bukan justru sebaliknya.

Maliki dan para pemimpin Irak tentu sama sekali tidak mengharapkan bahwa situasi dan kondisi Irak menjadi semakin buruk atau bahkan hancur. Mereka berharap "perang saudara" segera dapat diatasi, dan segera tumbuh sikap saling percaya di antara sesama warga negara serta terbangun toleransi.

Membangun rekonsiliasi nasional adalah tugas pertama dan utama yang harus dijalankan semua komponen masyarakat Irak saat ini. Rekonsiliasi nasional hanya bisa berjalan apabila ada saling percaya di antara sesama warga negara dan adanya toleransi, serta mendapat dukungan masyarakat internasional.

Menggapai Target Konversi 2011


Target pencapaian 100 persen konversi minyak tanah ke gas elpiji akan ditempuh pemerintah dalam jangka waktu empat tahun. Rencana proyek tersebut diawali dengan tahap sosialisasi dan uji coba di beberapa kota besar pada tahun 2007. Salah satu di antaranya adalah Semarang.

Khusus untuk Jawa Tengah, uji coba konversi pada tahun ini dilakukan di 35 kecamatan yang tersebar di Kabupaten dan Kota Semarang dengan jumlah 290.000 kepala keluarga (KK). Selain itu, juga lima kecamatan di Kota Solo dengan jumlah 240.000 KK. Pada tahun 2008 konversi akan diperluas hingga seluruh Jateng. Termasuk memperluas jaringan agen, pangkalan, dan pengecer elpiji yang dulunya merupakan jalur distribusi minyak tanah. Program konversi ini ditargetkan akan mencapai 100 persen pada tahun 2011.

Meski proyeksi kebutuhan elpiji di Jateng dan DIY nantinya mencapai 735.097 metrik ton (MT) per tahun, PT Pertamina menjamin pasokan elpiji aman. Suplai akan dipenuhi dari kilang Cilacap sebanyak 180.000 MT per tahun, kilang Balongan 360.000 MT per tahun, dan elpiji impor 300.000 MT per tahun.

Elpiji tersebut kemudian disalurkan melalui sembilan stasiun pengisian dan pengangkutan bulk elpiji (SPPBE) untuk diteruskan kepada agen dan pangkalan elpiji bersubsidi. Konsumen dari usaha mikro maupun rumah tangga mendapatkan elpiji di pangkalan. (IWN/LITBANG KOMPAS)

PERBANKAN


Komisi Keuangan DPR Soroti Kredit Perbankan

Jakarta, Kompas - Rendahnya dukungan kredit perbankan dalam mendorong investasi membuat Komisi XI DPR yang membidangi keuangan dan anggaran menyorotinya. Bank Indonesia diminta berusaha lebih keras mendorong perbankan agar semakin ekspansif dalam membiayai sektor riil.

"Sampai kapan dana masyarakat terus ditumpuk bank di SBI (Sertifikat Bank Indonesia)? Kami akan agendakan pembahasan khusus mengenai hal ini," tegas Ketua Komisi XI Awal Kusumah saat memimpin rapat kerja dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Deputi Gubernur BI Muliaman D Hadad di Jakarta, Selasa (28/8).

Anggota Komisi XI, Melchias Markus Mekeng, mempertanyakan kucuran kredit perbankan ke sektor riil yang semakin sulit karena terus berinvestasi di SBI. "Ada pilihan investasi ke obligasi korporasi, tetapi itu tidak bisa diandalkan untuk menyerap dana berlebih di perbankan karena jumlahnya kecil," katanya.

Penempatan dana di SBI per 16 Agustus 2007 mencapai Rp 282,47 triliun, sedangkan realisasi kredit pada Januari-Juli 2007 hanya tumbuh Rp 81,58 triliun, jauh di bawah target tahun ini Rp 185 triliun. Sementara itu, Kustodian Sentral Efek Indonesia menyebutkan, total obligasi korporasi per Maret 2007 sebesar Rp 63,32 triliun.

Wakil Ketua Komisi XI Olly Dondokambey mengkritik perbankan yang tidak kunjung menurunkan suku bunga pinjaman dari posisi saat ini, rata-rata 14 persen. "Apakah BI tidak memiliki instrumen untuk memperbaiki kondisi ini?" ujar Olly.

Deputi Gubernur BI Muliaman D Hadad menolak anggapan bahwa suku bunga pinjaman belum turun. Sudah ada bank yang menawarkan suku bunga pinjaman 9 persen. "Memang, kredit yang tidak diserap masih mencapai 20 persen, artinya dari plafon 100, misalnya, hanya 80 yang diambil. Nilainya mencapai Rp 150 triliun- Rp 160 triliun. Kami berupaya angka ini terus berkurang," katanya.

Terkait suku bunga simpanan yang lebih rendah, Muliaman mengatakan, hal itu disebabkan besarnya kelebihan likuiditas perbankan. Akibatnya, perbankan menawarkan suku bunga simpanan yang tidak menarik bagi nasabah karena memang sedang tidak memerlukan dana.

Perbankan bisa membeli surat berharga atau memberi kredit ke sektor riil, namun masih ada risiko usaha tertentu sehingga perbankan memilih SBI. (OIN)

Visi 2030


Implementasi Bergantung Kejelasan Rencana

Jakarta, Kompas - Pemahaman berbagai komponen masyarakat tentang persoalan riil yang ada menjadi prasyarat untuk merumuskan visi masa depan Indonesia.

Di sisi lain, implementasi visi itu bergantung pada kejelasan rencana aksi. Pandangan itu mengemuka pada diskusi terbatas yang diselenggarakan Kadin Indonesia di Jakarta, Selasa (28/8).

Pada diskusi ini, dipaparkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025, visi Indonesia 2030 oleh Indonesia Forum, serta visi 2030 dan roadmap industri nasional 2010 Kadin Indonesia.

Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Industri, Teknologi, dan Kelautan Rachmat Gobel menekankan, arah yang tegas dan terukur berbasis pemanfaatan sumber daya lokal amat dibutuhkan untuk membangun industri agar mampu mendorong pertumbuhan ekonomi.

Ekonom Faisal Basri mengingatkan, visi perlu disusun berlandaskan pemahaman segenap komponen bangsa tentang kondisi riil yang saat ini dihadapi. "Bagaimana mungkin kita bisa take off dengan visi bersama tanpa konsensus minimum tentang kondisi saat ini?" ujarnya.

Sementara itu, Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Mudradjad Kuncoro berpendapat, apa pun visi dan target yang ditetapkan, bagian terpenting selalu terletak pada implementasinya.

RPJPN misalnya, harus diterjemahkan pada rangkaian program berjangka pendek. Namun, pada orientasi jangka pendek, birokrasi sering terjebak pada masa jabatan, kepentingan sektoral, dan target "balik modal".

Deputi Kepala Bappenas Bidang Ekonomi Slamet Seno Adji menegaskan, keberhasilan mewujudkan visi yang tercantum dalam RPJPN bergantung pada komitmen kepemimpinan nasional yang kuat dan demokratis, konsistensi kebijakan pemerintah, keberpihakan pada rakyat, serta peran aktif masyarakat dan dunia usaha.

Tata aturan pemerintah, kata Slamet, masih kurang harmonis, baik di tingkat pusat maupun antara pemerintah pusat dan daerah. Harmonisasi juga belum berjalan antara lembaga eksekutif dan legislatif. (DAY)

Dana Minim di APBN-P 2007 Dorong Ekonomi


Penerimaan Pajak Turun akibat Perubahan Indikator Ekonomi

Jakarta, Kompas - Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui keinginan pemerintah untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi pada tahun ini sebesar 6,3 persen meskipun pendapatan negara menurun dibanding rencana semula.

Hal itu disebabkan aktivitas ekonomi di luar pemerintah akan mendorong pencapaian target pertumbuhan, terutama ekspor.

"Target pertumbuhan itu ditetapkan dengan catatan mampu mendorong jumlah lapangan kerja menjadi 10,7 juta orang, terutama di sektor pertanian dan industri pengolahan nonmigas," ujar Ketua Panitia Anggaran Emir Moeis saat membacakan laporan dalam Rapat Paripurna DPR yang mengagendakan pembacaan sikap akhir fraksi tentang APBN Perubahan 2007 di Jakarta, Selasa (28/8).

Sementara itu, Kepala Ekonom BNI A Tony Prasetiantono mengatakan, pertumbuhan ekonomi 6,3 persen mustahil dicapai tanpa ekspansi dari sektor perbankan ke sektor riil.

"Ekspansi perbankan harus terjadi dalam empat bulan terakhir 2007. Namun, tanda-tanda itu belum kelihatan," ungkap Tony Prasetiantono.

Untuk mencapai target itu, pemerintah berharap pada akhir tahun ini ada kontribusi dari pertumbuhan ekspor yang diperkirakan meningkat 9,9 persen dibanding tahun 2006.

Selain itu, faktor investasi juga menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi dengan kebutuhan dana sebesar Rp 989,6 triliun.

Usaha tambahan

Dampak turunnya pendapatan negara sebesar Rp 28,97 triliun pada APBN-P 2007 menyebabkan alokasi belanja negara juga turun.

Anggaran belanja negara dalam APBN-P 2007 ditetapkan Rp 752,37 triliun atau turun Rp 11,197 triliun dibanding APBN 2007 senilai Rp 763,57 triliun.

Emir Moeis meminta pemerintah melakukan usaha tambahan untuk memperbaiki daya himpun atas penerimaan, terutama di sektor perpajakan yang menjadi penyebab utama turunnya pendapatan negara.

"Penerimaan pajak turun karena perubahan indikator ekonomi makro, dampak percepatan pembayaran restitusi Pajak Pertambahan Nilai, dan pemberian fasilitas pajak," ujarnya.

DPR menyetujui alokasi anggaran tambahan yang terkait dengan berbagai program penopang masyarakat miskin. Alokasi itu antara lain untuk subsidi bunga bagi pengusaha di Nanggroe Aceh Darussalam sebesar Rp 40 miliar dan subsidi minyak goreng sebesar Rp 325 miliar.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, sumber pembiayaan subsidi minyak goreng adalah penerimaan dari pungutan ekspor minyak sawit mentah (CPO).

Dirjen Anggaran Depkeu Achmad Rochjadi mengatakan, pihaknya belum mengetahui instansi yang akan menyalurkan subsidi minyak goreng itu.

Ada dua kemungkinan, Departemen Perdagangan atau Badan Urusan Logistik. "Secara garis besar nantinya akan disalurkan seperti raskin (beras untuk masyarakat miskin)," demikian Achmad Rochjadi. (OIN)

Tuesday, August 28, 2007

Tantangan dan Risiko RAPBN 2008

Sunarsip
Peneliti Badan Kebijakan Fiskal, Departemen Keuangan RI

Pemerintah RI telah menyampaikan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Penerimaan Negara (RAPBN) 2008 kepada DPR RI tanggal 16 Agustus lalu. RAPBN 2008 ini disusun dalam rangka memenuhi tuntutan dari para stakeholder yang menginginkan APBN lebih rinci, transparan, dan komprehensif agar dapat memberikan informasi yang lengkap dan akurat kepada masyarakat. Dan yang tak kalah penting, RAPBN 2008 ini bisa menunjukkan adanya perbaikan kualitas akuntabilitas publik dalam pengelolaan keuangan negara. Oleh karenanya, tidak mengherankan jika RAPBN 2008 disusun dengan jumlah halaman yang tebal (408 halaman), lebih tebal dibandingkan RAPBN 2007.

Tantangan
Meski telah disusun sedemikian rupa, sebagian kalangan masih skeptis terhadap RAPBN 2008 ini. Terutama, dalam hal bagaimana angka-angka pada RAPBN 2008 ini betul-betul bisa well implemented sehingga berdampak pada perbaikan bagi kesejahteraan rakyat.

RAPBN 2008 ini memang menghadapi sejumlah tantangan dan risiko. Ketika RAPBN 2008 ini disusun, perekonomian Indonesia belum dihadapkan pada situasi finansial global yang tidak menguntungkan terutama akibat krisis subprime mortgage di Amerika Serikat (AS). Namun, ketika RAPBN 2008 diumumkan, muncullah kasus subprime mortgage di AS. Maka, sejumlah pihak kemudian berpendapat RAPBN 2008 ini tidak responsif terhadap situasi yang up to date. Sehingga, muncullah pandangan bahwa target pertumbuhan ekonomi dalam RAPBN 2008 sebesar 6,8 persen tidak realistis.

Namun demikian, penulis melihat bahwa target pertumbuhan ekonomi sebesar 6,8 persen tetaplah angka yang realistis. Sebab, kalau mencermati RAPBN 2008, sumber-sumber pertumbuhan ekonomi 2008 sesungguhnya lebih banyak didukung oleh faktor domestik (konsumsi, investasi dan ekspor). Pertumbuhan konsumsi rumah tangga di tahun 2008 diperkirakan lebih dari 5 persen dan investasi sebesar 15 persen, merupakan angka di atas rata-rata dalam 10 tahun terakhir.

Kontribusi total konsumsi terhadap pertumbuhan sebelum dan sesudah krisis, yang berada pada kisaran 65 persen menunjukan bahwa peranan konsumsi masih cukup dominan. Dari sisi domestik, optimisme pencapaian sasaran pertumbuhan ekonomi 2008 juga didukung perkembangan ekonomi yang dalam beberapa triwulan terakhir menunjukkan peningkatan. Realisasi pertumbuhan ekonomi triwulan I dan II 2007 masing-masing 5,97 persen dan 6,28 persen, sehingga secara keseluruhan 2007 akan dapat mencapai 6,3 persen.

Tantangan lainnya adalah reformasi perpajakan yang digulirkan tahun ini (melalui amandemen UU Perpajakan) diperkirakan akan menurunkan penerimaan perpajakan tahun 2008. Dalam RUU Pajak Penghasilan (PPh), bila tarif PPh (pribadi dan badan turun 5 persen, penerimaan perpajakan 2008 akan turun Rp 18 triliun. Padahal, RAPBN 2008 menargetkan penerimaan perpajakan sebesar Rp 583,7 triliun (13,6 persen dari PDB), naik 19,1 persen Rp93,8 triliun dari RAPBN-P 2007 sebesar Rp489,9 triliun (12,9 persen dari PDB).

Sementara itu, target penerimaan migas (PPh dan PNBP) 2008 sebesar Rp153,3 triliun naik 7,3 persen (Rp10,4 triliun) dibandingkan RAPBN-P 2007 sebesar Rp142,9 triliun. Asumsi yang digunakan untuk menghitung penerimaan migas 2008 ini adalah ICP sebesar 60 dolar AS per barrel dan lifting minyak sebesar 1.034 MBCD. Berdasarkan pengalaman, realisasi lifting minyak sering tidak sesuai target. Tahun ini, dari target lifting minyak sebesar 1.000 MBCD, realisasinya diperkirakan hanya 0,950 MBCD.

Penerimaan migas 2008 ini juga menghadapi tantangan berupa tingginya cost recovery migas. Tahun 2007, cost recovery migas mencapai 10,37 miliar dolar AS (29 persen dari gross revenue) atau justru naik dibandingkan tahun 2006 yang sekitar 23 persen dari gross revenue. Sementara itu, pengaturan tentang cost recovery ini hanya diatur melalui kontrak, belum ada peraturan perundangannya.

Berbagai hal tersebut, memang akan menjadi tantangan bagi pemerintah. Mungkin akan muncul pertanyaan, mengapa penerimaan perpajakan dan migas dipaksakan pada kisaran sebesar itu, saat di satu sisi terdapat kemungkinan realisasinya tidak tercapai? Pertanyaan seperti ini memang beralasan. Namun, penulis kira, pemerintah melalui RAPBN 2008 ini berupaya ingin membangun optimisme bahwa target tersebut cukup realistis.

Terdapat beberapa alasan yang dapat dikemukakan untuk mendukung argumentasi bahwa penerimaan perpajakan dan migas tersebut dapat dicapai. Di bidang perpajakan, meski dengan adanya amandemen UU Perpajakan berpotensi mengurangi jumlah penerimaan perpajakan, namun kekurangan tersebut optimis dapat ditutupi melalui berbagai upaya ekstensifikasi perpajakan. Di samping itu, insentif perpajakan yang diberikan UU Perpajakan pasca-amandemen secara tidak langsung akan mendorong percepatan ekonomi yang ujungnya meningkatkan basis penerimaan perpajakan.

Sementara itu, meski tren dalam beberapa tahun terakhir lifting hasil minyak kita menurun, namun di tahun 2008 ini ini situasinya akan berbeda. Mulai beroperasinya sejumlah sumur minyak baru, seperti Blok Cepu dan blok minyak lainnya, ditambah masuknya investasi baru di sektor migas yang terjadi di tahun 2007, tentunya akan membuat industri migas di tahun 2008 akan semakin bergairah. Di tambah dengan upaya pemerintah untuk mengatur ketentuan tentang cost recovery agar dapat ditekan, diperkirakan akan mampu meningkatkan basis penerimaan migas.

Sadar risiko
Salah satu semangat lain yang dibawa oleh RAPBN 2008 ini adalah pemerintah ingin menjelaskan kepada masyarakat bahwa kita juga memiliki risiko-risiko yang berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi RAPBN 2008. Melalui RAPBN 2008, pemerintah terlihat ingin mengajak seluruh stakeholder untuk meningkatkan kesadarannya dalam pengelolaan kebijakan fiskal. Hal tersebut antara lain dapat dibaca dengan munculnya bab khusus tentang risiko fiskal dalam RAPBN 2008 yang sebelumnya tidak ada. Pengungkapan risiko fiskal ini diarahkan pada keterbukaan dan kesinambungan fiskal.

Sebagai misal, RAPBN 2008 memiliki risiko terkait dengan utang pemerintah. Risiko utang pemerintah ini antara lain bisa muncul akibat rendahnya peringkat utang ataupun perubahan kurs yang tidak menguntungkan bagi posisi pemerintah. Peringkat utang sangat menentukan biaya utang yang harus dibayar oleh pemerintah. Semakin tinggi peringkat utang yang dimiliki pemerintah, maka akan semakin rendah premi risiko, sehingga akan semakin rendah pula biaya utang pemerintah. Oleh karenanya, memang diperlukan kedisiplinan dalam menjaga kepercayaan pasar uang dan pasar modal serta upaya untuk meningkatkan peringkat utang kita.

Beruntung, pemerintah telah melakukan reprofiling utang pemerintah dari utang luar negeri ke utang dalam negeri sehingga risiko kurs bisa ditekan. Terlebih lagi, defisit APBN dibiayai dengan penerbitan instrumen sukuk (obligasi syariah). Tentu, risiko utang pemerintah akan semakin berkurang. RAPBN 2008 juga memiliki risiko lainnya yang perlu diantisipasi.

Ikhtisar - RAPBN 2008 ini tampil beda dibanding RAPBN tahun-tahun sebelumnya.
- Dalam RAPBN 2008 terdapat uraian yang lebih rinci, transparan, dan komprehensif.
- Banyak kalangan memandang RAPBN tersebut tidak akan well implemented, namun penulis yakin target yang tertuang dalam rancangan tersebut akan tercapai.
- Sebagai tambahan informasi, RAPBN 2008 juga memuat risiko fiskal yang mungkin dihadapi.

Di Balik Skandal Made in China


Oleh : Fidel Hardjo

Staf Televisi TBN Asia, Tinggal di Manila

Di tengah meroketnya gelembung ekonomi Cina di abad XXI, kini negeri Tirai Bambu ini didera oleh global warning, yang lebih populer dikenal sebagai skandal Made in China (MIC). Sejatinya, skandal MIC adalah letupan reaktif komunitas global untuk menarik, membasmi, atau lebih tepat dikatakan menghentikan sirkulasi produk MIC dari pasar global. Setidaknya, berdasarkan test fit for purpose standard di beberapa negara ditemukan produk MIC terkontaminasi zat kimia yang membahayakan.

Skenario terselubung AS
Skandal MIC diduga tidak terlepas dari skenario terselebung AS untuk membendung sirkulasi produk MIC secara global (Ted C Fishman, China, Inc, How The Rise of The Next Superpower Challenges America and The World, 2005). Keajaiban ekonomi Cina menghampiri siapa saja dengan banyak cara dan dari segala arah. Sekali produk MIC diterima maka agak sulit untuk ditolak, demikian kataTed C Fishman dalam bukunya. Kehadiran produk MIC yang relatif murah di pasar global tidak sedikit membuat produk lokal terancam. Inilah kekhwatiran AS.

Upaya AS membendung produk MIC sebenarnya sudah berlangsung lama. AS biasa mengusung propaganda skandal keracunan produk MIC. Alasan ini 'membungkus rapi' agenda tersembunyi AS untuk meyingkirkan produk MIC. Sehingga, apa yang muncul di permukaan adalah penolakan atas produk MIC yang terkontaminasi racun dan high risk.

Maka, tahun 2001, Centers for Disease Control and Prevention (CDC) AS memaparkan data numerik korban produk MIC. Ada sebanyak 76 juta kasus yang membuat 325 orang masuk rumah sakit, 5.000 orang meningal dunia, 4.000 binatang piaraan mati yang teridentifikasi positif berkorelasi erat dengan substandar produk MIC (CNN,18/5/2007).

Sayangnya, hasil survei itu, tak cukup memancing reaksi komunitas global. Reaksi global mulai muncul secara simultan tahun 2006/2007. Lembaga Food and Drugs Admistration (FDA) AS melaporkan secara resmi skandal MIC yang mengandung high risk yaitu obat sirup batuk (100 orang mati), sayuran (3 orang mati dan 200 menderita sakit), pet food (ribuan binatang tewas), pasta gigi (94 orang mati dan 297 sedang diinvestivigasi), (CRS Report for US Congress,10/7/2007).

Data resmi ini ternyata menghentak kesadaran para pemuja (biasanya orang miskin) produk MIC di seluruh dunia. Kini, skandal MIC telah membakar kepanikan dan ketakutan masyarakat global. Sehingga, apa yang kita saksikan akhir-akhir ini, munculnya reaksi negara Amerika Latin, Uni Eropa, bahkan Asia menarik dan melarang peredaran beberapa jenis produk MIC. Eskalasi aksi pemboikotan global atas produk MIC tentu memberi 'titik kenyamanan' khusus bagi produk ekspor AS. Itu berarti, prediksi Ted C Fishman yang mengatakan Abad XXI adalah abadnya orang Cina perlu dipikir dua kali lipat. Sebab, boleh jadi abad ini kembali jatuh ke tangan AS sebagai panglima tunggal pasar ekonomi sejak Abad XX.

Salahkah jika Indonesia juga melarang dan membasmi produk MIC? Tentu tidak salah. Indonesia punya hak absolut menolak produk MIC yang membahayakan warganya. Menurut BPOM, produk impor MIC yang sudah pasti mengandung formalin yakni permen White Rabbit, Kiamboy, Classic, dan Blackcurrant. Hanya, sikap penolakan mesti didasari verifikasi akurat dan pendekatan soft power dengan Cina, sehingga tidak terkesan emosional. Jika upaya ini dikedepankan, maka perang dagang yang hampir terbakar akhir-akhir ini bisa dihindari.

Contohnya, sebagai aksi pembalasan (walaupun versi Cina, penolakan itu bukan aksi pembalasan) selama tahun 2007 lembaga GAQSIQ Cina telah menyita dan membasmi 121 jenis produk Indonesia. Produk impor Indonesia juga tercemar oleh racun dan patogen seperti merkuri, chromium, antibakteri nitrofual.

Pada titik inilah momentum perang dagang sulit dihindarkan. Tentunya, AS mencuri keuntungan di tengah kondisi seperti ini. Produk AS masuk dalam kotak save. Bagi kedua negara, kerugian besar akan ada di depan mata. Padahal, selama ini kedua negara menikmati benefit perdagangan bilateral. Data BPS awal 2007 menunjukkan kapasitas impor produk MIC di Indonesia senilai 3,62 miliar dolar AS. Sementara, produk impor Indonesia di Cina selama semester II tahun 2007 telah melampaui 20 miliar dolar AS. Betapa sayang, kalau aksi-reaksi kita lebih fokus pada perang dagang dan aksi tuding-menuding.

Membangun etika
Pertama, kita perlu sikap kritis. Kekritisan itu semestinya bermuatan nilai transformatif. Artinya, kita harus berani mengatakan no untuk produk impor MIC yang berpotensi destruktif dan sebaliknya. Kedua negara juga perlu bersikap saling terbuka atas upaya fit-for-purpose standar kualitas produk ekspor. Upaya ini perlu dikaji dan diverifikasi secara kooperatif-objektif transparan (Prinsip Safeguard GATT 94/WTO). Dengan demikian, kita menghindari sikap prejudice dan justifikasi dekonstruktif global atas image produk ekspor kedua negara.

Kedua, Cina-Indonesia perlu saling belajar. Bagaimana membangun etika dagang baru transnasional: murah, sehat, dan respek HAM. Kita perlu belajar dari Cina yaitu bagaimana menghasilkan produk murah. Terutama, ketika orang miskin tidak merasakan benefit pasar karena harga sembako sering melambung tinggi, upah kerja minim, produk impor/ekspor unsafety, melek edukasi, ekologi, dan hiegenitasi berkepanjangan. Tapi, hendaknya produk murah tidak mengabaikan aspek kesehatan, standar upah kerja minimum, dan respek HAM. Ketiga, perlu peran proaktif dan fair lembaga perdagangan regional (AFTA/APEC) maupun Internasional (WTO) untuk mengontrol dan mengawasi sistem free trade yang berpotensi destruktif tanpa bersikap tebang pilih.

Monday, August 27, 2007

Mengukur Risiko Kredit Industri Pembiayaan

Erisa Habsjah

Industri perusahaan pembiayaan Indonesia setahun belakangan ini diwarnai persaingan ketat sesama perusahaan pembiayaan maupun dengan perbankan. Persaingan memicu longgarnya persyaratan kredit— termasuk pembebasan uang muka—dan kemungkinan penurunan sikap kehati-hatian dalam seleksi calon debitor.

Jika kondisi ini berlanjut, tidak mustahil krisis utang serupa subprime mortgage di Amerika Serikat terjadi pula di sini.

Berdasarkan data Bank Indonesia, pertumbuhan piutang pembiayaan secara total mencapai Rp 92,7 triliun pada 2006, atau meningkat rata-rata 21 persen per tahun sejak 2000.

Pada bulan Juni 2007, total piutang pembiayaan mencapai Rp 98 triliun, meningkat 44 persen dari nilai piutang pembiayaan untuk periode yang sama tahun sebelumnya.

Tahun 2000, jumlah perusahaan pembiayaan 245. Krisis ekonomi mendorong terjadinya seleksi alamiah. Sampai Juni 2007, tinggal 194 perusahaan pembiayaan yang aktif dan melapor ke BI secara on-line.

Peraturan dan pengawasan pemerintah yang semakin ketat ikut pula menyeleksi perusahaan. Pada tahun 2006, Departemen Keuangan membekukan kegiatan usaha 22 perusahaan yang tidak mengikuti ketentuan.

Tingkat kesehatan industri ini pun tampak semakin baik. Salah satu indikator utamanya adalah kualitas aset karena aset yang baik menyediakan sumber pendapatan dan arus kas yang berkesinambungan.

Perbaikan signifikan tercermin dalam kenaikan rasio aset lancar terhadap total aset produktif hingga 97 persen pada tahun 2005 dibandingkan 71 persen pada 2000.

Melonjaknya suku bunga pada akhir 2005 yang menyebabkan menurunnya daya beli masyarakat diduga terjadi peningkatan kredit bermasalah tahun 2006. Indikatornya, penurunan proporsi aset lancar perusahaan pembiayaan menjadi 96 persen di Juni 2006 dan proporsi kredit macet meningkat menjadi 3 persen pada periode tersebut.

Namun, mengacu pada laporan keuangan beberapa perusahaan pembiayaan, dengan menurunnya tingkat suku bunga, kualitas aset mulai pulih, ditandai tren penurunan kredit macet selama semester I-2007.

Peran regulator

Perbaikan kualitas aset tidak terlepas dari peran Depkeu maupun BI yang bahu-membahu menyehatkan sektor perbankan dan pembiayaan.

Sejauh ini penyediaan dana dari bank memang masih mendominasi sumber pendanaan perusahaan pembiayaan. Mengacu data BI per Mei 2007, pinjaman dari bank mencapai 50 persen. Penerbitan obligasi 11 persen, sisanya pendanaan dari modal dan pinjaman lainnya.

Karena bank memegang peran penting dalam pendanaan perusahaan pembiayaan, maka ketentuan yang mengatur perusahaan pembiayaan tidak bisa dipisahkan dari peraturan perbankan.

Salah satu ketentuan perbankan yang mengatur perusahaan pembiayaan adalah penilaian kualitas aset bank dan anak perusahaannya (termasuk perusahaan pembiayaan afiliasi) yang tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No 8/6/2006.

Dalam ketentuan ini, bank wajib melakukan penilaian kualitas aset dan membentuk provisi untuk seluruh aset anak perusahaan minimal sesuai dengan ketentuan BI yang berlaku.

Saat ini, beberapa perusahaan pembiayaan dimiliki bank sehingga penilaian aset dan provisinya diharuskan mengikuti peraturan perbankan. Kriteria penilaian aktiva dan provisi yang berbeda antara peraturan perbankan dan yang sebelumnya diadopsi menyebabkan adanya penyesuaian kebijakan provisi oleh beberapa perusahaan pembiayaan belakangan ini.

Walaupun kebijakan provisi perbankan ini menyebabkan laba beberapa perusahaan pembiayaan tergerus untuk jangka pendek, namun untuk jangka panjang kebijakan ini diharapkan mendorong pertumbuhan industri pembiayaan menjadi lebih sehat.

Selain itu, untuk mendukung fungsi pengawasan, BI mengimplementasikan program Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang merupakan kerangka dasar sistem perbankan Indonesia yang bersifat menyeluruh dan memberikan arah, bentuk, dan tatanan industri perbankan dalam beberapa tahun ke depan.

Salah satu pilar API adalah pengembangan infrastruktur perbankan yang meliputi pengembangan sistem informasi debitor (SID). Bukan hanya debitor bank, tetapi juga debitor lembaga keuangan non-bank.

Dalam kaitan itu, BI mengharuskan perusahaan pembiayaan yang terafiliasi dengan bank atau yang penyaluran kreditnya melalui metode penerusan (channeling) untuk melaporkan informasi debitornya kepada BI.

Sentralisasi data debitor mempermudah pengawasan BI terhadap bank dan debitornya sehingga kualitas aset dapat ditingkatkan dan kredit macet dapat dihindari.

Prinsip ini kemudian dituangkan oleh BI dalam PBI No 7/3/2005 dan perubahannya dalam PBI No 8/13/2006. Intinya, mendorong bank menerapkan sistem mirroring dengan perusahaan pembiayaan terkait atau yang pemberian kreditnya dilakukan dengan channeling kepada nasabah (end-user).

Sistem "mirroring"

Sistem mirroring adalah penyamaan catatan pembukuan antara perusahaan pembiayaan dan bank pemilik perusahaan bersangkutan. Sistem ini membuat perusahaan pembiayaan melakukan pembukuan secara online dengan bank untuk kemudian dilaporkan ke BI secara bulanan sehingga BI dapat mengawasi kinerja bank sekaligus perusahaan pembiayaan dan nasabahnya (end user).

Sistem ini juga bertujuan agar pengurus bank secara tepat waktu dapat mengidentifikasi penyaluran kredit kepada perusahaan pembiayaan.

Data penyediaan dana yang akurat dan tepat waktu sangat dibutuhkan dalam penentuan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) dan penghitungan risiko kredit yang ditanggung bank akibat dari penyediaan dana melalui channeling.

Dalam sistem channeling, risiko penyaluran kredit menjadi tanggungan bank sehingga debitor perusahaan pembiayaan otomatis menjadi debitor bank. Sistem mirroring memungkinkan BI dapat mengawasi penyaluran dana kepada debitor perusahaan pembiayaan, khususnya yang melalui metode channeling.

Sistem mirroring pada akhirnya mendukung pengembangan SID. Dengan adanya SID, sejarah kredit debitor dapat ditelusuri sehingga kemungkinan debitor lolos dari pengawasan BI dan kreditor semakin kecil. Hal ini otomatis akan membantu menurunkan tingkat NPL dan meningkatkan kualitas aset.

Pelaksanaan sistem mirroring tentu saja tidak mudah karena membutuhkan infrastruktur teknologi informasi yang tak sederhana dan waktu persiapan dan penyesuaian yang tidak singkat.

Selain itu, definisi sistem mirroring belum terlampau jelas, apakah harus benar-benar real time atau masih memperbolehkan adanya lag-time.

Terlepas dari kesulitan pengimplementasian sistem mirroring, peraturan ini semestinya berdampak positif pada industri pembiayaan dan sektor keuangan pada umumnya karena akan mendorong penerapan prinsip kehati-hatian dan transparansi.

Dengan sistem ini debitor yang melalaikan kewajibannya dapat diminimalisasi karena data debitor yang terpusat di BI dapat digunakan untuk menyeleksi calon debitor perusahaan pembiayaan.

Dengan penjelasan di atas, terdapat paling tidak tiga faktor pendukung optimisme industri pembiayaan Indonesia. Pertama, prospek industri pembiayaan masih menjanjikan, sejalan percepatan pertumbuhan ekonomi beberapa tahun mendatang. Kedua, secara alamiah kualitas aset industri ini membaik. Ketiga, regulator aktif membangun kerangka pengawasan yang lebih baik dan efektif.

Erisa Habsjah Analis Surat Hutang- Danareksa Sekuritas

Perencanaan Lemah, Program Konversi Kacau


Pemerintah Akan Perbaiki Pelaksanaan Konversi Energi

Jakarta, Kompas - Lemahnya perencanaan program pengalihan minyak tanah ke elpiji mengakibatkan munculnya sejumlah kendala dalam pelaksanaan di lapangan. Minimnya sosialisasi membuat masyarakat ragu untuk beralih ke elpiji, demikian pula para agen minyak tanah belum siap.

Sampai hari Minggu (26/8), antrean warga untuk mendapatkan minyak tanah masih terlihat, misalnya di pangkalan minyak tanah di Pasar Manggis, Kecamatan Setia Budi, Jakarta Selatan, dan Kelurahan Cipinang Besar Utara, Jatinegara, Jakarta Timur.

Sejumlah warga bahkan sengaja membeli dalam jumlah banyak untuk mengantisipasi kelangkaan. Kompas yang memantau ke sejumlah wilayah di DKI Jakarta yang melakukan konversi minyak tanah ke elpiji pekan lalu mendapati sejumlah masalah dalam pelaksanaan program konversi energi.

Pasokan elpiji dalam kemasan tabung 3 kilogram dari agen ke pangkalan tidak lancar. "Saya sudah minta pasokan ke agen sejak tiga hari lalu, tetapi kata agen, belum ada mobil yang bisa mengirim," kata Warman, pemilik pangkalan elpiji di Kelurahan Pinang Ranti, Jakarta Timur.

Menurut Warman, para agen yang sebelumnya menggunakan mobil tangki mereka sendiri untuk menyalurkan minyak tanah harus menyewa kendaraan untuk mengangkut tabung elpiji.

Seretnya pasokan gas di sejumlah pangkalan elpiji menyulitkan warga yang sudah mendapatkan jatah kompor gas dan tabung gratis. Mereka harus berkeliling ke sejumlah pangkalan, tetapi kembali dengan tangan hampa.

Belum maksimal

Deputi Direktur Niaga dan Pemasaran PT Pertamina Hanung Budya mengakui, ketersediaan gas dan tabung elpiji belum maksimal karena tidak semua agen dan pangkalan minyak tanah segera beralih menjadi agen dan pangkalan elpiji.

Di semua wilayah DKI Jakarta terdapat 175 agen dan 1.669 pangkalan minyak tanah yang diharapkan mau beralih.

"Kami sudah tawarkan mereka kredit dan sistem konsinyasi, tetapi belum banyak yang berminat," ujar Hanung.

Marcus, agen minyak tanah, menilai seharusnya pemerintah membagikan kompor gas secara merata sebelum menghentikan pasokan minyak tanah. "Kalau belum dapat semua sudah dicabut, jadinya seperti ini mengantre minyak tanah semua," ujarnya.

Membayar Rp 5.000

Di Kecamatan Sawangan, Depok, program konversi berpotensi salah sasaran. Sejumlah keluarga yang tidak menggunakan minyak tanah didaftar untuk mendapatkan pembagian kompor gas gratis.

Selain mengumpulkan syarat fotokopi kartu tanda penduduk dan kartu keluarga, warga di Kecamatan Sawangan juga membayar Rp 5.000 agar lebih cepat mendapatkan kompor tersebut.

Namun, hingga kemarin kompor gas yang dimaksud belum sampai ke tangan warga. Di Kelurahan Kebon Melati, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, warga yang telah menerima kompor gas pembagian hanya menyimpannya di salah satu bagian rumah mereka.

Ketidakbiasaan menggunakan kompor gas menjadi penyebabnya, termasuk alasan ketidakamanan dan kualitas kompor yang tidak baik.

Warga mengaku baru akan menggunakan kompor gas itu jika minyak tanah sudah tidak ada lagi di pasaran. Sementara ini, warga rela membeli minyak tanah di warung-warung di dekat rumah mereka, atau antre di pangkalan minyak tanah, kendati harganya Rp 5.000 per liter.

Meski demikian, warga mengaku tidak akan menjual kompor gas milik mereka. "Nanti kalau minyak tanah sudah tidak ada lagi bagaimana? Pasti kompor gasnya akan dipakai juga. Tapi selama minyak tanah masih ada, saya memilih tetap menggunakan kompor minyak tanah," ujar Dewi (46), warga Kebon Melati.

Program pengalihan minyak tanah ke elpiji dilaksanakan berdasarkan surat Wakil Presiden RI Nomor 20/WP/9/2006 tanggal 1 September 2006. Surat tersebut merupakan tindak lanjut dari hasil rapat koordinasi terbatas di Kantor Wakil Presiden.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro menjanjikan, pemerintah akan mengevaluasi dan memperbaiki pelaksanaan program konversi minyak tanah ke elpiji.

Kelanjutan pelaksanaan program itu seharusnya tidak hanya mengandalkan Pertamina. "Ke depan, karena sudah ada ketetapan akan ada dukungan dari pemerintah, nanti akan ada evaluasi bagaimana pelaksanaan yang sebaiknya," kata Purnomo.

Antrean untuk mendapatkan minyak tanah di wilayah Jakarta hanya kepanikan masyarakat. "Masyarakat hanya panic buying karena sudah mau puasa dan Lebaran. Saya yakin kondisinya akan mereda setelah mereka merasa simpanan minyaknya sudah cukup," ujar Purnomo. (DOE/DOT/NEL/CAL/TRI)

ANALISIS EKONOMI

Lonjakan Harga Kebutuhan Pokok

FAISAL BASRI

Salah satu maslahat paling nyata dari perekonomian dunia yang semakin terintegrasi ialah kecenderungan laju inflasi yang menurun tajam di seluruh kawasan dunia tanpa kecuali. Dalam satu dekade terakhir, laju inflasi di negara maju rata-rata hanya di bawah 2 persen, sementara di negara berkembang berkisar 3-4 persen. Proses konvergensi tingkat harga-harga umum ini dipicu oleh liberalisasi perdagangan dunia yang ditopang oleh revolusi teknologi informasi dan komunikasi serta transportasi.

Jika perekonomian suatu negara semakin terintegrasi dengan perekonomian dunia, negara itu akan menikmati laju inflasi yang rendah pula. Tentu saja dengan syarat bahwa negara itu memiliki kelengkapan kelembagaan pasar (market institutions) yang memadai, serta mata rantai distribusi yang efisien.

Laju inflasi di Indonesia selalu relatif jauh lebih tinggi dari rata-rata inflasi negara berkembang. Perekonomian Indonesia seakan sudah terbiasa dengan suhu tinggi. Niscaya ada masalah struktural yang selama ini terus menggelayuti perekonomian Indonesia, baik dari sisi permintaan (aggregate demand) maupun sisi penawaran (aggregate supply)

Inflasi sebagai fenomena moneter bersumber dari sisi permintaan yang besarannya tercermin pada angka inflasi inti, yakni yang tidak memasukkan kenaikan harga barang dan jasa yang diatur pemerintah. Apabila kita membandingkan angka inflasi inti Indonesia dengan negara tetangga di Asia Timur, tampak kebijakan moneter di Indonesia kurang efektif dalam meredam kenaikan harga.

Bisa disimpulkan, persoalan struktural yang membuat laju inflasi di Indonesia relatif tinggi terletak pada pengelolaan kebijakan moneter. Harus ada terobosan yang signifikan agar perekonomian Indonesia tak lagi bersuhu tinggi, yang membuat daya saing kian melorot.

Dalam beberapa bulan terakhir ada kecenderungan angka inflasi inti mulai turun di bawah 6 persen. Namun, justru kembali terjadi kenaikan harga barang dan jasa yang diatur pemerintah. Kenaikan harga kebutuhan pokok yang paling dirasakan masyarakat berpendapatan rendah adalah minyak tanah, minyak goreng, beras, dan gula putih.

Murni kesalahan pemerintah

Gejolak harga minyak tanah murni merupakan kesalahan pemerintah, yakni karena sosialisasi yang kurang, buruknya kualitas kompor gas yang dibagikan, dan tabung gas yang tersedia cuma ukuran 3 kilogram. Lalu banyak instansi pemerintah yang terlibat dan berjalan sendiri-sendiri sehingga program konversi kacau balau.

Untuk kasus minyak goreng berbagai kebijakan pemerintah selama ini terbukti mandul. Peningkatan pungutan ekspor dari 1,5 persen menjadi 6,5 persen tidak bisa menurunkan harga minyak kelapa sawit mentah (CPO) di dalam negeri karena harga CPO di pasar internasional naik jauh lebih cepat. Mengatasi itu, kenaikan pungutan ekspor setidaknya harus proporsional dengan kenaikan harga CPO di pasar internasional. Namun, pilihan itu secara empiris akan menimbulkan dampak negatif, yang pada akhirnya akan menghasilkan dampak neto yang merugikan bagi perekonomian?

Apabila ingin melindungi rakyat miskin, masukkan saja minyak goreng dalam paket raskin (beras untuk orang miskin). Kalau pilihan ini yang ditempuh, bagaimana dengan gula putih yang harganya juga mulai merangkak naik? Bagaimana dengan kebutuhan pokok lainnya?

Hal itu menandakan, persoalan lonjakan kenaikan harga kebutuhan pokok tidak bisa lagi ditangani secara ad hoc dan reaktif. Bukankah gejolak kenaikan harga barang yang "itu-itu" juga telah berlangsung berkali-kali. Bahkan, belakangan ini dengan frekuensi yang kian kerap, menandakan ada masalah struktural yang tetap melekat.

Jadi, fenomena kenaikan harga beberapa kebutuhan pokok bukanlah persoalan temporer sebagaimana diutarakan sementara pejabat tinggi. Tidak bisa juga dikatakan, kenaikan harga barang tertentu masih wajar. Selain ada yang dirugikan, ada juga yang diuntungkan, sebagaimana dikatakan Wakil Presiden (Kompas, 22 Agustus, hal 1 dan 15).

Gejolak harga beberapa komoditas akan selalu terjadi karena ketidakseimbangan permintaan dan penawaran. Semua itu tidak muncul seketika. Kebanyakan bisa diprediksi sehingga kita bisa mengantisipasinya jauh-jauh hari. Untuk itu, pemerintah harus membangun kemampuan intelijen pasar yang lebih tangguh.

Pada waktu bersamaan, kita dituntut memperkokoh kelembagaan pasar (market institutions). Selama ini pemerintah terlalu terbuai melakukan liberalisasi pasar, tetapi minim membangun unsur-unsur lain dari kelembagaan pasar yang menjamin mekanisme pasar berlangsung bagi kesejahteraan rakyat.

Pasar membutuhkan fungsi pengaturan dan stabilisasi agar tidak bertindak liar atau kerap bergejolak. Mekanisme pasar yang hanya menekankan pada fungsi liberalisasi pasar tak akan pernah menyentuh kepentingan rakyat yang lemah.

Oleh karena itu, mekanisme pasar harus selalu dilengkapi dengan fungsi legitimasi pasar sehingga memenuhi sense of justice dan sense of equity. Dengan begitu, keberlangsungan pasar bisa terjamin bagi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Kalau negara libertarian saja sudah lebih peduli terhadap dimensi keadilan dan kemanusiaan, seharusnya kita, yang berdasarkan konstitusi menganut sistem pasar sosial, jauh lebih peduli lagi.

Sunday, August 26, 2007

ASEAN Lakukan Konsolidasi


Dominasi China Dicegah

MANILA, Sabtu - ASEAN kini khawatir, China akan menjadi pemimpin utama di dalam perdagangan dan investasi di Asia dan dunia. ASEAN khawatir akan tenggelam di bawah bayang-bayang China. ASEAN tidak menginginkan hal itu dan ingin mempertahankan posisinya sebagai pihak penentu dan relevan.

Kekhawatiran itu tertuang dalam dokumen yang didapat kantor berita Associated Press, Sabtu (25/8), yang beredar di kalangan para menteri perdagangan ASEAN yang sedang berunding di Manila, Filipina.

Sekjen ASEAN Ong Keng Ong menyebut China kini sedang sibuk mengejar perjanjian perdagangan bebas (FTA) tersendiri dengan 28 negara, di dalamnya termasuk ASEAN.

Pada saat bersamaan, ASEAN sebagai kesatuan sedang merundingkan FTA dengan China. ASEAN juga sedang merundingkan FTA dengan Jepang, Korea Selatan, India, Selandia Baru, dan Amerika Serikat. Kini ada usulan agar ASEAN memulai FTA dengan Uni Eropa (UE), AS, Pakistan, dan Turki.

"Perundingan FTA ASEAN- China paling maju," kata Ramon Vicente Kabigting, Direktur Biro Hubungan Perdagangan Internasional Filipina.

Namun, China kini juga sedang menggagas FTA bilateral atau dua arah secara tersendiri dengan beberapa negara anggota ASEAN. "Penjajakan FTA bilateral dan tersendiri oleh China akan melemahkan posisi ASEAN," kata Ong Keng Ong.

Hal itu akan membuat ASEAN menjadi kurang relevan sebagai sebuah kelompok dan membuat posisi ASEAN sebagai payung akan memudar. Bukan hanya itu, China akan mendikte ASEAN, yang tenggelam di bawah bayang-bayang China. Selain itu, manfaat ekonomi dan perdagangan juga akan lebih dinikmati China.

Di dalam dokumen itu dikatakan, semua anggota ASEAN agar menunda semua perundingan FTA lainnya. Namun, tak jelas apakah ASEAN mengkritik perjanjian ekonomi bilateral Jepang dengan beberapa negara anggota ASEAN, yang dengan jelas akan melemahkan ASEAN di mata Jepang.

Fokus

Lepas dari itu, Sekjen ASEAN juga mengemukakan, sebaiknya ASEAN—sebagai kesatuan—lebih fokus pada perundingan FTA dengan China, Jepang, Korsel, Selandia Baru, Australia, dan India. ASEAN menunda penjajakan FTA dengan UE, AS, Pakistan, dan Turki. ASEAN diminta fokus pada perundingan enam FTA yang ada, sebelum memulai FTA dengan pihak lain.

Dalam dokumen ASEAN juga disebutkan, ASEAN sudah menyusun cetak biru menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN, yang akan dimulai pada 2015. Cetak biru itu akan diajukan ke pemimpin ASEAN yang akan bertemu di Singapura pada November 2007.

ASEAN juga menyusun kerangka pemberian sanksi kepada anggota, yang tidak mengimplementasikan janjinya secara tepat waktu. Ini penting untuk mendorong konsolidasi internal ASEAN. (REUTERS/AP/AFP/MON)

ANALISIS EKONOMI


Kemitraan Indonesia dan Jepang

FAISAL BASRI

Bagi Indonesia, Jepang telah lama menjadi mitra ekonomi paling penting dan strategis. Jepang merupakan negara tujuan ekspor utama sekaligus negara asal impor terbesar. Secara kumulatif, Jepang pun menjadi penanam modal asing langsung terbesar di Indonesia. Sosok keistimewaan Jepang menjadi lebih lengkap dengan posisinya sebagai negara pemberi utang terbesar bagi Indonesia.

Namun, belakangan ini tingkat keeratan hubungan ekonomi Indonesia-Jepang merosot tajam. Sebagai tujuan ekspor Indonesia, peranan Jepang menyusut, dari sekitar sepertiga pada awal dekade 1990-an menjadi sekitar seperlima saja pada tahun lalu. Kecenderungan yang sama terjadi pula untuk impor. Jika pada paruh pertama dekade 1990-an impor dari Jepang sekitar seperempat dari impor total Indonesia, dewasa ini tinggal sekitar 12 persen. Bahkan, posisi Jepang sebagai asal impor terbesar sudah digeser oleh China.

Dalam hal penanaman modal asing langsung (direct foreign investment), daya tarik Indonesia di mata perusahaan-perusahaan Jepang kian pudar. Publikasi terbaru yang dikeluarkan Jetro menunjukkan peringkat Indonesia terus turun dari posisi keenam pada tahun 2003 menjadi kesembilan pada 2006. Padahal, tahun 1997 Indonesia masih menduduki peringkat ketiga dan hanya turun satu peringkat selama kurun waktu 2000-2002. Pesaing baru Indonesia yang makin banyak dibidik oleh investor Jepang adalah India, Vietnam, Rusia, dan Brasil. Sementara itu, dalam satu dekade terakhir China dan Thailand selalu menjadi primadona di Asia bagi perusahaan Jepang dalam berinvestasi di luar negeri.

Kepentingan Indonesia

Pengalaman banyak negara, termasuk Indonesia pada masa lalu, menunjukkan peranan investasi asing sangat penting untuk meningkatkan ekspor. Kajian terbaru Bank Dunia (2007) menunjukkan betapa perkembangan ekspor yang pesat dari Asia Timur sangat ditopang oleh keberadaan penanaman modal asing. Sebagai contoh, lebih dari separuh ekspor China dihasilkan perusahaan multinasional.

Mereka berperan pula untuk memperdalam struktur ekspor dan membuatnya lebih konvergen dengan negara sekawasan. Hal ini terlihat dari peningkatan pesat porsi suku cadang dan komponen dalam ekspor negara ASEAN, seperti Filipina (65 persen), Malaysia (sekitar 40 persen), dan Thailand (sekitar 30 persen). Indonesia sendiri hanya sekitar 15 persen. Ini mengindikasikan Indonesia tersingkir dari jaringan produksi global yang dirajut perusahaan multinasional, termasuk yang dari Jepang.

Salah satu komponen Persetujuan Kemitraan Ekonomi (EPA) Jepang-Indonesia ialah komitmen untuk memajukan investasi Jepang di Indonesia. Untuk itu, kedua negara sepakat untuk memperbaiki keyakinan usaha (improvement of business confidence) dan menghilangkan segala hambatan investasi. Hal itu di antaranya dengan memperlancar impor bahan baku yang dibutuhkan pabrik-pabrik Jepang di Indonesia, kemudahan dan harmonisasi prosedur kepabeanan, serta kemudahan masuknya tenaga-tenaga Jepang.

Dengan langkah-langkah di atas, Indonesia diharapkan bisa kembali tertangkap radar investor asing dengan perusahaan-perusahaan Jepang sebagai pembuka jalan. Selanjutnya Indonesia bakal dimasukkan ke dalam jaringan produksi global sehingga bisa menjadi energi baru dalam menggerakkan dan menganekaragamkan ekspor. Selain itu, perluasan usaha dan investasi baru yang dihasilkan dari EPA diharapkan bisa memperdalam industrialisasi lewat alih teknologi, kerja sama teknik, serta pengembangan kapasitas (capacity building).

Bagaimana dengan liberalisasi perdagangan barang? Jika dilihat dari struktur ekspor Indonesia ke Jepang yang didominasi komoditas primer, seperti migas, batu bara, nikel, aluminium, produk perkebunan dan perikanan, penurunan tarif bea masuk bukan merupakan isu penting. Untuk produk manufaktur, hambatan masuk ke pasar Jepang bukan pula karena tingginya tarif bea masuk, melainkan berasal dari hambatan-hambatan nontarif. Untuk mengatasinya pihak Jepang berjanji memberikan bantuan teknis.

Kepentingan Jepang

Untuk memetik manfaat maksimal dari EPA sebagaimana digambarkan di atas, Indonesia sudah barang tentu harus memberikan sejumlah konsesi. Jepang meminta akses yang luas untuk perdagangan jasa, pengadaan pemerintah (government procurements), dan perlindungan hak milik intelektual. Selain itu, Jepang meminta Indonesia untuk lebih menjamin pasokan energi dan sumber daya mineral.

Jaminan bisa saja diberikan asalkan tidak mengganggu kepentingan pasokan energi dan sumber daya mineral bagi kebutuhan domestik kita.

Sebagai imbalan atas penghapusan/penurunan tarif bea masuk lebih dari 90 persen pos tarif yang mencapai 99 persen dari nilai ekspor Indonesia ke Jepang, pihak Jepang tidak menuntut kesetaraan. Kompensasi segera yang diminta Jepang adalah pembebasan bea masuk atas impor bahan baku yang dibutuhkan pabrik-pabrik Jepang di Indonesia yang belum mampu diproduksi di sini. Jepang juga sepakat untuk tidak memasukkan sekitar 7 persen dari semua pos tarif ke dalam kerangka EPA (exclusion list).

Momentum pembenahan

EPA merupakan era baru bagi Indonesia dalam menjalin kerja sama ekonomi bilateral. Bagi sementara kalangan mungkin perjanjian ini dinilai terlalu jauh. Namun, jika becermin pada pengalaman negara tetangga yang telah lebih dulu mencanangkan EPA dengan Jepang (Singapura, Thailand, Malaysia, Filipina, dan Brunei Darussalam), kita tak perlu khawatir berlebihan. Hasil nyata yang positif telah dinikmati negara-negara tetangga. Kita bisa belajar banyak dari mereka, termasuk bagaimana meredam dampak negatif yang tak dikehendaki.

Semakin banyak negara yang berpartisipasi dalam EPA, diharapkan menimbulkan kesadaran baru dan menambah dorongan bagi negara sekawasan untuk mewujudkan integrasi ekonomi di kawasan Asia Timur yang dipandang lebih realistis ketimbang kerja sama dalam kerangka APEC. Dengan melibatkan Korea dan China, niscaya Asia Timur akan berpotensi menjadi kekuatan penyeimbang terhadap dominasi Amerika Serikat dan Eropa.

Bagi kita, yang lebih penting, bagaimana menjadikan EPA sebagai momentum untuk melakukan pembenahan di dalam negeri secara mendasar dan menyeluruh bagi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.

Saturday, August 25, 2007

Anggaran

Dana Parkir di Bank Karena Berbagai Alasan

Jakarta, Kompas - Pemerintah di daerah mengemukakan berbagai alasan yang membuat mereka memarkir sementara dananya di Bank Pembangunan Daerah masing-masing, yang selanjutnya oleh bank ditempatkan pada Sertifikat Bank Indonesia.

Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melontarkan kritikan kepada pemerintah daerah yang memarkir cukup besar dananya, hingga mencapai Rp 96 triliun pada bank. Pemerintah daerah diharapkan mengoptimalkan dana tersebut untuk mempercepat pembangunan dan pergerakan perekonomian di daerah.

Penempatan dana daerah pada bank yang selanjutnya dibelikan SBI yang bunganya dibayar Bank Indonesia, daerah ibarat mendapat dana dari kantong kiri dan kantong kanan negara.

Langkah itu ditempuh pemerintah daerah karena adanya berbagai kendala dalam pemanfaatan dana tersebut.

Pemerintah Kalimantan Timur misalnya, dari Rp 4,225 triliun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)-nya, yang sudah dipakai untuk membiayai berbagai program pembangunan belum sampai 20 persen. Penggunaan dana rendah karena beberapa peraturan dinilai menghambat penyaluran anggaran.

Asisten Ekonomi Pembangunan dan Kesejahteraan Sosial Sekretariat Provinsi Kaltim Nusyirwan Ismail mengatakan di Samarinda, Jumat (24/8), mengatakan, peraturan yang dimaksud adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri 13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah dan Peraturan Presiden 70/2005 sebagai perubahan ketiga atas Keputusan Presiden 80/2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Permendagri, kata Nusyirwan, memperlama pembuatan APBD sekaligus penyalurannya. Perpres mewajibkan proyek berdana besar melewati lelang sehingga realisasinya juga lama. Itu belum termasuk permasalahan saat pelaksanaan proyek yang cukup menghambat penyelesaian.

Kondisi serupa juga terjadi pada proyek yang dibiayai APBN di Kaltim yang bernilai Rp 3,5 triliun tahun ini, sementara dana yang sudah dipakai menurut Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kaltim Sulaiman Gafur, baru sebesar 27,8 persen.

Sulaiman mengatakan, saat ini penyerapan anggaran rendah karena kebanyakan proyek belum jalan, dan tender masih berjalan. Tetapi, setelah lelang dan proyek berjalan, biasanya dana mengucur deras. Ia memperkirakan, proyek-proyek akan terlaksana mulai September.

Karena itu, sebelum digunakan, oleh BPD lalu disimpan dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia. “Tidak ada kesengajaan kenapa uang disimpan di SBI," kata Kepala Biro Keuangan Setprov Kaltim Hazairin Adha.

Direktur Utama BPD Kaltim Aminuddin mengatakan, dana pemerintah yang disimpan di BPD, memang dioptimalkan dengan menempatkannya pada SBI yang risikonya lebih rendah dan sewaktu-waktu bisa ditarik.

Aminuddin mengatakan, dana pemerintah se-Kaltim yang disimpan di BPD mencapai Rp 5,3 trilliun. “Kepemilikan SBI BPD Kaltim Rp 5,7 triliun per 20 Agustus 2007," katanya.

Gubernur Riau, Rusli Zainal menyatakan, besarnya simpanan pemerintah Provinsi Riau di perbankan bukanlah cerminan dari ketidakproduktifan. Itu lebih karena dana tidak dapat langsung dibahas dengan mekanisme APBD.

"Dana itu bersumber dari dana bagi hasil yang belum dibahas dalam APBD. Karena belum ada dalam APBD lantas mau ditempatkan di mana, tentunya di bank. Kami tidak dapat menggunakan dana itu karena belum masuk APBD ataupun APBD-Perubahan. Penempatan itu justru supaya uang itu lebih aman dan jelas. Bukan karena tidak produktif. Buktinya 96 persen dana APBD Riau terserap," kata Rusli Zainal di Pekanbaru.

Menurut Rusli, kalaupun Riau terlihat memiliki simpanan dana yang besar, itu lebih disebabkan dana bagi hasil yang diserahkan pemerintah pusat ke daerahnya juga besar. Untuk tahun 2007, dana perimbangan pusat dan daerah yang diterima Riau mencapai Rp 5 triliun lebih.

Tidak soal

Gubernur Kalimantan Tengah Agustin Teras Narang menyatakan, penyerapan dana untuk pembangunan di Kalteng berjalan baik sehingga tidak ada yang masuk ke SBI. “Pengesahan APBD juga tidak ada masalah sehingga semua berjalan tepat waktu. Ini karena pembahasannya sudah dilakukan sejak awal. APBD 2008 misalnya, sekarang sudah mulai dibicarakan sehingga diharapkan begitu disahkan langsung dapat dijalankan," kata Teras.

Ditambahkan, proses tender pun tidak menjadi persoalan. Begitu pagu sudah didapat, tender proyek sudah bisa mulai dilaksanakan. Pola semacam ini menghindarkan kemungkinan proyek berjalan lamban hanya karena masa tender berlarut-larut. Tahun ini, APBD Kalteng sebesar Rp 1,1 triliun, naik dibanding 2006 yang Rp 903,782 miliar.

Sekretaris Daerah Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah Thampunah Sinseng menambahkan, uang daerahnya tidak ada yang diparkir di bank.

Masih Kecil

Dirjen Perimbangan Keuangan Depkeu Mardiasmo menyebutkan, hingga pertengahan Agustus 2007, realisasi anggaran belanja daerah yang telah dikucurkan Depkeu ke pemerintah daerah pada tahun 2007 mencapai Rp 140 triliun atau sekitar 54 persen dari total belanja daerah Rp 258,8 triliun.

Artinya, jika total dana pemda yang masih tersimpan di perbankan mencapai Rp 96 triliun, seperti disebutkan Presiden, berarti sebagian besar dana yang telah disalurkan pemerintah pusat masih mengendap, belum terpakai.

Ketua Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbanda) Winny E Hassan mengatakan, sebagian besar dana BPD merupakan milik pemda setempat. Berdasarkan data Bank Indonesia (BI) per Juni 2007, total dana BPD seluruh Indonesia Rp 140,31 triliun.

Mardiasmo mengatakan, sebagian besar dana yang disalurkan pemerintah pusat ke daerah adalah Dana Alokasi Umum (DAU) sebanyak 66,7 persen atau sekitar Rp 93,38 triliun, kemudian Dana Alokasi Khusus (DAK) atau sekitar Rp 30,8 triliun, dan selebihnya disalurkan untuk dana otonomi khusus dan penyesuaian.

"Dari dana yang telah disalurkan pemerintah pusat tersebut, kami masih menghitung anggaran daerah yang benar-benar diserap atau digunakan untuk sektor riil," katanya.

Anggaran belanja daerah dialokasikan untuk tiga pos pengeluaran utama, yakni anggaran belanja pegawai, modal, dan belanja barang. Anggaran belanja pegawai merupakan komponen terbesar.

Belanja pegawai tahun 2005 dialokasikan sebesar Rp 59,27 triliun atau 42,66 persen dari anggaran belanja daerah tahun tersebut. Alokasinya meningkat di tahun 2006 menjadi Rp 85,01 triliun atau 40,57 persen dari anggaran belanja daerah tahun tersebut. Anggaran ini tergolong konsumsi pemerintah karena tidak masuk ke sektor riil sebagai investasi.

Anggaran belanja modal, yang merupakan indikator investasi pemerintah, pada tahun 2005 tercatat sebesar Rp 26,89 triliun atau 19,35 persen atas anggaran belanja daerah. Jumlah tersebut meningkat menjadi Rp 52,03 triliun atau 24,81 persen terhadap anggaran belanja tahun 2006.

Lambat

Anggota DPR dari Komisi Keuangan dan Perbankan Dradjad H Wibowo mengatakan, penyebab utama rendahnya penyerapan anggaran daerah untuk kegiatan sektor riil adalah keterlambatan pengesahan APBD.

Keterlambatan pengesahan APBD terjadi pada proses pengesahan oleh DPRD setempat dan proses persetujuan oleh Depdagri.

"Solusinya, Depdagri dan pemda harus bersama-sama memperpendek proses pengesahan APBD. Caranya dengan memberi tenggat waktu pengesahan. Birokrasi di Depdagri harus dipangkas. Depkeu juga bisa tetapkan penalti pemotongan DAU pada pemda yang telat mencairkan dananya," kata Dradjad.

Menteri Koordinator Perekeonomian Boediono mengatakan, "Bagi daerah yang dananya masih nongkrong di BPD akan kami lihat masalahnya apa. Kemudian pemerintah akan coba bantu."

Mengenai apakah pemerintah pusat akan memberikan semacam hukuman bagi daerah yang masih juga meletakkan danannya di BPD, Boediono menjawab, hal tersebut saat ini belu perlu dilakukan. "Persoalannya kan sebetulnya politik di daerah, penyusunan RAPBD masih sangat lambat karean DPRD dan pemda," katanya.

Berdasarkan data Bank Indonesia per Juni 2007, penempatan dana BPD di SBI selama semesterI-2007 naik Rp 11,07 triliun dari Rp 37,26 triliun pada Januari menjadi menjadi Rp 48,33 triliun pada akhir Juni.

Dibandingkan dengan kelompok bank yang lain, kenaikan penempatan dana di SBI oelh BPD memang yang tertinggi.

Untuk bank persero dan swasta nilainya malah turun. Penempatan dana bank persero di SBI pada Januari sebesar Rp 43,31 Triliun turun menjadi Rp 36,06 triliun pada Juni. Sementara bank swasta turun dari Rp 98,74 triliun pada Januari menjadi Rp 85,85 triliun pada Juni.

Sementara untuk bank campuan, penempatan dana di SBI naik dari Rp 9,28 triliun pada Januari menjadi Rp 11,3 triliun pada Juni. Untuk bank asing, nilainya naik dari Rp 18,17 triliun pada Januari menjadi Rp 20,52 triliun pada Juni.

Dirjen Perimbangan Keuangan Departemen Keuangan Mardiasmo mengatakan, mengenai dana pemda yang masih banyak diletakkan di BPD, maka pemerintah akan melihat kasus per kasus. "Dalam waktu dekat ini kami akan memanggil pemda dan BPD. Kami akan membicarakan dengan kepala daerah kira-kira langkah apa yang akan dilakukan ke depan untuk mempercepat eksekusi penyelesaian APBD," katanya. (SAH/BRO/CASfAJ/OIN/tav)

Friday, August 24, 2007

Kekeringan dan Kemiskinan Petani

ALI KHOMSAN

Petani mulai merasakan dampak kekeringan. Kerusakan sawah mulai merambah dan akan berdampak serius pada kesejahteraan petani maupun ketahanan pangan nasional.

Kekeringan saat ini mungkin merupakan dampak pemanasan global. Namun, para petani adalah yang paling merasakan akibat kekeringan. Tanpa air yang cukup, sawah segera mengering, puso, dan panen gagal. Kekeringan tetap menjadi ancaman jika program reboisasi tidak segera diintensifkan untuk mengembalikan wilayah resapan air.

Pada tahun 1999/2000, luas kawasan yang masih berhutan di Jawa hanya empat persen. Padahal, luas hutan ideal untuk mendukung keseimbangan ekosistem adalah 30 persen dari luas wilayah. Luasan hutan itu untuk menjamin ketersediaan sumber daya air bagi kehidupan.

Balai Pemantapan Kawasan Hutan Jawa-Madura menggambarkan hutan di Jawa yang luasnya 3.289.131 hektar itu kini keadaannya amat menyedihkan. Hutan Pulau Jawa yang memerlukan rehabilitasi sekitar 1,714 juta hektar (56,7 persen). Kondisi tersebut diperparah oleh meluasnya lahan kritis di luar kawasan hutan yang telah mencapai 9,016 juta hektar. Jadi, di seluruh Jawa kira-kira 84,16 persen lahan daratannya memerlukan rehabilitasi.

Pemerintah diimbau untuk membantu petani dengan bantuan pompa air dan sumur pantek untuk mengatasi krisis air. Tanpa bantuan pemerintah untuk mengatasi kekeringan, nasib petani akan semakin terpuruk.

Ada pemeo yang mengatakan, "kalau ingin hidup tenteram jadilah petani, kalau ingin dihormati jadilah pegawai negeri, dan kalau ingin kaya jadilah pedagang". Tampaknya kini pemeo tersebut sudah tidak sepenuhnya berlaku.

Kehidupan petani jauh dari kesan tenteram dan sejahtera. Petani adalah profesi yang tidak henti dirundung masalah; mulai nilai tukar komoditas yang rendah yang berujung pada kemiskinan, sampai hambatan iklim yang akan membuat nasib petani semakin runyam.

Kesan kuat yang muncul sekarang ini adalah petani merupakan profesi inferior, sementara sektor pertanian identik dengan sektor marjinal. Kesan itu tidak sepenuhnya salah karena data secara umum menunjukkan hal tersebut.

Padahal, pada tahun 1970-an tingkat kesejahteraan petani dan kesejahteraan tenaga kerja industri tidak begitu jauh berbeda. Namun, kini keadaan tidak lagi berpihak pada petani. Industri melaju jauh lebih cepat dibandingkan sektor pertanian.

Serapan tenaga kerja pertanian memang bertambah. Namun kalau sektor pertanian lebih banyak dijejali dengan petani gurem, sektor pertanian akan menjadi penyumbang kemiskinan yang signifikan.

Dalam periode 10 tahun, antara 1993 dan 2003, jumlah petani gurem yang semula 10,8 juta telah bertambah menjadi 13,7 juta orang. Oleh karena itu, kesejahteraan petani hingga kini masih merupakan mimpi.

Pada tahun 2002 dari total penduduk miskin di Indonesia, lebih dari separuhnya adalah petani yang tinggal di pedesaan. Data persentase penduduk miskin usia 15 tahun ke atas menurut provinsi/kabupaten/kota dan sektor bekerja pada tahun 2003 (BPS, 2004) menunjukkan persentase terbesar penduduk miskin hampir di seluruh kabupaten/provinsi adalah mereka yang bekerja di sektor pertanian.

Salah satu upaya dalam mewujudkan keberdayaan petani dapat dilakukan melalui employment shifting. Beban sektor pertanian dengan jutaan petani gurem harus dikurangi.

Ini berarti industri nasional harus bergerak dengan laju yang lebih cepat, dan investasi harus segera masuk untuk kemudian menyerap tenaga-tenaga kerja. Tanpa employment shifting, yang terjadi adalah bertambahnya kegureman petani yang akan semakin memperlihatkan betapa terpuruknya petani-petani kita.

SDM pertanian di Indonesia memang masih lemah, padahal sejak dulu kita mengklaim sebagai negara agraris. Pada tahun 2001 tenaga kerja nasional yang memiliki gelar sarjana adalah 4,7 persen dan yang berasal dari pertanian hanya 0,3 persen. Sementara itu, disadari pula bahwa tidak semua sarjana pertanian bekerja di sektor pertanian. Jadi, lengkaplah sudah keterpurukan pertanian kita karena tidak didukung oleh tenaga-tenaga yang berkualitas dan kompeten.

Sektor pertanian sebenarnya memegang peranan penting dalam menyumbang devisa bagi negara. Pada tahun 2003 ekspor produk pertanian mencapai 11,1 miliar dollar AS. Ketika sektor lain kalang kabut menghadapi krisis ekonomi 1998, sektor pertanian masih tumbuh meski lambat.

Sektor pertanian sampai tahun 2002 masih menyerap 45 persen tenaga kerja, tetapi pangsanya terhadap PDB semakin menurun. Dengan demikian, hal ini menjadi prediksi bahwa sektor pertanian tidak bisa menjamin kesejahteraan tenaga kerjanya.

Untuk mengantisipasi dampak kekeringan yang berkepanjangan, sudah saatnya kini pemerintah memikirkan tentang perlunya sistem jaminan sosial (social security system) untuk petani. Idealnya, sistem jaminan sosial bukan melulu untuk mengatasi krisis yang bersifat insidental. Sistem ini bersifat langgeng dan terus-menerus untuk seluruh anggota masyarakat yang kurang beruntung secara ekonomi. Cakupan sasaran bisa menjadi lebih besar apabila ada kejadian luar biasa seperti kekeringan.

Selama ini berbagai strategi pengentasan kemiskinan telah dilakukan pemerintah. Namun, efektivitasnya belum teruji manjur mengatasi kemiskinan bangsa ini. Bantuan langsung tunai, dana bantuan operasional sekolah (BOS), jaring pengaman sosial (JPS), sampai kompor gas gratis semuanya ditujukan untuk membantu orang miskin.

Kini, di saat kekeringan merebak dan daya beli petani dipastikan merosot, pemerintah harus segera tanggap merumuskan bantuan untuk keluarga-keluarga petani yang terancam kesejahteraannya. Memberikan keringanan kredit pinjaman atau bantuan langsung tunai dengan mekanisme yang lebih baik kiranya sangat diharapkan petani untuk mencegah nasib yang kian terpuruk.

Ali Khomsan Guru Besar Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor