Sunday, September 23, 2007

Keterpurukan Hidup Petani

Penulis: Razali Ritonga,
Kepala Subdirektorat Analisis Konsistensi Statistik, BPS

Meski Hari Tani jatuh pada 24 September dan telah diperingati selama 47 tahun, nasib petani tidak pernah berubah. Petani hingga kini masih didera masalah, tidak hanya terkait dengan soal lahan, tapi juga kemiskinan.

Beberapa waktu lalu, BPS mengumumkan penurunan penduduk miskin secara nasional sebanyak 2,13 juta orang, yakni dari 39,30 juta orang (17,75%) pada Maret 2006 menjadi 37,17 juta orang (16,58%) pada Maret 2007. Namun, jika ditilik menurut daerah perkotaan dan pedesaan, terdapat perbedaan penurunan jumlah penduduk miskin. Di perkotaan terjadi penurunan sebanyak 930 ribu orang, sedangkan di pedesaan 1,20 juta orang selama Maret 2006-Maret 2007. Patut dicatat, meski terjadi penurunan penduduk miskin di pedesaan yang sedikit lebih tinggi jika dibandingkan dengan perkotaan, hampir 63,52% penduduk miskin di Tanah Air menetap di pedesaan (BPS, 2007).

Lahan sempit

Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan di pedesaan adalah kondisi pertanian yang kurang memberikan insentif bagi petani. Kehidupan petani terjepit di antara dua musim, yaitu musim tanam dan musim panen. Pada musim tanam, petani dihadapkan mahalnya input pertanian, seperti bibit, pupuk, dan pestisida. Pada musim panen, petani gigit jari karena harga produk pertanian merosot.

Sebenarnya, peluang untuk meningkatkan insentif itu masih terbuka lebar melalui intensifikasi untuk meningkatkan produktivitas lahan. Namun, peluang itu sulit diwujudkan mengingat sebagian besar petani memiliki lahan sempit. Berdasarkan hasil Sensus Pertanian 2003, tercatat 56,5% rumah tangga tani menguasai lahan kurang dari setengah hektare. Petani dengan lahan sempit kerap disebut petani gurem.

Intensifikasi dengan mekanisasi pertanian jelas tidak rasional jika diterapkan pada lahan sempit. Sebab, biaya awal yang dikeluarkan sangat besar dan tidak proporsional dengan lahan yang digarap. Ditengarai, faktor kepemilikan lahan yang tergolong sempit di tanah air menjadi kendala dalam melakukan intensifikasi dengan mekanisasi untuk menggenjot produksi dalam rangka memenuhi swasembada pangan.

Globalisasi

Keterpurukan hidup yang dialami petani tampaknya kian menjadi-jadi terkait dengan faktor globalisasi. Perdagangan internasional pascaglobalisasi menyebabkan membanjirnya produk pangan murah. Celakanya, produk itu menyebabkan petani kian terpuruk karena kalah bersaing. Satu hal yang menyebabkan produk petani kalah bersaing dengan produk impor adalah ketidakmampuan petani memenuhi standar produksi berkelas internasional (world class). Untuk mencapai standar world class itu, salah satu cara adalah melalui mekanisasi pertanian. Suatu hal yang sulit dipenuhi petani di Tanah Air terkait dengan kepemilikan lahan yang kurang memadai.

Kini kian disadari, globalisasi merupakan jebakan bagi negara berkembang, seperti Indonesia. Sebab, globalisasi identik dengan daya saing. Maka, negara yang memiliki daya saing tinggi, seperti negara maju, mudah memenangi persaingan. Bahkan sejumlah negara maju menerapkan cara-cara yang sulit diikuti negara berkembang. Cara terjitu adalah memberikan subsidi kepada petani.

Bahkan, strategi subsidi itu terklasifikasi menurut komoditas. Hal itu antara lain diterapkan Amerika Serikat dengan subsidi terbesar pada kacang-kacangan sebesar US$3,6 miliar, jagung dan kapas yang masing-masing US$2,8 miliar, dan padi US$763 juta (Dhar, 2004). Subsidi yang diberikan kepada petani demikian besarnya sehingga mampu menekan biaya produksi menjadi lebih rendah daripada biaya yang semestinya dikeluarkan, seperti gandum sekitar 43%, kacang-kacangan 25%, jagung 13%, kapas 61%, dan beras 35% (Dhar, 2004).

Fenomena subsidi itu mengingatkan kita pada politik dagang dumping, yaitu mengekspor barang dengan harga lebih murah daripada harga di dalam negeri. Namun karena politik dumping bertentangan dengan etika perdagangan internasional, digunakan cara lain, yaitu subsidi.

Asimetri perdagangan itu akhirnya merugikan petani dan berpotensi menyebabkan petani gulung tikar. Petani kacang-kacangan di Tanah Air, misalnya, turun dari 5 juta menjadi 2,5 juta orang (UNDP, 2005).

Sebagai dampak lanjut dari asimetri perdagangan itu, tidak sedikit petani yang meninggalkan lahan pertanian dan pindah ke perkotaan. Celakanya, daerah perkotaan belum siap menerima penduduk yang pindah dari pedesaan. Karena itu, fenomena urbanisasi kemiskinan itu berpotensi meningkatkan angka kemiskinan di perkotaan. Barangkali jika fenomena urbanisasi kemiskinan tidak terjadi, angka kemiskinan di perkotaan akan lebih rendah, sebaliknya di pedesaan lebih tinggi daripada angka yang tercatat.

Atas dasar itu, berbagai upaya perlu dilakukan agar petani terbebas dari keterpurukan. Grand design diperlukan untuk membangun sektor pertanian secara menyeluruh. Hal mendasar yang perlu dipikirkan untuk mengimplementasikan grand design adalah perlindungan dan fasilitasi pemerintah terhadap petani dalam berbagai aspek. Seperti land reform, perkreditan, tata perdagangan dalam dan luar negeri, subsidi, riset dan pengembangan pertanian, serta perencanaan kesempatan kerja. Dalam konteks itu, mulai dipikirkan bagaimana memperluas kepemilikan lahan petani. Cara lain, menggabungkan lahan dari petani lahan sempit yang pengelolaannya secara bersama. Perluasan lahan itu penting dilakukan untuk efisiensi dalam penggunaan teknologi pertanian. Besar harapan, Hari Tani kali ini menjadi momentum untuk membebaskan petani dari keterpurukan.

Saturday, September 22, 2007

Rekor Koruptor "Top Markotop"


M Fadjroel Rachman

Ban Ki-moon, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, patut diacungi jempol karena ia meluncurkan program global Stolen Asset Recovery Initiative di Markas Besar PBB, New York (Senin, 17/9). Korupsi di mana pun di dunia, termasuk di Indonesia, adalah kejahatan terhadap umat manusia (crimes against humanity), bukan sekadar kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Dan yang terpenting, korupsi di suatu negara kini bukan lagi masalah negara itu sendiri, tetapi sudah menjadi kepedulian semua bangsa dan negara di dunia.

"From now on it should be harder for kleptocrats to steal the public’s money, and easier for the public to get its money back," kata Antonio Maria Costa, Direktur Eksekutif UN Office on Drugs and Crime (UNODC), badan PBB yang bertanggung jawab atas program Stolen Asset Recovery (StaR) Initiative ini.

Alhasil, Soeharto dan keluarganya kini tak boleh buru-buru senang dengan putusan Mahkamah Agung yang mengganjarnya ganti rugi Rp 1 triliun atas kemenangannya terhadap majalah Time yang membeberkan kekayaan keluarga Cendana ini mencapai miliaran dollar AS, yang diduga hasil KKN selama berkuasa. Menurut versi StAR PBB, Soeharto menduduki peringkat pertama koruptor dunia, "menggelapkan" 15 miliar-35 miliar dollar AS.

Korupsi Soeharto

Indonesia ikut menandatangani UN Convention against Corruption (2003), tentu terikat menyukseskan program StAR. Kehadiran Adiyatwidi Adiwoso, Deputi Perwakilan Tetap RI untuk PBB, dan Arif Havas Oegroseno, Direktur Perjanjian Internasional Departemen Luar Negeri RI, menegaskan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) harus bergerak cepat menuntaskan kasus korupsi yang disorot Sekjen PBB Ban Ki- moon dan UNODC.

SBY harus bergerak cepat? Karena StAR Initiative PBB (Lihat http://siteresources. worldbank.org/NEWS/Resources/Star- rep-full.pdf) menegaskan fokus program pada sepuluh nama, high earning political leaders who have been accused of corruption and stealing from the people, yaitu (1) Soeharto, Indonesia (1967-1998), 15 miliar- 35 miliar dollar AS; (2) Ferdinand E Marcos, Filipina (1972-1986), 5 miliar-10 miliar dollar AS; (3) Mobutu Sese Seko, Kongo (1965-1997), 2 miliar-5 miliar dollar AS; (4) Sani Abacha, Nigeria (1993-1998), 2 miliar- 5 miliar dollar AS; (5) Slobodan Milosevic, Serbia/Yugoslavia (1989-2000) 1 miliar dollar AS; (6) Jean- Claude Duvalier, Haiti (1971-1986), 300 juta-800 juta dollar AS; (7) Alberto Fujimori, Peru (1990-2000), 600 juta dollar AS; (8) Pavlo Lazarenko, Ukraina (1996-1997), 114 juta-200 juta dollar AS; (9) Arnoldo Aleman, Nikaragua (1997-2002), 100 juta dollar AS; dan (10) Joseph Estrada, Filipina (1998- 2001), 78 juta-80 juta dollar AS. Yang terakhir ini malah sudah dijatuhi hukuman penjara seumur hidup, sementara Soeharto masih bisa tertawa gembira ketika diberi tahu ia menang atas Time.

Pengumuman PBB seolah membenarkan laporan Time (Asia) yang menemukan harta Soeharto Inc senilai 15 miliar-73,4 miliar dollar AS. Keputusan MA jelas mengancam kebebasan pers nasional dan internasional, ketakberpihakan hukum, mengabaikan UU Pers, dan menihilkan investigasi empat bulan Time (Asia) di seluruh dunia melalui cover both sides.

Kebenaran investigasi Time (Asia), selain ditegaskan PBB, juga melalui tindakan Jaksa Agung Hendarman Supandji menyidangkan Yayasan Supersemar Soeharto dan Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) Tommy Soeharto, selain upaya merebut uang Soeharto Inc, senilai 36 juta euro di BNP Paribas, cabang Guernsey, Inggris. Walaupun uang 10 juta dollar AS raib entah ke mana—dipulangkan atas bantuan dua mantan Menhuk dan HAM, Yusril Ihza Mahendra dan Hamid Awaludin, tak diusut sama sekali oleh Hendarman Supandji—tetapi arah investigasi Time (Asia), tindakan Jaksa Agung, dan ikrar Sekjen PBB Ban Ki-moon sejajar untuk melawan korupsi di seluruh dunia.

Korupsi itu kejahatan

Mimpikah mengejar harta koruptor kelas dunia? Filipina membuktikan ketegasannya, perlu 18 tahun memperoleh 624 juta dollar AS hasil korupsi Marcos yang disimpan di Swiss. Penulis bertemu Ketua Presidential Commission on Good Government (PCGG) Heydi Yorac (almarhum) di Manila. Ia mengatakan, "Soalnya bukan berapa lama atau berapa uang korupsi yang kembali, tetapi Filipina secara moral menegaskan korupsi itu adalah kejahatan. Korupsi itu salah."

Karena itu, SBY juga harus membentuk komisi nasional semacam PCGG untuk menuntaskan masalah Soeharto Inc. Rakyat dan dunia pasti mendukungnya.

Joseph Estrada, mantan Presiden Filipina (1998-2001)—pencuri kelas dunia urutan kesepuluh PBB dan hanya mencuri 78 juta-80 juta dollar AS uang negara—dijatuhi hukuman penjara seumur hidup pada Rabu, 12 September 2007 oleh Sandiganbayan, pengadilan khusus korupsi Filipina, yang persidangannya enam tahun lebih.

Kenapa korupsi adalah musuh umat manusia? Ban Ki-moon menegaskan, harta negara yang dikorupsi dapat membiayai program sosial dan infrastruktur publik. "Every 100 million dollars recovered could fund full vaccinations for 4 million children, provide water connections for some 250,000 households, or fund treatment for over 600,000 people with HIV/AIDS for a full year." Tentu korupsi Soeharto, jika berhasil dikembalikan ke kas negara, bisa menyelamatkan 120 juta rakyat miskin Indonesia, yang hidup dengan 2 dollar AS per hari, 40 juta pengangguran (tertutup dan terbuka), serta ribuan anak-anak busung lapar yang terancam maut di Nusa Tenggara Timur dan daerah-daerah lain hari ini.

M Fadjroel Rachman Ketua Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Negara Kesejahteraan (Pedoman Indonesia)

Pasar Keuangan


Eforia Sambut Keputusan The Fed

Jakarta, Kompas - Investor saham di berbagai belahan bumi, Rabu (19/9), seolah kembali mengantongi optimisme dan eforia memborong saham sehingga mendongkrak harga saham yang telah tertekan berbulan-bulan, setelah Bank Sentral AS memangkas tingkat suku bunganya. Langkah itu diharapkan mengangkat perekonomian AS dari keterpurukan.

Di tengah eforia "kebijakan The Fed", kekhawatiran muncul dari inflasi dan harga minyak yang kembali melonjak hingga mencapai rekor baru 82,51 dollar AS per barrel. Laporan terakhir menyebutkan, cadangan minyak AS anjlok. Padahal, pelaku pasar yakin pemangkasan suku bunga dapat membantu mendorong penguatan permintaan minyak di AS, yang merupakan konsumen terbesar.

Dalam perkembangan lain, nilai tukar dollar AS terus terpuruk mencapai rekor barunya terhadap mata uang tunggal Eropa, euro. Euro ditransaksikan senilai 1,3987 dollar AS.

Bank Sentral AS yang dikenal dengan The Fed, Selasa, memangkas tingkat suku bunga utamanya (federal funds rate) 50 basis poin menjadi 4,75 persen. Pada saat yang sama, mereka juga memotong suku bunga diskonto sebesar 50 basis poin menjadi 5,25 persen.

Federal funds rate merupakan suku bunga yang dikenakan bank-bank dalam pinjam-meminjam dana. Suku bunga diskonto merupakan suku bunga yang dikenakan bank sentral kepada bank yang meminjam dana dari bank sentral.

Langkah pemotongan suku bunga itu dilakukan Bank Sentral AS sebagai upaya keluar dari kesulitan perbankan, tekanan pasar kredit dan perumahan yang mengancam perekonomian terbesar dunia tersebut.

Sejak Juli lalu, sistem perbankan AS terguncang akibat kredit macet secara massal di sektor perumahan, yang kemudian merembet ke pasar surat berharga berbasis kredit perumahan, dan membuat sejumlah perusahaan pengelola dana yang berinvestasi pada surat berharga tersebut mengalami kebangkrutan.

Kesulitan keuangan juga dialami sejumlah bank dan perusahaan investasi di Eropa, Australia, dan Asia, yang menanamkan dananya pada surat berharga milik perusahaan AS tersebut. Kondisi itu memaksa bank-bank sentral mengguyurkan dana ratusan miliar dollar AS ke perbankan untuk mengatasi kesulitan likuiditas (dana) yang dibutuhkan untuk menggerakkan roda ekonomi.

Pemangkasan suku bunga utama The Fed itu merupakan yang pertama kalinya dalam empat tahun terakhir.

Penguatan tertinggi

Pemangkasan suku bunga di sektor perbankan umumnya disambut baik investor saham karena akan menggairahkan pasar saham. Turunnya suku bunga berarti turunnya potensi pendapatan investasi yang ditanamkan di perbankan sehingga dana investasi sebagian dialihkan ke pasar saham.

Penguatan indeks di beberapa bursa bahkan mencatat rekor sebagai kenaikan tertinggi dalam beberapa tahun terakhir. Indeks saham di bursa Wall Street AS sendiri langsung menguat setelah pengumuman The Fed keluar. Indeks saham industri Dow Jones pada Selasa melonjak 2,51 persen. Ini merupakan kenaikan harian tertinggi sejak 2003. Pada pembukaan perdagangan Rabu pagi waktu setempat, indeks Dow Jones kembali menguat karena investor mengharapkan laporan tingkat inflasi yang rendah.

Bursa saham Asia dan Eropa juga mengikuti penguatan di Wall Street walaupun masih ada pertanyaan yang menggantung, apakah kenaikan harga saham ini akan menghapuskan berita buruk seputar krisis efek beragun aset kredit perumahan di AS.

Indeks di Bursa Efek Jakarta naik 3,3 persen menjadi 2.313. Nilai transaksi perdagangan cukup tinggi, Rp 7,2 triliun. Indeks Nikkei di Tokyo naik 3,7 persen. Ini juga merupakan kenaikan tertinggi harian dalam lima tahun terakhir. Sebaliknya, indeks saham bursa China turun sebesar 0,55 persen karena investor di sana mengambil untung.

"Keputusan Fed disambut baik pasar dan menghapuskan sedikit ketidakpastian terhadap perekonomian AS dan pasar kredit," kata Yumi Nishimura, penasihat investasi pada Daiwa Securities.

Akan tetapi, bank sentral Jepang belum langsung mengikuti jejak AS dan tetap menjaga tingkat suku bunganya seperti yang diharapkan. Bank of Japan sebelumnya telah berancang-ancang menaikkan tingkat suku bunganya, tetapi Gubernur Bank of Japan Toshihiko Fukui mengatakan, ketidakpastian pada perekonomian dunia menguat setelah The Fed menyatakan masalah perumahan dan pasar kredit dapat menurunkan pertumbuhan AS. Karena masalah kredit itu, para pelaku pasar tidak mengharapkan kenaikan tingkat suku bunga Jepang hingga akhir tahun atau awal tahun depan.

"Tidak perlu dilakukan perubahan untuk menyesuaikan tingkat suku bunga jika arah perekonomian sudah sejalan dengan skenario kita," ujar Fukui.

Tidak instan

Pada jangka waktu pendek, pemotongan tingkat suku bunga penting untuk mendukung kenaikan secara psikologis. "Pemangkasan tingkat suku bunga tidak menyembuhkan pasar finansial, tetapi dapat membantu proses perbaikan," ujar Ken Mayland, ekonom dari ClearView Economics.

"Pemotongan sebesar 0,5 persen tidak serta-merta membuat pasar perumahan menjadi mendadak baik," kata Greg McBride, analis keuangan pada Bankrate.com.

"The Fed telah membuat kebijakan yang tepat, membantu memperbaiki kepercayaan di pasar finansial di seluruh dunia. Hal itu akan membuat fluktuasi di pasar saham terhenti sementara," kata Mike Lenhoff dari Brewin Dolphin. (AFP/AP/joe)

Hegemoni Amerika dan Pasar Bebas


Eric Hiariej

Pasar bebas, menurut para penganutnya, adalah mekanisme yang tumbuh berdasarkan voluntarisme, kerja sama, dan multilateralisme. Karena itu, pasar bebas diyakini sejalan dengan perwujudan hak asasi manusia, keberagaman, dan toleransi.

Sebaliknya, Pemerintah Amerika melihat perluasan pasar bebas, dalam lima-enam tahun terakhir, merupakan produk dominasi globalnya yang bersifat unilateral dan berpijak pada kekuatan militer. Atas nama superioritas orde moral tertentu, yakni sebagai teladan dan pelindung kebebasan, demokrasi, dan pasar bebas, pemerintah ini menyerang Afganistan dan Irak.

Paradoks ini juga ditemukan dalam tulisan Thomas Friedman. Dalam The Lexus and the Olive Tree, Friedman menggambarkan perkembangan global pasar bebas bersifat spontan, hasil kepentingan bersama umat manusia dalam hal kebebasan, kemajuan, dan kemakmuran. Anehnya Friedman meyakini, "The hidden hand of the market will never work without the hidden fist… And the hidden fist that keeps the world safe for Silicon Valley’s technologies to flourish is called the US Army, Air Force, Navy and Marine corps" (1999: 373). Lebih aneh lagi, Friedman tidak menjelaskan kenapa pasar bebas yang berbasiskan hidden hand masih memerlukan hidden fist.

Friedman sulit menjelaskan karena teori-teori neoliberalis yang dianutnya secara naif menganggap pasar bebas bisa berkembang secara natural. Padahal sejarah menunjukkan koersi selalu berperan dalam pertumbuhan kapitalisme global walau dibungkus dengan jargon voluntarisme dan multilateralisme.

Beberapa dekade terakhir mekanisme paksaan yang membuka negara-negara berkembang bagi ekspansi kapitalisme dan menyubyektifikasi pekerja di bawah disiplin modal adalah program penyesuaian struktural. Aspek koersi penyesuaian struktural tak tampak berkat mistifikasi yang disediakan oleh "keilmiahan" teori-teori ekonomi neoklasik.

Pamor ideologi

Sebetulnya setelah Perang Dingin kekuatan koersi kalah pamor dibandingkan dengan ideologi. Neohegelianisme yang menerangi diskursus kemenangan (neo-) liberalisme yang menjadi dasar utama hegemoni ideologi waktu itu menegaskan, pasar bebas yang terdepolitisasi merupakan produk pamungkas dan tak terhindarkan dari evolusi umat manusia. Namun, sejak 11 September 2001 terjadi pergeseran perimbangan antara koersi dan ideologi dalam proses perluasan kapitalisme.

Signifikansi peristiwa 11 September tidak berkaitan dengan besaran kematian dan kerusakan yang ditimbulkannya, tetapi mengakhiri exceptionalism yang dimiliki Amerika. Selama satu abad lebih bangsa Amerika percaya mereka secara istimewa hidup dalam ruang sosial yang terpisah dan kebal terhadap berbagai kesulitan seperti perang, aksi teroris, dan kelaparan yang melanda dunia di luar dirinya. Yang hilang setelah serangan ke WTC adalah ketenteraman dan keamanan yang bertahun-tahun disokong keyakinan "those things don’t happen here". Terorisme bukan barang baru dan dunia mungkin tidak berubah tapi cara pandang Amerika terhadap apa yang terjadi di luar dirinya berubah total setelah serangan tersebut.

Ironisnya 11 September justru mempertegas bentuk exceptionalism lain Amerika sebagai satu-satunya pemimpin dunia yang memiliki kekuatan paksaan dan moral untuk melindungi kebebasan, demokrasi, dan pasar bebas terhadap fanatisme dan radikalisme. Dikombinasikan benih-benih hyper-patriotism yang mencurigai segala bentuk otherness, Pemerintah Amerika menjajakan politik luar negeri "neo-imperial" untuk melindungi warganya dari kemungkinan serangan teroris berikutnya, mempertahankan posisi negaranya dalam struktur global, dan menjamin nilai-nilai kemanusiaan universal.

Kekuasaan dan paksaan

Peralihan menjadi koersi dimulai pada 1997 saat kelompok neokonservatif membentuk Project for A New American Century (PNAC). PNAC bertujuan memersuasi warga Amerika untuk ikut menanggung beban negaranya dalam mempertahankan tatanan dunia yang bersahabat bagi kepentingan dan prinsip-prinsip luhur yang dijunjung tinggi bangsa Amerika. PNAC yakin Amerika memerlukan "a Reaganite policy of military strength and moral clarity" yang diproyeksikan ke seluruh dunia (PNAC 1997). PNAC menegaskan orde internasional ini bukan perkara kekuatan militer yang tak tertandingi, melainkan juga soal kekuatan moral yang tak ada bandingannya. Bagi PNAC, "The American-led world that emerged after the Cold War is a more just world than any imagin-able alternative". Praktis strategi keamanan nasional yang diajukannya mengombinasikan komitmen pada unilateralisme, supremasi militer, dan penggunaan kekuatan pre-emptive strike yang dibenarkan oleh asumsi mesianik tentang superioritas moral bangsa Amerika.

Ketika George Bush menjadi presiden, tokoh utama PNAC, Dick Cheney, Donald Rumsfeld, dan Paul Wolfowitz, menempati posisi penting dalam administrasinya. Tak heran respons terhadap 11 September identik dengan strategi keamanan PNAC. Sudah tentu Bush yunior tidak mengabaikan komitmen lama Amerika memperluas pasar bebas. Hanya saja ia meninggikan derajat pasar bebas menjadi sebuah prinsip moral bersama kebebasan dan demokrasi. Ketiga prinsip ini bagi pemerintahan Bush bersifat universal dan satu- satunya model yang berkelanjutan bagi keberhasilan suatu bangsa.

Sejak lama perkembangan pasar bebas bertumpu pada voluntarisme, multilateralisme, dan kerja sama dengan maksud sebisa mungkin memisahkan ekonomi dari politik dan karena itu memistifikasi kerja kekuasaan dan paksaan. Setelah 11 September mistifikasi ini tidak bisa dipertahankan. Strategi keamanan Pemerintah Amerika mengaitkan secara langsung dan tegas hubungan antara perkembangan kapitalisme global dan kekuatan militer.

Eric Hiariej Pengajar di Jurusan Hubungan Internasional, UGM

Prediksi ADB


Ekonomi Asia 2007 Tumbuh Tinggi

Jakarta, Kompas - Bank Pembangunan Asia merevisi prediksinya terhadap pertumbuhan Asia selama tahun 2007 dari 7,6 persen menjadi 8,3 persen.

Revisi tersebut dilakukan karena melihat pertumbuhan ekonomi Asia yang tinggi pada semester I-2007, terutama China dan India yang berkontribusi sebanyak 55,3 persen terhadap keseluruhan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Asia.

Dalam laporan yang diluncurkan kemarin, yakni Asian Development Outlook 2007 Update, disebutkan laju pertumbuhan PDB China pada semester I-2007 merupakan yang tercepat dalam 13 tahun terakhir. Sementara bagi India, pertumbuhan ekonomi pada periode itu merupakan yang terkuat dalam 18 tahun terakhir.

"Pertahanan negara-negara berkembang di Asia cukup kuat melawan pengaruh eksternal kawasan, termasuk menghadapi pengaruh dari melambatnya perekonomian Amerika Serikat (AS). Namun, keberlanjutan pertumbuhan yang kuat ini akan sangat bergantung pada masing-masing negara dalam menghadapi tantangan domestiknya," kata Chief Economist Asian Development Bank (ADB) yang berdomisili di Manila, Ifzal Ali.

Dalam laporan tersebut, pada tahun 2008 kondisinya lebih tidak pasti karena dampak pasar finansial global dan juga kesehatan ekonomi AS. Dengan demikian, pertumbuhan Asia tahun 2008 diperkirakan tidak sekuat 2007, hanya di 8,2 persen.

Tantangan ke depan masih berkisar soal dampak melambatnya perekonomian AS. Masalah flu burung, geopolitik, dan risiko keamanan juga masih menjadi tantangan bagi negara-negara Asia. Sementara di beberapa negara, ketidakpastian politik akan menjadi risiko tambahan bagi penurunan pertumbuhan ekonomi.

Untuk Asia Timur, diperkirakan bertumbuh 8,9 persen. China sebagai motor kawasan diperkirakan tumbuh 11,2 persen, terutama didorong ekspor, investasi besar, dan tingginya konsumsi domestik.

Di Asia Selatan yang dalam beberapa tahun terakhir perekonomiannya terus berkonsolidasi, diharapkan bisa tumbuh 8,1 persen pada 2007. Potensi pertumbuhan yang stabil terlihat di negara-negara seperti Banglades, India, dan Pakistan. Berdasarkan perkiraan ADB, India akan tumbuh 8,5 persen pada 2007 dan 2008.

Sementara itu, di Asia Tenggara, secara keseluruhan diharapkan bisa bertumbuh 6,1 persen pada 2007. Sektor swasta yang lebih dinamis akan membantu Vietnam tumbuh di level 8,3 persen pada 2007, dan Filipina diperkirakan tumbuh 6,6 persen, setelah negara tersebut membukukan pertumbuhan semester I-2007 yang merupakan angka tertinggi dalam 20 tahun terakhir.

Indonesia tumbuh 6,2 persen

Dalam laporan ADB tersebut dinyatakan, konsumsi swasta dan investasi di Indonesia selama paruh pertama 2007 menunjukkan penguatan. Hal ini diperkirakan masih akan bertahan di semester II. Selain itu, peningkatan ekspor yang kuat akan membawa Indonesia bertumbuh 6,2 persen tahun ini.

Meskipun telah direvisi ke atas oleh ADB, angka 6,2 persen tersebut masih di bawah target pertumbuhan oleh pemerintah sebesar 6,3 persen.

Apa yang menjadi pendorong tingginya konsumsi swasta adalah rendahnya tingkat inflasi serta suku bunga yang cenderung menurun. Angka konsumsi swasta langsung melonjak 4,7 persen pada semester I-2007, padahal untuk semester II-2006 hanya tumbuh 1,3 persen.

Laporan tersebut juga menyatakan, pemerintah telah melakukan beberapa upaya mendorong pertumbuhan investasi, namun reformasi yang jauh lebih berarti dibutuhkan, terutama dalam hal implementasi berbagai kebijakan yang telah disetujui.

Menanggapi laporan ADB tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan, pemerintah tetap optimistis mencapai target pertumbuhan 6,3 persen pada 2007. Optimisme itu muncul karena aktivitas ekonomi dan penerimaan pemerintah, terutama perpajakan, yang dilaporkan bagus hingga bulan lalu.

"Namun, saya selalu mengatakan perlu tambahan usaha yang cukup besar untuk mencapai pertumbuhan di atas enam persen. Itu karena pada tahun sebelumnya pertumbuhan ekonomi sudah cukup tinggi, terutama di triwulan III dan IV," katanya.

Secara terpisah, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan Anggito Abimanyu menyebutkan, realisasi pertumbuhan hingga Agustus 2007 mencapai 6,1 persen. Angka tersebut bisa meningkat karena ada dorongan sektor konsumsi yang makin menguat. Hal itu ditandai dengan meningkatnya penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN) dalam negeri dan impor.

"Penerimaan cukai juga makin kuat. Itu semua menandakan faktor konsumsi akan semakin kuat mendorong pertumbuhan ekonomi," katanya.

Sementara di sektor riil, ujar Anggito, impor bahan modal juga meningkat. Hal itu menandakan keyakinan berinvestasi yang semakin meninggi di triwulan III sehingga akan mendorong pertumbuhan ekonomi di akhir tahun. (TAV/OIN)

Perang Melawan Krisis Ekonomi


A Tony Prasetiantono

Perekonomian dunia belum berhenti didera ancaman krisis ekonomi. Belum usai badai kepanikan di bursa efek internasional akibat buruknya kinerja surat-surat berharga di pasar modal yang berbasiskan kredit perumahan kelas dua (subprime mortgage), kini harga minyak dunia memecahkan rekor baru, 80 dollar AS per barrel.

Padahal, sebenarnya panik subprime mortgage mulai ada tanda-tanda mereda, terutama setelah negara-negara maju secara kompak menyuntik likuiditas ke pasar uang. Kombinasi injeksi bank sentral Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (EU) saja mencapai 348 miliar dollar AS. Hal ini dilakukan agar berapa pun pelaku bursa memerlukan dana—sebagai respons negatif atas panik subprime mortgage—likuiditas di pasar harus cukup tersedia. Jika likuiditas tidak tersedia, kepanikan bisa berlanjut dan berlipat-lipat, sehingga membahayakan perekonomian dunia.

Bagaimana peta ekonomi saat harga minyak ikut merunyamkan keadaan?

"Deja Vu"?

Sebagian orang percaya, kini perekonomian dunia sedang di ambang krisis ekonomi. Dalam konteks Indonesia, kekhawatiran bahwa perekonomian Indonesia akan terjerumus lagi ke lubang krisis ekonomi yang sama, seperti kejadian 10 tahun silam (1997), terasa traumatis. Akankah kita mengalami hal yang sama (deja vu)?

Harus diakui, ada sejumlah indikasi yang menunjukkan kesamaan ciri-ciri, antara situasi sekarang dan menjelang krisis 1997. Ciri-ciri itu, misalnya derasnya aliran modal asing jangka pendek dari luar negeri (short-term investment) ke negara tertentu yang pasarnya sedang tumbuh pesat (emerging markets). Pada Juli 1997, saat muncul pemicu kegagalan bayar (default) kewajiban luar negeri oleh lembaga-lembaga keuangan Thailand, maka terjadi koreksi kurs mata uang, baik disengaja (devaluasi baht) maupun dipaksa oleh pasar (depresiasi rupiah).

Lalu terjadilah arus modal keluar (capital outflow), menyebabkan harga dollar AS di Indonesia menjadi amat mahal. Inilah ciri awal krisis 1997, yang kini sering dibandingkan dengan situasi sekarang.

Menurut saya, situasi sekarang cukup berbeda. Utang-utang luar negeri pemerintah sudah direstrukturisasi. Jatuh tempo utang dibuat sedemikian rupa sehingga tidak terkonsentrasi pada tahun-tahun tertentu, misalnya 2010 (dilakukan reprofiling). Karena itu, dari sisi utang pemerintah, tidak akan terjadi jatuh tempo utang secara serentak.

Namun harus diakui, apakah reprofiling yang bisa menyebar jadwal jatuh tempo dapat efektif dilakukan di kalangan utang swasta, belum jelas. Memang pemerintah pernah memiliki lembaga yang mengurus ini, yakni Indonesian Debt Restructuring Agency (Indra) dan Jakarta Initiative Task Force (JITF). Namun, lembaga itu kini tidak ada lagi meski Bank Indonesia dan Departemen Keuangan terus memantau.

Hal lain yang membedakan tahun 2007 dari 1997 adalah kondisi neraca pembayaran. Pada 1997, keseimbangan eksternal (external balance) kita terus didera defisit transaksi berjalan, yakni defisit pada pos ekspor-impor barang dan jasa. Namun, kini situasinya berubah. Pos ini sekarang surplus. Neraca perdagangan juga surplus besar, terutama karena tingginya harga-harga komoditas primer yang terangkat akibat krisis energi.

Minyak kelapa sawit menjadi primadona sebagai energi substitusi dan mempunyai andil besar yang mendorong ekspor 2006 mencapai 100,36 miliar dollar AS, rekor baru perdagangan internasional kita. Ekspor bulanan kita juga mulai mendekati 10 miliar dollar AS, yang juga merupakan rekor baru.

Kinerja bagus perdagangan internasional yang dibarengi arus deras masuk modal asing jangka pendek yang berburu ekuitas nasional, seperti obligasi pemerintah dan obligasi korporasi swasta, menyebabkan cadangan devisa melambung ke level 51,5 miliar dollar AS (September 2007). Inilah cadangan devisa terbesar sepanjang sejarah meski masih tetap di bawah Thailand (73 miliar dollar AS), Malaysia (90 miliar dollar AS), Hongkong (137 miliar dollar AS), Singapura (147 miliar dollar AS), dan India (218 miliar dollar AS). Apalagi dibandingkan dengan negara "terpanas" di dunia, China (1.330 miliar dollar AS).

Hal lain yang berbeda adalah sikap AS menangani krisis. Tahun 1997, saat episentrum krisis terletak di Asia (Indonesia, Thailand, Korea), AS tampak tidak all out mengatasinya. AS kurang begitu berkepentingan memadamkan krisis di Asia. Lain halnya jika krisis itu terjadi di Meksiko, tetangga terdekatnya, sebagaimana ditunjukkan saat Meksiko, Brasil, dan Argentina terkena krisis pada 1984 dan 1995. AS dengan sigap cepat memasok likuditas dalam jumlah besar, 40 miliar dollar AS, untuk menanggulanginya.

Saat Indonesia terbenam krisis 1997-1998, IMF yang didukung AS cuma menyuntik dana 1 miliar dollar AS setiap bulan, itu pun dengan persyaratan persetujuan letter of intent yang ketat. Akibatnya, krisis pun berlarut-larut. Kini AS dan sekutu ekonominya tampak serius dan intens berupaya menghindari krisis yang mendalam dan meluas.

"Lesson learned"

Meski demikian, kewaspadaan harus ditingkatkan. Segala sesuatu bisa terjadi, seperti prediksi Leebs (2004, 2006), harga minyak bisa menembus 100 dollar per barrel tahun ini dan kelak 200 dollar AS pada 2010. Prediksi ini mendekati benar.

Dengan tekanan harga minyak yang kian serius, inflasi akan kembali mengancam. Konsekuensinya, bank sentral AS (Fed) belum tentu jadi menurunkan suku bunga, dari 5,25 persen menjadi 5,0 persen, pada pertemuan 18 September 2007 besok. Di satu pihak, memang urgen untuk menurunkan suku bunga agar membantu kinerja subprime mortgage. Namun di sisi lain, ancaman inflasi memerlukan suku bunga tetap, atau bahkan dinaikkan.

Dinamika perekonomian dunia yang besar ini meninggalkan pesan penting. Selama ini sektor finansial banyak menghasilkan produk-produk derivasi. Bahkan subprime mortgage yang sebenarnya kualitasnya kurang baik pun bisa disekuritisasikan menjadi surat-surat berharga yang atraktif. "Kreativitas" ini sekali tempo tentu akan terkoreksi.

Tragedi bangkrutnya perusahaan hedge fund Long-Term Capital Management (LTCM) karena krisis finansial di Rusia (1998) merupakan contoh lain, betapa sektor finansial berisiko tinggi. Kini sebuah koreksi penting telah terjadi dan amat mungkin berulang pada masa datang.

Bagi para penabung "tradisional" seperti orangtua kita dulu, mereka bakal tersenyum, dalam situasi ini, ternyata menabung dalam bentuk logam mulia (emas) selalu aman dan tidak goyah oleh terpaan rumor. Penabung tradisional juga tidak perlu mempelajari rumus matematika derivatif yang jelimet seperti dilakukan Robert C Merton dan Myron S Scholes, dua pemenang Nobel Ekonomi 1997. Keduanya memimpin LTCM, tetapi kemudian rugi hingga 6,0 miliar dollar AS, dan akhirnya bangkrut pada 2000.

Inilah realitas getir perekonomian dunia. Penuh atraksi, tetapi juga kaya ironi. Kekompakan, kebersamaan, dan konsistensi otoritas negara-negara maju akan menjadi kunci peredam krisis ekonomi kali ini. Semoga tidak berlarut.

A Tony Prasetiantono Peneliti Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM; Chief Economist BNI

ANALISIS EKONOMI



"Kartu Kuning" Terakhir untuk Perum Bulog

BUSTANUL ARIFIN

Setelah melalui serangkaian rapat Tim Ekonomi Kabinet, serta pertemuan dengan anggota parlemen dan beberapa tokoh, pemerintah mengisyaratkan memberikan kewenangan penuh kepada Perum Bulog untuk menstabilkan harga beras.

Surat Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian tanggal 31 Agustus 2007 tentang Kebijakan Stabilisasi Bahan Pangan Pokok Beras, Gula, dan Minyak Goreng memberikan kewenangan kepada Bulog untuk melakukan monopoli impor, melakukan stabilisasi harga regional tanpa menunggu perintah, membeli beras di luar harga pembelian pemerintah demi mengejar target pengadaan, dan menjaga stok beras minimal satu juta ton (Kompas, 14 September 2007).

Menurut tata krama perumusan kebijakan publik, surat Menko Perekonomian itu tidak patut dipermasalahkan. Menko Perekonomian memang harus ”melaksanakan koordinasi dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kinerja pelaksanaan kebijakan perberasan” sebagaimana amanat Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 3 Tahun 2007 tentang Kebijakan Perberasan.

Format ”surat lepas” seperti yang beredar itu tampak lebih baik dan fleksibel dibandingkan dengan misalnya peraturan pemerintah, peraturan presiden yang sangat formal, atau bahkan peraturan menteri bidang teknis yang terbatas jangkauannya.

Format tersebut adalah ”jalan tengah” dari wacana untuk mengembalikan status Bulog menjadi lembaga pemerintah nondepartemen seperti masa lalu. Bulog yang sejak tahun 2003 berubah menjadi perusahaan umum (perum) tampak tertatih-tatih melaksanakan prinsip-prinsip bisnis modern yang efisien dan untung, tanpa melupakan fungsi strategisnya untuk ”menyediakan pelayanan bagi kemanfaatan umum”.

Namun, masyarakat berhak mempertanyakan secara kritis tentang tujuan akhir, justifikasi ekonomi, serta konsekuensi sosial-ekonomi-politik dari pemberian hak monopoli impor beras bagi Bulog. Dengan kata lain, kesempatan Bulog memiliki hak operasional istimewa yang besar pada saat ini benar-benar menjadi ”kartu kuning” terakhir.

Jika pelaksanaannya masih terpeleset dalam arena perburuan rente seperti selama ini, tamatlah hegemoni Perum Bulog.

Masyarakat telah cukup lama dikecewakan oleh tingkah laku para pejabat Bulog yang menyimpang sehingga sulit sekali untuk mengapresiasi kiprah Bulog dalam sejarah ketahanan pangan. Saat ini jajaran direksi baru Perum Bulog benar-benar berada dalam tantangan pertaruhan jabatan dan pencitraan perusahaan bagi masa depan pengelolaan komoditas pangan strategis di Indonesia.

Peran Bulog

Pertama, status monopoli itu sendiri bertentangan dengan jiwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Namun, menjadi lain jika importir beras lain sangat letih untuk berurusan dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau penegak hukum lainnya.

Mungkin saja, Bulog dimaksudkan untuk menjadi suatu lembaga monopoli alamiah yang berwajah humanis dan tidak memberatkan produsen dan konsumen. Akan tetapi, banyak studi yang menyimpulkan bahwa status monopoli Bulog dan intervensi pemerintah yang berlebihan selama tiga dasawarsa telah menjadi kontributor penting bagi distorsi ekonomi pangan di Indonesia.

Suatu analisis dengan teknik ekonometrika mutakhir menyimpulkan bahwa Bulog tidak berperan secara signifikan dalam stabilisasi harga beras, bahkan pada isolasi pasar di era Orde Baru (1967-1998).

Fenomena keterbukaan sekarang tentu sangat menyulitkan bagi Bulog dan pemerintah untuk mengisolasi pasar beras dari pengaruh pergerakan harga di tingkat global. Menariknya, status monopoli Bulog justru berperan secara signifikan dalam stabilisasi harga gabah pada era Orde Baru, tetapi tidak sama sekali sejak era Reformasi (lihat Arifin, 2007).

Alangkah mulianya jika kebijakan yang dibuat pemerintah mampu memberikan insentif yang memadai bagi petani untuk meningkatkan produksi dan produktivitasnya. Menggerakkan ekonomi pedesaan, terutama sektor off-farm yang menciptakan lapangan kerja, dan tambahan pendapatan bagi kelompok miskin.

Selanjutnya, mekanisme kerja antara pengelolaan cadangan pangan pokok dan stabilisasi harga pangan regional belum terbangun secara sistematis. Apalagi, amanat pengelolaan tersebut diperluas pada komoditas pangan strategis lain, seperti gula dan minyak goreng yang masih sering mengalami distorsi yang meresahkan.

Sebenarnya, kewenangan baru Bulog dapat diartikan sebagai penciptaan ruang ideal bagi stabilisasi harga beras di tingkat regional. Itu karena terlalu sulit bagi negara sebesar Indonesia untuk menegakkan satu harga referensi pangan pokok dan strategis di daerah pantura Jawa dan di pedalaman Wamena di Papua, misalnya.

Perbedaan biaya produksi dan biaya transportasi antara daerah pangan surplus dan daerah pangan minus adalah ”berkah” tersendiri bagi pelaku ekonomi dan aktivitas perdagangan dalam negeri. Akan tetapi, mekanisme kerja antara Divisi Regional Perum Bulog dan pemerintah daerah masih sebatas hubungan birokratis, seperti penentuan posisi cadangan pangan dan intervensi penyaluran untuk keluarga miskin.

Mekanisme kerja seperti itu tentu harus dilengkapi hubungan fungsional-profesional untuk membangun sistem perdagangan domestik yang lebih adil dan beradab. Di sinilah esensi pentingnya adaptasi prinsip-prinsip manajemen modern dengan kinerja corporate culture menjadi prasyarat mutlak bagi tercapainya tugas dan kewenangan baru Perum Bulog tersebut.

Pengelolaan cadangan pangan pokok di tingkat regional adalah upaya untuk ”membagi beban” persoalan pemerintah pusat, selain memang diamanatkan undang-undang.

Mungkin tidak banyak yang menyadari bahwa ketahanan pangan adalah ”urusan wajib” pemerintah daerah, seperti termuat pada Pasal 3 Ayat (1) Huruf (m) dari PP No 3/2007 tentang Laporan Pemerintah Daerah kepada Pemerintah, sebagai amanat Pasal 13 dan 14, keduanya tertulis pada Ayat (1) Huruf (p) dari UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Dengan buruknya proses pelaporan dan pemantauan harga pangan di daerah selama ini, pemerintah daerah dan Bulog tentu menghadapi tantangan besar. Apalagi masih harus memperbaiki kinerja perdagangan domestik dan meningkatkan gizi makro masyarakat, sebagaimana amanat kebijakan beras untuk keluarga miskin.

Singkatnya, untuk menjadi pelaku tangguh di bidang pangan, budaya perusahaan di dalam Perum Bulog harus berubah total dari kultur birokrasi selama ini. Akan tetapi, pada saat yang sama, Bulog tidak layak mengambil untung ketika menjalankan fungsi sosialnya. Karakter dualisme manajemen seperti itu hanya dapat dilaksanakan oleh Superman.

Wednesday, September 12, 2007

Kartu Kredit


Waspadai Tingginya Kredit Bermasalah

Jakarta, Kompas - Transaksi kartu kredit terus meningkat dari waktu ke waktu. Fenomena tersebut perlu diwaspadai menyusul masih tingginya kredit bermasalah pada jenis pembiayaan ini.

Berdasarkan data Bank Indonesia, nilai transaksi kartu kredit nasional pada bulan Juni 2007 sebesar Rp 5,84 triliun, tumbuh 24 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp 4,71 triliun.

Transaksi kartu kredit meliputi transaksi belanja dan penarikan tunai. Adapun jumlah kartu kredit yang beredar per Juni 2007 sebanyak 8.443.861 kartu, meningkat dibandingkan Juni 2006 sebanyak 8.060.807.

Penerbit kartu kredit di Indonesia terdiri dari 18 bank, 2 lembaga keuangan bukan bank, dan 1 unit usaha syariah.

Direktur Biro Riset InfoBank Eko B Supriyanto, Senin (10/9) di Jakarta, mengatakan, pertumbuhan yang tinggi pada transaksi kartu kredit harus diwaspadai di tengah meningkatkan inflasi yang menggerus daya beli rakyat.

Turunnya daya beli masyarakat berpotensi besar meningkatkan kredit macet. Saat ini kredit macet kartu kredit sekitar 9,47 persen. Adapun plafon kartu kredit sekitar Rp 87 triliun.

Direktur Konsumsi BNI Kemal Ranadireksa mengatakan, saat ini perbankan sudah berhati-hati menyalurkan pembiayaan melalui kartu kredit.

Bank sudah lebih selektif dalam memilih nasabah, terutama dari kemampuan membayarnya. Langkah ini bertujuan mengurangi kredit bermasalah. (FAJ)

Tuesday, September 11, 2007

Perlu Didukung Mutu Pelayanan dan CSR


Jakarta, Kompas - Industri tekstil dan produk tekstil tidak lagi dapat mengandalkan biaya buruh yang rendah dan harga produk yang murah.

Daya saing industri ini bergeser pada ketersediaan layanan yang bermutu pada seluruh mata rantai produksinya, sekaligus penguatan citra melalui tanggung jawab sosial perusahaan.

Pandangan tersebut disampaikan Till Freyer, pendiri International Garment Training Center, Jumat (7/9) di Jakarta. Freyer adalah salah satu pembicara dalam lokakarya bertajuk "Indonesia Apparel Network" yang diselenggarakan Senada bersama Asosiasi Pertekstilan Indonesia.

Menurut Freyer, industri tekstil dan produk tekstil mesti menawarkan paket layanan lengkap untuk menjamin jaringan pasokan bahan baku, penetrasi pasar, hingga kepuasan pembeli.

"Harga adalah prasyarat ketiga berdasarkan urutan nilai penting faktor yang menentukan daya saing produk TPT. Faktor yang sekarang lebih menentukan adalah citra baik perusahaan yang dibangun dengan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR) serta kualitas pelayanan," ujarnya.

Penerapan prinsip CSR yang terabaikan, kata Freyer, mengakibatkan produsen raksasa China pun kini dipandang sebagai mitra bisnis yang kurang dapat diandalkan di pasar Eropa dan Amerika Serikat.

Selain citra positif yang dibentuk dengan penerapan CSR, paket layanan lengkap dalam penawaran produk juga jadi prasyarat mendasar untuk bersaing.

Pada forum yang sama, Senior Industry Advisor Senada Zulian Siregar menegaskan, kualitas pelayanan harus dibangun pada seluruh mata rantai produksi.

"Industri garmen itu bersifat buyers driven, pelaku usahanya harus dapat membaca pasar serta menyesuaikan diri dengan kemauan pasar," ujarnya.

Keterampilan yang dibutuhkan dalam membaca dan melayani kebutuhan pasar antara lain tercermin pada penerjemahan ide desain menjadi suatu produk dengan cepat dan tepat.

Sekretaris Eksekutif API Ernovian G Ismy mengingatkan, dukungan pemerintah dibutuhkan oleh pelaku industri TPT untuk dapat menawarkan mutu layanan yang baik.

Terkait dengan keterbatasan energi listrik, tutur Ernovian, industri TPT Indonesia sudah beralih ke penggunaan energi batu bara. (DAY)

Kemiskinan di Tingkat Elite


Roch Basoeki Mangoenpoerojo

Elit negara hukum (seharusnya) tahu melaksanakan dan menjaga perundang-undangan demi tata kehidupan nyata.

Ketika mereka tak tahu, tidak menjaga, apalagi menjalankannya, lalu membiarkan kekacauan di mayapada, apa yang diakibatkan? Kacaunya manajemen bernegara karena keberadaan aturan buatan sendiri tidak terhormat. "Semua bisa diatur," kata politisi. "Ada peluang (korupsi) kenapa harus dibenahi," kata birokrat.

Jangan-jangan, sejak pembuatan UU memang sudah penuh "pengaturan" untuk kepentingan para pembuatnya? Bukan demi kehidupan bersama atau tujuan negara. Bila benar, toh tidak salah. Karena luar biasanya kompleksitas permasalahan negara, bahkan menyepakati "deskripsi tujuan negara" pun sulit.

Manajemen bidang apa pun menyebut "tujuan" sebagai asas pertama dan utama, yang akan menggerakkan seluruh komponen organisasi. Tujuan negara Indonesia sangat beragam, artinya tidak punya. Apalagi ketika GBHN menghilang. "Membangun manusia seutuhnya", "Masyarakat adil dan makmur", "Masyarakat bertakwa sejahtera", dan masih banyak sesuka hati kita (entah sumbernya).

Paling banyak disebut adalah "melindungi, memajukan kesejahteraan, mencerdaskan, dan ikut dalam ketertiban dunia". Penggalan kalimat ini berada di Pembukaan UUD Alinea 4, disebut sebagai tugas pemerintahan bukan tujuan negara. Hemat saya, tujuan negara berada di Alinea 2, yaitu mengantarkan rakyat agar merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Harus disebut lengkap, akibat penjajahan.

Satunya tujuan negara akan merugikan banyak pihak, khususnya elite penderita kemiskinan struktural yang berprinsip pragmatisme sempit. "Ujung- ujungnya duit kan?" Tak siap memikir kepentingan 230 juta orang yang beragam visi masa depannya.

Mereka peserta penataran P-4 tak salah, dijadikannya rumus Maslow sebagai doktrin (seharusnya hanya untuk membaca human-needs). "Ngapain ngurus orang banyak (negara) kalau kamu sendiri belum mapan," katanya. Semakin banyak elite berprinsip demikian, kesemrawutanlah yang terjadi.

Warga negara dan penduduk

Tidak dihormatinya aturan, sejak Pembukaan UUD sampai Perda, berakibat makin jauh kesenjangan antara wacana (teoretis) dan realita di lapangan. Setiap bicara soal rakyat, elite kaya akan teori. Namun ketika mau melangkah untuk rakyat, oleh banyak sebab elite kehilangan visi.

"Berbicara", rakyat selalu dilihat sebagai warga negara pemilik kedaulatan negara (UUD dan seluruh perundangan). Namun saat lihat proyek, rakyat selalu didudukkan sebagai "penduduk" yang harus manut. Ini terjadi di semua bidang kehidupan. Sangat mencolok ketika melihat korban "bencana lumpur di Sidoarjo".

Dua macam perilaku 11.000 KK korban. Yang manut pada BPLS (Perpres No 14/2007) 10.000 KK lebih. Mereka menerima uang kontrak dua tahun sebesar Rp 5,5 juta dan disumpah untuk menerima ganti rugi/ jual beli tanah dan bangunan sebesar 20 persen dari harga sebelum 15 September dengan menyerahkan sertifikat, serta sisanya dua tahun lagi. Sementara yang 800 KK menolak uang kontrakan dan ganti rugi.

Korban penolak kontrak jadi masalah pelik bagi Ibu Lurah. Di matanya mereka adalah "penduduk" mbalelo. Terlihat nyata dari keengganan aparat pemerintah pusat sampai RT/RW untuk mengurus. Masyarakat pun takut bantu. Namun, saat saya dan Gus Solah mengunjungi Lurah, dinyatakan "akan menghormati hak korban yang menolak".

Teguhnya penolakan didasari konsep "warga negara" yang mereka pahami. Ditunjukkannya sikap merdeka, bersatu, dan berdaulat (lihat Alinea 2 Preambul). Elite gagap menyaksikan sikap warga negara (yang benar?).

Kapan rakyat berdaulat tergantung penghormatan elite pada aturan yang telah ada. Perpres No 14/2007 tentang Penanggulangan Lumpur Sidoarjo tak menyebut sama sekali bahwa di Sidoarjo ada bencana. Itu tak menghormati UU No 24/ 2007 tentang Penanggulangan Bencana, UU Pokok Agraria, UU Lingkungan, dan mungkin masih ada lainnya. Apalagi terhadap tujuan negara. Ini bencana negara.

Roch Basoeki Mangoenpoerojo Anggota Presidium Barisan Nasional

Bank Dunia di Bawah Zoellick


Ahmad Erani Yustika

Setelah kredibilitas Presiden AS George W Bush di Bank Dunia sempat jatuh akibat skandal yang dilakukan bekas Presiden Bank Dunia Paul Wolfowitz, para pengamat ekonomi dan politik memperkirakan proses pemilihan Robert B Zoellick—calon yang disodorkan Bush untuk menggantikan posisi Wolfowitz—bakal berliku.

Akan tetapi, ternyata dugaan itu meleset setelah beberapa minggu lalu Dewan Direktur Bank Dunia (BD) menyetujui penunjukan Zoellick nyaris tanpa perdebatan. Dengan demikian, seperti yang sudah menjadi konvensi selama ini, posisi Presiden BD masih dipegang Amerika Serikat (AS), sedangkan penguasa Dana Moneter Internasional (IMF) berasal dari Eropa. Tentu saja, masuknya Zoellick ke BD menunjukkan masih kuatnya kuku Bush mencengkeram BD sebab, seperti halnya Wolfowitz, Zoellick merupakan salah satu orang kepercayaan Bush. Setidaknya, sejak tahun 2000 Zoellick selalu masuk lingkaran penting dalam pemerintahan Bush di Gedung Putih.

Sejak Wolfowitz menjadi Presiden BD menggantikan James Wolfensohn, tampak telah terjadi perubahan kebijakan BD. Secara normatif, sebetulnya BD didesain untuk membantu negara-negara berkembang dan miskin memformulasikan anggaran dan kelembagaan keuangan negara supaya tertata dengan baik. Tentu saja upaya itu tidak cukup dengan memberikan bantuan teknis dan konsultasi, tetapi juga pertolongan pendanaan. Terlepas dari soal banyaknya aspek negatif yang timbul sebagai implikasi dari bantuan tersebut, bisa dilihat kompetensi BD berada di wilayah isu-isu struktural-ekonomi. Hal itulah yang menjadi corak kebijakan BD selama lebih-kurang 60 tahun ketika Indonesia menjadi salah satu bagian dari mata rantai peran BD dalam perekonomian dunia. Namun, sejak 2005 terjadi perubahan kebijakan BD yang sangat signifikan, yaitu saat BD secara lebih tegas tampak seperti sayap politik luar negeri AS.

Indikasi itu bisa dilihat dari peran BD yang begitu eksesif di Irak, bahkan dalam beberapa segi tampak begitu berlebihan. Di sinilah titik temu itu bisa dilacak, di mana dalam lima tahun terakhir ini Irak merupakan ladang persemaian kepentingan ekonomi politik AS sekaligus menafkahi berahi kekuasaan Bush. Salah satu arsitek Perang Irak tidak lain adalah Wolfowitz, yang dianggap sebagai salah satu tiang penting dari pemikir ultrakanan AS. Jadi, begitu Wolfowitz menjadi Presiden BD, lengkaplah bekal Bush untuk menjadikan Irak sebagai laboratorium ekonomi-politiknya. Berbekal mandat yang luas itulah Wolfowitz membuat garis kebijakan baru yang menjadikan BD sebagai sayap politik luar negeri AS. Fakta yang tidak dapat ditutupi, BD sejak itu mulai kerap berbicara pentingnya demokratisasi sebagai salah satu pilar keberhasilan reformasi ekonomi. Walaupun isu ini memang benar dan penting, menjadi rancu bila yang berteriak-teriak adalah BD.

Visi dan kebijakan itulah yang tampaknya bakal menjadi menu utama BD di bawah Zoellick. Pertama, Zoellick jelas pribadi yang tidak terlalu peduli (concern) dengan misi utama BD karena latar belakangnya yang kurang bersentuhan dengan bidang ekonomi. Secara akademis, dia merupakan pemikir bidang hukum dan memperdalam bidang kebijakan publik untuk studi lanjutnya. Dengan begitu, secara akademik, kepekaannya lebih terasah untuk aspek-aspek yang lebih banyak bersinggungan dengan kompetensinya. Kedua, kariernya di pemerintahan juga lebih banyak bersinggungan di luar bidang ekonomi. Misalnya, tahun 1992 menjadi Wakil Kepala Staf Gedung Putih, tahun 2000 sebagai Penasihat Kebijakan Publik Presiden Bush, dan 2005-2006 sebagai Wakil Menteri Luar Negeri AS. Kariernya yang berhubungan dengan bidang ekonomi hanya terjadi tahun 1985 ketika masuk Departemen Keuangan AS dan 2001-2005 sebagai delegasi perdagangan AS.

Menjepit Bank Dunia

Data-data mutakhir menunjukkan bahwa kesetaraan kesejahteraan ekonomi dunia semakin timpang, yang salah satunya dipicu oleh globalisasi dan liberalisasi. Celakanya, inisiator terpenting proyek globalisasi dan liberalisasi tersebut adalah BD. Dengan demikian, secara kategoris sulit mengharapkan lembaga multilateral ini berperan untuk mengatasi kompleksitas persoalan ketimpangan ekonomi dunia. Sekadar gambaran, menurut Wolfensohn (International Herald Tribune, 4/6/2007), selama 50 tahun terakhir ini AS dan Eropa (yang dihuni oleh 20 persen penduduk menguasai 80 persen bagian pendapatan dunia (share of global income). Sisanya, 20 persen pendapatan dunia dikunyah oleh ratusan negara. Sedihnya lagi, bantuan pembangunan ke Afrika (benua paling muram di dunia) menurun dari 49 dollar AS (1980) menjadi tinggal 38 dollar AS (2005). Maka, sebetulnya selama 25 tahun terakhir ini telah terjadi proses pemelaratan sistematis di Benua Afrika dari dua penjuru sekaligus: ekstensifikasi liberalisasi dan reduksi dana bantuan pembangunan.

Jadi, terlihat dengan sangat jelas terdapat selisih jalan antara figur yang ditunjuk oleh Bush untuk memimpin BD dan tantangan yang harus dijawab BD di masa depan. Dalam kasus ini hanya terdapat satu cara untuk bisa mengubah misi BD dan Zoellick, yakni secara kolektif seluruh anggota (termasuk Eropa) menjepit BD agar sensitif terhadap isu kemiskinan dan ketidakadilan ekonomi yang dialami oleh negara-negara berkembang. Tentu, di luar level negara, gerakan ini mesti diperkuat oleh para pegiat organisasi nonpemerintah, akademisi, dan pelaku ekonomi kecil (seperti petani) sehingga turut menambah daya tekan terhadap BD. Gelombang tekanan ini sudah dimulai oleh World Social Forum, tetapi kekuatannya untuk mengubah konstelasi kebijakan BD (dan juga lembaga keuangan multilateral lainnya) masih belum kukuh. Jika seluruh upaya ini masih menemui jalan buntu, mungkin sudah tiba waktunya berpamitan kepada Bank Dunia.

Ahmad Erani Yustika Dosen Departemen Ilmu Ekonomi Unibraw; Direktur Eksekutif ECORIST (The Economic Reform Institute)

Arus Kredit Terus Mengalir


Laporan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah sungguh membesarkan hati. Kredit perbankan hingga Juli tumbuh 20 persen lebih sehingga tercatat Rp 915,6 triliun.

Fakta ini penting karena selama ini kuat kesan fungsi intermediasi perbankan tidak berjalan seperti yang diharapkan. Dana yang dikumpulkan dari masyarakat tidak dimanfaatkan untuk menggerakkan kegiatan ekonomi. Kita berharap kredit yang sudah disetujui dimanfaatkan dan direalisasikan menjadi investasi yang sesungguhnya.

Mengapa? Karena kita membutuhkan adanya investasi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Dengan hadirnya investasi, kita bisa berharap akan terbuka lapangan kerja baru, yang bisa kita pakai untuk mengurangi penganggur dan tingkat kemiskinan.

Kita memperhitungkan untuk bisa mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi 7 persen, kita membutuhkan investasi sebesar Rp 1.000 triliun. Dengan adanya penyaluran kredit hingga Juli lebih dari Rp 915 triliun, berarti harapan bagi tercapai tingkat pertumbuhan yang kita kehendaki bukanlah hal yang muluk. Sekali lagi yang kita butuhkan adalah bagaimana membangun persepsi positif. Selama ini kita larut dalam suasana pesimistis. Akibatnya, kita terjebak dalam skenario yang selalu buruk sehingga membuat kita tidak percaya diri.

Ternyata keadaan kita tidak seburuk seperti yang kita perkirakan. Keadaan ekonomi kita mulai menunjukkan geliat kembali dan itu terbukti dari tingginya angka kredit yang telah disalurkan sektor perbankan.

Sekarang tentunya tugas kita bersama untuk memanfaatkan momentum ini guna membalikkan persepsi negatif menjadi positif. Itu tidak bisa lain kecuali dilakukan dengan membangun sikap positif. Kita jangan ramai berwacana, tetapi harus ramai dalam bekerja. Janganlah kita terlalu membesar-besarkan masalah yang tidak terlalu substantif. Selalu melihat kembali ke belakang untuk sekadar mencari-cari kesalahan. Kita harus belajar dari kesalahan masa lalu, tetapi pelajaran itu kita pakai untuk menjawab tantangan yang ada di depan.

Di jajaran pemerintah, kita mengharapkan mereka tidak mengeluarkan banyak keputusan yang bisa menimbulkan gejolak, seperti kebijakan tentang konversi energi dan penyesuaian tarif tol. Pemerintah boleh mengambil kebijakan tersebut, tetapi sebaiknya disertai komunikasi yang baik agar tidak menimbulkan kehebohan di tengah masyarakat. Sikap kritis masyarakat dan parlemen tetap diperlukan. Namun, sikap itu harus dipakai sebagai alat koreksi, bukan sekadar asal berbeda, apalagi untuk mencari-cari kesalahan.

Reformasi yang kita pilih sudah berjalan hampir satu dekade. Waktu 10 tahun terlalu lama bagi mereka yang hidup dalam kemiskinan. Kita tidak bisa membiarkan mereka lebih lama lagi berada dalam kehidupan yang mengimpit seperti itu. Salah-salah hal itu akan merusak semua upaya yang sudah kita lakukan untuk membangun kembali negeri ini.

Keuangan


Melek Finansial sejak Muda

Joice Tauris Santi

Apa bedanya Danareksa dengan reksa dana? Ketika pertanyaan ini diajukan kepada seorang mahasiswa tingkat akhir sebuah perguruan tinggi di Jakarta, pada sebuah workshop di Jakarta, dia hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Hal ini mungkin dapat menjadi satu indikator bagaimana masih banyak orang yang tidak melek finansial, bahkan untuk seorang mahasiswa. Padahal, sepanjang hayat orang selalu berhubungan dengan masalah keuangan atau finansial dalam cakupan yang sangat luas, mulai dari mengambil uang di ATM, menabung di bank, membeli barang, kredit rumah, hingga berinvestasi pada produk keuangan yang rumit.

Banyaknya orang yang tidak mengerti masalah finansial membuat Commenwealth Bank of Australia (CBA) menjadi prihatin. Membuat masyarakat melek finansial adalah tujuan utama didirikannya Yayasan Commonwealth Bank.

Programnya hanya satu, yakni membuat masyarakat melek finansial sejak muda. Pemberdayaan ini dilakukan dengan memberikan pelatihan-pelatihan finansial sederhana pada sekolah-sekolah, khususnya kelas 7 hingga 12, atau setara dengan tingkat SMP dan SMU.

Dasar dari pemilihan program ini adalah survei yang mengidentifikasi bahwa orang dengan pendidikan finansial terendah adalah pada usia 16-20 tahun, tidak bekerja, atau siswa dengan tingkat pendidikan rendah.

Studi itu juga mengungkapkan bahwa dengan meningkatkan pengetahuan finansial pada 10 persen populasi akan berpotensi meningkatkan ekonomi Australia sebesar 6 miliar dollar Australia per tahun dengan cara membuka 16.000 lapangan kerja baru. Semakin tinggi pengetahuan finansial seseorang, makin rendah kemungkinan mereka tidak mendapatkan pekerjaan.

Hasil riset inilah yang mendasari dibuatnya program-program pelatihan untuk anak sekolah agar mereka dapat memahami lebih jauh masalah keuangan pribadi.

"Kami berpendapat, dengan meningkatkan kemampuan finansial seseorang merupakan proses panjang. Keuntungan yang mengalir dari peningkatan kemampuan angkatan kerja dalam masalah keuangan akan meningkatkan produktivitas, semakin sedikit modal yang terbuang dengan pengambilan keputusan yang tepat pada saat memulai bisnis baru atau membeli rumah," jelas Tania Navarro dari CBA.

Potensi tidak langsung keuntungan lainnya, kata Navarro, adalah meningkatkan tabungan nasional dan menciptakan konsumen yang mengerti betul akan hak-haknya.

Program pelatihan yang dibiayai oleh CBA beragam, sebagian besar diajukan sendiri oleh sekolah menurut kebutuhan setempat. Sekolah yang berada di perkotaan memiliki kebutuhan pendidikan finansial yang berbeda dengan di pedesaan.

Setiap tahun, CBA menyediakan hibah untuk 100 SMA di seluruh Australia, masing-masing 3.500 dollar Australia.

Murid-murid SMU di Distrik Sheffield, Tasmania, yang lingkungannya peternakan dan pertanian mengajukan program mengenai keuangan pertanian. Topik yang dipelajari dalam kursus 11 pekan antara lain bagaimana menabung setelah mendapat hasil pertanian.

Lain lagi dengan murid di SMU Liverpool, Sidney. Sekolah khusus wanita ini lebih memilih pendidikan finansial yang menitikberatkan pada penggunaan handphone (HP).

Tujuan dari kursus ini adalah membuat siswa mengetahui cara membaca tagihan bulanan HP, membaca kontrak penggunaan HP, termasuk membandingkan sistem prabayar dan langganan, biaya jika download ring tone, serta mengetahui tarif pada jam padat.

"Kami mendengar bahwa ada murid yang membayar tagihan HP-nya hingga 80 dollar Australia per bulan untuk membayar ring tone yang tidak mereka inginkan. Juga mendengar skema tentang operator yang meninggalkan pesan berupa ring tone di telepon seluler," ujar Maria Allan, Wakil Kepala Sekolah SMU Liverpool.

Sepanjang kursus, para murid membagikan pengalaman menyeramkan mengenai tagihan telepon mereka, termasuk tagihan telepon yang membengkak tanpa disadari. Sementara, sekolah lain memilih program yang lebih serius lagi seperti mengelola kafe sekolah atau membuat proyek bisnis kecil-kecilan.

Evaluasi

Setelah memberikan pendidikan finansial kepada anak-anak muda di sekolah, CBA juga melakukan survei untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan pendidikan tersebut.

Pada tahun 2005 dan 2006 CBA melakukan Australian Financial Literacy Assesment (AFLA). Riset yang dilakukan secara nasional ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana tingkat melek finansial anak-anak yang sudah mengikuti program-program edukasi finansial yang dibiayai oleh CBA.

Pada tahun 2006, sebanyak 50.000 siswa kelas 9 dan 10 yang berasal dari 500 sekolah berpartisipasi dalam AFLA ini. Para peserta diminta untuk menjawab 48 pertanyaan pilihan berganda.

Pertanyaan yang diajukan berasal dari enam kategori, yaitu pengelolaan keuangan, keputusan konsumen, keuangan pribadi, hak konsumen, bisnis dan teknologi, serta investasi dan ekonomi. AFLA tidak dirancang untuk mengetahui tingkat kelulusan dalam hal keuangan, melainkan hanya untuk mengetahui secara umum tentang pengertian anak-anak sekolah soal keuangan.

Ternyata, banyak sekali siswa yang kesulitan melihat rincian rekening bank, hanya 48 persen dari siswa kelas 9 yang mengerti istilah "debet" dan hanya 25 persen yang memahami istilah "kredit" dalam rekening bank.

Hasil survei ini menyedihkan karena anak-anak muda sekarang seharusnya memiliki pengetahuan finansial dan kepercayaan diri jika hendak menjadi pemenang dalam persaingan dunia keuangan yang semakin kompleks.

Hasil AFLA juga menunjukkan bahwa para siswa sebenarnya belum sepenuhnya siap menghadapi dunia nyata setelah sekolah selesai kelak.

"Pendidikan finansial sangat penting karena pada setiap kehidupan kita sangat berhubungan dengan masalah finansial. Kemungkinan kami juga akan mengadopsi program ini untuk sekolah di Indonesia," ujar Presiden Direktur Bank Commonwealth Simon Brewis- Weston. Dengan melek finansial sejak muda, diharapkan tidak ada lagi kegagapan finansial yang akhirnya merugikan diri sendiri.

Kepemilikan Asing di SBI Naik Lagi


BI Pertahankan Inflasi Tetap Rendah

Bogor, Kompas - Kepemilikan asing pada instrumen portofolio berdenominasi rupiah kembali naik setelah sempat jatuh cukup dalam saat gejolak pasar keuangan global mulai mendera. Itu terjadi antara lain karena peran bank sentral yang mempertahankan suku bunga acuan atau BI Rate di level 8,25 persen.

"Asing mulai kembali membeli aset-aset rupiah," kata Direktur Perencanaan Strategis dan Humas Bank Indonesia (BI) Budi Mulya saat mendampingi Deputi Gubernur BI Budi Rochadi meletakkan batu pertama pembangunan rumah kreatif BI di Desa Cipelang, Cijeruk, Jumat (7/9) di Bogor.

Budi menjelaskan, pada pertengahan Juli 2007, kepemilikan investor asing pada Sertifikat Bank Indonesia (SBI) cukup besar, mencapai Rp 29,9 triliun.

Namun, gejolak di pasar surat utang berbasis kredit perumahan berisiko tinggi (subprime mortgage) di AS, yang terjadi kemudian, mengguncang pasar keuangan global termasuk Indonesia. Dampaknya, banyak Investor asing yang mengalihkan aset rupiahnya ke dollar AS. Aset rupiah itu antara lain SBI, Surat Utang Negara (SUN), dan saham.

Alhasil, lanjut Budi, capital outflow yang terjadi menyebabkan kepemilikan asing di SBI pada minggu ketiga Agustus 2007 turun drastis menjadi Rp 12 triliun, atau 4,5 persen dari total SBI.

Pada akhir Agustus, kepemilikan asing pada SBI mulai naik menjadi Rp 17,4 triliun. Sejak itu, kepemilikan asing terus meningkat hingga Rp 21,14 triliun pada akhir pekan pertama September, atau 7,7 persen dari total SBI senilai Rp 271,6 triliun.

Kondisi serupa juga terjadi pada transaksi SUN. Pada pertengahan Juli 2007, kepemilikan asing Rp 78,4 triliun, lalu turun menjadi Rp 70,3 triliun pada minggu ketiga Juli.

Selanjutnya naik kembali menjadi Rp 72 triliun pada akhir Agustus dan terakhir menjadi Rp 73,3 triliun. Pada saham, pembelian bersih investor asing selama bulan Agustus sebesar Rp 5,2 triliun.

Masih menarik

Menurut Budi, terdapat sejumlah faktor yang mendorong masuknya kembali investor asing pada instrumen keuangan domestik. Pertama, imbal hasil yang ditawarkan aset-aset rupiah masih menarik seiring langkah BI mempertahankan BI Rate di level 8,25 persen.

Kedua, investor asing memandang kondisi makroekonomi Indonesia ke depan tetap baik dan stabil meskipun saat ini tekanan inflasi cenderung meningkat.

Di Surabaya, Gubernur BI Burhanuddin Abdullah menyatakan, BI akan berusaha mempertahankan stabilitas laju inflasi tetap berada pada nilai yang sangat rendah untuk menjaga kestabilan suku bunga acuan. (faj/nik)

Pembiayaan


Rasio Penjaminan Kredit UMKM Belum Ditentukan

Jakarta, Kompas - Penyaluran dana Penyertaan Modal Negara sebesar Rp 1,4 triliun untuk PT Asuransi Kredit Indonesia dan Perusahaan Umum Sarana Pengembangan Usaha sebagai penjamin kredit usaha mikro, kecil, dan menengah masih terhambat. Penyebabnya, rasio modal terhadap penjaminan atau gearing ratio kredit UMKM belum ditentukan oleh kedua lembaga tersebut.

"Pemerintah masih menunggu penegasan dari Askrindo (Asuransi Kredit Indonesia) dan Perum SPU (Perusahaan Umum Sarana Pengembangan Usaha) soal rasio kredit. Kalau rasio penjaminannya belum ditegaskan, ya bagaimana menentukan jumlah UMKM yang akan dikucurkan pinjaman," kata Menteri Negara Urusan Koperasi dan UKM Suryadharma Ali yang dihubungi saat kunjungan kerja ke sejumlah koperasi pesantren di Banyuwangi, Jawa Timur, Jumat (7/9).

Suryadharma menjelaskan, target UMKM yang mendapat jaminan kredit sepenuhnya merupakan kewenangan PT Askrindo dan SPU. Jika rasio penjaminannya ditentukan satu banding 10, berarti dengan suntikan penyertaan modal negara sebesar Rp 1,4 triliun, kredit yang bisa dikucurkan ke UMKM bisa mencapai sekitar Rp 10 triliun.

"Sampai sekarang, belum ada penegasan dari Askrindo dan SPU. Apakah mereka berani memberikan rasio penjaminan kredit 1:10 atau 1:20?" kata Suryadharma.

Deputi Pembiayaan Kementerian Negara Urusan Koperasi dan UKM Agus Muharam mengatakan, pemerintah akan menitikberatkan penjaminan kredit bagi usaha mikro dan kecil. Sementara, kelompok usaha menengah akan diarahkan untuk penjaminan ulang sebab sebelumnya kelompok usaha menengah sudah mendapat kredit dari perbankan.

Asumsinya, menurut Agus, jika penjaminan kredit Askrindo dan SPU bisa mencapai Rp 10 triliun, paling tidak 40 persen dananya bisa digunakan untuk menjamin kredit usaha kecil dan 60 persennya untuk usaha mikro.

Berdasarkan data Kementerian Negara Urusan Koperasi dan UKM tahun 2006, jumlah usaha mikro mencapai 47 juta, usaha kecil sebanyak 1,75 juta, dan usaha menengah 106.000.

Agus menjelaskan, untuk memperoleh kredit tersebut bisa dilakukan secara langsung melalui lembaga penjaminan Askrindo dan SPU. Selain itu, bisa juga melalui koperasi, Bank Perkreditan Rakyat (BPR), atau lembaga keuangan mikro (LKM).

Menyinggung ketakutan perbankan terhadap berulangnya kasus kredit macet, Agus mengatakan, Askrindo dan SPU harus terlebih dahulu melatih tenaga konsultan keuangan mitra bank (KKMB), jasa pengembangan usaha atau business development services (BDS), dan tenaga pendamping di setiap departemen untuk mendampingi usaha mikro dan kecil dalam penyusunan manajemen keuangan.

"Tenaga-tenaga pendamping ini berfungsi sebagai penilai untuk memberikan rekomendasi penyaluran kredit. Jika sudah dinilai siap, Askrindo dan SPU tinggal meyakinkan perbankan supaya pelaku usaha itu bisa dikucurkan pinjaman," ujar Agus.

Soal besarnya kredit, lanjut Agus, perbankan tetap memegang keputusan akhirnya. Jadi, voucher yang berfungsi sebagai rekomendasi mendapatkan kredit tidak dibagi-bagikan begitu saja, melainkan sudah melalui proses penelitian oleh tenaga-tenaga pendamping dan lembaga penjamin, dalam hal ini Askrindo dan SPU. (OSA)

Perdagangan Bilateral


BPK Awasi Pinjaman untuk Pembelian Senjata Rusia

Jakarta, Kompas - Badan Pemeriksa Keuangan dan lembaga sejenis dari Rusia sepakat mengawasi dan mengaudit pengadaan alat utama sistem persenjataan atau alutsista, yang menggunakan pinjaman satu miliar dollar AS dari pemerintahan Presiden Vladimir Putin. Kedua negara menginginkan efektivitas penggunaan pinjaman tersebut.

Ketua BPK Anwar Nasution mengatakan itu seusai menghadiri ceramah umum bersama Ketua BPK Rusia (Accounts Chamber of The Russian Federation) Sergey V Stepashin, Jumat (7/9) di Jakarta.

Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, Kamis lalu, mengatakan, Departemen Pertahanan Indonesia dan Rusia sepakat untuk berhubungan langsung dalam proses jual beli alutsista tanpa mengandalkan pialang dan rekanan hitam yang mencari keuntungan dengan menggelembungkan harga. Juwono mengatakan, selalu bermunculan pialang yang tidak jelas statusnya.

"RI-Rusia sudah sepakat agar proses pengadaan alutsista akan disederhanakan, dipercepat, dan dipermurah. Kita tidak lagi mengandalkan pialang-pialang," ujar Juwono di Istana Negara, Jakarta, Kamis. Dengan berhubungan langsung, anggaran bisa dihemat hingga 40 persen.

Menurut Anwar, pembelian alutsista bagi TNI perlu diawasi bersama-sama. "Pengawasan akan dilakukan secara paralel. Pada saat pemeriksaan dilakukan di Indonesia, Rusia juga melakukannya," kata Anwar.

Rusia memberikan pinjaman satu miliar dollar AS untuk pengadaan alutsista bagi Indonesia periode 2007-2010. Pinjaman ini merupakan bagian dari komitmen perjanjian kerja sama yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Putin pada 1 Desember 2006.

Dephan akan membeli 10 helikopter MI-17-V5 dan 5 helikopter MI-35P beserta persenjataannya untuk TNI AD; 2 kapal selam kelas Kilo dan 20 kendaraan infanteri tempur BMP-3F untuk TNI AL; serta 6 paket peralatan terbang dan persenjataan Sukhoi untuk TNI AU.

Di balik jual beli itu, Jasa Federal untuk Kerja Sama Teknis Militer (Federal Service for Military Technical Cooperation/FSMTC) Rusia diharapkan menjadi pintu masuk satu-satunya dalam merumuskan dan menyelenggarakan pengadaan peralatan militer bagi Indonesia (Kompas, 21/8).

Indonesia juga berencana membeli enam pesawat tempur Sukhoi dengan mengalokasikan kredit ekspor (KE) sebesar 350 juta dollar AS. Ada juga program penambahan teknologi baru pada pesawat lama, yakni empat pesawat angkut jenis Hercules, yang rencananya harus terealisasi pada bulan ini. Total alokasi KE untuk ketiga matra angkatan TNI dan Mabes TNI tahun 2004-2009 itu 3,7 miliar dollar AS.

Bagian kerja sama

Menurut Anwar, audit bersama dengan BPK Rusia merupakan bagian dari nota kesepahaman yang telah ditandatangani kedua pemimpin lembaga pemeriksa ini, 6 September 2007. Dalam kesepakatan itu disebutkan ada dua area yang menjadi kepentingan bersama, yakni pertama, pemeriksaan di bidang pengadaan senjata militer. Kedua, bidang pemanfaatan sumber daya alam dan perlindungan lingkungan.

Di samping itu, BPK Indonesia juga mengusulkan kerja sama di bidang pengelolaan minyak dan gas, perpajakan, privatisasi, serta penyaluran dana dari pemerintah pusat ke daerah.

BPK Rusia mengusulkan kerja sama pada program pemberantasan pencucian uang serta evaluasi peraturan di bidang kepabeanan, khususnya dalam rangka kegiatan perdagangan ekonomi kedua negara.

"Kami mengambil pelajaran dari pengalaman Rusia dalam mengaudit transfer dana dari pemerintah pusat ke daerah. Rusia sudah melakukannya sejak lama," katanya. (INU/OIN)