Wednesday, October 31, 2007

BUMN, Kerahasiaan, dan RUU KIP


Agus Sudibyo

Terkait isu korupsi, citra bangsa Indonesia kian terpuruk di mata dunia internasional.

Tak lama berselang setelah MA memenangkan gugatan "Rp 1 triliun" mantan presiden Soeharto kepada majalah Time, nama Soeharto justru nangkring pada ranking teratas daftar mantan pemimpin negara yang paling banyak menggarong aset- aset negara, sebagaimana dilansir StAR Initiative World Bank dan UNODC 2007. Keprihatinan makin dalam saat indeks persepsi korupsi yang diumumkan Transparency International menempatkan Indonesia di urutan 143 dari 180 negara.

Dalam konteks inilah, rencana DPR mengesahkan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) sedikit melegakan. Jika semua berjalan lancar, UU yang berusaha menjamin perwujudan hak publik untuk mengetahui proses-proses penyelenggaraan pemerintahan sebagai realisasi dari hak politik warga negara itu akan disahkan pertengahan Oktober 2007. UU KIP memberitahukan kepada dunia bahwa ada yang membanggakan dari upaya Indonesia mengatasi masalah korupsi dan transparansi. Indonesia menjadi negara terdepan di Asia dalam pelembagaan freedom of information, sejajar sejajar dengan Jepang, Thailand, dan India.

Kontroversi BUMN

Namun, bagaimana isi dari UU KIP sendiri? Pengalaman menunjukkan, banyak UU dengan semangat awal sangat demokratis, tetapi isinya justru kontraproduktif bagi prinsip demokrasi. Beberapa UU juga telah menjamin hak publik atas informasi (termasuk UU Pers No 40/1999), tetapi implementasinya tak berjalan efektif karena lalai dalam merumuskan penegakan hukum atas hak-hak tersebut dan kewajiban negara dalam mewujudkannya.

Di sinilah kita harus mengkritisi perdebatan yang muncul dalam legislasi RUU KIP. Salah satu masalah yang sangat alot diperdebatkan DPR dan pemerintah adalah masuk-tidaknya BUMN dalam gugus badan publik sebagaimana diatur dalam UU KIP. Proses pembahasan RUU KIP berbelit-belit karena pemerintah bersikeras mengeluarkan BUMN dari gugus badan publik dengan alasan BUMN berada dalam rezim bisnis dan keterbukaan informasi akan membunuh daya saing BUMN.

RUU KIP merumuskan badan publik berdasarkan pada prinsip mandatori dan aliran dana publik. Lingkup badan publik di sini dirumuskan sebagai: (1) lembaga yang pendirian, fungsi, dan kedudukannya diatur melalui perundang-undangan, termasuk lembaga nonpemerintah yang mendapatkan kontrak kerja atau pengalihan fungsi dari pemerintah, serta (2) semua lembaga yang mengelola dana publik (APBN/APBD/Nonbudgeter) baik seluruhnya maupun sebagian.

Berdasarkan 2 prinsip ini, BUMN jelas termasuk badan publik yang harus tunduk pada rezim keterbukaan informasi. Sejauh UU BUMN mendefinisikan BUMN sebagai badan usaha milik negara yang mengelola aset-aset negara, BUMN pasti bukan murni entitas bisnis. Kedudukan dan fungsi BUMN diatur dalam UU, pimpinannya juga dipilih melalui mekanisme politik.

Pemerintah semestinya juga mempertimbangkan fakta buruknya kinerja BUMN. Korupsi di BUMN menjadi keniscayaan dari waktu ke waktu. BUMN hampir selalu menjadi sumber pemerasan para pejabat dan kepentingan politik. Masyarakat juga tak pernah tahu mengapa pelayanan publik BUMN sangat buruk dan mengapa mayoritas BUMN terus merugi, sedangkan kerugian ini dibebankan kepada anggaran negara.

Dengan UU No 7/2006, Indonesia telah meratifikasi United Nation Convention Anti Corruption. Dalam UNCAC ini, subyek pemberantasan korupsi telah diperluas hingga ke sektor swasta. Dari perspektif ini, bukan BUMN yang harus dikeluarkan dari rezim keterbukaan informasi, tetapi sektor swasta yang harus dimasukkan ke dalam rezim keterbukaan informasi. Dengan prinsip mandatori dan aliran dana publik tadi, RUU KIP membuka kemungkinan ini lebar-lebar.

Rezim kerahasiaan

Jika concern pemerintah adalah daya saing BUMN, bisa dipecahkan dengan menambahkan pasal "pengecualian untuk melindungi daya saing BUMN". Pengecualian informasi isu semua badan publik, bukan hanya isu BUMN. Persoalan menjadi pelik karena yang dituntut pemerintah bukan pengecualian informasi tentang BUMN, tetapi pengecualian BUMN sebagai lembaga.

Mengapa pemerintah ngotot menolak perumusan BUMN sebagai badan publik? Mengapa pemerintah sama sekali tidak mempertimbangkan mudarat jika BUMN tetap dibiarkan tertutup? Jangan-jangan partikularitas kepentingan berbicara di sini! Keterbukaan informasi menimbulkan konsekuensi serius bagi akuntabilitas BUMN. Sementara ketertutupan informasi memungkinkan semua penyelewengan berjalan tanpa hambatan: transaksi-transaksi di luar pembukuan terkait dengan dana taktis dan operasional direksi, pengeluaran-pengeluaran fiktif, mark up anggaran dan pengadaan barang-jasa, kewajiban-kewajiban finansial yang tidak jelas, pemusnahan dokumen pembukuan, mark down penjualan aset/saham dalam proses divestasi, dan lain-lain.

Praktik-praktik inilah yang telah melumpuhkan signifikansi BUMN sebagai penyangga ketahanan ekonomi nasional dan pelaksana layanan publik pada sektor vital. Namun, praktik ini pula yang memfasilitasi banyak pihak memperkaya diri dan mengeruk keuntungan maksimal dari proses penyelenggaraan pemerintahan yang tertutup dan penuh kerahasiaan.

Agus Sudibyo Deputi Direktur Yayasan SET Jakarta

Penerbangan A380


Menumpang Superjumbo Impian Da Vinci

Ninok Leksono

"Sang Burung Besar akan terbang... mengisi dunia dengan kekaguman" (Leonardo da Vinci, genius dan penemu dari Italia).

"Tuan dan Nyonya... tidak lama lagi kita akan mendarat ke Bandara Changi di Singapura dan kita akan mendarat secara otomatis. Artinya, komputerlah yang akan mengatur pendaratan. Namun, tidak usah cemas, kami juga akan mengawasi." Itulah suara Pilot in command pesawat Superjumbo Airbus A380 Robert Ting sekitar setengah jam sebelum pesawat mendarat pukul 23.50 waktu Singapura, Jumat 26 Oktober lalu.

Selama setengah jam terakhir dari total penerbangan 7,5 jam dari Sydney, kesan terhadap jet Superjumbo yang berkapasitas 471 penumpang ini tak habis-habisnya, seolah membenarkan ucapan Leonardo da Vinci di atas.

Ketika flap sudah mulai dikeluarkan—proses yang tampak dalam keremangan cahaya bulan tanggal 14—muncul perasaan berat karena penerbangan akan segera berakhir. Namun, hal itu tak terlalu menyusahkan karena penerbangan Sydney-Singapura ini bukan akhir, tetapi justru awal dari momen sejarah yang baru saja ditorehkan Singapore Airlines (SIA) dan Airbus. Justru pada hari itu, berlakulah apa yang disampaikan CEO SIA Chew Choon Seng ketika menerima penyerahan A380 pertama di pabrik Airbus di Toulouse, 15 Oktober silam, bahwa "Mulai hari ini, ada ratu udara baru dalam perjalanan udara. Dan, sebagai operator pertama A380, maskapai Singapura ini pantas berbangga karena ialah perusahaan penerbangan pertama di dunia yang menguasai operasi pesawat penumpang paling besar di dunia ini.

Selain itu, ia juga maskapai yang sempat ikut dag-dig-dug dengan berbagai keruwetan proses kompleks yang menyertai pembuatan A380. Jet mutakhir ini dibuat dengan rangkaian proses lintas batas negara—Perancis, Jerman, Spanyol, dan Inggris. Satu hal yang bahkan oleh Airbus yang sudah berpengalaman dalam membuat pesawat adalah urusan pemasangan dan penataan kabel, yang total untuk A380 mencapai sekitar 450 km.

Di luar itu, ide A380 memang dari awalnya kompleks sehingga membuat pelaksanaannya harus diwujudkan oleh 18.000 pemasok yang tersebar di 30 negara. Dalam kenyataannya, tutur SilverKris (Okt 2007), memang tidak ada fasilitas manufaktur yang cukup besar dan sanggup membangun keseluruhan pesawat di satu tempat.

Keruwetan itu membuat A380 muncul terlambat, membuat Airbus kena semprot dari berbagai penjuru, memunculkan ketegangan di antara manajemen puncak, yang memaksa terjadinya pergantian CEO. Hal ini mudah dimengerti karena, selain menampar citra, keterlambatan juga membuat biaya pengembangan pesawat membengkak 50 persen dari anggaran awal sebesar 12 miliar dollar AS dan rugi akibat kehilangan peluang keuntungan sebesar 7 miliar dollar AS antara tahun 2006-2010.

Memetik buah

Kini jet yang lebih menyerupai hotel mewah daripada pesawat penumpang itu sudah mulai diserahkan ke maskapai pemesan. Tahun 2008, Airbus bertekad akan bisa menyerahkan 13 A380, tahun depannya 25, dan akhir 2010 sebanyak 45 pesawat.

Dengan pesawat yang interiornya ditata dengan apik oleh SIA itu, harapan pun membubung, juga dari para penggunanya. Penumpang kaya mungkin akan mencoba "suite", sebutan SIA bagi kabin kelas 1 plus yang hanya dibuat 12 di dek utama ini. Seperti apa terbang di kabin yang dirancang oleh Jean-Jacques Coste, perancang perahu pesiar (yacht) Perancis, yang konon juga bisa untuk berbulan madu itu? Harga yang dipatok untuk kelas ini adalah 5.127 dollar AS atau sekitar Rp 50 juta untuk pergi-pulang Singapura-Sydney. Ruang privat dengan kursi-kursi kulit dan dipan terpisah dengan kasur ini dibungkus kain berwarna krem rancangan Givenchy.

Kalau ingin bekerja, ada colokan untuk laptop dan USB yang memungkinkan penumpang menyiapkan bahan presentasi dengan program Office yang tersedia. Kalau bekerja merupakan hal terlalu serius, kanal hiburan pun menyediakan 100 film yang bisa dipilih untuk ditonton dengan layar LCD berukuran 23 inci.

Selain 12 kelas suite, A380 punya 60 kursi kelas bisnis di dek atas dan 399 kursi kelas ekonomi yang dibagi di bagian belakang dek atas dan dek bawah. Meskipun toilet kelas satu dan kelas bisnis lega, SIA tidak memasang pancuran mandi, sementara maskapai lain berencana memasang fasilitas ini. Alasannya adalah hal itu akan membuat SIA harus menyediakan banyak air, membuat bobot jadi terlalu berat untuk jadi ekonomis, ujar Stephen Forshaw, Humas SIA, seperti dikutip New York Times.

Dengan anggur berbagai pilihan serta berbagai layanan lain, SIA berharap A380 bisa menjadi daya tarik untuk memikat penumpang yang bertambah banyak di musim perjalanan yang dimulai Oktober-November ini, khususnya untuk apa yang disebut sebagai Rute Kanguru, yang mencakup Sydney-Singapura-London. Jalur Singapura-London dengan A380 sendiri baru akan dibuka Maret mendatang setelah SIA menerima A380 kedua. Selanjutnya, A380 yang datang kemudian akan digunakan untuk melayani jalur ke Tokyo dan berikutnya lagi ke Hongkong dan San Francisco.

Dimulai dengan amal

Dengan layanan A380 yang setinggi gedung berlantai delapan ini, SIA menorehkan berbagai hal penting. Pesawatnya sendiri banyak mengandung teknologi canggih. Sebut saja mesinnya yang irit bahan bakar dan bersih lingkungan. Pembuatnya—Rolls Royce yang berpusat di Derby, Inggris—menggunakan teknologi canggih yang membuat mesin mengeluarkan kebisingan rendah, hanya setengah dari kebisingan 747. Melihatnya terbang di Pameran Kedirgantaraan Asia di Singapura, Februari 2006, dan juga merasakannya sendiri dari kabin, penulis yakin akan klaim Rolls Royce yang telah menyetel mesin dengan ilmu akustik maju. Karena karakteristiknya ini, A380 juga dijuluki "Whispering Giant" (Raksasa yang Berbisik).

Yang lebih menarik juga, mesin Trent 900 yang dipakai pada 10 A380 SIA pertama juga ramah lingkungan, dengan emisi karbon dioksida 2,5 kali lebih rendah per penumpang kilometer dibandingkan dengan mobil keluarga.

Dengan semua kelebihannya, A380 memang menerbitkan penasaran dan rasa ingin tahu besar, seperti halnya ketika jet supersonik Concorde muncul. A380 bahkan sudah mendapatkan lagu tema yang dibawakan oleh penyanyi Italia, Diva Agata, berjudul Near to the Sky.

A380 kini sudah hilir mudik Singapura-Sydney dan sebentar lagi ke daerah tujuan lainnya. Pesawat yang satunya disebut berharga 285 juta dollar AS atau sekitar Rp 2, 8 triliun ini akan menjadi saksi bagi pertumbuhan industri angkutan udara yang pesat, seiring dengan pertumbuhan ekonomi banyak negara.

Proyek Airbus A3XX 19 tahun silam kini telah mewujud dan operasi komersialnya ditandai dengan penjualan tiket secara lelang melalui situs eBay. Hasil lelang sebesar 1,9 juta dollar Singapura atau sekitar Rp 12 miliar telah disalurkan ke empat lembaga, satu di Singapura, dua di Sydney, dan satunya lagi adalah Dokter Tanpa Perbatasan (Medicins Sans Frontier) yang telah memenangi Hadiah Nobel Perdamaian.

Dapat mengikuti penerbangan komersial perdana A380 menimbulkan banyak kekaguman. Seperti halnya warga Sydney, khususnya para petugas Air Traffic Controller di Bandara Kingsford Smith, Sydney, datangnya A380 di petang hari Kamis 25 Oktober lalu menimbulkan rasa persahabatan. Tak heran kalau lalu mereka memanggilnya dengan sebutan akrab "Big Fella".

AIR BUS JUMBO

Mimpi Besar yang Mewujud

Ketika melihat interior jet superjumbo Airbus A380 milik Singapore Airlines yang diserahkan di Toulouse, Perancis, 15 Oktober silam, wartawan harian The New York Times menulis, tidak ada jacuzzi atau aula boling. Juga tidak ada kasino atau pusat kebugaran. Namun, aura kelas tinggi dan hidup nyaman itu terpancar melalui botol sampanye didinginkan yang ditaruh di atas tempat tidur dobel yang ditata apik.

Dengan Airbus A380, Singapore Airlines seperti memenuhi janji untuk menghadirkan satu perubahan besar-besaran dalam tingkat kualitas dan kenyamanan perjalanan udara jarak jauh.

Apa yang dimaksud dengan kualitas dan kenyamanan baru ini antara lain mewujud dalam suara mesin yang kurang bising, sarana hiburan yang berlayar lebar, hidangan yang nikmat, kursi yang lebih lapang dan semakin nyaman diduduki, serta layanan lain yang berkelas.

Sejumlah foto di halaman ini melengkapi rangkaian aktivitas yang menyertai penerbangan komersial perdana A380 dari Changi, Singapura, ke Sydney, Australia, 25 Oktober, dan penerbangan kembali ke Singapura sehari kemudian.

Kesan orang bisa berbeda-beda. Namun, pada hari itu, pengamat penerbangan merasakan satu sensasi baru, yaitu terbang dengan pesawat penumpang terbesar di dunia, yang kalau mau bisa diisi dengan 850 penumpang. (NIN)

Maskapai Penerbangan


"The Trend Setter" Kini Bergeser ke Asia

Dudi Sudibyo

Pada masa silam, Pan American, maskapai penerbangan Amerika Serikat yang paling terkemuka di dunia, menjadi trend setter dunia penerbangan. Tidak tanggung-tanggung, lebih dari enam dekade, yaitu sejak dekade 1930 hingga akhir dekade 1980. Mungkin bila PanAm tidak bangkrut tahun 1991, besar kemungkinan atribut itu masih melekat pada dirinya.

Trend setter itu kini bergeser ke titik kecil di peta dunia, Singapura, di mana Singapore Airlines (SIA) bersarang dan suatu titik yang dalam waktu sangat dekat Bandara Changi akan menjadi aviation major hub pertama dunia. Inilah satu-satunya bandar udara dunia yang benar-benar sudah siap melayani superjumbo A380 dengan bangunan baru Terminal 3 dilengkapi delapan gate khusus A380.

Ditambah empat gate A380 Terminal 2, total Bandara Changi menyediakan 12 pintu khusus untuk jetliner raksasa Airbus. Terminal baru tujuh tingkat ramah lingkungan satu atap sepanjang 1 kilometer ini akan mulai beroperasi 9 Januari 2008. Lengkap sudah Singapura menjadi superhub, Singapore Airlines sebagai launch customer merangkap operator pertama dunia A380, dan Changi dengan fasilitasnya serba canggih. Terminal 3 menyongsong era baru lalu lintas udara burung besi raksasa Airbus.

Pada masa lalu itu, tidak ada satu pun pesawat penumpang yang luput dari sentuhan PanAm. Pabrik pesawat AS maupun Eropa berlomba agar produk mereka menjadi pilihan Pan American. Begitu ketat persaingan merebut hati PanAm, sampai-sampai pabrik Boeing dan Douglas saling "bertempur" agar jetliner 707 atau DC-8 menjadi flagship maskapai bereputasi dunia tersebut. Kedua pesawat merupakan jet-jet penumpang pertama dunia setelah Inggris meraih pamor pertama dengan pesawat Comet pada 9 Januari 1951.

Boeing berhasil merebut hati PanAm, menjadi launch customer 707 dan pesawat pertamanya dibaptis Ibu Negara Mamie Eisenhower dengan nama "America", terbang perdana 19 Oktober 1958 New York-Brussels, Eropa. Kelebihan 707 adalah kemampuan terbang antarbenua dengan mesin J75 Pratt and Whitney yang khusus dirancang bagi pesawat ini, dikombinasikan dengan rancangan sayap sayung ke belakang di mana keempat mesin nyantel pada pylon sayap. Sedemikian rupa dirancang sehingga memiliki nilai teknologi lebih dari pesaingnya, DC-8.

PanAm punya andil dalam merancang ulang sayap dan melebarkan kabin 707 serta sejumlah perubahan dalam kokpitnya. Inilah nilai lebih sebagai launch customer, bisa meminta pesawat sesuai dengan keinginannya. Demikian pula saat Boeing merancang dan mengembangkan pesawat penumpang raksasa pertama dunia, jumbo 747 (terbang perdana komersial 21 Januari 1970), Pan American menjadi incaran Boeing untuk menyandang predikat launch customer-nya.

Tidak sekadar sebagai launch customer, PanAm terlibat langsung dari segi pendanaan pengembangan 747 karena Boeing tidak sanggup untuk membiayai sendiri pembuatan pesawat raksasa ini. Untuk mendukungnya, PanAm langsung pesan 25 pesawat, membayar di muka dan sisa lima pesawat akan dilunasi sebelum pesawat diserahkan. Seperti 707, PanAm juga minta banyak perubahan pada 747 sehingga berat pesawat melampaui rancangannya. Akibatnya, pesawat membutuhkan mesin yang lebih besar tenaga dorongnya.

Beruntung Pratt and Whitney mau menanggung sendiri kekurangan 300 juta dollar AS untuk mengembangkan mesin yang dibutuhkan 747 tersebut. Pada titik ini, Boeing dan PanAm nyaris memutuskan untuk menghentikan proyek 747. Mereka saling bertaruh 10 juta dollar. PanAm akan beri taruhan itu bila Boeing membatalkan program 747 dan sebaliknya Boeing memberi 10 juta dollar bila PanAm tetap melanjutkan proyek ambisius 747.

Kenapa mau dihentikan? Selain dana pengembangan menipis, tidak ada satu pun maskapai selain PanAm yang memesan pesawat super-gede ini. Terlalu besar dan mahal untuk dioperasikan menurut mayoritas maskapai penerbangan. Terbukti mereka salah. Boeing 747 mengubah drastis tatanan penerbangan, memberi akses pada jutaan orang yang sebelumnya tidak pernah menikmati terbang. Ia menjadi tonggak revolusi penerbangan massal.

Saling butuh

Jika pada masa silam itu ada PanAm sebagai trend setter dan Boeing sebagai pemasok pesawat yang dibutuhkan dunia penerbangan, kini trend setter tersebut sudah bergeser dari negara besar AS ke negara kecil Singapura yang kini ambisinya menjadi world major air hub sudah di depan mata dengan menjadi launch customer sekaligus operator pertama jetliner raksasa baru dunia Airbus A380, dan sudah selesainya dibangun superterminal T-3 Bandara Changi.

Seperti Boeing butuh PanAm di masa lalu, Airbus pun butuh Singapore Airlines untuk saling membonceng reputasi dan ketenaran harum nama mereka masing-masing. Sebelum jumbo 747 terbang pertama kali tahun 1969 kemudian terbang perdana komersial Januari 1970, pesawat raksasa ini dihadapi berbagai masalah pelik. Seperti Airbus A380 yang terlambat diserahkan kepada SIA, demikian pula pada masa silam, Boeing meleset menyerahkan pesawat pertama 747 kepada PanAm sehingga tidak memungkinkan penumpang liburan Natal dan Tahun Baru menikmati penerbangan jumbo 747.

Namun, kejadian yang paling memalukan dialami 747 pertama PanAm adalah, setelah dilepas Ibu Negara Pat Nixon, pesawat segera kembali ke pelataran parkir karena salah satu mesinnya mengalami gangguan teknis, suhunya tiba-tiba melampaui batasnya. Penumpang baru diterbangkan ke Inggris setelah tujuh jam kemudian dengan 747 kedua yang ditarik dari pelatihan pilot.

Superjumbo A380 juga tidak luput dari masalah. Yang paling pelik adalah masalah wiring, pengabelan sepanjang 800 kilometer di dalam tubuhnya harus dirancang ulang sehingga mengubah jadwal produksi, mengakibatkan pesawat pertama A380 Singapore Airlines terlambat 18 bulan diserahkan. Pesawat baru diserahterimakan pada Senin (15/10) dan menjejakkan roda- rodanya pada landasan pacu Bandara Changi hari Rabu (17/10) pukul 18.38.

Akibat keterlambatan penyerahan, ada pemesan yang membatalkan pesanannya. Namun, Singapore Airlines dan Emirates justru menambah pesanannya—SIA yang semula pesanan pasti 10 unit dengan 15 opsi, menambah pesanan pastinya menjadi 19 pesawat. Emirates, operator terbesar A380 dengan 40 pesanan pasti, menambah 20 unit lagi. Masih samar apakah penambahan pesanan itu terkait dengan kompensasi yang diberikan Airbus kepada para pemesan A380, ataukah memang suatu dukungan baik keuangan mapun moril agar raksasa udara baru yang dapat mengangkut 500 sampai 800 penumpang ini menjadi ikon baru dunia.

Yang pasti, Singapore Airlines sebagai operator pertama mengoperasikan pesawat 631 ton ini membuat gelombang riak baru dunia penerbangan. "Seperti (negara) Singapura, keterbatasan geraknya bukan menjadi halangan bagi SIA untuk berkembang. Sebaliknya berhasil mendulang celah pertumbuhan kawasan regional dan dunia, lalu mengukir bagi dirinya suatu tempat di industri penerbangan," kata Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong dalam menyambut kedatangan A380 pertama SIA.

SIA merupakan salah satu dari maskapai kelas dunia yang diundang Airbus sewaktu menjelang akhir dekade 1990 pabrik pesawat konsorsium Eropa ini akan mengembangkan pesawat VLA (very large aircraft) yang diberi kode A3XX. Flag carrier Singapura sudah diminta masukannya pada tahap dini ini, demikian pula lebih banyak lagi diminta masukannya setelah Airbus meluncurkan program A380 pada tahun 2000 dan Singapore Airlines menjadi launch customer burung besi raksasa baru dunia ini.

Dengan kabin Singapore Airlines Suite, yakni kelas di atas kelas utama, suatu kelas baru sekaligus yang pertama diperkenalkan ke dunia penerbangan, menjadikan SIA sebagai trend setter konsep kelas ini. Sudah dapat dipastikan maskapai penerbangan lain akan mengikuti jejaknya. Kabin suite ini dilengkapi dengan tempat tidur dobel, televisi flat ukuran 23 inci, sebuah meja, sebuah reclining chair, pintu geser dan tirai gulung penutup jendela kabin. "Cocok untuk mereka yang berbulan madu," ujar PM Lee yang terkagum melihatnya.

Namun, jangan terkejut dengan harga tiket round-trip kelas suite ini—6.819 dollar AS, sekitar 25 persen lebih mahal dari tiket kelas utama pada penerbangan lain Singapore Airlines ke Sydney. Kamar hotel terbang ini memang bernuansa mewah, seakan penumpangnya berada dalam kamar hotel berbintang lima.

Agar memberikan ruang gerak lebih luas dan suasana mewah bagi penumpang, kabin A380 Singapore Airlines sengaja dirancang hanya untuk 471 penumpang—12 suites, dua di antaranya dilengkapi dengan tempat tidur dobel, 60 kursi kelas bisnis, dan 399 kursi kelas ekonomi. Tidak tanggung-tanggung juga, SIA memakai jasa perancang kelas dunia—Coste Design & Partners yang berpusat di Kota French Riviera, Cannes. Perusahaan Perancis inilah yang mewujudkan konsep SIA tersebut dalam kabin A380.

Perusahaan Coste Design & Partners ini pula yang merancang kursi kelas bisnis armada Boeing 777 Singapore Airlines, kemudian dengan menambah sentuhan SIA, melengkapi kursi-kursi kelas bisnis A380 dengan suasana pencahayaan yang menawan.

Begitu terkagumnya PM Lee, ia menghabiskan waktu 45 menit dalam pesawat yang membutuhkan tujuh tahun dan 13 miliar dollar AS untuk mengembangkannya. "Pemikiran dan desain inovatif yang dituangkan ke dalam kabin pesawat, pelayanan yang diberikan kepada kelas utama, kelas bisnis maupun kelas ekonomi, saya kira itu adalah sesuatu yang baru," ujar BG Lee, panggilan akrabnya mengenai salah satu sumbangan Singapura pada A380 yang langsung dapat dilihat.

Apa yang disebutkannya itu merupakan salah satu tren baru yang diperkenalkan SIA—misalnya, BG Lee langsung menyukai pesawat ini karena sosok tubuh tingginya tidak perlu membungkuk, langsung bisa duduk nyaman dan enak pada kursi kelas ekonomi. Lebar kursi 19 inci atau dua inci lebih lebar daripada kursi armada Boeing 747 Singapore Airlines. Kursi kelas bisnis lebarnya 34 inci banding 20 inci pada jumbo 747. Semua kursi tersebut dilengkapi dengan layar monitor 15,4 inci. Masih ada tambahan, setiap kursi dilengkapi pula dengan port untuk men-download data internet dan lampu baca pribadi agar tidak mengganggu penumpang lain.

Kunci sukses flag carrier Singapura—demikian pula Pan American pada masa silam, hingga diperebutkan pabrik pesawat—selalu berada di depan dengan kaya inovatif baru. Dalam era sekarang, kelas suite—kelas di atas kelas utama, kursi kelas bisnis dan ekonomi yang lebar dan nyaman serta ditunjang bandar udara yang ramah lingkungan. (Dudi Sudibyo, Wartawan di Jakarta)

Anggaran


Pertamina Diandalkan Menghadapi Krisis

Jakarta, Kompas - Pemerintah mengandalkan setoran dividen dari PT Pertamina untuk memperkuat cadangan dana pengaman seandainya terjadi krisis keuangan 2008 akibat harga minyak di pasar dunia yang kian tinggi. Itu karena Pertamina merupakan badan usaha milik Negara atau BUMN yang memperoleh tambahan laba terbesar jika harga minyak meningkat menjauhi asumsi harga minyak yang ditetapkan di APBN 2008 sebesar 60 dollar AS per barrel.

Menteri Negara BUMN Sofyan Djalil di Jakarta, Selasa (30/10), mengatakan, pemerintah masih mencari titik keseimbangan antara kebutuhan Pertamina dan pemerintah. Pemerintah memerlukan dividen Pertamina sebagai salah satu sumber penutup defisit yang semakin membengkak akibat kenaikan harga minyak. Di sisi lain, Pertamina memerlukan dana tambahan untuk pengembangan usahanya.

"Belum ada kepastian jumlah dividen Pertamina yang perlu disetorkan terkait kebutuhan untuk mengantisipasi kenaikan harga minyak. Sebab, kenaikan harga minyak baru terjadi beberapa minggu terakhir ini," katanya.

Sebelumnya, DPR menyetujui dividen BUMN tahun 2008 sebesar Rp 26 triliun. Dasarnya, laba BUMN 2007 diperkirakan mencapai Rp 67 triliun. Laba itu berasal dari 27 BUMN yang mengelola 75 persen aset BUMN (dari total sekitar 300 BUMN saat ini), termasuk Pertamina.

"DPR telah mengkaji ulang penetapan target itu secara sangat ketat. Tetapi, jika dikaitkan dengan kenaikan harga minyak, jumlahnya masih perlu dibicarakan lagi. Itu bisa dilakukan dalam APBN Perubahan 2008," kata Sofyan.

Naik Rp 300 miliar

Wakil Direktur Utama PT Pertamina Iin Arifin Takhyan mengatakan, setiap kenaikan harga minyak sebesar satu dollar AS dari asumsi dalam APBN 2008 akan meningkatkan penerimaan Pertamina sebesar Rp 300 miliar. "Jadi, kalau harga minyak rata-rata 90 dollar AS, ada penambahan sebesar Rp 9 triliun," ujar Iin.

Namun, ia belum bisa memastikan berapa besar bagian yang akan disetor ke pemerintah. Tahun 2008, Pertamina menyanggupi pembayaran dividen sebesar Rp 9 triliun. Selama ini, kewajiban setoran dividen Pertamina ke pemerintah dibayarkan di muka setiap bulan. (OIN/DOT)

Presiden Khawatir Minyak


Kenaikan Harga Minyak Juga Pengaruhi Kinerja Ekspor

Jakarta, Kompas - Indonesia menghadapi tantangan untuk memperbanyak kegiatan eksplorasi migas dan upaya peningkatan perolehan lapangan yang sudah berproduksi. Upaya itu semakin mendesak untuk dilakukan dengan harga minyak yang terus naik. Cadangan minyak Indonesia saat ini 9,1 miliar barrel.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan hal itu ketika membuka acara Society of Petroleum Engineers (SPE)-Asia Pacific Oil and Gas Conference and Exhibition (APOGCE), Selasa (30/10) di Jakarta.

Acara yang berlangsung tiga hari itu memfokuskan pada topik cadangan migas dan teknologi baru yang bisa diterapkan.

Yudhoyono mengatakan, kenaikan harga minyak menjadi kabar baik untuk produsen, pemilik kilang, ataupun penjual minyak, tetapi tidak bagi negara yang tergantung pada impor minyak.

”Kenaikan harga minyak yang mencapai 92 dollar AS sekarang ini jauh lebih tinggi dibandingkan tahun 2005. Kekhawatiran terbesar kita adalah kalau minyak sampai menembus 100 dollar AS per barrel,” ujar Yudhoyono.

Aktivitas industri migas menyumbang seperempat dari Produk Domestik Bruto Indonesia. Presiden mengatakan, Pemerintah Indonesia berupaya keras untuk meningkatkan produksi migas. Cadangan minyak Indonesia saat ini sekitar 9,1 miliar barrel, hanya meningkat 5,5 persen dalam dua tahun terakhir.

Cadangan itu diperkirakan bakal terus menipis dalam 23 tahun ke depan. Untuk itu, pemerintah terus mengembangkan paket insentif investasi dan mengembangkan berbagai kebijakan fiskal untuk menarik investasi migas.

Dalam kesempatan itu, Presiden mengumumkan penawaran atas 26 blok migas kepada kontraktor lokal maupun asing. Dari seluruh blok itu, sebanyak 12 blok adalah blok-blok lama yang tidak laku dalam penawaran sebelumnya dan 14 blok baru. Setiap blok diperkirakan memiliki cadangan 30 hingga 1,069 miliar barrel setara minyak.

Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Migas Kardaya Warnika mengatakan, pemerintah optimistis akan ada penambahan produksi sampai 100.000 barrel per hari pada tahun 2008.

Efek lingkar kedua

Terkait kenaikan harga minyak dunia yang masih berlangsung, Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia Miranda Goeltom mengatakan, Indonesia harus mewaspadai efek lingkar kedua (secondary round effect) dari kenaikan tersebut.

”Di dalam hitungan kami, dalam jangka pendek (kenaikan harga minyak) akan menguntungkan sebab akan menaikkan pendapatan pemerintah meskipun ada pengeluaran buat subsidi. Selain itu, akan menaikkan cadangan devisa serta neraca perdagangan,” jelas Miranda.

Belum lagi keuntungan bagi Indonesia jika harga minyak naik, harga komoditas lain yang terkait energi alternatif juga akan naik. ”Peningkatan energi alternatif mendorong peningkatan permintaan atas beberapa komoditas seperti jagung dan minyak kelapa sawit. Itu menguntungkan sebab Indonesia pengekspor komoditas tersebut,” katanya.

Namun, jika dilihat dari efek lingkar kedua belum tentu menguntungkan. Pasalnya, Indonesia mengonsumsi barang jadi yang dihasilkan dari bahan mentah yang diekspor dari Indonesia.

Di tempat terpisah, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengatakan, dampak kenaikan harga minyak mentah terhadap kinerja ekspor perlu diwaspadai.

Kenaikan harga minyak dunia ikut mendorong melemahnya pertumbuhan ekonomi di kawasan yang menjadi pasar utama produk ekspor Indonesia, seperti Eropa, AS, dan Jepang. (DOT/DAY/HAR/TAV)

Tuesday, October 30, 2007

Cadangan Melimpah, Pemanfaatan Masih Lemah


Oleh Try Harijono

Dari sisi cadangan energi, sebenarnya Indonesia tidak perlu khawatir. Selain jumlahnya sangat melimpah dan tersebar di beberapa wilayah, jenisnya pun sangat beragam. Sayang, karunia Tuhan ini tidak dimanfaatkan secara optimal.

Semua pihak masih tertumpu pada minyak bumi. Padahal, selain jumlahnya sangat terbatas dan tak terbarukan, harga minyak bumi pun terus naik dan sulit dikendalikan.

"Energi lain yang sangat melimpah belum dimanfaatkan secara optimal," kata Rudi Rubiandini RS, pakar perminyakan dari Institut Teknologi Bandung (ITB) yang juga Ketua Majelis Ahli Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia.

Gas alam, misalnya, Indonesia memiliki cadangan sekitar 185,8 triliun cubic feet, batu bara 19,3 miliar ton, dan panas bumi sekitar 27.000 megawatt (MW). Belum lagi berbagai energi terbarukan seperti tenaga matahari, tenaga air, tenaga angin, biogas, biomassa, dan mikro hidro yang cadangannya luar biasa.

Jika minyak bumi yang cadangannya saat ini sekitar 9,1 miliar barrel dan diproduksi 387 juta barrel dalam setahun, maka jenis energi ini di Indonesia diperkirakan akan habis sekitar 28 tahun mendatang. Tidak demikian dengan gas. Cadangannya yang melimpah, sedangkan produksinya baru 2,95 TSCF, diperkirakan energi ini baru akan habis 62 tahun mendatang.

Adapun batu bara, dengan produksi 132 juta ton per tahun, diperkirakan baru akan habis 146 tahun mendatang. "Namun batu bara menimbulkan polusi yang cukup tinggi sehingga dituding tidak ramah lingkungan," kata Rudi.

Karena itu, Rudi mengusulkan agar pemerintah serius mengembangkan tenaga panas bumi yang potensinya untuk seluruh dunia paling besar di Indonesia, yakni 27.000 MW atau sekitar 40 persen dari potensi dunia. Hal ini wajar karena populasi gunung berapi di Indonesia merupakan yang paling padat di dunia.

Potensi panas bumi Indonesia pun luar biasa karena tersebar di 151 lokasi, dan potensi terbesarnya ada di Pulau Sumatera sebesar 5.433 MW. Sayang, selama 20 tahun mengembangkan energi ini, Indonesia baru memanfaatkan sekitar 787 MW atau 4 persen dari potensi yang ada.

"Kendalanya terutama investasi yang sangat besar dibandingkan dengan minyak bumi, apalagi batu bara. Ini disebabkan kegiatan pengeboran dan eksplorasi merupakan kegiatan yang padat modal dan membutuhkan teknologi tinggi," kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro.

Sudah mendesak

Apa pun tantangannya, penggunaan energi alternatif sudah sangat mendesak dan tidak bisa ditunda-tunda lagi. "Jika terlambat, Indonesia bisa mengalami krisis energi karena konsumsi energi dalam negeri terus meningkat," kata pengamat perminyakan Kurtubi.

Di sektor transportasi, misalnya, kebutuhan energi sekitar 99,9 persen masih menggunakan bahan bakar minyak, baik premium maupun solar. Hanya 0,1 persen yang menggunakan biofuel dan bahan bakar gas.

Begitu juga di sektor rumah tangga dan komersial, masih 53,1 persen yang menggunakan bahan bakar minyak, 36 persen menggunakan listrik, dan baru 10,6 persen yang menggunakan elpiji.

Di sektor industri, sampai 2006 masih 43,8 persen industri yang mengandalkan kebutuhan energinya dari bahan bakar minyak. Hanya 22,5 persen yang menggunakan batu bara, dan 19,6 persen yang menggunakan gas.

Di sektor pembangkit listrik pun sama saja. Sekitar 23,7 persen pembangkit listrik masih menggunakan energi bahan bakar minyak, meski jelas-jelas tidak ekonomis.

Rendahnya penggunaan energi alternatif ini, menurut Rudi Rubiandini, karena selama ini tidak ada kebijakan yang serius dan kemauan politik dari pemerintah untuk mengembangkan energi alternatif. Justru pemerintah memberikan subsidi yang sangat besar untuk energi minyak karena tak mau kehilangan simpati dari masyarakat.

"Padahal, jika dikembangkan energi alternatif, semua pihak, baik masyarakat maupun negara, sangat diuntungkan. Kuncinya adalah keberanian pemerintah melakukan investasi dalam pengembangan energi alternatif," kata Rudi.

Bayangkan saja jika pemerintah mengembangkan energi listrik tenaga surya (solar energy). Untuk menjangkau daerah-daerah terpencil tidak perlu dibangun jaringan listrik yang yang mahal karena tenaga surya bisa dimanfaatkan di berbagai pelosok Tanah Air.

"Begitu pun lampu penerangan jalan raya, tidak perlu menggunakan listrik bertenaga diesel seperti dilakukan sejumlah daerah, tetapi memanfaatkan listrik tenaga surya," kata Rudi.

Perlu insentif

Banyak pilihan dalam penerapan energi alternatif ini sesuai dengan kondisi setiap wilayah. Untuk wilayah Kalimantan Barat, misalnya, sangat sesuai jika dikembangkan pembangkit listrik tenaga air. Maklum, dari potensi pembangkit listrik tenaga air secara nasional yang diperkirakan sekitar 75.670 MW, sekitar 4.455 MW atau hampir 6 persen di antaranya berada di Kalimantan Barat.

Daerah lain bisa saja mengembangkan energi listrik tenaga matahari atau angin meski teknologinya masih harus disempurnakan. "Kuncinya adalah kemauan politik dari pemerintah untuk menghapus subsidi minyak dan mengalihkannya untuk mengembangkan energi alternatif yang terbarukan," tutur Kurtubi.

Kebijakan ini perlu disertai dengan langkah konkret berupa strategi untuk mendorong semua pihak memanfaatkan energi alternatif yang terbarukan. Misalnya, perusahaan pembangkit energi yang masih menggunakan minyak secara bertahap diwajibkan mengoperasikan energi terbarukan.

Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro juga menyadari pentingnya menggalakkan penggunaan energi alternatif yang terbarukan secara nasional. Departemen ESDM, umpamanya, sudah menyusun sejumlah target yang harus dicapai pada tahun 2010.

Sebagai contoh, penggunaan 43,8 persen bahan bakar minyak sebagai sumber energi oleh sektor industri saat ini pada tahun 2010 ditargetkan bisa ditekan hingga 27,8 persen, sedangkan penggunaan batu bara ditingkatkan dari 22,5 persen menjadi 34,9 persen.

"Sektor industri sebenarnya tidak perlu dipaksa. Mereka akan mencari sendiri energi yang bernilai ekonomis dan efisien asalkan tersedia dalam jumlah memadai," kata Menteri Purnomo.

Begitu pun di sektor pembangkit listrik, penggunaan batu bara yang saat ini masih 46,2 persen pada tahun 2010 ditargetkan bisa ditingkatkan menjadi 71,4 persen. Adapun di sektor rumah tangga, penggunaan elpiji sebagai sumber energi akan ditingkatkan dari 10,6 persen menjadi 19 persen. Sementara di sektor transportasi, penggunaan bahan bakar minyak yang masih 99,9 persen ditargetkan pada tahun 2010 bisa dikurangi menjadi 88,8 persen dengan mengembangkan biofuel dan gas.

Ambisi ini sebenarnya realistis asal disertai upaya serius dan konsisten dari berbagai pihak untuk menggalakkan penggunaan energi alternatif yang terbarukan. Jangan ditunggu-tunggu lagi. (AIK)

Langka Minyak di Daerah Penghasil


Pantas saja kalau sebagian besar masyarakat Kalimantan Timur sering merasa kesal, sebal, dan cemburu. Bayangkan saja, produksi minyak Kalimantan Timur sedikitnya 79,7 juta barrel per tahun. Belum lagi gas alam yang produksinya mencapai 1.650 miliar meter kubik per tahun, serta batu bara yang produksinya paling sedikit 52 juta ton per tahun.

Namun, provinsi seluas 1,5 kali Pulau Jawa dengan penduduk 2,8 juta jiwa ini mengalami penderitaan yang belum terselesaikan hingga kini. Pemadaman listrik hampir terjadi setiap hari, bahkan di ibu kota provinsi Samarinda atau kota besar seperti Balikpapan sekalipun.

Di daerah-daerah terpencil, kesengsaraannya lebih-lebih lagi. Selain banyak daerah yang belum terjangkau listrik, pada waktu-waktu tertentu, seperti curah hujan sedang tinggi dan jalanan rusak parah, harga solar yang biasanya Rp 5.000 per liter bisa melambung hingga Rp 10.000 per liter. Masih lumayan jika barangnya ada. Sering kali harganya mahal, barangnya pun tidak ada.

"Padahal, Kalimantan Timur merupakan daerah penghasil minyak terbesar," kata Labin (46), penduduk di Kecamatan Tabang, Kabupaten Kutai Kartanegara.

Di Kalimantan Selatan yang merupakan daerah penghasil batu bara persoalannya sama saja. Kelangkaan minyak terkadang sampai mengganggu aktivitas perekonomian masyarakat. Perdagangan bahan bakar minyak (BBM) secara ilegal pun kerap terjadi, dari yang untuk keperluan rumah tangga atau transportasi menjadi kebutuhan industri. Ada pula perdagangan ilegal dari kapal tanker yang kemudian "kencing" dan diperdagangkan ke masyarakat secara langsung.

"Kami sudah berkali-kali melakukan penertiban dan razia, tetapi perdagangan ilegal masih saja marak," kata Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Selatan Brigjen (Pol) Halba Rubis Nugroho.

Dalam sepekan terakhir, misalnya, petugas menangkap dua kapal bermuatan lebih dari 300 ton solar dan satu perahu berisi satu ton minyak tanah ilegal yang akan dijual ke kalangan industri pertambangan batu bara. Mereka lebih suka membeli BBM ilegal karena harganya separuh dari harga BBM industri yang mencapai Rp 6.000 per liter.

Perusahaan pertambangan di Kalsel memang termasuk rakus BBM, khususnya solar. Hal ini terjadi karena sebagian besar pengangkutan batu bara menggunakan truk berbahan bakar solar. Setiap malam saja, antara 500 hingga 1.000 truk mengangkut batu bara dari lokasi tambang ke pelabuhan-pelabuhan laut. Dengan keperluan 50 liter saja per malam, maka dibutuhkan 25 ton hingga 50 ton solar yang sebagian diperoleh secara ilegal.

Kenaikan harga minyak dunia yang sempat menembus harga 90 dollar AS per barrel diperkirakan tidak akan berdampak luas kepada daerah-daerah penghasil minyak seperti Kalimantan Timur. "Daerah penghasil memang mendapatkan keuntungan dari kenaikan harga minyak dunia, sedangkan daerah tidak harus menanggung subsidi," kata pakar perminyakan dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Rudi Rubiandini.

Namun, tetap saja keuntungan tersebut hanya terlihat dari angka-angka yang muncul di APBD. Masyarakat di daerah penghasil tetap saja bergulat dengan persoalan yang sama, kelangkaan bahan bakar minyak dan pemadaman listrik hampir setiap hari.(FUL/THY)

Kado Pahit untuk Maskapai


Oleh Khairina

Boleh jadi, inilah kado "pahit" bagi maskapai penerbangan dan perusahaan. Harga minyak bumi naik hingga lebih dari 80 dollar Amerika Serikat per barrel justru terjadi saat pengguna jasa mereka tengah sepi atau off season. Agar bisa bertahan, mereka melakukan berbagai cara untuk menambah jumlah pelanggan.

Sekretaris Jenderal Indonesia National Air Carriers Association (INACA) Tengku Burhanuddin mengatakan, bahan bakar adalah komponen terbesar dari biaya operasional langsung (direct operating cost/DOC) pesawat. Saat harga avtur masih berkisar Rp 6.500 per liter, biaya avtur mencapai sekitar 47 persen dari DOC. Dengan kenaikan harga minyak, biaya bahan bakar bisa mencapai 60 persen dari DOC.

"DOC tidak bisa dikurangi lagi komponen biayanya, apalagi sekarang pemerintah ketat mengontrol kelayakan pesawat terbang," ujar Burhanuddin.

Kenaikan harga ini mau tak mau membuat maskapai penerbangan bersiap menaikkan biaya tambahan untuk bahan bakar atau fuel surcharge. "Kemungkinan besar, fuel surcharge naik. Kami masih mengamati fluktuasi harga minyak dunia," ujar Manajer Humas Lion Air Hasyim Arsal Alhabsy.

Kenaikan biaya ini dikhawatirkan memengaruhi jumlah penumpang. Untuk mengantisipasinya, Hasyim mengaku menjalankan pola-pola pemasaran yang lebih up to date. Lion Air juga meningkatkan pelayanan kepada penumpang.

Upaya keras juga dilakukan Account Manager DHL Global Forwarding Robertus Andhi. Kenaikan harga minyak menyebabkan fuel surcharge (bagi pengiriman lewat udara) dan bunker adjustment factor atau BAF (jika barang dikirim lewat laut) naik.

Persaingan sesama forwarder pun semakin ketat. Banyak forwarder yang berani menurunkan freight cost di bawah standar agar tarif yang dibebankan kepada konsumen tidak terlalu mahal.

DHL sendiri menerapkan tarif yang fleksibel bagi pelanggannya. "Untuk konsumen lama, harga yang kami tawarkan negotiable (harga tawar-menawar/bisa dinegosiasikan). Apalagi, mereka biasanya sudah terikat kontrak jangka panjang dengan kami," ujar Andhi, yang sebagian besar konsumennya adalah eksportir.

Kendati berusaha menerapkan tarif yang bisa dinegosiasikan, Andhi mengaku, tarif itu tidak berlaku jika barang yang dikirimkan beratnya di bawah 200 kilogram. "Soalnya sedikit atau banyak barang yang dikirim, kami kan tetap menyewa pesawat yang ukurannya sama. Kecuali, kalau barang-barang itu bisa dikirimkan bersamaan dengan kargo yang lain," katanya.

Berdasarkan data dari INACA, volume barang yang diangkut lewat kargo udara untuk rute domestik mencapai 268.495 ton pada 2006 atau menurun dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pada 2005, volume barang yang diangkut mencapai 275.480 ton.

Untuk rute internasional, volume barang yang diangkut pada 2006 mencapai 76.730 ton, sementara pada 2005 hanya 55.307 ton.

Sementara, load factor penumpang pesawat terbang setiap tahun meningkat. Pada 2006, load factor pesawat mencapai 78,36 persen, lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya 77,17 persen.

Berdasarkan harga jual tiket, pasar menengah ke bawah tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan kelas menengah ke atas. "Itu sebabnya, kenaikan fuel surcharge sedikit saja akan memberatkan konsumen. Beda dengan di luar negeri yang masyarakatnya sudah terbiasa," kata Burhanuddin.

Kenaikan harga minyak dunia, katanya, memang tak bisa dihindari. Namun, pemerintah dapat mengurangi beban masyarakat dengan mengurangi nilai pajak. "Biasanya, kan, pajak dibebankan 10 persen. Kalau pemerintah bisa mengurangi jadi lima persen saja, itu kan sudah menolong," katanya.

Realistislah!


Memang agak sulit mengaitkan langsung dampak kenaikan harga minyak dunia dengan kondisi dalam negeri, apalagi setelah pemerintah berjanji tidak akan mengubah harga minyak. Namun, justru di situlah letak persoalannya.

Dikhawatirkan janji dan niat baik pemerintah untuk tetap mematok harga minyak pada 60 dollar AS justru membuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menjadi tidak realistis. Dalam arti, kondisi seperti ini diperkirakan akan memicu tekanan cukup tinggi pada APBN. Karena itu, tidak ada harapan lain kecuali pemerintah bertindak realistis.

Pengamat masalah minyak Kurtubi mengakui, dampak kenaikan harga minyak global pada kondisi domestik akan sangat tergantung pada konsistensi pemerintah untuk tidak menaikkan harga BBM sampai tahun 2009.

"Sepanjang harga BBM tidak naik, tidak akan ada dampak ke masyarakat. Memang ada tekanan yang sangat berat terhadap APBN jika pemerintah tidak menaikkan harga BBM dalam negeri. Mungkin akan ada pos-pos APBN yang dikurangi untuk nomboki subsidi BBM," ujarnya.

Penjelasan itu sangat bisa dipahami. Dalam pengamatannya, tiap terjadi kenaikan harga minyak 1 dollar AS saja akan menyebabkan defisit APBN antara Rp 5 miliar hingga Rp 1 triliun.

Hal senada diungkapkan pengamat ekonomi Bustanul Arifin. Dampak domestik yang akan terjadi dari melonjaknya harga minyak dunia hanya bisa melalui penetapan APBN. Dengan kata lain, dampak kenaikan harga minyak dunia dengan kondisi dalam negeri, khususnya bagi masyarakat banyak, adalah melalui kebijakan fiskal. "Jadi, nyambungnya lewat kebijakan fiskal," ujarnya.

"Dengan keputusan harga minyak yang sudah dipatok untuk APBN 60 dollar AS (sementara harga minyak dunia mencapai 80 dollar AS), pemerintah harus kuat menanggung biaya pembengkakan yang akan terjadi," ujarnya. "Apa pemerintah masih sanggup menanggungnya?" lanjut Bustanul. Walau begitu, ia menganggap tidak terlalu fair jika mengaitkan secara langsung masalah melonjaknya harga minyak dunia dengan kondisi sosial di Indonesia.

"Tetapi kalau memang terjadi defisit dan komposisi APBN berubah, kondisi sosial sangat mungkin terpengaruh karena adanya perbedaan sedemikian besar antara APBN dan harga minyak dunia," ujarnya. Ia menengarai, kondisi itu membuka peluang pada masalah penyelundupan serta meningkatnya ongkos angkut dan aktivitas produksi.

Dampak berantai

Tak bisa dihindari, hal itu akan memicu terjadinya dampak berantai. Meningkatnya ongkos dan aktivitas produksi dikhawatirkan menurunkan daya beli masyarakat. Yang lebih mengkhawatirkan adalah jika pemerintah terpaksa mengambil tindakan memutuskan subsidi solar untuk industri.

"Nah, ini akan membuat kalangan industri terpaksa melakukan PHK (pemutusan hubungan kerja) saja," katanya. "Ini yang harus dibaca baik-baik oleh pemerintah," kata Bustanul.

Baik Bustanul maupun Kurtubi menegaskan, untuk menghindari hal itu, pemerintah sedapat mungkin harus menaikkan produksi minyak dalam negeri sekarang juga. Langkah ini penting untuk menghindari dampak negatif kenaikan harga minyak dunia terhadap ekonomi dalam negeri.

Bustanul mengatakan, selama ini pemerintah tidak pernah mencoba menyadari bahwa produksi minyak dalam negeri tidak pernah mencapai target, yaitu 1,035 juta barrel per hari. Untuk ke depan, arah ke upaya itu sudah harus terlihat.

Kurtubi menegaskan pentingnya pemerintah segera menarik atau mengembalikan uang yang menurut Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berpotensi merugikan negara di BP Migas sebesar 2,5 miliar dollar AS.

"Uang ini bisa untuk nombokin defisit APBN. Dikembalikan dulu. Soal kuitansi tidak lengkap, harus konsultasi dulu kantor pusat, itu nanti karena berbelit-belit. Padahal temuan BPK ini temuan awal dan ada kemungkinan asas kriminal, kalau menunggu setelah ditindaklanjuti sehingga masih lama," katanya.

Hal lain adalah pemerintah harus mempercepat konversi minyak tanah ke gas karena subsidi minyak tanah per liter sangatlah besar. "Ya, pemerintah seharusnya lebih realistislah," tegas Bustanul Arifin. (CM Rien Kuntari)

Gagap terhadap Lonjakan Harga Minyak


Oleh Ahmad Arif

Kecenderungan harga minyak bumi di pasar internasional yang terus naik sejak tahun 2004 selama ini disikapi lamban oleh kalangan industri di Indonesia. Ketika kini harga minyak telah menyentuh harga 90 dollar Amerika Serikat per barrel, barulah mereka kalang kabut. Masih adakah kesempatan untuk mengatasi dampak kenaikan harga minyak global ini?

Pengamat perminyakan Kurtubi menilai harga minyak dunia kemungkinan akan terus melambung hingga triwulan I-2008 karena permintaan minyak dunia terus melonjak, tanpa diikuti lonjakan produksi. Ketegangan Turki dengan Kurdi di Irak juga dianggap menakutkan para konsumen sehingga mereka memburu minyak. "Jika kondisi geopolitik ini terus memanas, kenaikan harga minyak bisa mencapai angka 100 dollar AS per barrel," kata Kurtubi.

Jika janji pemerintah untuk tidak menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi ditepati, setidaknya hingga Pemilihan Umum 2009, masyarakat tidak akan terkena dampak langsung dari kenaikan harga minyak global.

Tetapi, lain halnya dengan sektor industri, yang bergantung pada pasokan listrik PLN dan BBM nonsubsidi. Mereka tentu akan terkena dampak langsung dengan naiknya harga energi yang menjadi komponen penting dalam produksi.

Peneliti dari Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi Sosial (LP3ES) Pri Agung Rakhmanto menyebutkan, kenaikan harga minyak yang menyentuh angka hingga 90 dollar AS per barrel akan memicu kenaikan harga BBM industri dalam negeri sekitar 10 persen. Biaya produksi pun akan naik, dan harga produk kemungkinan akan melambung lebih dari 10 persen.

"Industri yang akan banyak terbebani dengan kenaikan harga minyak adalah yang yang padat menggunakan energi, di antaranya tekstil, perikanan, pabrik sepatu, semen, dan plastik," kata Kurtubi.

Sekretaris Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) EG Ismy mengatakan, kalangan pengusaha tekstil termasuk yang paling terpukul dengan kenaikan harga minyak dunia. Itu karena sebagian besar pengusaha tekstil masih bergantung pada bahan bakar minyak dan pasokan listrik PLN nonsubsidi untuk memenuhi kebutuhan energi mereka.

Belanja energi merupakan komponen biaya kedua terbesar pada perusahaan tekstil, yaitu mencapai 18 persen dari total biaya produksi. Sedangkan biaya untuk membeli bahan baku dan bahan pembantu sebesar 58 persen, membayar tenaga kerja 16 persen, dan sisanya sebesar 8 persen untuk membayar bunga bank, pungutan, administrasi, serta pemasaran.

Dengan kenaikan harga energi, komponen biaya yang bisa diubah hanyalah pengurangan bahan baku dan bahan pembantu, serta upah untuk tenaga kerja. "Komponen lain tak bisa diutak-atik lagi," kata Ismy.

Diversifikasi energi

Seharusnya kenaikan harga minyak ini tak menjadi masalah lagi bagi sektor industri karena kecenderungan kenaikan harga minyak sudah terjadi sejak lama. "Seharusnya mereka sudah beradaptasi dengan melakukan efisiensi dan mengganti bahan bakar minyak dengan bahan bakar lain yang lebih murah, seperti batu bara dan gas," kata Kurtubi.

Tetapi, kenyataan berbicara lain. Sebagian besar industri di Indonesia, yang padat energi seperti tekstil, masih bergantung pada minyak bumi. Ismy menyebutkan, baru 20 dari 200 perusahaan tekstil di tingkat hulu yang mulai menggunakan batu bara. Itu pun perbandingan batu bara masih 30 persen dari seluruh komponen energi.

Masalah tambah gawat karena banyak mesin industri di Indonesia yang tergolong kedaluwarsa. Mesin-mesin tua ini lebih boros menyedot bahan bakar dalam proses produksi. Oleh sebab itu, desakan efisiensi melalui peremajaan mesin di Indonesia menjadi mutlak.

Masalahnya, industri kita sulit melakukan itu, karena untuk membangun industri modern yang efisien harus ada kredit investasi jangka panjang dari perbankan. Sekarang, tak ada lagi bank yang mau investasi seperti itu.

Menurut Ismy, penggunaan batu bara untuk industri masih sarat masalah. Di antaranya, kendala lingkungan dan hambatan integrasi energinya dengan PLN. Kalangan pengusaha juga meragukan keberlanjutan penggunaan batu bara karena pasar luar negeri tidak bisa menerima produk yang dinilai tidak ramah lingkungan. Sementara, batu bara dinilai sebagai salah satu yang tidak ramah lingkungan.

Sikap aparatur pemerintah sendiri juga masih terbelah. "Di satu sisi, kita didorong menggunakan batu bara, tetapi di sisi lain Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) masih menilai limbah batu bara termasuk bahan berbahaya dan beracun," kata Ismy.

Pengelolaan limbah batu bara memang masih menjadi masalah serius. "Ada anggota kami menggunakan limbahnya untuk membuat batako dan tiang listrik, tapi kemudian didatangi polisi karena dinilai izin kami hanya membuat tekstil, bukan membuat batako. Padahal, itu upaya untuk mengatasi masalah limbah batu bara," kata Ismy.

Di sisi lain, PLN juga melarang sinkronisasi arus listrik mereka dengan energi yang dihasilkan dari batu bara milik industri. Jaminan ketersediaan pasokan batu bara untuk industri dalam negeri juga masih belum diatur dengan perangkat perundang-undangan sehingga banyak kalangan industri yang ragu-ragu untuk berubah ke batu bara. "Mekanismenya di lapangan memang masih banyak masalah," kata Ismy.

Terlambat beradaptasi

Menurut Kurtubi, kunci untuk mengatasi masalah energi yang dihadapi oleh industri adalah secepatnya mengurangi ketergantungan industri dari minyak ke bahan bakar lain yang lebih murah, seperti batu bara dan gas. "Ke depan seharusnya ada petunjuk pelaksanaan yang jelas, bagaimana industri-industri ini bisa mengonversikan energi dari minyak ke batu bara atau sumber energi lain yang lebih murah," jelas dia.

Ini berarti, pemerintah harus jelas dan mempersiapkan prasarana batu bara, meliputi masalah pengangkutan. "Industri lokasi di mana, dan sampai berapa lama akan memakai batu bara. Juga jaminan ketersediaan pasokan untuk industri dalam negeri harus jelas," kata Kurtubi.

Berdasarkan data Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), konsumsi batu bara dalam negeri masih sangat kecil jika dibandingkan dengan yang diekspor. Pada tahun 2006, sebanyak 129,504 juta ton batu bara diekspor, dan hanya 39,208 juta ton yang digunakan untuk dalam negeri. Itu pun sebagian besar konsumsi dalam negeri untuk pasokan PLN.

Menurut Agung, adaptasi sektor industri terhadap kenaikan harga minyak sudah sangat terlambat. Berbeda dengan China, yang secara serius menggunakan batu bara sebagai salah satu sumber energinya untuk mengurangi penggunaan minyak. Brasil adalah contoh negara lain yang sukses melakukan diversifikasi energi dengan etanol. "Sementara kita belum apa-apa," katanya.

Peningkatan Produksi Butuh Waktu


Kegagalan Indonesia menggenjot produksi minyak mentah beberapa tahun terakhir dituding sebagai salah satu penyebab Indonesia babak belur menghadapi lonjakan harga minyak mentah di pasar dunia akhir-akhir ini.

Oleh karena itu, menggenjot produksi dianggap sebagai jalan keluar penting dari kemelut harga minyak sekarang ini. Mampukah pemerintah memenuhi target produksi di atas 1 juta barrel per hari (bph) yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setelah beberapa waktu terakhir produksi terus tertahan di bawah 1 juta bph?

Berikut wawancara dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro, Kamis (25/10) malam lalu.

Produksi minyak kita selama 10 tahun terakhir terus turun, apa yang terjadi dalam kurun waktu itu?

Kita harus melihat bahwa ada beberapa hal yang menyebabkan hal ini. Investasi di minyak dan gas bumi pascakejatuhan Orde Baru tidak jalan karena masih ada imbas krisis moneter. Dan pada waktu itu Rancangan Undang-Undang Migas yang diajukan pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat ditolak sehingga semakin sulit mencari investor. Di tambah lagi, produksi minyak saat itu terjun bebas.

Terus apa yang dilakukan pemerintah?

Yang pertama, kita perbaiki kembali substansi RUU Migas untuk kemudian diajukan kembali ke DPR. Sebenarnya secara substansi tidak banyak hal yang berubah dari UU sebelumnya dari sisi pengelolaan upstream.

Perubahan paling besar hanya ada di hilir migas, yaitu dengan memangkas peran Pertamina hanya sebagai pemain di hilir migas, dan regulator dipegang penuh oleh pemerintah. RUU Migas memang diterima oleh DPR, tetapi tidak bisa langsung dijalankan karena UU Migas kemudian digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Akibatnya muncul ketidakpastian lagi, dan investasi baru tidak ada yang masuk.

Produksi migas pun terus terjun bebas. Setelah MK selesaikan gugatan tahun 2004, baru pemerintah bisa buat perangkat aturan yang jelas. Investasi mulai masuk lagi di tahun-tahun ini. Hanya saja, yang harus diingat, pengembangan lapangan itu butuh waktu 5-7 tahun hingga bisa berproduksi.

Namun, harus diakui bahwa produksi minyak kita yang telah ditambang sejak 100 tahun lalu itu sudah jenuh sehingga sulit ditingkatkan lagi dengan pesat. Di sisi lain memang terjadi perubahan paradigma. Produksi minyak kita turun, tetapi produksi gas dan batu bara meningkat tinggi.

Adanya paradigma batu bara dan gas naik, kenapa tidak langsung dimanfaatkan oleh pemerintah untuk menggantikan produksi minyak?

Melihat kenyataan produksi minyak yang terus turun, seharusnya kita memang tidak lagi terpaku pada produksi minyak dalam penentuan asumsi APBN. Dari zaman Pak Harto, cuma dua asumsi ini saja yang dilihat, yaitu produksi dan harga minyak.

Memang dari sisi penerimaan, meskipun jumlah produksi minyak menurun, dan paling sedikit dibandingkan dengan gas dan batu bara, sumbangan ke penerimaan negara masih paling besar.

Pemerintah sedang memperjuangkan ke DPR agar asumsi anggaran negara memasukkan gas dan batu bara. Era minyak memang sudah turun, dengan tren digantikan oleh dua jenis energi ini. Produksi gas kita setara dengan 1,5 juta barrel setara minyak, sedangkan batu bara 2,5 juta barrel ekuivalen. Produksi batu bara kita saat ini mencapai 170 juta ton per tahun, itu belum termasuk produksi yang tidak dilaporkan pemerintah daerah.

Kami perkirakan masih ada tambahan sekitar 30 juta ton produksi batu bara yang tidak tercatat. Pemerintah sedang melihat apa yang bisa dilakukan untuk menaikkan penerimaan negara dari gas dan batu bara. Ke depan yang akan menjadi paradigma adalah gas dan batu bara.

Cadangan minyak, termasuk Blok Cepu, tinggal 9,1 miliar barrel. Dengan produksi sekarang, minyak hanya akan bertahan 23 tahun, sedangkan gas masih bisa untuk 62 tahun dan batu bara bertahan hingga 120 tahun.

Sebenarnya, apa masih ada daya tarik di sektor migas?

Investasi itu membutuhkan kepastian dan economic return. Terus terang saja, untuk pertambangan umum sampai saat ini sama sekali belum ada investor yang berani masuk karena undang-undangnya belum selesai. Dari sisi peluang ekonomi, cadangan geologi kita untuk migas masih ada potensi yang menjanjikan. Masih ada 22 cekungan hidrokarbon yang belum dieksplorasi, dan kemungkinan ada potensi minyak. Untuk Asia, kita masih yang paling baik potensinya. Tapi, yang harus disadari, membuka lapangan minyak butuh waktu lama.

Sebenarnya kalau dikatakan kita berpangku tangan, tidak berbuat apa-apa untuk meningkatkan produksi, sebenarnya tidak juga. Investasi kita di migas tidak terlalu buruk, sebab kalau dilihat tahun 2006, total investasi yang masuk di sektor migas mencapai Rp 18 triliun. Itu mayoritas di hulu.

Tahun ini, komitmen investasi di sektor migas juga akan meloncat. Sekarang saja komitmen sudah 44. Memang ada yang mempertanyakan, komitmen, kan, belum tentu jadi, ya memang. Tapi paling tidak itu menunjukkan bahwa sektor migas masih menarik.

Tanggal 30 Oktober nanti kita akan tawarkan 26 blok migas baru. Dari sisi peningkatan produksi, tahun 2006 itu kalau tidak ada upaya, produksi minyak hanya 560.000 barrel.

Bagaimana dengan potensi energi lain seperti panas bumi?

Potensinya memang besar sampai 27.000 megawatt (MW), tetapi yang dimanfaatkan sangat kecil, hanya sekitar 800 MW. Memang panas bumi dulu tidak menarik karena mahal. Rata rata energi fosil memang pemanfaatannya masih kecil meskipun dari segi potensi sangat besar. Energi nonfosil tidak bisa berkembang karena bahan bakar fosil masih disubsidi sehingga orang lebih memilih memakai BBM.

Tapi, ke depan, kita ingin pengembangan panas bumi lebih cepat, apalagi dengan telah keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 125 tentang Panas Bumi. Apalagi dengan adanya tren Mekanisme Pembangunan Bersih.

Kenapa pemerintah menggunakan asumsi harga minyak yang rendah di APBN?

Asumsi harga yang konservatif juga digunakan di semua negara OPEC dan negara produsen minyak. Kuwait, misalnya, memakai asumsi harga 36 dollar AS per barrel, Irak pakai asumsi 50 dollar AS per barrel, Arab Saudi pakai 40 dollar AS per barrel.

Penggunaan asumsi harga minyak yang rendah itu sebagai safety net dalam perimbangan anggaran. Lha, kalau kita telanjur pakai asumsi harga minyak tinggi, lalu harga minyak tiba-tiba jatuh, duit yang sudah dialokasikan ke anggaran, kan, tidak mungkin ditarik lagi. (DOT/THY/AIK/TAT)

Skenario Minyak 100 Dollar AS Per Barrel


Lonjakan harga minyak hingga menyentuh level 90 dollar AS per barrel di New York Merchantile Exchange (NYME) pada 19 Oktober lalu mengisyaratkan skenario Peak Oil semakin menjadi kenyataan.

Beberapa tahun lalu orang tidak membayangkan harga minyak bisa setinggi ini, tetapi perkembangan beberapa tahun terakhir semakin menunjukkan bukan tidak mungkin prediksi harga mencapai 100 dollar AS per barrel bisa terwujud dalam waktu dekat.

Pada September 2003, harga rata-rata minyak mentah standar di NYME masih di bawah 25 dollar AS per barrel. Juni 2005 sudah di atas 60 dollar AS per barrel, Mei 2007 di atas 80 dollar AS, dan 19 Oktober lalu sempat tembus 90 dollar AS per barrel. Meningkat sekitar 75 persen hanya dalam tahun ini. Pada level sekarang ini, harga minyak mentah terhitung sudah naik di atas 300 persen dibandingkan dengan tahun 1990.

Harga 90 dollar AS per barrel itu mendekati harga tertinggi dalam sejarah yang terjadi tahun 1980 (di puncak krisis Irak-Iran), yang kalau dikurskan dengan kurs sekarang setara 95 dollar AS per barrel. Saat itu lonjakan harga tersebut mengakibatkan resesi ekonomi dunia.

Faktor geopolitis, yakni meningkatnya ketegangan antara Turki dan Irak, memang ikut memicu pergerakan dramatis harga minyak sepanjang pekan lalu, selain faktor lain seperti meningkatnya kebutuhan minyak musim dingin di belahan bumi utara, menipisnya cadangan minyak AS, dan kekhawatiran menyangkut badai yang bisa mengganggu produksi minyak AS.

Tetapi, terlepas dari ikut bermainnya faktor geopolitis yang sifatnya insidental, faktor fundamental, berupa ketidakseimbangan suplai dan permintaan, tetap menjadi penentu penting pergerakan harga minyak mentah di pasar dunia sekarang ini.

Harga 90 dollar AS bisa jadi baru pemanasan karena secara fundamental pasar diperkirakan akan tetap ketat, dengan permintaan minyak beberapa tahun ke depan diperkirakan akan tetap tinggi. Lonjakan permintaan terutama berasal dari negara-negara Asia non-Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) seperti China dan India yang mengalami pertumbuhan ekonomi sekitar 10 persen per tahun dan tidak ada tanda-tanda melambat sampai sekarang.

Prediksi harga minyak akan segera menyentuh 100 dollar AS per barrel yang semua dianggap mustahil antara lain dilontarkan para penganut Peak Oil Theory.

Peak Oil Theory yang dimotori ahli geologi minyak AS, King Hubbert, meyakini produksi minyak mentah global sekarang ini sudah atau akan segera mencapai titik jenuhnya, untuk kemudian stagnan, sebelum akhirnya mengalami penurunan dengan cepat secara permanen.

Peningkatan produksi

Sementara kubu penentangnya meyakini produksi masih akan meningkat hingga 2040 atau 2050 dengan ditemukannya sumber-sumber produksi baru atau ditingkatkannya produksi di sumur-sumur lama melalui teknologi yang lebih canggih.

Cambridge Energy Research Associates (CERA), misalnya, mengatakan sisa cadangan minyak global masih 3,74 triliun barrel, tiga kali lipat lebih besar dari yang disebutkan penganut Peak Oil. Dan itu masih bisa meningkat lagi.

Sayangnya, kecenderungan beberapa tahun terakhir ini lebih berpihak pada penganut teori Peak Oil. Beberapa indikasinya, lapangan Cantarell di Teluk Meksiko yang sudah berproduksi sejak 1971 dan merupakan lapangan minyak kedua terbesar dunia sudah tua dan terus menurun produksinya.

Lapangan terbesar, Ghawar di Arab Saudi, dan lapangan Burgan di Kuwait yang juga masuk lima besar, juga menunjukkan gejala sama. Sejak 1990, hanya ada satu lapangan baru besar yang ditemukan, yang bisa diharapkan mampu berproduksi hingga 500.000 barrel per hari (bph) pada kapasitas puncaknya, yakni lapangan Kahagan di Kazakhstan.

Padahal, teknologi perminyakan sudah sedemikian berkembang dan canggih, serta mampu meningkatkan keberhasilan penemuan dari 25 persen tahun 1990-an menjadi 45 persen. Teknologi enhanced recovery juga berhasil meningkatkan jumlah minyak yang berhasil diangkat dari sumur dari 20 persen menjadi 60 persen.

Namun, dengan kemajuan teknologi yang pesat ini pun, produksi tetap tak mampu mengimbangi permintaan. Teknologi mahal ini justru mengakibatkan semakin mahalnya biaya memproduksi minyak mentah dunia. Sebagai gambaran, untuk bisa mengantongi untung 10 persen, perusahaan minyak di Kanada setidaknya harus mematok harga jual 60 dollar AS per barrel.

Skenario referensi yang dibuat Energy Information Administration/EIA (Annual Energy Outlook 2007/IEO2007) memprediksikan konsumsi minyak dan bahan bakar cair lain seperti etanol, batu bara cair, dan LNG cair akan meningkat dari 83 juta bph setara minyak tahun 2004 menjadi 97 juta bph tahun 2015 dan 118 juta bph tahun 2030.

Sedangkan berdasarkan skenario tinggi (high price case), harga minyak diproyeksikan mencapai 157 dollar AS per barrel secara nominal pada 2030. Sebagai catatan prediksi harga EIA selama ini selalu terlampaui.

Selama ini harga minyak lebih banyak dikendalikan oleh kartel Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan oligopoli segelintir perusahaan minyak raksasa negara maju. Selain faktor suplai dan permintaan, spekulan juga ikut bermain. Beberapa analis memperkirakan dari 80 dollar AS per barrel harga minyak sekarang ini, sekitar 10 dollar AS di antaranya adalah karena peran spekulasi hedge funds.

Di luar itu masih banyak faktor lain yang juga bisa memengaruhi harga minyak, termasuk faktor geopolitis, krisis politik, pemogokan buruh, gangguan teroris, dan badai. Banyak yang menduga invasi atau serangan AS ke Iran akan sangat berdampak katastropik terhadap pasar dan harga minyak.

Tingginya harga minyak, ditambah dampak krisis kredit perumahan kelas dua di AS (subprime mortgage) di AS sekarang ini, dikhawatirkan bakal menyeret perekonomian AS dan kemudian perekonomian dunia dalam resesi.

Spekulasi yang berkembang, resesi di AS akan membuat permintaan akan minyak mentah juga turun (mengingat AS adalah konsumen terbesar minyak), sehingga tekanan dari sisi permintaan juga turun dan harga minyak dunia pun akan turun. Artinya, sebelum mencapai level 100 dollar AS per barrel, harga akan turun. Tetapi apakah betul begitu?

Sayangnya, tidak semuanya yakin resesi di AS pun bakal mampu mengerem permintaan dunia. Kalaupun permintaan AS turun, permintaan negara-negara berkembang emerging market diperkirakan akan terus meningkat. Karakteristik pasar minyak mentah dunia sekarang ini, menurut EIA dan OECD, ditandai oleh terus meningkatnya konsumsi (terutama dari China dan India), pertumbuhan pasokan non- OPEC yang hanya moderat, terus menurunnya stok (inventori) minyak di AS, dan meningkatnya permintaan terhadap minyak produksi OPEC.

Dari gambaran ini, tekanan harga minyak sekarang ini diprediksi bakal terus berlanjut pada 2008, terutama jika laju pertumbuhan konsumsi minyak dunia tidak dapat direm. Ditambah lagi dengan adanya skeptisme bakal terealisasinya proyeksi tambahan pasokan 2 juta barrel (1,2 juta bph dari OPEC dan 860.000 bph dari non-OPEC ) di tengah kondisi geopolitis seperti sekarang.

Selain itu, ada kecenderungan negara-negara penghasil minyak sendiri, termasuk produsen besar OPEC di Timur Tengah (Timteng), menahan sebagian produksi minyak di dalam negerinya. Salah satu indikasi yang disebut Goldman Sachs, misalnya, ekspor minyak Timteng sekarang ini lebih rendah dari tahun 2000, padahal produksi mereka meningkat 2 juta barrel per hari.

Peningkatan pendapatan negara-negara eksportir minyak mencapai 850 miliar dollar AS selama kurun 1999-2005. Nilai cadangan minyak yang mereka kuasai juga meningkat lebih dari 40 triliun dollar AS antara tahun 1999 dan tahun 2005.

Permanen

Dana Moneter Internasional (IMF) dalam laporan "Oil Price and Global Imbalances" memprediksikan tekanan harga minyak sekarang ini bakal bertahan atau permanen. Ini bedanya dengan oil shock sebelumnya. Dari perspektif historis, separuh lonjakan harga minyak 1973-1974 terbukti permanen/berlanjut, sementara oil shock 1979-1981 akhirnya berbalik.

Untuk yang sekarang ini, ekspektasi pasar maupun penilaian terhadap fundamental jangka menengah pasar minyak mengisyaratkan sebagian besar tren kenaikan sifatnya permanen atau bertahan. Artinya, kemungkinan koreksi atau turun, kecil.

Prediksi jangka menengah IEA juga memperkirakan kondisi pasar minyak dunia akan tetap ketat lima tahun mendatang, dengan pertumbuhan konsumsi 2,2 persen per tahun, sementara pasokan dari non-OPEC hanya meningkat 1 persen per tahun sebelum akhirnya stagnan. Ini akan semakin mempertinggi tensi dan ketergantungan negara-negara maju pada OPEC.

OPEC akan dipaksa menggenjot produksi dari 31,3 juta bph sekarang ini menjadi 36,2 juta bph tahun 2012 sehingga berakibat kapasitas tersisa hanya 1,6 persen dari permintaan global, dari sekarang 2,9 persen.

Beberapa negara mengantisipasi prospek melonjaknya harga minyak ini dengan menimbun stok dan melakukan lindung nilai (hedging) sejak jauh-jauh hari.

Langkah Venezuela menasionalisasi proyek-proyek minyak perusahaan-perusahaan minyak asing mulai menginspirasi dan diikuti negara lain untuk mengamankan kepentingan jangka panjang mereka. Pada 22 Juni lalu Rusia memaksa BP menjual mayoritas saham di lapangan gas raksasa di Siberia, Kovykta, seharga sekitar 700 juta dollar AS.

Tahun sebelumnya, Royal Dutch Shell PLC juga dipaksa melepas kontrol mayoritas atas proyek gas Sakhalin II di Timur Jauh, dan Rusia kini juga tengah melakukan tekanan serupa terhadap ExxonMobil di lapangan lain tidak jauh dari situ.

Negara-negara lain melakukan tidak hanya dalam harga, tetapi juga hedging sejak di perut bumi. Contohnya China. Mengantisipasi kebutuhan energi untuk mendukung kesinambungan pertumbuhan ekonomi tingginya, negara ini sangat agresif dalam perburuan minyak. Mereka tidak hanya menandatangani berbagai kontrak besar jangka panjang pasokan migas dan sumber energi fosil lain seperti batu bara dengan negara-negara pemilik deposit besar, tetapi BUMN-BUMN minyaknya juga agresif mengakuisisi saham perusahaan-perusahaan minyak dan investasi eksplorasi di berbagai negara.

Selain permintaan yang pasti akan terus meningkat, situasi ke depan masih penuh ketidakpastian dan negara-negara yang tak mampu mengantisipasi dan menyiasati kondisi ini bakal menjadi korban paling menyedihkan dari situasi yang serba sulit diprediksi ini. (sri hartati samhadi)