Thursday, January 31, 2008

Ekonomi 2008



Melonjaknya harga minyak mentah dunia dan meluasnya dampak krisis subprime mortgage di Amerika Serikat (AS) telah memukul perekonomian banyak negara. Krisis tersebut juga mendorong terjadinya perlambatan perekonomian global.

Laporan Dana Moneter Internasional (IMF) menyebutkan perekonomian dunia akan tumbuh 5,2% pada 2007, sedikit melambat menjadi 4,8% pada 2008. Amerika juga sudah mengoreksi proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun depan dari semula 2,8% menjadi 2,2%. Gejolak harga minyak dan krisis subprime mortgage juga berimbas terhadap perekonomian nasional. IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan hanya 6,1%, lebih rendah dari target pemerintah dalam APBN sebesar 6,8%.

Krisis subprime mortgage yang timbul beberapa bulan lalu telah menimbulkan ketidakseimbangan pasar keuangan dan bursa dalam negeri. Bahkan, nilai tukar rupiah juga ikut terimbas dengan kecenderungan terus melemah.Kini gejolak tersebut disusul kenaikan harga minyak di pasar internasional yang sempat menembus USD100 per barel. Melemahnya ekonomi global,jelas memengaruhi kondisi penurunan pasokan dan permintaan global sehingga akan menyebabkan kompetisi memperebutkan pangsa ekspor dunia dan aliran investasi menjadi lebih ketat.

Indonesia juga harus berkompetisi memperebutkan pangsa ekspor dunia dan aliran investasi sehingga dampaknya akan memengaruhi perekonomian nasional, terutama target pertumbuhan ekonomi bisa terkoreksi. Kita ketahui bahwa investasi merupakan salah satu tumpuan pertumbuhan ekonomi Indonesia, meskipun kontribusinya terhadap pembentukan produk domestik bruto (PDB) masih belum optimal.Laju investasi yang masuk Indonesia pada 2007 juga belum menggembirakan.

Realisasi total investasi dari Januari- September 2007 (PMA dan PMDN) mencapai Rp109,7 triliun.Kenaikan nilai investasi total terutama didorong kenaikan dari penanaman modal asing yang mencapai Rp76,86 triliun. Sektor-sektor yang sangat diminati asing adalah sektor telekomunikasi, sektor transportasi, dan sektor pergudangan. Sementara untuk penanaman modal dalam negeri (PMDN), nilai realisasi mencapai Rp25,96 triliun.

Perkembangan investasi yang belum menggembirakan tidak dapat dilepaskan dari iklim usaha di Indonesia yang masih belum membaik secara signifikan.Berdasarkan survei yang dilakukan IFC beberapa waktu lalu, iklim usaha di Indonesia belum menunjukkan perubahan yang signifikan, meskipun studi yang dilakukan LPEM FEUI dan Bank Dunia Jakarta menunjukkan ada perbaikan dari segi waktu yang dibutuhkan untuk melakukan usaha. Sementara itu, melambatnya pertumbuhan ekonomi AS pada 2008 ini, juga berdampak terhadap ekspor negara kita ke negara itu,karena selama ini AS menjadi pasar ekspor terbesar Indonesia.

Namun,melambatnya permintaan ekspor AS sedikit tertolong oleh prospek ekonomi nasional menyusul peningkatan permintaan dari pasar nontradisional--di luar AS, Jepang, dan Uni Eropa--yang diperkirakan relatif tidak terpengaruh oleh risiko pelemahan perekonomian global. Perekonomian di kawasan Timur Tengah justru makin kuat karena peningkatan harga minyak dunia. Perekonomian yang menguat juga dialami beberapa negara Asia,seperti China,Korea Selatan,Taiwan, negara anggota ASEAN. Tantangan daya saing industri justru berasal dari dunia usaha kita sendiri.Pertumbuhan industri nasional pada 2007 diproyeksikan hanya mencapai 6,3%, jauh di bawah target awal sebesar 7,9%, tetapi naik dibandingkan tahun lalu yang sebesar 5,27%.

Rendahnya pertumbuhan industri nasional tahun ini akibat sejumlah kelompok industri yang memberi kontribusi produk domestik bruto (PDB) besar, tumbuh minim, seperti industri tekstil, barang kulit, dan alas kaki yang sampai triwulan III tumbuh minus 2,16%. Sampai akhir 2007, pertumbuhan kelompok industri tekstil, barang kulit, dan alas kaki, yang memberi kontribusi sekitar 10,74% terhadap PDB diperkirakan hanya mampu tumbuh positif sebesar 1,5%.

Salah satu penyebab masih rendahnya pertumbuhan industri tekstil, barang kulit, dan alas kaki, terutama akibat rendahnya pertumbuhan industri tekstil karena masih maraknya penyelundupan yang mendistorsi pasar dalam negeri. Salah satu tantangan kita adalah kemampuan bersaing dengan negaranegara lain,seperti China,India,Vietnam, sementara prestasi kita masuk kategori sedang karena negaranegara tersebut mencatat pertumbuhan ekonomi lebih tinggi, rata-rata di atas 8%.

Negara-negara tersebut ternyata mampu memanfaatkan peluang eksternal-global yang sama dengan lebih baik. Untuk memenangkan persaingan di pasar ekspor yang ketat, dunia usaha harus bisa bersaing meningkatkan komoditas bermutu tinggi dengan harga yang lebih bersaing.Jalan keluar bagi dunia usaha juga harus dicari pebisnis dengan meningkatkan efisiensi dan produktivitas agar mampu bersaing. Meskipun pencapaian kinerja ekonomi selama 2007 lebih baik dibanding tahun lalu, kualitas pertumbuhan masih belum mengalami kemajuan yang berarti.

Pertumbuhan ekonomi masih didorong konsumsi rumah tangga dan konsumsi, sementara konsumsi pemerintah lebih rendah dari target semula. Sebagaimana kita ketahui bahwa peran anggaran (government expenditure) terhadap pertumbuhan ekonomi masih rendah. Demikian halnya dengan peranannya pertumbuhan ekonomi 2007 masih minim. Peran APBN sebagai stimulus ekonomi tidak berjalan maksimal karena pencairan anggaran hampir selalu terlambat dan tingkat penyerapan anggaran yang rendah.

Hal itu ditandai dengan pertumbuhan konsumsi pemerintah yang berada di bawah target semula,yakni dari rencana 8,9% dibanding 2006 ternyata diperkirakan hanya 6,14%. Pertumbuhan yang sekarang ini dicapai lebih banyak didorong investasi swasta, ekspor, dan konsumsi masyarakat. Kegagalan APBN sebagai stimulus pertumbuhan akan menimbulkan konsekuensi lain,yakni gagal sebagai alat fiskal yang mendorong pemerataan ekonomi.Dengan rendahnya porsi konsumsi pemerintah (melalui anggaran belanja negara) terhadap produk domestik bruto, berarti fungsi pemerataan itu tidak berjalan.Fungsi ini akan semakin tidak jalan apabila anggaran belanja negara di APBN bias karena dibelanjakan ke program atau proyek yang tidak prorakyat.(*)


Fahruddin Salim Kandidat Doktor Manajemen Bisnis Unpad Bandung

BLUNDER DAN MALAPETAKA TERBESAR TERKAIT BLBI : O.R. (Artikel 5)


Minggu, 27 Januari 08

PENERBITAN SURAT UTANG PEMERINTAH SEJUMLAH RP. 430 TRILYUN DENGAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN BUNGA SEBESAR RP. 600 TRILYUN

Bank-bank yang tidak ditutup dinilai oleh IMF. Yang kecukupan modalnya atau Capital Adequacy Ratio (CAR)-nya antara minus 25 % atau lebih baik harus dinaikkan sampai menjadi 8 % sesuai dengan ketentuan Bank for International Settlement (BIS) di Bazel, Swiss.

Caranya ialah menaikkan modal ekuitinya, karena CAR adalah Modal Ekuiti dibagi dengan Asset Tertimbang Menurut Resiko (ATMR). Karena pemerintah tidak mempunyai uang tunai untuk menaikkan Ekuiti, maka sebagai penggantinya diterbitkan Surat Utang yang diinjeksikan kepada bank-bank tersebut sampai CAR-nya mencapai 8%.

Jumlah keseluruhan Rp. 430 trilyun. Surat utang yang khusus diterbitkan untuk meningkatkan CAR bank-bank sampai memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh BIS dan diwajibkan oleh IMF ini disebut Obligasi Rekapitalisasi Perbankan atau Obligasi Rekap (OR).

Sebagaimana layaknya surat utang, OR juga mengandung kewajiban pembayaran bunga. Bunga yang dibayarkan kepada bank-bank yang memiliki OR ini juga dimaksud untuk memberi subsidi kepada bank-bank yang sedang menderita kerugian.

Jadi OR mempunyai dua fungsi. Yang pertama yalah meningkatkan kecukupan modal atau solvency. Yang kedua untuk memperoleh pendapatan bunga, agar bank tidak menderita kerugian. Segera saja timbul pertanyaan, apakah OR yang dimaksud untuk meningkatkan kecukupan modal sampai 8 % sesuai dengan formula yang ditetapkan oleh BIS dengan sendirinya akan memberikan pendapatan bunga, sehingga rugi/laba bank impas? Tidak rugi dan tidak untung? Jelas tidak. Masalah ini akan saya bahas tersendiri.

OR MEMBANGKRUTKAN KEUANGAN NEGARA

Kalau setiap lembar dari OR dibayar tepat pada waktunya oleh pemerintah, kewajiban pembayaran bunganya sebesar Rp. 600 trilyun. Maka pemerintah tidak dapat menghindar dari kewajiban pembayaran utang OR yang diciptakan beserta kewajiban pembayaran bunga yang melekat pada OR tersebut. Bagaimana kalau pada tanggal jatuh temponya OR ternyata tidak dapat dibayar karena pemerintah tidak cukup mempunyai uang? Pembayarannya akan ditunda dengan menerbitkan surat utang baru untuk membayar OR yang sudah jatuh tempo. Bagaimana gambarannya?

3 staf sekretariat dari BPPN, yaitu Gatot Arya Putra, Ira Setiati dan Dan Damayanti di tahun 2002 mengembangkan sebuah skenario dalam tiga buah tulisan. Yang pertama dan kedua sempat dimuat dalam Bulletin resmi BPPN berjudul “Analisa Ekonomi”. Yang ketiga dilarang terbit. Namun mereka mengirimkannya kepada saya selaku Kepala Bappenas dengan nama pengirim “Kami yang peduli kepada bangsa ini”. Saya gandakan dan bagikan kepada para anggota DPR dan pers. Mereka bertiga langsung dipecat. Apa yang ditulis oleh mereka sehingga dilarang terbit, dan kemudian dipecat?

Seperti dikatakan tadi, dengan jumlah kewajiban pembayaran yang demikian besarnya, juga besar kemungkinannya bahwa pemerintah tidak akan mempunyai cukup uang untuk membayarnya tepat pada tanggal jatuh temponya. Atas dasar ini, ketiga staf BPPN tersebut mengembangkan enam buah skenario tentang sampai berapa besar membengkaknya kewajiban pemerintah membayar cicilan utang pokok beserta bunganya.

Skenario terbaik ialah kalau setiap lembar OR dapat dibayar tepat pada waktunya. Dalam hal ini, kewajiban pemerintah sebesar Rp. 1.030 trilyun, yaitu Rp. 430 trilyun utang pokok dan Rp. 600 trilyun bunga.

Skenario terburuk ialah kalau setiap lembar OR yang jatuh tempo ditunda pembayarannya dengan satu tenor yang sama, yaitu ditunda dengan jangka waktu yang sama dengan yang pertama kalinya diterbitkan. Dalam hal ini, bunganya akan membengkak luar biasa besarnya, sehingga jumlah kewajiban pembayarannya akan mencapai Rp. 14.000 trilyun.

Menteri Keuangan ketika itu, Boediono telah mencapai kata sepakat dengan DPR tentang penataan ulang jadwal pemerintah membayar OR yang disebutnya dengan istilah reprofiling. Kesimpulannya, dengan reprofiling tersebut, kewajiban pembayaran oleh pemerintah akan membesar dengan Rp. 860 milyar per tahun selama 8 tahun.

Bagaimana hasilnya sampai sekarang sama sekali tidak jelas. Yang kita baca ialah diterbitkannya surat utang negara terus menerus. Posisi utang negara, terutama yang berkaitan dengan OR tidak pernah diumumkan dengan jelas.

Seperti kita ketahui, yang sangat memberatkan keuangan negara sehingga boleh dikatakan sudah bangkrut ialah porsi pembayaran cicilan utang pokok dan bunga yang rata-rata 25 % dari APBN.

JALAN PIKIRAN YANG KONYOL DALAM MENGEJAR SOLVENCY DAN RENTABILITAS SEKALIGUS

Seperti telah ditulis tadi, apakah penerbitan OR dengan jumlah yang dimaksud untuk memenuhi kecukupan modal atau CAR sampai 8 % dengan sendirinya juga memenuhi kebutuhan menutup kerugian bank sampai jumlah yang tidak berlebihan atau kekurangan ?

Ternyata tidak. Secara teoritis dan logis saja bisa dikatakan bahwa tidak mungkin sama. Kalaupun pernah sama, itu sebuah kebetulan yang luar biasa.

Penyuntikan bank dengan OR dimaksud untuk memperbaiki kecukupan modal dengan surat utang. Maka jumlah dari keseluruhan surat utangnya yang bernama OR ditentukan sebesar angka yang membuat CAR 8 %. Tingkat suku bunga yang berlaku buat OR ditentukan yang sesuai dengan tingkat suku bunga yang berlaku. Apakah tingkat suku bunga ini lantas mesti menghasilkan pendapatan bunga yang impas dengan kerugian bank supaya bank tidak merugi atau istilahnya IMF ketika itu, bank tidak “bleeding” lagi?

Saya membuat analisis dari Neraca per 31 Desember 2002 dari 10 bank yang menerima OR paling banyak. Setelah tanggal tersebut analisis sangat sulit dibuat, karena laporan keuangan bank-bank yang menerima OR mengkaburkan pendapatan bunga dari OR. Artinya dicampur aduk dengan pendapatan-pendapatan lainnya, sehingga tidak bisa diperoleh angka yang khusus merupakan pendapatan bunga dari OR.

Analisis dalam bentuk Tabel adalah sebagai berikut.


Kerugian Bank-Bank Rekap Bila Bunga O.R Dicabut
(per 31 Desember 2002)


(1)(2)(3)(4)(5)
NoBankLaba(Rugi)
Bersih
(dalam jutaan)
Bunga O.R
(dalam jutaan)
Laba(Rugi) Tanpa Bunga O.R
(dalam jutaan)
1Bank Mandiri5.809.97021.434.822(15.624.852)
2Bank Negara Indonesia2.510.6537.537.490(5.026.837)
3Bank Rakyat Indonesia1.469.6703.735.770(2.266.100)
4Bank Tabungan Negara303.0431.844.796(1.541.753)
5Bank Internasional Indonesia131.8762.207.806(2.075.930)
6Bank Danamon989.2843.331.297(2.342.013)
7Bank Permata(847.855)1.106.363(1.954.218)
8Bank Niaga76.5931.134.047(1.057.454)
9Bank Lippo192.564739.755(547.191)
10Bank Central Asia3.400.0668.591.568(5.191.502)
Jumlah14.035.86451.663.714(37.627.850)


Kita lihat bahwa dari sepuluh bank yang menerima OR sampai kecukupan modalnya memenuhi syarat ternyata pendapatan bunga yang diperoleh kelebihan banyak kalau sekedar hanya dimaksud untuk menutup kerugian supaya impas, atau supaya bank berhenti bleeding.

Kita lihat Bank Mandiri dari Tabel ini. Perolehan pendapatan bunga dari OR yang disuntikkan sebesar Rp. 21,435 trilyun. Kerugiannya Rp. 15,625 trilyun. OR yang disuntikkan kepada Bank Mandiri tidak hanya membuat Bank Mandiri berhenti bleeding, tetapi memperoleh laba sebesar Rp. 5,810 trilyun, karena disubsidi sebesar Rp. 21,435 trilyun dalam bentuk bunga OR.

Sekarang kita perhatikan BCA (no. 10 dalam Tabel). BCA merugi Rp. 5,192 trilyun. Tetapi injeksi OR sebesar Rp. 60 trilyun membuahkan pendapatan bunga sebesar Rp. 8,592 trilyun, sehingga akhirnya membukukan laba sebesar Rp. 3,4 trilyun. Bank ini akhirnya dijual dengan nilai sebesar Rp. 10 trilyun saja. Tentang ini saya bahas tersendiri.

KEKONYOLAN FORMULA MENGHITUNG KECUKUPAN MODAL DAN AKIBATNYA

Kecukupan Modal atau yang dinamakan CAR adalah Modal Ekuiti dibagi dengan Asset Tertimbang Menurut Resiko (ATMR). Komponen dari ATMR bermacam-macam, dan karena itu, resikonya juga bermacam-macam. Caranya BIS menentukan resiko buat Indonesia sangat aneh.

Semua asset berupa pemberian kredit kepada perusahaan resikonya dianggap 100 % tanpa peduli seberapapun bonafidnya perusahaan yang memperoleh kredit.

Akibatnya, semakin bank yang disehatkan oleh pemerintah berhasil, semakin memburuk CAR-nya. Penjelasannya sebagai berikut.

Andaikan pada satu waktu tertentu ATMR sebesar Rp. 1,25 trilyun dan modal ekuitinya Rp. 100 milyar. Kalau dihitung, CAR-nya 8 %, yaitu Rp. 100 milyar dibagi dengan Rp. 1,25 trilyun dikali 100 %. Setelah ini, ceteris paribus, bank berhasil menarik deposito dan tabungan sebesar Rp. 5 trilyun yang seluruhnya disalurkan dalam bentuk kredit kepada perusahaan-perusahaan sangat bonafid. Modal ekuiti tidak bertambah, tetapi ATMR ketambahan Rp. 5 trilyun, sehingga perhitungan CAR menjadi Rp. 100 milyar dibagi dengan Rp. 6,25 trilyun, yaitu ATMR lama sebesar Rp. 1,25 trilyun ditambah dengan pemberian kredit baru sebesar Rp. 5 trilyun. CAR-nya menjadi Rp. 100 milyar dibagi dengan Rp. 6,25 trilyun dikali 100 % atau 1,6 %. Memang ini kondisi ceteris paribus, sedangkan kenyataannya tidak. Laba bersih ditambahkan pada modal ekuiti yang dampaknya memperbesar CAR. Betul, tetapi membutuhkan waktu, terjadi time lag, sedangkan penarikan deposito dan tabungan berjalan terus yang harus sesegera mungkin disalurkan ke sektor produktif, bukannya dibelikan SBI atau apa saja yang dijamin oleh pemerintah kalau mau dikatakan sehat.

Maka bank-bank tidak mau memberi kredit, maunya membeli SBI, karena SBI dan sejenisnya dianggap resikonya nol, sehingga tidak menurunkan CAR. Herankah kalau Loan to Deposit Ratio (LDR) setelah sekian lamanya tetap saja rendah? Dan herankah kalau di masa mendatang keuangan negara akan tetap saja sangat-sangat berat?

Sudah konyol seperti ini, Bank Indonesia yang independen merasa perlu terus menerus menerbitkan SBI dengan tingkat suku bunga yang menarik. Kecuali memberikan pendapatan kepada bank-bank yang mempunyai likuiditas tanpa bekerja, BI juga mengeluarkan sangat banyak uang untuk membayar bunga SBI. Berapa seluruhnya juga sangat sulit ditelusuri, karena BI tidak pernah pro aktif memberikan angka-angkanya secara transparan.

Yang memberatkan APBN kita itu perbankan yang prinsip-prinsip pengelolaannya didasarkan atas resep-resep IMF dan ketentuan-ketentuan BIS, bukan naiknya harga minyak dunia ! Jadi subsidi terbesar diberikan kepada perbankan. Pertama BLBI, lantas OR beserta bunganya, blanket quarantee, penentuan CAR yang asetnya beresiko nol kalau ada dukungan dari pemerintah dalam bentuk apa saja. Kenaikan harga minyak dunia tidak berdampak sama sekali pada pengeluaran pemerintah. Yang benar kalau diperdebatkan apakah harga BBM di Indonesia tidak terlalu murah ? Ini sangat berlainan dengan mengatakan bahwa semakin tinggi harga minyak dunia, semakin besar pengeluaran tunai pemerintah! Pengeluaran pemerintah tidak ada, sebaliknya, tengok APBN. Semua pos migas kalau digabung menunjukkan angka surplus. Inilah nasibnya bangsa yang tidak merdeka lagi dalam berpikir !

LAGI-LAGI PIKIRAN YANG BENAR DAN BAIK TIDAK DIGUBRIS

Penerbitan OR untuk memenuhi persyaratan BIS dalam CAR memang dipaksakan oleh IMF. Akibatnya adalah kewajiban pembayaran utang OR beserta bunganya yang boleh dikatakan membangkrutkan keuangan negara entah sampai kapan.

Sedikit orang yang mengerti dan memahaminya telah berbuat sekuat tenaga untuk menghindarinya. Semua upaya mereka gagal karena kuatnya pengaruh Berkeley Mafia. Yang pertama menyadari adalah Prof. Bambang Sudibyo selaku Menteri Keuangannya Gus Dur dan saya sendiri selaku Menko EKUIN-nya.

Kami berdua telah sepakat bahwa OR ditarik kembali oleh pemerintah tanpa membuat banknya bangkrut sebelum dijual kepada swasta atau diprivatisasi, yang juga merupakan persyaratan IMF.

OR adalah piutang dari bank-bank yang telah menjadi milik pemerintah kepada pemerintah. Atau pemerintah berutang kepada bank-bank yang dimiliki oleh pemerintah sendiri. Jadi ibaratnya utang dari kantong kiri kemeja satu orang kepada kantong kanan dari kemeja yang sama. Maka urusannya hanya bagaimana tekniknya. Teknik atau cara penarikannya termasuk domain sub ilmu pengetahuan yang sama sekali tidak dipahami oleh para teknokrat Berkeley Mafia maupun teknokrat IMF. Atau mungkin mereka memahaminya, tetapi sengaja mau mengobral bank-bank dengan harga murah seraya membangkrutkan keuangan negara.

Cara mengeluarkannya yang pertama kali disepakati antara Menkeu (ketika itu) Bambang Sudibyo dan KKG secara diam-diam adalah mengganti OR dengan apa yang kami namakan zero coupon bond (ZCB). Ini adalah dokumen semacam obligasi yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan. Isinya jaminan pemerintah bahwa CAR senantiasa memenuhi persyaratan BIS. Tetapi ZCB tidak mengandung kewajiban pembayaran bunga. Isinya hanya angka yang harus dianggap sebagai Modal Ekuiti agar CAR-nya 8 %. Jadi ZCB adalah dokumen jaminan pemerintah untuk membawa solvency bank pada persyaratan IMF. Tetapi ZCB sama sekali tidak mengandung kewajiban membayar bunga kepada pemegangnya. Bank yang merugi atau bleeding dibuat impas dengan subsidi tunai oleh pemerintah setiap bulannya yang jumlahnya persis sama dengan kerugiannya.

Semua bank diberi tenggang waktu 5 tahun untuk menjadi sehat atas kekuatan sendiri. Kalau tidak ditutup, dan kalau sudah sehat atas kekuatan sendiri, ZCB ditarik. Kalau penyehatan harus dicapai melalui privatisasi lebih baik. Tetapi ini berarti bahwa pembeli bank harus menginjeksi dengan uang segar yang tunai untuk secara riil meningkatkan modal ekuitinya.

Setelah itu, para ahli dalam bidang keuangan dan perbankan berdasarkan idealisme mengembangkan 6 (enam) alternatif solusi menarik OR sebelum bank dijual berikut OR-nya. Kesemua pikiran ini dimuat di Kompas tanggal 26 dan 27 Agustus 2002. Setelah itu dibukukan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris yang dibagikan kepada semua anggota DPR, Bank Dunia, para Menteri dan Pers. Tim para ahli ini terdiri dari Dr. Dradjat Wibowo sebagai koordinator dan para anggotanya adalah : Anthony Budiawan, Dandossi Matram, Djoko Retnadi, Eko B. Supriyanto, Elvyn G. Masassya, Ito Warsito dan Lenny Sugihat.

Semuanya tidak digubris walaupun akibatnya kita rasakan sendiri sampai sekarang, yaitu mengeluarkan uang sebesar sekitar 25 % dari APBN entah sampai kapan. Motifnya hanya satu, yaitu patuh pada IMF secara mutlak dan habis-habisan.

Prinsip dan inti pikiran Zero Coupon Bond yang sama sekali tidak diugbris sebagai cara untuk menarik kembali OR adalah sama dengan Capital Maintenance Note yang berasal dari pikirannya Paul Volcker yang diterapkan untuk menyelesaikan masalah sengketa BLBI antara BI dan Menteri Keuangan. Apa lagi sebabnya kalau bukan mental inlander yang hanya bisa menerima pikiran orang berkulit putih?

BANK-BANK DIJUAL DENGAN OR DI DALAMNYA

Akhirnya tanpa ada selembarpun OR yang ditarik kembali, bank-bank eks swasta yang di dalamnya masih mengandung OR atau tagihan kepada pemerintah dalam jumlah besar dijual kepada swasta. Banyak swasta asing yang membelinya dengan harga murah.

OR-nya segera dijual kepada publik, sehingga pemerintah sudah tidak bisa mengenali lagi kepada siapa berutang.

Contoh yang paling spetakuler adalah penjualan BCA dengan nilai Rp. 10 trilyun. Pembelinya memiliki BCA yang mempunyai tagihan dalam bentuk OR kepada pemerintah sebesar Rp. 60 trilyun.

Sekarang setelah telat mikir sekitar 7 tahun, seperti halnya dengan perhatian terhadap BLBI beserta malapetakanya, orang baru menyadari betapa tidak masuk akal dan betapa pemerintah dirugikan dengan penjualan BCA, yang sangat bisa dihindari

Oleh Kwik Kian Gie

INTERPELASI BLBI KASUS BDNI (Artikel 4)



Rabu, 23 Januari 08

Seperti BCA, masalah BLBI BDNI beserta keseluruhan rentetannya yang merugikan keuangan negara menjadi fokus penelitian atau penyidikan oleh Kejaksaan Agung.

Maka kasus BDNI saya sajikan dalam satu artikel tersendiri. Segala sesuatu yang tercantum dalam artikel ini berdasarkan angka-angka tahun 2002. Tidak jelas apakah setelah data dan angka yang tercantum dalam artikel ini ada pekembangan angka-angka yang baru.

Bantuan Likuiditas Bank Indonesia(BLBI)

Utang mantan pemilik BDNI Syamsul Nursalim (SN) dalam bentuk BLBI sebesar Rp. 30,9 trilyun.

Bagaimana cara penyelesaian BLBI ini tidak begitu jelas bagi saya. Sebagai perbandingan, dalam hal BCA, utang BLBI kelompok Salim dibayar dengan 93% dari pemilikan BCA.

Nampaknya modal ekuiti BDNI sudah negatif, sehingga tidak ada nilainya sama sekali. Maka utang BLBI menjadi bagian dari keseluruhan utang SN yang harus dilunasi.

MODAL EKUITI BDNI SUDAH NEGATIF

BPPN menerbitkan buku berjudul “Shareholders settlement. An outline of its concepts and objectives”, tertanggal 3 Februari 2000

Di halaman 13 tercantum “Consolidated balance sheet of BDNI before and after adjustment based on Indonesian GAAP” dengan tanda bintang. Tanda bintangnya berarti ada catatan di bawah yang mengatakan “Source : ADDP Ernst and Young”. Kepanjangan ADDP adalah Accepted Due Diligence Process dan kepanjangan GAAP adalah General Accepted Accounting Principle.

Jumlah asset yang unadjusted Rp. 33,572 trilyun. Dengan sebutan “GAAP adjustment” asset ini dikurangi dengan Rp. 27,994 trilyun, sehingga menurut Ernst and Young assetnya tinggal Rp. 5,578 trilyun.

Jumlah kewajibannya (liabilities) yang tercantum sebesar Rp. 32,275 trilyun dikoreksi dengan tambahan Rp. 15,882 trilyun, sehingga kewajibannya yang benar menurut Ernst and Young sebesar Rp. 48,157 trilyun.

Dengan demikian, menurut Ernst and Young Modal Ekuitinya negatif sebesar Rp. 42,579 trilyun.

Rekapitulasinya sebagai berikut :
(dalam trilyun rupiah)

Aktiva sebelum dikoreksi oleh Ernst & Young atas dasar GAAP33,572
Koreksi sesuai dengan GAAP(27,994)
Aktiva setelah dikoreksi
5,578
Kewajiban sebelum dikoreksi(32,275)
Koreksi sesuai dengan GAAP(15,882)
Kewajiban setelah dikoreksi sesuai GAAP
(48,157)




Modal Ekuiti menjadi Negatif sebesar
(42,579)


PENANGANAN BLBI

Karena Modal Ekuiti BDNI sudah lama negatif, maka BLBI tidak dapat dikonversi menjadi pemilikan seperti halnya dengan BCA.

Berbeda dengan BCA, status BDNI ialah Bank Beku Operasi (BBO). Karena itu tidak ada gunanya Pemerintah memilikinya melalui konversi BLBI ke dalam pemilikan saham-saham, karena BDNI sudah tidak akan beroperasi lagi.

Penyelesaiannya ialah menentukan utang SN seluruhnya kepada negara. Jumlah BLBI sepenuhnya diperhitungkan dengan keseluruhan kekayaan dan kewajiban BDNI, yang perinciannya sebagai berikut :

JUMLAH HUTANG SYAMSUL NURSALIM(SN)
(dalam trilyun rupiah)

Jumlah keseluruhan utang SN kepada Pemerintah sebesar Rp. 28,4 trilyun yang dirinci sebagai berikut :

BLBI(30,9)
Deposito dan Pinjaman(7,1)
Pinjaman kepada BI melalui Guarantee Scheme(4,7)
LC dll.(4,6)


Total Utang
(47,3)


Jumlah aktiva BDNI yang dapat
digunakan untuk mengurangi utang
(dalam trilyun rupiah)

Kas1,3
Pinjaman kepada Petambak Udang
(via PT Dipasena)
4,8
Aktiva Tetap dan Penyertaan4,6
Pinjaman Pihak Ketiga dan
Aktiva Lainnya
8,2

Total Aktiva yang dapat di-offset
18,9


Jumlah Utang Neto
(28,4)

PENYELESAIAN UTANG

Penyelesaian utang dilakukan dengan MSAA yang isinya sebagai berikut,

Dengan uang tunai sebesarRp. 1,0 trilyun
Dengan Asset sebesarRp. 27,4 trilyun


Asset tersebut terdiri dari perusahaan-perusahaan dengan nilai dalam juta US Dollar sebagai berikut.

50,0% dari GT Petrochem344.100.000
55,3% dari Filamindo Sakti87.000.000
56,5% dari Sentra Sentetika52.700.000
78,0% dari Gajah Tunggal176.300.000
39,8% dari Meshindo Alloy14.800.000
39,8% dari Langgeng Baja Pratama5.300.000
99,9% dari Dipasena1.802.400.000


Jumlah2.482.600.000


Dihitung dengan kurs Rp. 11.075 per US $ =
Rp. 27,495 trilyun

Nilai tambak udang PT Dipasena sebesar US$ 1.802.400.000 sangat kontroversial. Nilai ini ditentukan oleh Credit Suisse First Boston.

Seperti yang saya tulis di Kompas tanggal 5 Oktober tahun 2000, ada penilaian oleh Price Waterhouse Coopers yang menyatakan nilai PT Dipasena NOL. Sebabnya karena kondisinya ketika itu tambak udang kosong dan beracun.

SKL (Release and Discharge)

Dalam tulisan saya tersebut juga disebutkan bahwa “di atas kop surat BPPN tanggal 25 Mei 1999 Pemerintah Indonesia memberikan Release and Discharge atas pelanggaran BMPK.” Dokumen R&D ini ditandatangani oleh Kepala BPPN Farid Harjanto. Ini agak aneh, karena SKL diterbitkan sebelum Inpres no. 8 tahun 2002 yang diterbitkan oleh Presiden Megawati. Atas dasar Inpres ini Kepala BPPN menerbitkan SKL sekali lagi untuk Syamsul Nursalim.

SENGKETA DALAM PEMBAYARAN TUNAI SEBESAR Rp. 1 TRILYUN

SN merasa telah membayar tunai yang disyaratkan sebesar Rp. 1 trilyun dengan perincian sebagai berikut.

Pembayaran untuk OHS
(US$ 154.950,13)
Rp. 1.262.843.559,50
Pembayaran untuk Nauta Dutilh
(US$ 212.015,87)
Rp. 1.727.929.340,50
Pembayaran notaris dan pengacara
(cadangan)
Rp. 500.000.000,00
Dana shareholder yang barada di
BDNI (BBO) berupa deposito,
tabungan dan Giro
Rp. 598.858.731.426,43


TotalRp. 602.349.504.326,43


Penyelesaian sisa settlement BDNI
(final)
Rp. 500.000.000.000,00


Kelebihan dana shareholderRp. 102.349.504.326,43


Dalam suratnya kepada BPPN tanggal 12 Juni 2000, SN menyatakan telah kelebihan membayar Rp. 172.963.477.615,23 sebagai hasil perincian yang tercantum dalam suratnya tersebut. Surat bersama ini saya lampirkan.

PENDIRIAN BPPN

Pada tanggal 16 Mei 2000 dengan judul “Kronologi Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) BDNI”, di halaman 4 dengan judul :
“Masalah Terkini” tercantum sebagai berikut.

1.Pembayaran tunai Rp. 1 trilyun belum diselesaikan
2.SN belum menyerahkan saham GT, GTPI, dan DCD kepada TSI
3.Saham-saham holdback asset belum diserahkan ke escrow
4.Prekondisi lain yang belum dipenuhi :
Legal opini yang belum sempurna
Ketidaklengkapan debtors consent and acknowledgement
Mispresentasi hutang petambak
Ketidakterbukaan manajemen dalam penyediaan dana


MISPRESENTASI UTANG PETAMBAK UDANG

Data di bawah ini adalah rangkuman dari tulisan KKG di Kompas tanggal 14 Oktober 2000 dengan judul “Petani Udang Dipasena. Tidak Tahu Utang Menumpuk”.

Ada dua hal penting dalam tulisan tersebut, yaitu :

1.Komponen terbesar dari pembayaran oleh SN adalah PT Dipasena
2.Dalam rangka PT Dipasena, BPPN menganggap ada “mispresentasi” hutang petambak.


Masalah dengan petambak udang dapat dirangkum sebegai berikut :
Petambak udang bekerja dalam bentuk Pola Inti Rakyat (PIR) sebagai plasma. Tetapi para petambak sama sekali tidak bebas, karena diikat dengan pemberian kredit kepadanya oleh BDNI yang milik SN.
Kredit diberikan dalam US$ yang nilai rupiahnya berfluktuasi.
Petambak tidak diberi pengertian yang jelas, sehingga terjadi demonstrasi berkali-kali dengan kericuhan sampai ada yang tewas.
Harga beli dari petambak ditentukan sepihak oleh Dipasena, yaitu US$ 4,50 per kg., sedangkan ongkos produksinya US$ 7,5
Kerugian ini tidak diberitahukan kepada petambak, tetapi dibukukan oleh Dipasena sebagai utang petambak kepada BDNI
Supaya petambak tenang, walaupun sistem PIR, kepada mereka diberikan gaji sebesar Rp. 650.000 yang (mungkin) diperhitungkan dengan harga belinya.

Oleh: Kwik Kian Gie

INTERPELASI BLBI KASUS BCA (Artikel 3)



Jumat, 18 Januari 08

Dalam penelitian atau penyidikan masalah BLBI oleh Kejaksaan Agung yang menjadi prioritas adalah kasus BCA dan BDNI. Terutama kasus BCA, publikasi oleh media massa cukup intensif. Mungkin karena itu, para anggota DPR dalam interpelasinya nanti juga akan menyorot kasus BCA. Maka dalam serial artikel tentang BLBI, kasus BCA saya tulis secara khusus dalam satu artikel.

Rush dan BLBI

Dengan terjadinya krisis moneter dan ekonomi tahun 1997 BCA terkena rush. Untuk meredam rush BCA menerima BLBI yang jumlah seluruhnya Rp. 32 trilyun.

Jumlah tersebut diberikan secara bertahap dengan jumlah Rp. 8 trilyun, Rp. 13,28 trilyun dan Rp. 10,71 trilyun, atau seluruhnya Rp. 31,99 trilyun (dibulatkan menjadi Rp. 32 trilyun)

Dari jumlah ini yang telah dibayarkan oleh BCA adalah cicilan utang pokok sebesar Rp. 8 trilyun dan pembayaran bunga sebesar Rp. 8,3 trilyun yang tingkat bunganya ketika itu sebesar 70 % per tahun.

Pemerintah menganggap hanya pembayaran cicilan utang pokoknya saja sebesar Rp. 8 trilyun yang mengurangi utangnya. Pembayaran bunga, walaupun sebesar Rp. 8,3 trilyun dengan tingkat bunga yang 70 % setahun ketika itu tidak dianggap oleh pemerintah sebagai mengurangi utang BLBI-nya keluarga Salim. Karena itu, jumlah sisa utang BLBI oleh pemerintah dianggap sebesar Rp. 23,99 trilyun. Jumlah ini dianggap ekivalen dengan 92,8 % dari nilai saham-saham BCA. Maka kepemilikan BCA sebesar ini disita oleh pemerintah sebagai pelunasan utang BLBI oleh keluarga Salim. Dengan disitanya 92,8 % saham-saham BCA dari tangan keluarga Salim menjadi milik pemerintah, utang BLBI keluarga Salim lunas. Jadi ketika itu juga keluarga Salim sudah tidak mempunyai utang BLBI. Utang keluarga Salim sebesar Rp. 52,7 trilyun adalah utang urusan lain lagi, bukan utang BLBI. Penggunaan istilah “BLBI” sebagai istilah generik untuk segala permasalahan sangat keliru.

Utang mantan Pemegang Saham BCA sebesar Rp. 52,7 trilyun

Sekarang penjelasan tentang utangnya keluarga Salim sebesar Rp. 52,7 trilyun. Ceriteranya sebagai berikut.

Ketika masih dimiliki sepenuhnya oleh keluarga Salim, sebagai pemilik BCA keluarga Salim mengambil kredit dari BCA senilai Rp. 52,7 trilyun.

Maka ketika 93 % BCA dimiliki oleh Pemerintah, utangnya keluarga Salim tersebut beralih menjadi utang kepada pemerintah. Jadi Pemerintah menagihnya kepada keluarga Salim.

Keluarga Salim tidak memiliki uang tunai. Maka dibayarlah dalam skema Pelunasan Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) yang wujudnya Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) dengan uang tunai sebesar Rp. 100 milyar dan 108 perusahaan.

Yang menentukan bahwa penyelesaian atau settlement seperti ini bagus dan absah adalah pemerintah sendiri. Yang menentukan bahwa nilai 108 perusahaan memang sebesar Rp. 51,9 trilyun adalah pemerintah sendiri. Dalam penentuan ini, pemerintah menggunakan jasa Danareksa, Bahana dan Lehman Brothers. Kita membaca di media massa sangat terkemuka berbagai uraian dari para akhli Danareksa dan Bahana yang dianggap sangat-sangat pandai dan mesti betulnya. Lehman Brothers bahkan menyatakan secara tertulis bahwa nilainya 108 perusahaan tersebut terlampau kecil, dengan selisih angka sebesar Rp. 204 milyar.

Jadi menurut Lehman Brothers, pembayaran utang oleh Salim sebesar Rp. 100 milyar tunai ditambah dengan 108 perusahaan nilainya Rp. 53,204 trilyun, atau kelebihan Rp. 204 milyar dibandingkan dengan utangnya. Namun pendapat Lehman Brothers tentang yang kelebihan Rp. 204 milyar ini tidak dianggap atau tidak digubris oleh pemerintah.

Selisih Penilaian

Penilaian dari 108 perusahaan yang semula Rp. 52,8 trilyun oleh Bahana, Danareksa dan Lehman Brothers kemudian dinilai oleh Price Waterhouse Coopers (PWC) dengan titik tolak penjualan “paksa” tidak lebih lambat dari tanggal tertentu. PWC tiba pada angka Rp. 20 trilyun saja. Titik tolak dan asumsi ini tertuang dalam Letter of Intent dengan IMF.

Dalam prakteknya keseluruhan 108 perusahaan ternyata memang hanya laku dijual dengan nilai sekitar Rp. 20 trilyun saja.

Mengapa bisa terjadi selisih penilaian oleh Bahana, Danareksa, Lehman Brothers di satu pihak dan oleh Price Water House Coopers di lain pihak dijelaskan dalam sub judul tersendiri.

Release and Discharge (R&D) atau Surat Keterangan Lunas (SKL)

Karena sudah dianggap lunas, maka kepada SG diberikan Surat Keterangan Lunas (SKL) atau Release and Discharge (R&D). Presiden Megawati S. berani memberikannya karena sudah dilandasi oleh UU no. 25 tahun 2000 tentang Propenas, TAP MPR no. VIII/MPR/2000. Ketika digugat oleh Lembaga Bantuan Hukum, Mahkamah Agung mengalahkan penggugat. Maka lengkap dan kuatlah payung hukumnya Presiden Megawati.

Masalah Besar Karena Telat Mikir (TELMI)

Apa masalah besar yang sekarang ini sedang ditangani oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) ? Beberapa tokoh masyarakat dan pimpinan tertinggi negara telat mikir (telmi). Setelah dahulunya ikut menggebu-gebu menyetujui dan membela penyelesaian seperti yang digambarkan di atas, sekarang marah, karena dampak ketidak adilannya luar biasa besarnya. Wong asset yang dinilai Rp. 52,6 trilyun ketika dijual kok hanya laku sekitar Rp. 20 trilyun, sehingga keuangan negara dirugikan sebesar sekitar Rp. 32,7 trilyun.

Yang lucu, sebelum dijual PWC sudah ditugasi oleh Pemerintah untuk menilainya kembali dengan TOR yang berbeda. Jatuhnya sekitar Rp. 20 trilyun. Toh ini yang dijadikan acuan menjual, dan akhirnya memang hanya laku sekitar Rp. 20 trilyun.

Jadi pemerintah menerima nilai asset sebesar Rp. 52,8 trilyun sebagai pelunasan utang keluarga Salim, tetapi pemerintah juga yang bangga bisa menjualnya dengan nilai Rp. 20 trilyun. Bangganya karena bisa memperoleh recovery rate sekitar 34 %, sedangkan dari obligor lainnya rata-rata hanya memperoleh 15 % yang dianggap sangat normal oleh para teknokrat penguasa ekonominya Presiden Megawati.

Di Mana Letak Permasalahannya ?

Bahana, Dana Reksa dan Lehman Brothers ditugasi menilai dengan asumsi “Pandangan yang positif tentang hari depan ekonomi Indonesia dan lingkungan politik yang normal (normalised economic and political scenarios). Jadi mereka disuruh menilai 108 perusahaan itu sebagai going concern dalam lingkungan ekonomi makro yang bagus.

Price Waterhouse Coopers (PWC) ditugasi dengan asumsi dan TOR yang intinya berbunyi : “harus dijual dalam waktu antara 8 dan 10 minggu”, dengan “transaksi penjualan dilakukan antara pembeli yang mau membeli tetapi ogah-ogahan, dan penjual yang mau menjual tapi ogah-ogahan” (willing but not anxious). Jadi PWC ditugasi menilai 108 perusahaan itu dengan titik tolak dan asumsi liquidation value dalam lingkungan ekonomi makro yang para investornya ogah-ogahan melakukan investasi atau membeli 108 asset keluarga Salim.

Jadi ketika menerima 108 perusahaan sebagai pelunasan utang, pemerintah yang menilainya sebagai going concern. Tetapi ketika menjual, pemerintah sendiri juga yang menilainya dengan titik tolak dan asumsi liquidation value.

Menilai perusahaan memang sulit, merupakan sub disiplin ilmu tersendiri yang tidak dipahami oleh para teknokrat dan professor yang berteori bahwa kodok melompat-lompat dalam air, sedangkan kodok selalu berenang begitu menyentuh air.

Nilai perusahaan bisa didasarkan atas replacement value, discounted cash flow value, net present value, historical value, liquidation value dan entah apa lagi. Hasil dari berbagai metoda penilaian ini juga berbeda-beda.

Begitu nilai PWC keluar, kecuali satu orang, seluruh anggota kabinet Gotong Royong, KKSK ( Komite Kebijakan Sektor Keuangan ) dan BPPN setuju dijual dengan nilainya PWC. Menko Dorodjatun K yang ketika itu didukung penuh oleh Menteri Keuangan Boediono dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi berujar dengan keras dan tegas bahwa negara manapun di dunia yang terkena krisis memang harus menanggung kerugian besar. Biasanya harus rugi sekitar 85 % dari nilai asset yang dipakai untuk membayar, atau uang yang kembali rata-rata 15 % (yang disebut recovery rate). Maka ada yang menganggap Salim Group “pahlawan” karena recovery rate-nya sekitar 34 %.

Berani Melawan IMF ?

Bukankah IMF yang memerintahkan bahwa asset SG harus dijual tidak lebih lambat dari tanggal tertentu tanpa peduli berapa lakunya ? Dan batas waktu ini diumumkan kepada dunia. Apa berani, wong kalau berani tidak patuh pada IMF Indonesia diancam diisolasi oleh masyarakat dunia ?

Ya tidak berani, tapi kan bisa cerdik. Maka ada seorang menteri anggota KKSK yang mati-matian mengatakan bahwa dijual tidak melampaui batas waktu tertentu boleh, tetapi dengan tender terbuka, dan pemerintah menentukan harga minimum yang dirahasiakan. Harga ini dibuka bersama-sama dengan semua penawar BCA. Kalau harga penawaran tertinggi lebih rendah dari harga minimum, oleh pemerintah penjualan dibatalkan, ditunggu 6 bulan. Setelah itu penjualan diulangi lagi dengan prosedur yang sama. IMF-nya setuju. Tapi semua anggota Kabinet Gotong Royong (kecuali satu orang) termasuk Presiden dan Wakil Presidennya ketika itu setuju dengan penjualan model IMF yang obral tanpa harga minimum. Ketika itu SBY, JK dan Boediono para Menteri dalam Kabinet Gotong Royong yang juga ikut mendukung semua kebijakan tersebut yang sekarang diramaikan oleh DPR. DPR sebelum ini juga mendukung sampai menghasilkan UU nomor 25 tahun 2000 tentang Propenas dan MPR-nya juga ikut-ikutan mendukung semangatnya dengan TAP MPR nomor VIII/MPR/2000.

Sudah begitu, Hubert Neiss, orang sangat penting dalam hubungan IMF dan Pemerintah Indonesia pensiun dari IMF. Langsung saja menjadi penasihat Deutsche Bank di Singapura. Dan langsung saja disewa oleh Farralon sebagai pelobi untuk memenangkan pembelian 51 % BCA dengan harga Rp. 5 trilyun, sedangkan BCA punya tagihan kepada Pemerintah berupa Obligasi Rekap. sebesar Rp. 60 trilyun.

Penjaja Mangga Di Pinggir Jalan

Penjualan BCA bisa diibaratkan penjaja mangga di pinggir jalan. Ada orang yang bernama Djadjang memasang papan yang berbunyi : “Mangga ini harus terjual habis tidak lewat dari jam 17.00 tanpa peduli dengan harga berapa lakunya.” Penjaja mangga marah, papannya dihancurkan dan Djadjang dipukuli.

Ketika menjual BCA, IMF memasang papan nama yang berbunyi “BCA harus dijual tidak lebih lambat dari tanggal tertentu tanpa peduli dengan harga berapa saja.” Apa yang terjadi ? Hubert Neiss menjadi pelobi (yang dianggap tidak ada conflict of ineterst) dan para Menteri Kabinet Gotong Royong memasang lampu sorot ke arah papan, dan papan pengumumannya dihiasi dengan huruf-huruf yang mencolok dan kontras,”

Karuan saja lakunya hanya Rp. Rp. 5 trilyun untuk 51 % atau dinilai hanya sekitar Rp. 10 trilyun untuk 100 %, tapi di dalamnya ada tagihan kepada Pemerintah sebesar Rp. 60 trilyun, dan BCA ketika dijual sudah punya laba ditahan sebesar Rp. 4 trilyun.

KERUGIAN MAHA BESAR AKIBAT KEBODOHAN DAN MENTAL BUDAK MAHA BESAR YANG LUPUT DARI PERHATIAN

Tadi telah diuraikan bahwa BCA menjadi milik pemerintah sebagai pembayaran utang BLBI oleh keluarga Salim. Artinya, pemerintah telah mengeluarkan uang sebesar Rp. 23,99 trilyun untuk membeli 92,8 % saham-saham BCA. Setelah itu, BCA yang sudah menjadi milik pemerintah harus “disehatkan” dengan menginjeksi Obligasi Rekapitalisasi Perbankan atau OR sebesar Rp. 60 trilyun. Dalam BCA sudah ada laba bersih sebesar sekitar Rp. 4 trilyun. Jadi uang pemerintah yang ada di dalam BCA sebesar jumlah dari tiga angka ini atau Rp. 87,99 trilyun (dibulatkan Rp. 88 trilyun).

Namun BCA dijual kepada Farallon senilai Rp. 10 trilyun. Jadi ada kerugian yang dibuat oleh pemerintah sendiri sebesar Rp. 78 trilyun. Angka ini jauh lebih besar dari kerugian sebesar Rp. 33 trilyun sebagai selisih nilai 108 perusahaan yang diserahkan oleh keluarga Salim sebagai pembayaran utangnya dengan nilai realisasinya.

Yang sangat aneh, tidak ada yang berbicara tentang kerugian yang sangat konyol ini. Karena membudak pada IMF atau karena bodoh ?

Oleh Kwik Kian Gie

Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) (2)


Persennya Disalah Gunakan

Minggu, 13 Januari 08

Sebelum artikel ini di KoranInternet dimuat tulisan saya yang berjudul “INTERPELASI BLBI KEPADA SBY SALAH ALAMAT”.

Masalah, atau lebih tepat malapetaka keuangan maha besar yang dikenal dengan istilah “BLBI” adalah sebuah rentetan kebijakan pemerintah yang praktis dipaksakan oleh IMF dalam menangani krisis moneter di tahun 1997, yang kemudian meluas sampai menjadi depresi ekonomi.

Gambaran menyeluruh secara garis besarnya (bird’s eye view) diberikan oleh artikel sebelumnya. Tulisan ini merupakan tulisan kedua yang khusus membahas tentang BLBI.

BLBI ADALAH FUNGSI POKOK BANK SENTRAL

Fungsi yang paling pokok dari sebuah bank sentral adalah bertindak sebagai the bankers’ bank atau lender of the last resort.

Bank melakukan transaksi setiap harinya. Salah satu yang termasuk kegiatan bank paling intensif adalah lalu lintas uang antar bank yang disebabkan karena lalu lintas giro dari semua pemegang rekening bank. Bank berutang kepada bank lain kalau uang nasabah berpindah ke bank lain tersebut, dan sebaliknya. Jumlah uang keseluruhan yang setiap harinya masuk ke dalam bank tidak pernah persis sama dengan jumlah uang keluarnya.

Di antara seluruh bank yang ada di negeri ini, semuanya dihitung menjadi satu, sehingga setiap akhir hari posisinya setiap bank ketahuan, apakah saldonya plus/positif atau minus/negatif. Penyatuan keseluruhan ikhtisar lalu lintas uang antara semua bank ini disebut clearing (kliring). Kalau sebuah bank mengalami saldo minus, tetapi masih mempunyai uang sendiri untuk membayarnya, itu sangat normal.

Terkadang bank berakhir dengan posisi minus yang lebih besar jumlahnya dari uang yang dimilikinya. Dalam hal seperti ini, namanya “bank kalah kliring”, atau bank dalam posisi negatif/minus.

Biasanya, dalam posisi seperti ini, kalau jumlahnya tidak terlampau besar, bank yang kalah kliring bisa meminjam dari inter bank money market atau call money market yang kegiatannya pinjam meminjam dalam waktu 24 jam dan hanya dibolehkan untuk bank.

Kalau jumlahnya terlampau besar, sehingga minusnya tidak dapat ditutup dengan pinjaman dari inter bank call money market, bank sentral wajib turun tangan membantunya. Namun dengan persyaratan tertentu dan kehati-hatian yang sebagaimana mestinya. Bank dalam posisi seperti ini sudah harus diawasi dengan ketat.

Walaupun harus dengan persyaratan, bank sentral wajib memberikan talangan supaya bank yang bersangkutan dapat membayar kepada bank yang mempunyai piutang.

JAUH SEBELUM KRISIS BI MEMBERI BLBI BERULANG-ULANG

Karena salah satu fungsi pokoknya BI sebagai bank sentral yalah lender of the last resort, maka jauh sebelum krisis pemberian BLBI kepada dunia perbankan adalah hal yang rutin.

Namun yang menjadi sorotan oleh Kejaksaan Agung dan masyarakat adalah BLBI yang dikucurkan kepada bank-bank yang terkena rush di tahun 1998.

Tidak banyak pembahasan tentang satu kasus yang sangat besar dan sangat bermasalah ini. Komisi XI DPR juga tidak menyentuh masalah ini ketika berdengar pendapat dengan 9 mantan Menteri Keuangan dan mantan Menko EKUIN beberapa waktu yang lalu.

BLBI BERMASALAH BESAR

Atas permintaan DPR, Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) menerbitkan laporan audit investigasi bernomor 06/01/Auditama II/AI/VII/2000 tertanggal 31 Juli 2000. Judulnya “LAPORAN AUDIT INVESTIGASI Penyaluran dan Penggunaan BANTUAN LIKUIDITAS BANK INDONESIA (BLBI)”

Ringkasan Eksekutifnya dimulai dengan “Audit dilakukan pada Bank Indonesia dan 48 bank penerima BLBI, yaitu 10 Bank Beku Operasi (BBO), 5 Bank Take Over (BTO), 18 Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU) dan 15 Bank Dalam Likuidasi (BDL).”

Saya kutip beberapa butir yang penting sebagai berikut.

“BI tetap tidak melakukan stop kliring kepada bank-bank yang sudah mengalami overdraft dalam jumlah besar dan waktu yang lama.”

“Dispensasi kepada bank-bank yang rekening gironya bersaldo debet untuk tetap mengikuti kliring, pada mulanya diberikan dalam jangka waktu tertentu tanpa ada batasan jumlah maksimal. Namun dalam perkembangan selanjutnya dispensasi tersebut diberikan tanpa batasan waktu dan jumlah maksimal.”

“Dispensasi semacam itu sudah dilakukan oleh BI jauh sebelum krisis menimpa sistem perbankan nasional. Hal ini terbukti dari adanya beberapa bank yang sudah lama overdraft sebelum krisis, namun tidak dikenakan sanksi stop kliring.”

Di halaman viii (Laporan Audit Investigasi) di bawah huruf C dengan judul “Potensi Kerugian Negara Dalam Penyaluran BLBI” ditulis “Dari hasil audit investigasi terhadap penyaluran BLBI posisi tanggal 29 Januari 1999 yang telah dialihkan menjadi kewajiban pemerintah sebesar Rp. 144.536.086 juta, kami menemukan berbagai penyimpangan terhadap ketentuan yang berlaku, kelemahan sistem dan kelalaian dalam penyaluran BLBI, yang menimbulkan potensi kerugian negara sebesar Rp. 138.442.026 juta atau 95,78 % dari jumlah BLBI yang disalurkan pada tanggal tersebut.”

Di halaman x diberikan perincian dari “jumlah penyimpangan dalam penggunaan BLBI untuk transaksi periode sampai dengan 29 januari 1999 sebesar Rp. 84.842.162 juta atau 58,70 % dari jumlah BLBI yang disalurkan per 29 Januari 1999 sebesar Rp. 144.536.086 juta.”

Perincian di halaman x tersebut adalah penyimpangan dalam penggunaan BLBI beserta jumlah uangnya sebagai berikut :

“BLBI digunakan untuk membayar/melunasi modal pinjaman/pinjaman subordinasi sebesar Rp. 46,088 milyar. Untuk membayar/melunasi kewajiban pembayaran bank umum yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya berdasarkan dokumen yang lazim untuk transaksi sejenis (G-3) sebesar Rp. 113,812 milyar. Untuk membayar kepada pihak terkait (G-4) sebesar Rp. 20, 367458 trilyun. Untuk transaksi surat berharga sebesar Rp. 136,902 milyar. Untuk membayar/melunasi dana pihak ketiga yang melanggar ketentuan (G-6) sebesar Rp. 4,472831 trilyun. Untuk membiayai kontrak derivatif baru atau kerugian karena kontrak derivatif lama yang jatuh tempo/cut loss (G-7) sebesar Rp. 22,463004 trilyun. Untuk membiayai placement baru di PUAB (G-8) sebesar Rp. 9,822383 triliun. Untuk ekspansi kredit atau merealisasikan kelonggaran tarik dari komitmen yang sudah ada (G-9) sebesar Rp. 16,814646 trilyun. Untuk membiayai investasi dalam aktiva tetap, pembukaan cabang baru, penggantian sistem baru (G-10) sebesar Rp. 456,357 milyar. Untuk membiayai overhead bank umum (G-11) sebesar Rp. 87,144 milyar. Untuk membiayai lain-lain yang tidak termasuk dalam G-1 s.d. G-11 (G-12) sebesar Rp. 10,061537 trilyun.

Dari sebagian penyimpangan ini saja bisa kita lihat betapa ngawurnya pimpinan BI ketika itu. Entah sekarang ini masih ada yang duduk dalam pimpinan atau tidak. Komentar yang paling tepat seperti yang sering dipakai oleh Opa Irama dalam Republik Mimpi, yalah “TER….LA….LU !!”

YANG HARUS DI-INTERPELASI SIAPA ?

Bank Indonesia independen, tidak ada urusan dengan Presiden, boss-nya BI adalah DPR. Boss-nya BPK juga DPR. Kok DPR meng-interpelasi SBY sebagai Presiden ? Jangan-jangan Gus Dur nanti berujar lagi bahwa DPR bagaikan Taman Kanak-Kanak.

Buat SBY sangat enak, tinggal meng-interpelasi balik dengan pertanyaan-pertanyaan seperti : “Ketika itu DPR sedang ngelamun apa ? Demikian juga BI ketika itu sedang ngelamun apa ? Dan apa tujuan anda kok sampai secara aklamasi mau meng-interpelasi saya, sedangkan saya yang terbengong-bengong tapi tidak bisa apa-apa, karena para pelakunya badan-badan yang independen, dan yang membuat independen DPR. Dasar Demokrasi yang Crazy”.

BANYAK DATA DI BANYAK BANK PENERIMA BLBI DIRUSAK

Yang ini saya dengar dalam rapat-rapat resmi yang saya pimpin ketika saya menjabat sebagai Menko EKUIN. Rekan-rekan dari BPPN menceriterakan bahwa penyalah gunaan BLBI memang ada. Dan tidak saja ada, tapi brutal. Setelah nilep dana BLBI yang tidak dibayarkan kepada para deposannya, karena rush-nya jauh lebih kecil jumlahnya, mereka sadar betul bahwa cepat atau lambat pasti ketahuan. Maka data yang tersimpan di dalam CPU computer itu, tidak saja dihapus, tetapi Personal Computers (PC) yang banyak itu dijebol, kabelnya ditarik begitu saja seperti orang panik. Kantor-kantor bank ketika itu seperti baru digarong dengan perusakan. Saya hanya meneruskan saja apa yang saya dengar.

GEDUNG BANK INDONESIA TERBAKAR

Beberapa waktu kemudian ada yang berpikir bahwa BI menerima satu lembar copy dari semua transaksi. Maka gedung BI dan ruang yang menyimpan dokumen-dokumen tersebut terbakar. Setelah itu saya membaca di surat kabar bahwa POLRI menyimpulkan tidak mustahil kebakaran itu bukan kecelakaan, tetapi dibakar. Semua ini termuat di koran.

KOMISI IX DPR DAN KEMUNGKINAN ADANYA ALIRAN DANA

Tadi telah dikemukakan adanya laporan audit investigasi oleh BPK tentang BLBI.

Ketika laporan tersebut diserahkan kepada Komisi IX DPR, saya berfungsi sebagai anggota Komisi IX DPR. Maka dibentuk Panja untuk membahas laporan tersebut. Saya masuk sebagai anggota Panja.

Saya tidak banyak dilibatkan dalam rapat-rapat Panja yang mungkin juga dihadiri oleh para pejabat dari Bank Indonesia dan Departemen Keuangan. Rapat-rapatnya tidak di gedung DPR, tetapi di hotel-hotel.

Kesimpulan Panja mengejutkan saya. Seperti tadi telah saya kemukakan, menurut BPK sejumlah Rp. 138.442.026 juta atau 95,78 % dikategorikan oleh BPK sebagai “berbagai penyimpangan terhadap ketentuan yang berlaku, kelemahan sistem dan kelalaian dalam penyaluran BLBI yang menimbulkan potensi kerugian negara.”

Oleh Panja disepakati bahwa BI hanya disuruh bertanggung jawab sebesar Rp. 24,5 trilyun saja, karena kalau lebih dari ini BI-nya bangkrut. Mana ada bank sentral yang bangkrut ? Saya protes keras karena merasa DPR melecehkan dan memain-mainkan aparatnya sendiri, yaitu BPK. Kalau tidak percaya dengan BPK ya BPK-nya dibubarkan atau Ketua beserta staf intinya dipecat, tapi jangan dimain-mainkan begitu.

Akhirnya keputusan Panja tersebut diambangkan sampai Presidennya berganti dari Gus Dur ke Ibu Megawati. Menko Ekonominya, Prof. Dorodjatun minta advis kepada mantan Gubernur FED (Bank sentralnya AS) Paul Volcker. Advisnya dipakai dan diberlakukan, yaitu segala sesuatunya diselesaikan dengan secarik kertas dengan susunan kata-kata yang intinya Departemen Keuangan menjamin segala sesuatunya akan beres. Tentu rumusannya ilmiah, sophisticated, dan namanya Capital Maintenance Note. Saya punya kalau ada yang berminat.

Tentang kemungkinan adanya aliran dana dari BI kepada beberapa anggota Panja BLBI yang sampai menyimpulkan bahwa BI “digantung” dengan tanggung jawab sebesar Rp. 24,5 trilyun saja, sampainya ke telinga saya hanya sebagai desas-desus. Tidak ada dokumennya.

Kesimpulan

Jadi kalau hanya mau bicara atau meng-interpelasi BLBI saja, ya itulah permasalahannya. Tetapi kalau DPR mau mengetahui kebijakan-kebijakan yang merupakan konsekwensi dari BLBI, bacalah artikel selanjutnya dalam serial KoranInternet ini.


___________

Kwik Kian Gie

Perekonomian Pasca-Soeharto


Rabu, 30 januari 2008 | 02:18 WIB

A Tony Prasetiantono

Perbedaan terbesar rezim perekonomian era Soeharto dibandingkan pasca-Soeharto adalah Soeharto memiliki hak istimewa (privilege) dalam mengambil kebijakan, dalam situasi sesulit apa pun. Soeharto amat dominan di sektor politik sehingga relatif mudah membuat keputusan (decisive), yang didukung gaya kepemimpinannya yang kuat (strong leadership).

Situasi ini berdampak positif bagi perekonomian karena menumbuhkan kepercayaan (confidence) dan kepastian (certainty), dua elemen yang amat diperlukan bagi pelaku ekonomi dan bisnis.

Hal ini kontras dengan situasi pasca- Soeharto. Saat eforia demokrasi berlarut sejak 1998, pengambilan keputusan menjadi lebih sulit dan rumit karena kian banyak ”pemain” yang harus diakomodasi. Dengan segala aspek positifnya, demokrasi dan otonomi daerah telah menjadi kendala tersendiri bagi proses pengambilan keputusan (decision-making policy process). Akibatnya, berbagai keputusan penting tidak bisa segera diambil dan sering diletakkan sebagai agenda yang ditunda (pending matters), alias telantar.

Kapitalisme kroni

Di sisi lain, Soeharto juga terlampau memberi banyak kesempatan kepada anak, kerabat, dan kroninya untuk mendominasi dunia bisnis melalui berbagai skema kemudahan. Sebenarnya, ”cacat” ini sudah jauh-jauh hari diingatkan oleh para pengamat. Yang cukup monumental adalah karya klasik Yoshihara Kunio dari Universitas Kyoto, The Rise of Ersatz Capitalism in Southeast Asia (1988).

Pada dasawarsa 1980-an, Yoshihara memotret fenomena tumbuhnya pengusaha besar (kapitalis) yang sifatnya semu (ersatz) di Asia Tenggara. Ia membedakan menjadi sedikitnya tujuh kelompok.

Pertama, royal capitalists atau pengusaha yang berasal dari keluarga kerajaan, seperti terjadi di Thailand dan Malaysia.

Kedua, presidential families, atau keluarga presiden yang terlibat bisnis, sebagaimana Indonesia di era Soeharto.

Ketiga, crony capitalists, yakni para pengusaha yang mempunyai hubungan perkoncoan dengan kepala negara.

Keempat, bureaucratic capitalists; yakni birokrat dan mantan birokrat yang aktif berbisnis.

Kelima, politicians-turned-capitalists, yaitu politisi yang menjadi pengusaha.

Keenam, capitalists-turned-politicians, pengusaha yang menjadi politisi.

Ketujuh, other government-connected capitalists, alias kategori lain dari pengusaha yang mempunyai kedekatan hubungan dengan pejabat pemerintah.

Sesudah Yoshihara, sederet karya dari peneliti dan pengamat yang menekuni topik ini—pertautan bisnis dan politik yang melibatkan kroni Soeharto—antara lain adalah Richard Robison (Power and the Economy in Suharto’s Indonesia, 1990), Andrew MacIntyre (Business and Politics in Indonesia, 1991), Adam Schwarz (A Nation in Waiting: Indonesia’s Search for Stability, 1995), dan Jeffrey A Winters (Power in Motion: Capital Mobility and the Indonesian State, 1996).

Disertasi saya tentang privatisasi BUMN juga menemukan dinamika kroni Soeharto dalam proses privatisasi (The Political Economy of Privatization of State-owned Enterprises in Indonesia, Australian National University, Canberra, 2005). Meski disertai karut-marut kapitalisme kroni, privatisasi BUMN relatif mudah dijalankan di era Soeharto karena akhirnya Soeharto pula yang memegang kendali untuk memutuskan dan menjalankan, tanpa tantangan berarti dari pihak lain. Hal ini terlihat jelas dari kasus-kasus privatisasi Semen Gresik (1991), Indosat (1994), Timah (1995), Telkom (1995), dan BNI (1996). Dinamika sempat terjadi pada kasus Telkom karena bertabrakannya berbagai kepentingan anak-anak dan kroni Soeharto sehingga perusahaan itu nyaris gagal menjual sahamnya di New York. Berkat lobi gigih Setyanto P Santosa (Dirut Telkom saat itu) kepada Soeharto, melalui orang-orang terdekatnya, privatisasi internasional tetap dilaksanakan.

Di era Soeharto, privatisasi BUMN dimaksudkan untuk membayar utang luar negeri. Pada tahun 1995, Soeharto pernah berkata, ”Kita tidak perlu khawatir dengan luar negeri karena memiliki banyak BUMN. Utang luar negeri bisa dibayar melalui penjualan beberapa BUMN (Jakarta Post, 20/7/1999). Itu sebabnya, Indosat dan Telkom juga dijual sahamnya di bursa internasional (New York dan London) karena negara memerlukan devisa.

Di era itu, investor asing belum melimpah dan mendominasi bursa Jakarta seperti sekarang. Penjualan saham perusahaan Indonesia di Wall Street terasa monumental karena kini sulit sekali diulangi. Persyaratannya kian kompleks.

Krisis ekonomi

Soeharto jatuh pada 21 Mei 1998. Pada dasarnya, ada dua hal yang menjatuhkan.

Pertama, kapitalisme kroni yang sudah mengakar telah menginspirasi terjadinya praktik moral hazard secara meluas. Moral hazard adalah tindakan yang tidak bertanggung jawab oleh sebagian pelaku ekonomi, yang berusaha menangkap banyak keuntungan, dengan memanfaatkan kesempatan sekecil apa pun (aji mumpung).

Saat praktik moral hazard juga melanda sektor finansial yang seharusnya dikelola dengan disiplin dan kehati-hatian, yang terjadi adalah krisis finansial hebat. Bentuknya adalah pelanggaran legal lending limit (memberi kredit ke perusahaan sendiri), bermuara pada kredit macet.

Kedua, seiring sistem devisa bebas yang sudah lama dijalankan dan arus besar globalisasi finansial yang tak dapat dibendung, sektor swasta banyak melakukan transaksi utang dari kreditor asing. Utang- utang ini tidak tercatat dan tak terpantau otoritas moneter. Di luar dugaan, jumlah seluruh utang luar negeri swasta diam-diam menyamai seluruh utang luar negeri pemerintah, sekitar 65 miliar dollar AS. Seluruh utang luar negeri kita 130 miliar dollar AS.

Akibatnya, saat Thailand diguncang devaluasi baht pada 2 Juli 1997, kita mulai dirongrong oleh jatuh tempo pembayaran utang luar negeri secara serentak. Lalu, terjadi permintaan dollar besar-besaran. Ditambah fenomena capital flight, rupiah jatuh ke level Rp 17.000 per dollar AS pada medio Januari 1998. Empat bulan kemudian, Soeharto jatuh.

Adakah pelajaran?

Perekonomian pasca-Soeharto dibangun atas dasar demokrasi dan otonomi daerah. Sisi positifnya, pembangunan dilaksanakan atas dasar keadilan (fairness), transparansi, akuntabilitas, independensi, dan bertanggung jawab. Inilah pilar-pilar tata kelola yang baik (good governance).

Beberapa hal positif dari era Soeharto juga bisa diadopsi, misalnya perhatian terhadap perencanaan jangka menengah dan panjang (Pelita) maupun concern terhadap pengendalian penduduk (keluarga berencana). Kini, boleh dibilang tidak ada yang peduli terhadap ledakan jumlah penduduk yang bertambah 1,3 persen. Bandingkan dengan China yang hanya tumbuh 0,9 persen. Anggaran untuk BKKBN kurang dari Rp 1 triliun. Mana cukup untuk berkampanye secara efektif?

Kita tidak akan surut melangkah dari jalan reformasi dan demokrasi yang sudah dipilih. Namun, harus diakui, ada hal-hal yang bisa dipelajari dan diadopsi dari jalan ekonomi yang dulu ditempuh Soeharto. Tentu dengan penyesuaian berdasar konteks kekinian yang luar biasa dinamis ini.

A Tony Prasetiantono Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM; Peneliti Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM

"Ecoentrepreneurial City" Dibangun Di Indonesia


Selasa, 22 januari 2008 | 03:11 WIB

Jakarta, Kompas - Ciputra Foundation sepakat bekerjasama dengan Kauffman Foundation untuk mengembangkan peluang pembangunan Ecoentrepreneurial City di Indonesia. Secara ideal, kota ini harus menunjukkan keramahan lingkungan yang dilengkapi dengan prasarana bersifat kewirausahaan.

”Artinya, kota ini diharapkan bisa tumbuh tanpa harus memiliki ketergantungan. Misalnya, ketergantungan tenaga listrik yang kini semakin sulit diperoleh harus bisa diganti dengan sumber-sumber tenaga lain,” kata Ir Ciputra, Presiden Komisaris PT Ciputra Development Tbk, di hadapan Wakil Presiden Kauffman Foundation (KF) Judith Cone dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (21/1).

Ciputra menjelaskan, lokasi kota ini masih dirahasiakan, karena masih menunggu proses perizinan. Namun demikian, kota ini secara idealis akan berisi para wirausahawan yang sungguh mampu menciptakan lapangan kerja.

”Setiap kali berbicara kemiskinan dan pengangguran, hati saya sungguh menangis. Generasi muda terdidik bangsa Indonesia tidak berhasil memperoleh pekerjaan yang pantas dan dianggap rendah oleh bangsa lain,” kata Ciputra.

Hal itu terjadi, karena pendidikan formal terlampau sibuk membekali siswa dengan berbagai ilmu pengetahuan, tetapi melupakan aplikasinya. Jembatan antara pembekalan ilmu pengetahuan dan aplikasi inilah yang harus diisi, bukan hanya oleh pemerintah tetapi juga perusahaan swasta.

Menurut Ciputra, untuk menjadi negara maju, sebuah negara paling tidak harus memiliki dua persen wirausahawan dari jumlah penduduk. Data menunjukkan, Singapura tahun 2001 sudah memiliki 2,1 persen dan Amerika Serikat pada tahun 1993 sudah mencapai 2,14 persen.

Judith mengatakan, pola menciptakan lapangan kerja di dunia sudah berubah. Dulu pembukaan lapangan kerja menjadi tanggung jawab pemerintah. Sekarang semua pihak baik pemerintah, pengusaha, dan lembaga pendidikan bertanggung jawab menciptakan lapangan kerja.

Menurut Judith, kota ecoentrepreneurial itu dapat dipadukan dengan permainan yang melatih keberanian untuk mengambil keputusan, khususnya dalam animasi mencapai jenjang wirausaha. (OSA)

Belajar dari Pembangunan Pertanian Soeharto


Kamis, 31 januari 2008 | 02:35 WIB

Ninuk Mardiana Pambudy

Belakangan ini harga pangan merayap naik. Dimulai dari beras dan minyak goreng kemudian disusul kedelai, susu, telur, dan ayam, sumber gizi untuk membangun manusia berkualitas. Dalam artikel di Kompas (3 November 1980), Prof Dr Andi Hakim Nasoetion menulis, Indonesia akan mengalami ledakan populasi.

Tahun 2000, jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 200 juta sampai 210 juta jiwa. Perkiraan ahli statistik itu tidak terlalu meleset. Juga perkiraannya ledakan populasi akan menimbulkan masalah lingkungan, energi, pangan, dan gizi. Semua masalah itu dihadapi Indonesia saat ini.

Jumlah penduduk saat ini 230 juta jiwa, gizi buruk pada anak balita kerap terjadi, produksi pertanian (pangan) berkejaran dengan kebutuhan yang dicerminkan oleh tingginya harga bahan pangan dan kebutuhan pokok lainnya.

Kompleksitas masalah jumlah penduduk dan penyediaan pangan adalah tantangan yang dihadapi Soeharto sejak memulai Pembangunan Lima Tahun (Pelita) I tahun 1969, minus globalisasi.

Ketika itu jumlah penduduk Indonesia 120 juta jiwa dengan pertumbuhan 2,3 persen per tahun dan sebagian besar di Jawa. Produksi pertanian sangat rendah.

AT Birowo mencatat, tahun 1968, produksi beras nasional rata-rata 1,27 ton per hektar (ha) dengan luas tanam 8,02 juta ha (Pemikiran Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir, Paruh Pertama Ekonomi Orde Baru, ISEI dan Kanisius, 2005).

Ekonomi Indonesia juga belum terdiversifikasi, terlihat dari sumbangan sektor pertanian sebesar 50 persen pada produk domestik bruto (PDB), 50 persen ekspor dari sektor pertanian dalam arti luas, penyumbang besar untuk pembentukan modal, dan memberi lapangan kerja untuk 70 persen penduduk.

Salah satu keberhasilan Soeharto dalam 30 tahun memimpin Indonesia adalah mengurangi kemiskinan melalui antara lain pembangunan sektor pertanian pada masa awal Orde Baru.

Pilihan pada pembangunan pertanian karena sebagian besar penduduk Indonesia hidup dari sektor ini, bekerja sebagai petani pemilik atau sebagai buruh tani.

”Pembangunan sektor pertanian diharapkan akan membuka kemungkinan pertumbuhan pada sektor-sektor lain sehingga peluang akan tercipta untuk mengatasi keterbelakangan ekonomi Indonesia di berbagai sektor” (Anne Booth, The Indonesian Economy in The Nineteenth and Twentieth Century, 1998, mengutip Departemen Penerangan tahun 1969).

Kebijakan konsisten

Pilihan membangun pertanian kemudian didukung dengan kebijakan makro dan mikro yang konsisten. Pada akhir tahun 1960-an, pembangunan pertanian, terutama produksi beras, mendapat alokasi dana 30 persen, termasuk untuk irigasi, prasarana yang diperlukan untuk meningkatkan produksi.

Dana 20 persen dianggarkan untuk membangun jalan sehingga petani memiliki akses mendapatkan sarana produksi, terutama pupuk, dan juga akses untuk menjual produk pertanian mereka (Booth, 1998).

Soeharto, misalnya, tetap mendirikan pabrik pupuk urea meskipun ketika itu Bank Dunia tak setuju dengan keinginan itu.

Pembangunan Jangka Panjang (PJP) I (1969-1994) ditekankan pada pembangunan pertanian dengan menjaga harga pangan, terutama beras, untuk mencapai ketahanan pangan.

Ketahanan pangan, demikian ekonom pengamat pertanian Indonesia, C Peter Timmer (International Agriculture Development, 1998), menjamin pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.

Kebijakan ekonomi makro diterjemahkan melalui kebijakan fiskal dan moneter, kebijakan anggaran dan kontrol inflasi, serta dari sisi kebijakan mikro, nilai tukar, tingkat suku bunga, dan tingkat upah untuk menjamin harga pangan dan nilai tukar perkotaan dan perdesaan.

Hasil program stabilisasi pangan (beras) antara akhir 1960- an hingga awal 1970-an—ketika beras menyumbang pada seperempat ekonomi Indonesia— adalah pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen per tahun.

Pada awal 1990-an, ketika beras menyumbang hanya 5 persen dari ekonomi Indonesia, kebijakan menjaga harga beras menyumbang pertumbuhan ekonomi 0,2 persen di tengah ketidakstabilan harga dunia.

Menurut Timmer, selama PJP I, kebijakan menjaga harga beras menaikkan PDB 11 persen. Untuk Indonesia, ketahanan pangan berarti penurunan jumlah orang miskin melalui pembangunan ekonomi berorientasi desa dan pengendalian harga beras disertai peningkatan produktivitas.

Meskipun harga pangan, terutama beras, dikendalikan, tetapi petani juga dijamin mendapat sarana produksi dalam jumlah dan waktu tepat dengan harga stabil dan terjangkau.

Di luar beras dan palawija, Soeharto berhasil membebaskan Indonesia dari penyakit mulut dan kuku pada ternak yang sudah 100 tahun ada di Indonesia, meningkatkan produksi daging dan telur ayam, serta susu.

Melompat

Keberhasilan itu melahirkan masalah baru, yaitu kelebihan pasokan. Tantangan berikut adalah membangun sektor hilir (off farm) untuk mengolah kelebihan produksi pertanian dan mendapatkan nilai tambah berlipat. Untuk itu perlu memperkuat dan membangun infrastruktur agrobisnis dari hulu hingga hilir, seperti industri manufaktur dan finansial.

Penguatan pada infrastruktur agrobisnis ini, seperti disebutkan ahli ekonomi pertanian, Bungaran Saragih, menjamin petani tetap bergairah berproduksi karena ada jaminan harga produk dan menciptakan lapangan kerja.

Bila kebijakan pembangunan pertanian (sektor hulu) on farm yang terus berlanjut selama pemerintahan Soeharto tampak jelas, pembangunan di sektor off farm pada PJP II (1995-2020) tidak terlalu tegas.

Pemerintah memiliki kebijakan industri pertanian, tetapi sektor nonpertanian mendapat perhatian lebih besar karena ekonomi Indonesia makin terdiversifikasi dan ada kebutuhan membangun industri pengganti barang impor.

Soeharto yang pada masa mudanya tekun, teliti, dan sabar membangun, semakin bertambah usia ingin Indonesia sesegera mungkin diakui sejajar dengan bangsa-bangsa maju.

Hal ini tampak jelas pada pilihan teknologi tinggi pesawat terbang, meskipun industri ini tidak didukung keunggulan komparatif dan kompetitif Indonesia, yaitu pertanian dan sumber daya alam. Padahal, teknologi tinggi pun dapat dikembangkan pada bidang pertanian dan sumber daya alam melalui bioteknologi, misalnya, untuk menghasilkan pangan, kesehatan, dan energi.

Ketika tahun 1985 Soeharto menerima penghargaan dari Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) untuk keberhasilan menjadikan Indonesia dari pengimpor terbesar menjadi swasembada beras tahun 1984, Indonesia mengalahkan China dan India sebagai calon penerima penghargaan.

Petani Indonesia bahkan dapat berinisiatif menyumbangkan gabah mereka untuk membantu kelaparan di Etiopia dan kemudian Soeharto setuju inisiatif petani Indonesia mendirikan pusat pelatihan pertanian di Tanzania dan Gambia.

Setelah semua pengalaman itu, Indonesia kini masih direpotkan masalah ketersediaan pangan, produksi sektor on farm, dan menurunkan jumlah orang miskin, meskipun sampai awal 1990-an pangan, terutama beras, berhasil menjadi sumber pertumbuhan ekonomi dan penurunan kemiskinan.

Sementara India, dan terutama China, berhasil melalui tahap pembangunan agroindustri serta praktis dapat mencukupi kebutuhan pangan rakyatnya.

Kombinasi antara pertumbuhan, menjaga harga, dan penurunan jumlah orang miskin berada di ruang politik ekonomi yang bukan sekadar diwacanakan.

Demonstrasi pedagang dan perajin tempe yang kehilangan kedelai awal Januari lalu adalah peringatan bahwa ekonomi tidak dapat dijalankan dengan kebijakan instan.

PLN Lanjutkan Restrukturisasi


Kamis, 31 januari 2008 | 02:36 WIB

Jakarta, Kompas - PT Perusahaan Listrik Negara akan melanjutkan rencana restrukturisasi perusahaan seperti yang diinginkan pemerintah dengan hati-hati. PLN akan mengkaji bentuk perubahan yang paling sesuai.

Sementara itu, sekitar 8.000 pegawai PLN dari seluruh Indonesia berunjuk rasa di depan Istana Negara, Jakarta Pusat, Rabu (30/1). Mereka menuntut pembatalan hasil rapat umum pemegang saham (RUPS).

Direktur Utama PT PLN Eddie Widiono mengemukakan, ”Namanya restrukturisasi, akan ada perubahan yang cukup mendasar sifatnya. Mungkin pemerintah maksudnya untuk efisiensi, jadi tentu harus dilaksanakan. Direksi akan bekerja sama dengan pemerintah untuk memastikan bagaimana bentuk cetak biru yang paling baik ke arah itu.”

Ia menjamin bahwa hak-hak karyawan akan tetap dijamin, termasuk mengenai asuransi kesehatan yang sempat dikhawatirkan. Rencana restrukturisasi PLN merupakan keputusan RUPS tanggal 8 Januari 2008.

RUPS yang membahas Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan itu antara lain memutuskan restrukturisasi korporat dilakukan bertahap.

Tahap pertama, pembentukan direktorat-direktorat regional di bawah holding. Tahap kedua, pembentukan lima anak perusahaan distribusi di Jawa-Bali dan satu anak perusahaan transmisi.

Pembentukan anak perusahaan ini ditargetkan selesai tahun 2008. Tahap ketiga, persiapan PT Indonesia Power (IP) dan PT Pembangkitan Jawa-Bali (PJB) menjadi badan usaha milik negara tersendiri, yang terpisah dari PLN.

Dalam hal fasilitas kesehatan, RUPS meminta direksi untuk menyesuaikan pelayanan kesehatan pegawai dengan standar Asuransi Kesehatan.

Namun, Menteri Negara BUMN kemudian mengeluarkan lagi surat 25 Januari 2008 yang isinya mengubah sebagian keputusan RUPS. Sejumlah perubahan itu antara lain IP dan PJB tetap dipertahankan sebagai anak perusahaan meskipun ada yang direncanakan untuk go public.

Lima wilayah distribusi dan niaga yang semula ditargetkan berdiri menjadi anak perusahaan sendiri dilebur menjadi PT PLN Jawa-Madura-Bali.

Rencananya Unit Penyaluran dan Pusat Pengatur Beban Jawa Bali juga masuk ke dalam anak perusahaan baru ini.

Eddie mengakui direksi terlambat menyosialisasikan hasil RUPS karena ada beberapa hal dari keputusan itu yang perlu penjelasan lebih lanjut.

”Sampai sekarang pun kami belum memperoleh dokumen apa yang menjadi pertimbangan dan tujuan dari restrukturisasi,” jelas Eddie.

Deputi Menneg BUMN Roes Aryawijaya mengatakan, perubahan itu terjadi setelah Menneg BUMN mendapat masukan dari menteri-menteri bidang perekonomian.

”Sesudah RUPS tanggal 8 Januari yang saya pimpin itu, menteri ada rapat dengan Menko dan menteri terkait lainnya. Di situ bisa dilihat dari berbagai aspek yang berbeda. Maka terjadilah keputusan bahwa ini tidak bisa langsung dijadikan BUMN tersendiri dulu. Harus bertahap, lebih bagus tetap anak perusahaan saja,” papar Roes.

Menciptakan akuntabilitas

Menneg BUMN Sofyan A Djalil mengatakan, restrukturisasi dilakukan untuk menciptakan akuntabilitas. Ia menilai dengan struktur yang ada saat ini, PLN sangat tidak efisien.

”Saya sudah sampaikan kepada karyawan bahwa semuanya bisa didiskusikan. PLN itu sangat tidak efisien, 43 unit melapor kepada direksi,” ungkap Sofyan.

Ia menegaskan, pelepasan anak usaha PLN tidak bertujuan memprivatisasi. ”Setelah pembicaraan di Menko Perekonomian, masalah yang paling penting adalah bagaimana kewajiban PLN itu bisa dibayarkan,” ujarnya.

Sementara itu, Deputi Manajer Komunikasi PT PLN (Persero) Wilayah Lampung G Wisnu Yulianto menegaskan, PLN Wilayah Lampung mendukung penolakan rencana restrukturisasi PLN.

Alasannya, restrukturisasi menjadikan pengelolaan PLN terpecah-pecah dan berpotensi merugikan masyarakat.

Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pekerja PLN Ahmad Daryoko mengatakan, ”SP PLN menolak keputusan RUPS karena akan merugikan rakyat dan mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.” (DOT/HLN/NEL)

Terlalu Banyak yang Berpersepsi Buruk tentang AS


Rabu, 23 Januari 2008 | 13:35 WIB

Beberapa hari berturut-turut ini harga-harga saham di semua bursa saham berguguran. Padahal, perusahaan finansial, seperti perbankan dan investment banking, yang merugi karena aset berbasis kredit perumahan berisiko tinggi (subprime mortgage) adalah perusahaan-perusahaan Amerika, Eropa, paling dekat China atau Jepang.

Perbankan di Indonesia tidak diizinkan membeli aset berbasis subprime mortgage AS. Namun, mengapa bursa saham di Jakarta juga terkena dampaknya. ”Perusahaan finansial tak sama dengan perusahaan manufaktur,” ujar Kepala Riset Recapital Poltak Hotradero. Dia mengibaratkan, jika perusahaan manufaktur misalnya pembuat mobil di AS merugi karena penjualan menurun, CEO-nya tidak dapat serta-merta menelepon pada cabang di India atau China.

Sebaliknya di pasar saham, dengan hanya mengangkat telepon dan memberikan perintah jual, dalam hitungan detik perintah itu sudah dilaksanakan. Dampaknya ke bursa adalah harga saham jatuh diikuti pelemahan indeks saham. Apalagi jika yang dilepas adalah saham-saham unggulan yang memiliki kapitalisasi pasar besar. Sedikit saja ada penjualan, indeks serta-merta jadi ”merah”.

Naik turunnya pasar saham juga dikendalikan dengan persepsi. Jika ada berita yang dipersepsikan akan berdampak bagus untuk saham atau perekonomian, indeks akan bergerak naik. Sebaliknya, jika ada sesuatu yang dipersepsikan buruk, dampaknya akan buruk juga.

Keadaan perekonomian di AS yang terlihat dari data-data seperti tingkat pengangguran, penjualan ritel, dan inflasi dianggap memburuk pada awal tahun ini. Semakin banyak orang yang menganggur, semakin sedikit masyarakat Amerika yang berbelanja. Ditambah lagi dengan tingginya inflasi berarti semakin mahal harga barang di AS.

Semua itu membuat negara- negara Asia yang mengekspor barangnya ke AS takut volume ekspornya menurun. Penurunan volume ekspor berarti penurunan penjualan dan penurunan pendapatan bagi perusahaan- perusahaan. Jika pendapatan menurun, semakin kecil kemungkinan para investor mendapatkan dividen, semakin kecil pula potensi kenaikan harga sahamnya di bursa.

Akibatnya, para investor yang mempersepsikan data-data ekonomi AS sebagai sesuatu yang buruk akan melepaskan sahamnya. Presiden George W Bush sudah mengusulkan insentif pajak senilai 140-150 miliar dollar AS atau setara dengan 1 persen produk domestik bruto AS. Jumlah yang besar itu dipersepsikan oleh para pelaku pasar tidak akan membantu menghindarkan ekonomi AS dari pelambatan bahkan resesi.

Akibatnya, Senin (21/1), indeks saham di bursa mana pun melemah. Bank Sentral AS, The Federal Reserve, yang akan memangkas suku bunganya akhir bulan ini seharusnya jadi berita baik, tetapi karena terlalu banyak yang berpersepsi buruk, berita baik ini tertimpa banyaknya berita buruk.

Pelemahan rupiah

Gonjang-ganjing di pasar saham ternyata juga menular pada pasar valuta. Sesuai dengan logika, persepsi yang buruk terhadap perekonomian AS menyebabkan nilai tukar dollar AS terhadap mata uang lainnya melemah, kecuali terhadap rupiah. Rupiah terus tertekan dan pada Selasa (22/1) sempat menyentuh Rp 9.500 per dollar AS dan ditutup pada Rp 9.490 per dollar dibanding penutupan hari sebelumnya Rp 9.453 per dollar.

Padahal, jika dilihat dari neraca perdagangan, terjadi surplus yang lumayan besar. Surplus yang dimiliki Indonesia menempati urutan ketiga dari negara di Asia setelah China dan Jepang. Namun, sayangnya, neraca berjalan rendah. Artinya, dari surplus perdagangan yang besar itu sebagian dibelanjakan lagi sehingga surplus pada neraca berjalan tipis. ”Surplus perdagangan besar, tetapi banyak juga yang keluar sehingga sisanya 1 persen dari PDB,” ujar Poltak.

Harga minyak yang membubung tak diimbangi dengan hasil minyak (lifting) yang dapat diekspor. Ujungnya, tetap saja kantung penerimaan kempis kembali karena keperluan pembayaran minyak jadi lebih tinggi.

Pembayaran ini dilakukan dalam dollar AS sehingga meningkatkan pula permintaan mata uang dollar AS. ”Arah pasar seperti berkabut, sangat sulit ditebak. Kalau ada analis yang mengatakan bahwa pasar akan terjadi konsolidasi, itu sebenarnya sang analis sedang bingung,” ujar Kepala Riset Mega Capital Indonesia Felix Sindhunata. Dalam pasar saham yang sangat tinggi volatilitasnya seperti sekarang, banyak analis yang menganjurkan agar investor memegang dana tunai. (Joice Tauris Santi/Kompas)

Menantikan Terobosan yang tak Kunjung Datang



Jumat, 11 Januari 2008 | 01:18 WIB

Ekonomi negara-negara tetangga terus berlari dengan kecepatan tinggi. Thailand antara lain semakin menempatkan diri sebagai basis produksi otomotif Jepang dengan tujuan pemasaran untuk kawasan. Singapura semakin berkibar dengan keberadaan dana-dana investasi milik negara yang mengincar berbagai aset di negara lain.

Menambah daftar itu adalah Malaysia yang juga makin banyak berkibar di negara lain dengan investasi lewat merger dan akusisi, termasuk terhadap sejumlah perusahaan di Indonesia. Bahkan Vietnam, yang baru melakukan program pencanangan pembangunan ekonomi pada dekade 1990-an, kini semakin banyak kedatangan investasi asing, yakni 20 miliar dollar AS sepanjang tahun 2007.

Ini belum lagi menyebut China dan India yang sudah menyedot perhatian investor dunia dalam beberapa tahun terakhir. Dalam data aliran investasi dunia sepanjang 2007, yang dipublikasikan United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), Rabu (9/1), China kedatangan investasi sebesar 67,3 miliar dollar AS.

Pelayanan yang ramah, dan prosedur perizinan investasi yang relatif lebih mudah telah membuat negara-negara tetangga semakin kedatangan investasi asing dengan volume yang terus meningkat. Tahun 2007 adalah periode di mana untuk pertama kali ASEAN kemasukan arus investasi, yang melampaui puncak arus kedatangan investasi yang pernah terjadi tahun 1997 lalu.

Keberadaan prasarana pendukung investasi, yang terus dikembangkan di negara tetangga juga turut membuat perekonomian mereka makin melaju dengan tingkat pertumbuhan di atas 5 persen per tahun, bahkan mencapai angka 8 persen di Vietnam.

Ekonomi Indonesia juga tumbuh dengan angka sekitar 5 persen per tahun. Namun kualitas pertumbuhan ekonomi bisa dikatakan relatif tidak berkualitas karena pertumbuhan itu lebih didorong sektor konsumsi. Pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan berkesinambungan adalah pertumbuhan yang didorong investasi dan ekspor.

Indonesia tidak mengalami terobosan besar soal kedatangan investasi asing. Demikian pula ekspor non-migas tak mengalami perubahan besar sejak dekade 1990-an. Berbagai upaya dilakukan, termasuk dengan menggelar konferensi investasi. Berbagai deregulasi dan insentif pun terus diluncurkan namun tak kunjung berhasil mendatangkan investasi asing.

Dengan demikian praktis ekonomi Indonesia tumbuh hanya ditopang sektor konsumsi, swasta yang pada umumnya hanya terjadi di kota-kota besar terutama di Jabodetabek.

Lagi, pertumbuhan setinggi 5 persen tidak memadai untuk menyerap angkatan kerja yang masuk ke pasaran dan tak memadai untuk mengangkat kaum miskin dari garis kemiskinan.

Untuk itu Indonesia memerlukan basis perekonomian yang lebih luas, yang tidak semata-mata didorong sektor konsumsi. Diperlukan ekonomi yang tumbuh berkat dorongan ekspor, berkat dorongan investasi dan berkat dorongan konsumsi pemerintah.

Namun tidak ada terobosan besar untuk mendorong gairah di ekspor non-migas, konsumsi pemerintah dan investasi. Sebagaimana diutarakan ekonom dari Standard Chartered Bank, Fauzi Ichsan, persoalan kualitas prasarana menjadi hambatan bagi asing memasuki Indonesia.

Untuk merangsang ekspor nonmigas, Indonesia kini makin mendapatkan persaingan keras dari Vietnam, dan China yang menyedot investasi yang memproduksi barang-barang manufaktur.

Sebenarnya, walaupun Indonesia masih gagal mendatangkan investasi asing, dan gagal mendorong ekspor nonmigas, negara ini nesia punya kesempatan besar mendorong pertumbuhan ekonomi, yakni dengan pemanfaatan kekayaan sektor pertambangan, terutama minyak dan gas. Walau tidak berhasil kedatangan investasi asing, Indonesia punya sektor migas yang terbukti berhasil mengangkat status sosial ekonomi di Bolivia, Venezuela dan Rusia.

Namun sektor migas adalah sektor yang tidak didalami secara saksama. Penguasaan asing dan swasta di sektor tambang migas tak ubahnya seperti sektor yang untouchable. Bahkan seperti dikatakan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Purnomo Yusgiantoro, Indonesia mengkonsumsi energi yang lebih banyak ketimbang produksi energi itu sendiri.

Lalu dikatakan pula, selama ini Indonesia mengalami kelambatan investasi dalam eksplorasi migas. Akibatnya yang terjadi adalah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) di saat harga minyak internasional sedang meningkat.

Jadilah Indonesia berkutat pada masalah-masalah klasik, seperti kenaikan harga BBM, yang memiskinkan rakyat, tanpa bisa diimbangi dengan kenaikan pendapatan karena ekonomi yang tumbuh lambat dan tidak punya basis produksi yang lebih luas.

Beranikah kita mengaudit secara nasional, apa sebenarnya yang terjadi dalam penguasaan sektor migas? Benarkah produksi minyak lebih rendah ketimbang konsumsi? Kemana hasil dari sektor pertambangan lain seperti emas dan lainnya, yang juga kini sedang mengalami booming?

Mantan Ketua MPR Amien Rais sudah berkali-kali menyuarakan pentingnya sektor migas ini didalami secara saksama sehingga bisa menjadi salah satu sumber kekuatan ekonomi. Dengan menguasai produksi migas, pemerintah akan memiliki sumber keuangan yang akan bisa menjadi pendorong besar pembangunan ekonomi seperti pada dekade 1970-an.

Isu ini tenggelam begitu saja dan semua pihak lebih cenderung menelan keterangan pemerintah. Alhasil, ekonomi Indonesia bertumbuh namun tidak cukup siginifikan.

Berbicara soal ekonomi Indonesia, akan selalu berkutat pada isu klasik yang membosankan, selama kita tidak berhasil melakukan terobosan, termasuk di bidang pembangunan infrastruktur, di mana negara lain sedang berpacu.

Tentu, kekayaan migas dan pertambangan lainnya juga tak akan pernah bisa menjadi stimulus pembangunan ekonomi, selama kita tidak berani melakukan overhaul seperti yang sudah terjadi di Bolivia, Venezuela dan Rusia. Akhir kata, ekonomi Indonesia masih tetap menantikan terobosan yang tidak kunjung datang. (Simon Saragih)

Membenahi Perusahaan Listrik Negara



Kamis, 10 Januari 2008 | 19:31 WIB

Berhenti operasinya unit Pembangkit Listrik Tenaga Uap atau PLTU Tanjung Jati B pada 31 Desember 2007 karena kekurangan pasokan batu bara mengundang komentar: mengurus satu pembangkit kapasitas 1.200 megawatt saja sudah kedodoran, bagaimana nanti kalau proyek 10.000 MW sudah berjalan?

Ironis, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) kembali menyalahkan faktor buruknya cuaca sebagai penyebab terhambatnya pasokan batu bara. Apabila dirunut, matinya pembangkit karena kekurangan pasokan ini sudah kejadian kedua.

Sebelumnya, pada Maret 2007, PLN menghentikan operasi PLTU Tanjung Jati juga karena alasan cuaca. Dua kapal pengangkut batu bara yang memaksa merapat terempas gelombang yang mengakibatkan rusaknya fasilitas dermaga bongkar. Akibatnya, selama dua minggu tidak ada batu bara yang masuk.

Hal serupa juga terjadi pada PLTU Cilacap. Pembangkit swasta yang dioperasikan PT Sumber Segara Primadaya ini pada Kamis (3/1) berhenti operasi karena kehabisan pasokan. Pengelola pembangkit mengaku stok batu bara yang tersedia hanya untuk 10 hari, di bawah standar minimal satu bulan.

Namun, benarkah buruknya cuaca sebagai satu-satunya penyebab terganggunya pasokan? Apakah keputusan Menneg BUMN memberhentikan Direktur Pembangkitan dan Energi Primer sudah didasari evaluasi menyeluruh terhadap manajemen pengelolaan kelistrikan?

Pertama, dari sisi perencanaan pembangkit. Kekurangan pasokan batu bara karena cuaca tidak pernah dikeluhkan pembangkit listrik lain yang sama-sama terletak di pantai utara Jawa.

General Manager PLTU Tanjung Jati B Basuki Siswanto mengakui, posisi dermaga yang tegak lurus dengan arah datangnya angin saat musim barat menyulitkan kapal pengangkut untuk masuk.

Tiga kapal pengangkut batu bara yang sudah dua minggu lebih menunggu di perairan Jepara tidak juga berhasil merapat karena kecepatan angin di atas 40 knot dan gelombang tinggi.

Seharusnya, kesalahan pembangunan semacam ini tidak terjadi jika mitigasi dalam perencanaan pembangkit berjalan baik. Pertanyaannya, mengapa tidak dilakukan antisipasi terhadap cuaca buruk, yaitu dengan menambah pasokan lebih dari biasa, yang hanya dua minggu menjadi minimal satu bulan.

Untuk kasus PLTU Tanjung Jati B, mencari tambahan batu bara tidak mudah karena spesifikasi batu bara yang digunakan berkalori tinggi, yaitu 5.900 kilokalori (kkal) per kilogram, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan standar PLTU, yang biasanya menggunakan 5.100 kkal.

Hanya sedikit perusahaan tambang yang memproduksi batu bara dengan spesifikasi itu. Dalam posisi membutuhkan, tentu sulit bagi PLN menegosiasikan harga yang pantas dengan perusahaan batu bara yang sanggup memasok untuk PLTU Tanjung Jati B. Harga dasar kontrak batu bara yang diteken tahun 2006 untuk PLTU Tanjung Jati B berkisar Rp 508.850 per ton.

Menambah cadangan bahan bakar juga kerap memunculkan persoalan karena akan berhadapan dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Sebab, misalnya, dalam rencana kerja dan anggaran perusahaan ditetapkan rata-rata stok untuk dua minggu. Penyediaan lebih berarti ada dana yang menganggur.

PLTU Tanjung Jati B dengan kebutuhan batu bara per unit pembangkit 5.000 ton per hari minimal perlu menyiapkan stok 300.000 ton dalam sebulan. Pilihan menambah stok lebih realistis ketimbang risiko yang harus ditanggung dengan membakar solar, karena pembangkit kehabisan batu bara.

Matinya dua unit PLTU Tanjung Jati B harus digantikan dengan menambah solar di pembangkit listrik lain. PLN harus mengeluarkan biaya BBM yang besarnya Rp 15 miliar per hari. Akibat lanjutannya tentu saja pemakaian BBM untuk pembangkit meningkat. Ujung-ujungnya, subsidi yang diberikan pemerintah tidak cukup dan perusahaan merugi.

Tahun 2007, dari target laba Rp 3 triliun, PLN diperkirakan bakal rugi Rp 1,51 triliun. Biaya pembelian BBM tahun 2007 mencapai Rp 45,97 triliun atau 43 persen dari total biaya usaha. Pemakaian BBM pada tahun 2007 mencapai 10,02 juta kiloliter, lebih tinggi dari sasaran yang sebesar 7,65 juta kiloliter.

Tambahan subsidi

Tahun ini, dengan patokan perkiraan rata-rata harga minyak 80 dollar AS per barrel, PLN memperkirakan biaya bahan bakar Rp 84 triliun. Sekitar Rp 64 triliun adalah biaya BBM. Dengan patokan subsidi listrik Rp 29 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2008, dan janji tidak ada kenaikan tarif seperti yang dilontarkan pemerintah, PLN kembali bersiap meminta tambahan subsidi.

Selain lemah dalam perencanaan, PT PLN juga lemah dalam pengelolaan pembangkit. Hal itu terlihat dalam kasus rusaknya trafo di PLTU Suralaya Unit 5 yang berkapasitas 600 MW. Trafo tersebut rusak sejak Juni 2007. Akibatnya, sistem Jawa-Bali kehilangan daya sebesar 600 MW selama setengah tahun.

PLN tidak memiliki trafo cadangan sehingga harus menunggu 11 bulan untuk sebuah trafo baru. Dengan pertimbangan biaya dan waktu, PLN memilih memesan trafo ke China karena harganya jauh lebih murah dibandingkan dengan pabrikan Jepang atau Jerman. Rencananya PLTU Unit 5 Suralaya mulai uji coba operasi pada Mei 2008.

Bandingkan dengan PLTU Paiton yang dikelola swasta. Selain memiliki cadangan, pengelola PLTU Paiton mengasuransikan peralatan yang dimilikinya. Bagi pengelola listrik swasta, berhenti beroperasinya pembangkit merupakan kerugian bagi mereka.

Komisaris Utama PT PLN Alhilal Hamdi mengakui PLN agak kedodoran dalam mengantisipasi banyaknya proyek kelistrikan yang berjalan. Sejak krisis ekonomi tahun 1998, PLN cukup lama tidak membangun pembangkit. Sekarang tiba-tiba korporat harus mengerjakan proyek yang skalanya sangat besar.

Dalam lima tahun ke depan PLN akan membangun 35 pembangkit di Jawa dan luar Jawa, yang masuk dalam proyek percepatan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara dengan kapasitas total 10.000 MW. Selain itu, ada puluhan proyek listrik swasta yang memerlukan integrasi dalam perencanaan dengan melihat kebutuhan listrik dan kemampuan sistem.

Oleh karena itu, dalam jajaran direksi akan ditambah posisi Direktur Perencanaan dan Direktur Konstruksi. Sementara ini, posisi Direktur Pembangkitan dan Energi Primer dirangkap oleh salah satu dari direksi sampai diangkatnya direktur baru. Masa jabatan direksi yang bertugas saat ini berakhir pada Maret 2008.

Permasalahan kekurangan bahan bakar untuk pembangkit tidak terlepas dari belum tegasnya kebijakan pemerintah terkait dengan kebutuhan energi primer untuk sektor ketenagalistrikan. Pemerintah masih mengkaji opsi pemenuhan kebutuhan batu bara. Mengantisipasi bertambahnya kebutuhan pemakaian batu bara untuk sektor kelistrikan dalam dua tahun ke depan, opsi yang disiapkan adalah mengubah royalti batu bara dari bentuk tunai ke bentuk barang.

Kebijakan mengambil 13,5 persen bagian batu bara pemerintah untuk mengamankan pasokan batu bara untuk kebutuhan pembangkit pernah dilakukan pada tahun 1993. PLTU Paiton 1 dan 2 yang dibangun oleh swasta membutuhkan jaminan pasokan batu bara selama 30 tahun. Kebutuhan batu bara Paiton 1 dan 2 mencapai 4 juta setahun, sementara kemampuan produksi maksimum perusahaan tambang batu bara pada waktu itu hanya 2 juta-3 juta per tahun.

Maka, perusahaan tambang diwajibkan untuk menyerahkan 13,5 persen produksinya kepada negara, yang teknisnya dikelola dan dijual melalui PT Tambang Batu Bara Bukit Asam. Pilihan menyiapkan langsung cadangan batu bara dengan menarik bagian pemerintah lebih menguntungkan daripada membatasi ekspor batu bara. Sebab, perusahaan tambang tentu akan mematok harga jual di dalam negeri sama dengan harga ekspor.

Pemerintah juga perlu menyiapkan sarana dan infrastruktur pendukung pasokan batu bara. Aturan yang melarang kapal berbendera asing mengangkut batu bara menjadi faktor yang mengancam keamanan pasokan ke depan. Sebab, pertumbuhan armada kapal di dalam negeri belum sanggup mengimbangi kenaikan pasokan.

Sejumlah hal di atas seharusnya menjadi pertimbangan bagi pemerintah dan PLN untuk membenahi pengelolaan ketenagalistrikan. Kalau tidak, PLN akan mudah "dipelesetkan" menjadi Perusahaan "Lilin" Negara.(DOTY DAMAYANTI)