Tuesday, June 17, 2008

Harga Minyak dan Bencana Fiskal

Senin, 16 Juni 2008 | 00:18 WIB

A Tony Prasetiantono

Pekan lalu harga minyak menembus rekor baru, 139 dollar AS per barrel. Angka ini benar-benar membuat frustrasi. Meski kemudian agak terkoreksi ke bawah, harga minyak tetap di atas 135 dollar.

Pada titik ini, kian disadari ramalan harga minyak akan mencapai 150 dollar per barrel pada Juli atau Agustus 2008, serta 200 dollar AS per barrel pada akhir 2008 atau mungkin 2009, bukan main-main. Ini benar-benar serius.

Anehnya, pemerintah justru mengajukan asumsi harga minyak 120 dollar AS per barrel untuk APBN 2009. Apakah pemerintah berusaha melakukan persuasi, dengan mengais asa agar pasar dapat ditenangkan?

Tiga analisis minyak

Dari berbagai analisis mengenai fenomena kenaikan harga minyak, saya mencoba memilahnya menjadi tiga jenis. Pertama, analisis yang menjelaskan kenaikan harga minyak dari aspek fundamental ekonomi (economic fundamental). Ekonom ahli perminyakan Italia, Leonardo Maugeri (The Age of Oil, 2008), adalah yang terdepan dalam analisis ini.

Para penganut paham ini berangkat dari analisis, kenaikan harga minyak dunia merupakan hasil tarik-menarik penawaran dan permintaan. Penawaran tersendat karena operator minyak kekurangan insentif harga. Hingga akhir 2002, harga minyak dunia hanya 30 dollar AS per barrel, padahal biaya produksi semakin naik karena kian banyak sumur minyak berada di lepas pantai (off-shore fields). Biaya eksplorasi tambang-tambang yang terletak di laut dalam juga jauh lebih mahal.

Sementara itu, upaya mencari energi alternatif kerap kandas. Bahkan Maugeri (2008: 282) menyindir, negara-negara Barat suka memberlakukan standar ganda tentang isu nuklir. Saat negara-negara berkembang, misalnya Iran, berusaha menemukan nuklir sebagai energi alternatif, selalu dihambat dengan berbagai dalih.

Analisis kedua, menggantungkan analisisnya pada realitas sejarah dan politik. Analis yang mengikuti jalur ini, antara lain Duncan Clarke (Empires of Oil: Corporate Oil in Barbarian Worlds, Profile Books, London, 2007). Clarke melihat komoditas minyak menjadi ajang perebutan kekuasaan besar (”kekaisaran” atau empires) dalam perekonomian dunia. Ia menggambarkannya sebagai barbarian, atau machiavellisme. Paham yang diangkat Niccolò Machiavelli (1469-1527) dari Florence, Italia, ini berkonotasikan negatif, cenderung manipulatif dan tak dapat dipercaya.

Dinamika industri minyak senantiasa terkait konflik dan perang, yang diwarnai hasrat berkuasa. Dalam sejarah, ada empat tonggak terpenting yang menyebabkan harga minyak bergolak dramatis. Pertama, konflik Terusan Suez (1956). Kedua, konflik Arab-Israel (1973). Ketiga, perang Teluk Persia (1991). Keempat, fenomena terorisme dan invasi AS ke Irak. Daftar itu masih bisa ditambah dengan perang Irak-Iran yang berlangsung delapan tahun sejak 1978. Dalam analisis ini, sepanjang konflik tidak bisa dihentikan, harga minyak akan terus meletup-letup.

Analisis ketiga, mengaitkan kenaikan harga minyak dengan ulah spekulan. Seiring semakin ”canggih”-nya sektor finansial, para fund manager (manajer keuangan yang mengalokasikan dana para investor besar) pun rajin menciptakan kreativitas dan peluang. Hasilnya, ketika sekian jenis investasi ”konvensional” sudah tidak atraktif lagi, minyak masuk wilayah spekulasi. Para spekulan juga memanfaatkan informasi dan momentum saat supply dan demand minyak berimpitan ketat pada keseimbangan 84 juta barrel per hari, yang memungkinkan terjadinya eksplosi harga.

Charles Morris (The Trillion Dollar Meltdown, Public Affairs, New York, 2008) memandang sektor finansial sudah seperti kasino, yang harus dikoreksi. Menurut dia, perekonomian dunia sejak 1980-an mengalami pergeseran dari manajemen yang berorientasi pada pemerintah (government-centric) menuju ke orientasi pasar (market-driven). Inilah faktor kunci kebangkitan perekonomian AS pada 1980-an dan 1990-an.

Namun, rangkaian peristiwa yang terjadi di sektor finansial akhir- akhir ini (kebangkrutan hedge fund terkenal LTCM, Long-Term Capital Management, 1998; skandal Enron dan Worldcom, 2001; hingga kasus subprime mortgage, 2007) menyebabkan ia berpikir pasar yang dogmatis seperti ini telah menjadi masalah besar.

Karena itu, ”bandul jam” sudah seharusnya mulai mengayun ke arah yang berbeda. Maksudnya, orientasi pasar secara habis-habisan harus dikoreksi. Memang, sebesar apa pun kepercayaan kita kepada pasar (market fundamentalism), harus disadari bahwa pasar pun sering mengalami kegagalan dalam memenuhi kehendak publik. Saat pasar mengalami kegagalan (market failure), pemerintah harus berinisiatif mengoreksinya. Ini pula yang diajarkan John Maynard Keynes (1936), ketika dirinya frustrasi menghadapi depresi ekonomi dunia.

Karena itu, menurut hemat saya, kini saatnya muncul semacam ”Keynes baru” untuk mengoreksi frustrasi sektor finansial dan kenaikan harga minyak. Koreksi itu bisa dimulai dengan memberlakukan regulasi ketat pada hedge fund, yang selama ini tidak atau minim tersentuh regulasi oleh otoritas finansial di AS (Securities Exchange Commission/SEC).

Koreksi pasar dan liberalisme

Berdasarkan analisis itu, saya merasa sudah tidak mungkin lagi kita berharap pada mekanisme pasar dan liberalisme untuk mengoreksi harga minyak. Tanpa campur tangan pemerintah negara-negara kunci, mustahil kita berharap harga minyak tidak mencapai 150 dollar AS per barrel, atau bahkan 200 dollar AS per barrel, sebagaimana akhir-akhir ini diprediksikan Goldman Sachs.

Runyamnya pasar finansial dan kenaikan harga minyak, akibat terlalu percaya kepada pasar dan liberalisme, harus segera dikoreksi. Ada saatnya mekanisme pasar dan liberalisme dipercayai dan memberi banyak manfaat. Ini harus diakui. Namun pada saat lain, bisa saja pasar dan liberalisme mengalami kegagalan dan kontraproduktif, bahkan berpotensi menghancurkan perekonomian dunia secara kolektif. Bila ini terjadi, koreksi pemerintah di sejumlah negara harus dilakukan. Hal inilah yang belum saya lihat, adanya gerakan signifikan dari negara-negara besar. Jika pembiaran ini berlarut-larut, asumsi harga minyak 120 per barrel seperti dalam APBN 2009 akan segera menjadi wishful thinking.

Dengan asumsi optimistik itu, APBN 2009 mengandaikan subsidi BBM Rp 155 triliun dan subsidi listrik Rp 77,9 triliun. Pada situasi ini, belanja pemerintah dalam APBN melonjak menjadi Rp 1.143 triliun. Sedangkan defisit APBN akan mencapai Rp 83,5 triliun, setara dengan 1,6 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).

Masalahnya, apakah asumsi itu realistis? Jika harga minyak 150 dollar AS per barrel, rasanya kita masih selamat. Pada tingkat harga itu, defisit APBN belum melampaui 2 persen. Tetapi jika harga minyak dunia mencapai 200 dollar AS per barrel, semua asumsi bakal jungkir balik dan terjadi bencana fiskal (fiscal disaster). Upaya penyelamatannya terletak pada pemangkasan pengeluaran dan memperkecil kebocoran penerimaan pajak. Opsi menaikkan harga BBM lagi pasti dihindari karena faktor pemilu.

Di luar itu, yang tak kalah penting, kampanye dan lobi internasional untuk mencegah harga minyak 200 dollar AS harus digiatkan. AS, sebagai negara yang paling boros (konsumsi minyaknya 22 juta barrel sehari, atau 25 persen konsumsi dunia), harus berada di barisan terdepan kampanye ini. Mereka juga harus menata hedge fund agar tidak memiliki terlalu banyak ”ruang kreatif” sehingga menjadikan minyak dan sektor finansial sebagai ajang kasino.

Tampaknya, dunia sedang menantikan lahirnya ”Keynes baru” guna mengakhiri petaka yang belum diketahui ujungnya ini.

A Tony Prasetiantono Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM; Chief Economist BNI

Friday, June 6, 2008

Manajemen yang Amburadul

Jumat, 6 Juni 2008 | 01:02 WIB

Kenaikan harga bahan bakar minyak rata-rata sebesar 28,7 persen seharusnya dijadikan momentum untuk memperbaiki sektor transportasi nasional. Sudah waktunya pemerintah fokus dan membuat konsep yang tepat untuk memilih jenis transportasi massal apa yang akan dikembangkan.

Ketegasan ini menjadi penting bagi kalangan pelaku di industri otomotif ataupun industri ikutannya, kata Safiun, Dewan Supervisi Gabungan Industri Alat-Alat Mobil dan Motor.

Apabila pemerintah fokus, nilai tambah yang didapatkan oleh industri otomotif luar biasa besar. Industri mobil akan bertumbuh luar biasa. Dengan volume yang cukup, industri otomotif akan mampu mengembangkan industrinya di Indonesia.

Para pelaku ini tidak hanya akan memproduksi dengan kisaran puluhan ribu unit per tahunnya, tetapi bisa ratusan ribu unit. Sasaran pasarnya tidak hanya lokal, tetapi juga ASEAN ataupun pasar di negara prinsipal. Namun, yang lebih penting industri ikutannya akan bertumbuh luar biasa.

Misalnya, kata Safiun, yang dipilih industri massal angkutan bus busa secara jelas, sektor yang akan menikmati tidak hanya industri kelas pabrikan yang menghasilkan rangka dan mesin. Namun, juga sektor ikutan lainnya, seperti industri komponen, industri karoseri, dan industri tekstil yang bergerak di aksesori industri otomotif.

Dengan demikian, konsep puluhan tahun untuk mengembangkan industri massal tetap menjadi mimpi. Industri tidak jalan, panjang jalan hanya bertumbuh sangat kecil, dan industri komponen ataupun karoseri justru banyak yang gulung tikar.

Akibat inkonsistensi tersebut, industri otomotif akhirnya memilih mendapatkan produk apa adanya. Tidak sedikit bus atau angkutan massal yang ada saat ini produk yang boros energi. Belum memenuhi standar Euro II, apalagi Euro III yang dipersyaratkan oleh pasar dunia.

Dengan demikian, pengorbanan pemerintah mengembangkan industri otomotif melalui kebijakan impor mobil dalam keadaan terurai pada tahun 1974, peningkatan kandungan lokal tahun 1976, pola insentif tahun 1983, hingga mobil nasional pada tahun 1996 tidak menuai hasil maksimal.

Pasar mobil mengalami fluktuasi, dengan mobil murah dan umumnya berteknologi rendah. Mengantisipasi penurunan, produsen otomotif melakukan perakitan di industrinya. Sejak saat itu industri karoseri ataupun komponen banyak yang gulung tikar. Pasar kendaraan bus pun kian menurun.

Data Samapta Polri tahun 2007 menunjukkan, pasar bus tahun 1965-2007 hanya ada 2.854.990 unit. Jumlah itu hanya separuh dari jumlah kendaraan motor atau roda dua dari Januari sampai April 2007 yang mencapai 1,9 juta unit.

Dampaknya

Oleh karena itu, kepastian pengembangan transportasi massal menjadi penting. Apabila tidak, kondisi keruwetan jalan tidak akan pernah berubah. Dampaknya, mobilitas di jalan raya tak akan pernah berubah, kecepatannya hanya 15 kilometer per jam.

Kerugian yang dipetik dari semua itu tidak kecil. BBM kian boros dan angka impor BBM yang rata-rata kini mencapai 400.000-500.000 barrel per hari sulit ditekan.

Fakta ini pernah dilansir oleh Yayasan Pelangi—sebuah organisasi nirlaba yang bergerak dalam bidang penelitian transportasi—kemacetan yang terjadi di Jakarta mencapai Rp 43 triliun.

Kerugian itu berupa pemborosan bahan bakar minyak, waktu kerja, kerugian angkutan barang, dan angkutan penumpang umum. Kemacetan terjadi sebagai akibat dari tidak dibatasinya jumlah kendaraan pribadi. Dengan demikian, volume kendaraan akan terus bertambah melampaui daya tampung jalan.

Data Samapta Polri tahun 2007 memperlihatkan, total jumlah kendaraan selama tiga tahun terakhir melonjak tajam, terutama kendaraan roda dua.

Tahun 2004 jumlah motor di Jakarta baru mencapai 28.963.987 unit. Namun, tiga tahun kemudian, yakni 2007, naik menjadi 45.987.747 unit. Kuatnya daya sedot pasar ini karena mudahnya sistem kepemilikan kendaraan dengan cara kredit. Faktor itu semakin kuat setelah pemerintah menaikkan harga BBM jenis premium pada Oktober 2005, dari Rp 2.400 per liter menjadi Rp 4.500 per liter.

Efisiensi dan penghematan di tengah tingkat pendapatan masyarakat yang relatif tertekan oleh inflasi dan perusahaan tempat mereka bekerja, transportasi motor menjadi pilihan yang efektif. Hal itu menjadi pilihan masyarakat setelah pemerintah gagal menyediakan transportasi massal yang memadai. Bagi mereka transportasi massal itu bukan saja tidak aman, tidak nyaman, dan tidak murah, tetapi juga tidak tepat jadwal.

Mereka tidak mungkin memindahkan transportasinya dari kendaraan pribadi ke kendaraan umum. Motor mayoritas menjadi pilihan utama. Dampaknya, jalan kian ruwet, timbal kian banyak dihirup warga. Ujung dari semua persoalan, pasar mobil pun kian ikut tertekan. (AST)

Kebijakan Transportasi Tanpa Cetak Biru

Jumat, 6 Juni 2008 | 01:00 WIB

Karut-marutnya sistem transportasi nasional mungkin tak bisa dilepaskan dari tidak adanya cetak biru sistem transportasi nasional. Kalaupun ada, sifatnya masih sangat sektoral.

Departemen Perhubungan, Departemen Pekerjaan Umum, Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, dan juga pemerintah daerah ibaratnya jalan sendiri-sendiri.

Akibatnya, tidak pernah terbangun suatu sistem transportasi intermoda nasional yang andal, efisien, dan terintegrasi, yang mampu menopang tuntutan pergerakan dan pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah.

Menurut Direktur Bina Sistem Transportasi Perkotaan Departemen Perhubungan Elly Sinaga, pegangan pemerintah dalam pembangunan sistem transportasi nasional sekarang ini adalah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Namun, sejauh ini undang-undang ini pun baru berupa visi dan mimpi yang masih harus diwujudkan. Elly tidak menjelaskan bagaimana menerjemahkan UU No 14/1992 itu menjadi sistem transportasi nasional yang terpadu.

Menurut dia, cetak biru transportasi di Indonesia dibagi berdasarkan jenis kota, yakni kota besar, kota sedang, dan kota kecil. Kota besar adalah kota berpenduduk di atas 500.000 jiwa, kota sedang penduduknya antara 100.000-500.000. Sedangkan kota kecil adalah kota dengan penduduk di bawah 100.000 orang.

”Memang kondisi setiap kota berbeda sehingga tidak bisa disamakan antara satu dengan lainnya,” kata Elly. Di kota besar dan kota sedang, masalah yang terjadi adalah mahalnya transportasi publik. Ini berbeda dengan kota kecil. Di kota kecil, transportasi publik masih dapat dilayani dengan kendaraan kecil seperti mikrolet. Namun, beberapa masalah, misalnya penggunaan sepeda, belum digarap dengan serius.

Dia mengakui, secara umum, masalah yang dihadapi Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia adalah masalah klasik, pertumbuhan panjang jalan yang tidak sebanding dengan pertumbuhan jumlah kendaraan.

Namun, sebetulnya, membangun jalan terus-menerus pun tidak menyelesaikan masalah. Tanpa pembatasan jumlah kendaraan atau upaya mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, panjang jalan tidak akan pernah mencukupi.

Menurut Elly, sudah saatnya kebijakan transportasi mengarah kepada transportasi publik alias public transport priority. Namun, selama ini transportasi publik yang tersedia tidak memadai. Selain tidak nyaman, transportasi publik juga tidak terintegrasi dengan baik.

”Misalnya di stasiun kereta, orang kesulitan mendapatkan kendaraan menuju tempat tujuan. Seharusnya, kan, kereta api bisa terintegrasi dengan feeder busway atau bus transkota,” kata Elly.

Selama ini, moda transportasi publik di Indonesia dikuasai oleh angkutan kota berjenis mikrolet, kendaraan dengan berkapasitas terbatas. Yang membuat kondisi semakin semrawut adalah jumlah mikrolet seolah tidak dibatasi. Sebab, di masa lalu, pemerintah daerah terus-menerus mengeluarkan izin trayek tanpa ada survei yang jelas.

Padahal, kata Elly, dalam ilmu transportasi, sudah dikenal survei asal dan tujuan (origin destination survey). Artinya, sebelum menetapkan rute tertentu untuk moda angkutan tertentu, perlu diketahui berapa besar sebenarnya permintaan untuk angkutan rute itu.

Untuk kota besar dan sedang, moda transportasi yang ideal itu transportasi massal, bukan jenis kendaraan kecil seperti mikrolet. Dephub sendiri tahun ini menyiapkan 85 bus transkota di lima kota, yaitu Semarang, Pekanbaru, Balikpapan, Menado, dan Surakarta. Bus ini konsepnya mirip bus transjakarta, hanya saja tidak menggunakan lajur khusus. Bus-bus itu hanya bisa diberhentikan di halte bus dan menggunakan kartu khusus.

Sebenarnya, tahun ini seharusnya ada 22 kota, termasuk Batam, Bogor, dan Yogyakarta yang menggunakan bus transkota sebagai moda transportasinya. Namun, tidak semua pemerintah daerah berani menerapkan kebijakan itu. Masalahnya, reaksi penolakan dari masyarakat, seperti sopir mikrolet atau juru parkir, cukup besar.

Oleh karena itu, kecuali di Yogyakarta, bus transkota beroperasi mulai dari pinggiran kota dulu. Apabila bus ini sudah diterima masyarakat, lambat laun, daerah pusat kota pun akan terlayani.

Sangat sektoral

Anggota Tim Teknis Revitalisasi Perkeretaapian Nasional Suyono Dikun mengatakan, kalaupun ada cetak biru sistem transportasi nasional (sistranas), sistranas tersebut sifatnya masih sangat sektoral. ”Sektoral, karena hanya mengindikasikan bahwa akan dibangun jalur ini, lintas itu, lintas ini, pelabuhan ini, lapangan terbang ini,” ujarnya.

Menurut mantan Deputi Bidang Sarana dan Prasarana di Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas dan Deputi V Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah di Kementerian Koordinator Perekonomian ini, sistem transportasi nasional itu bukan hanya menyangkut fasilitas fisik atau membangun jalur, lintasan dan sebagainya.

”Sistranas adalah suatu sistem nilai ekonomi, dengan melihat interaksinya dengan kelembagaan, dengan peraturan perundangan, interaksinya dengan moda lain, dengan energi, tata ruang, dan sebagainya. Bukan hanya sekadar, oh, ini ada peta, kita mau bangun lintas Kalimantan, bangun jalur rel kereta api di Sumatera, dan sebagainya. Itu bagus. Tetapi bukan hanya itu. Itu enggak cukup,” tambah Suyono Dikun.

Selain sangat sektoral, semua pemangku kepentingan dan instansi atau departemen yang terkait juga terkesan berjalan sendiri-sendiri dengan ego masing-masing. Akibatnya, sangat tidak jelas transportasi nasional mau di bawa ke mana.

Ia mencontohkan kajian JICA- Bappenas mengenai sistem transportasi terintegrasi Jabodetabek (Study on Integrated Transportation Master Plan/SITRAMP) yang sudah dibiayai dengan mahal (4 juta dollar AS), tetapi akhirnya tidak jelas tindak lanjutnya hingga sekarang.

”Kejelekan kita sebagai bangsa adalah tak menghargai suatu konsep strategi yang bagus. Follow up-nya enggak ada. Pemerintah jalan aja dengan kaca mata kudanya dan tidak pernah mau berubah. Jadi tidak ada sama sekali keterpautan antara konsep, strategi, hasil studi, dan rekomendasi yang begitu bagus dengan proses pembuatan keputusan oleh pemerintah,” ujarnya.

Jabodetabek

Khusus untuk Jabodetabek, gambaran kemacetan wilayah ini pada tahun 2020 antara lain tercantum dalam laporan Rencana Induk Transportasi Terpadu (SITRAMP) yang dilakukan oleh JICA dan Bappenas pada Maret 2004. Dalam laporan itu disebutkan, Jakarta akan macet total di semua ruas jalan pada tahun 2020 jika tidak ada upaya untuk menguranginya.

Elly mengakui, di daerah seperti Jakarta sudah selayaknya angkutan massal terintegrasi dengan daerah-daerah pinggirannya, seperti Tangerang, Bogor, Depok, Bekasi. Bus transjakarta, misalnya, idealnya jalurnya menjangkau daerah yang berbatasan langsung dengan Jakarta, seperti Tangerang atau Depok.

Namun, selama ini kebijakan transportasi di Jabodetabek tidak terintegrasi karena sulitnya koordinasi antarpemerintah daerah. ”Masalahnya, kan, ada beberapa kepala daerah, baik bupati maupun gubernur yang terlibat sehingga sulit terintegrasi. Semestinya, untuk Jabodetabek, ada satu badan khusus yang mengaturnya,” kata Elly.

Untuk kendaraan pribadi, dia mengakui, di Indonesia sulit untuk menerapkan kebijakan pembatasan jumlah kendaraan, seperti diterapkan di negara tetangga Singapura. ”Soalnya terkait dengan berbagai hal, misalnya industri otomotif, dan lain sebagainya,” katanya.

Sebenarnya, yang bisa diterapkan adalah transport demand management atau manajemen yang memaksa orang mereduksi perjalanan dengan kendaraan pribadi. Dia mencontohkan penggunaan smart card atau parking policy.

Hal lain yang bisa dilakukan adalah pengenaan retribusi bagi kendaraan pribadi. Namun, hal itu masih sulit dilakukan karena untuk mengenakan retribusi, pengendara kendaraan pribadi harus mendapat kompensasi di jalan raya, seperti bebas macet.

”Karena kita belum bisa menjamin jalanan bebas macet, mungkin retribusi sulit diterapkan,” katanya.

Sebenarnya, Elly berharap kenaikan harga BBM ini menjadi momen yang tepat agar masyarakat mau beralih ke transportasi massal. Namun, dengan kondisi transportasi yang masih semrawut, apakah harapan itu dapat terwujud? (IRN/TAT)

Protes Harga BBM Kian Meluas


Ledakan di Kuwait Tidak Mendorong Kenaikan Harga

AP Photo/ Anupam Nath / Kompas Images
Polisi mencoba merebut boneka yang merupakan gambaran dari Menteri Perminyakan India Murli Deora, yang sedang dibakar para pemrotes akibat keputusan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak di Gauhati, India, Kamis (5/6).
Jumat, 6 Juni 2008 | 03:00 WIB

Kuala Lumpur, Kamis - Protes atas keputusan beberapa pemerintah menaikkan harga minyak semakin meluas ke seluruh penjuru dunia. Setelah di Uni Eropa, kini muncul di Asia.

Keputusan Pemerintah Malaysia menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) sebesar 41 persen menjadi alasan para pemrotes turun ke jalan-jalan. Kenaikan itu dilakukan agar subsidi pemerintah tidak terlalu besar.

Kelompok oposisi menggelar protes di Kuala Lumpur dan Ipoh serta menekan Perdana Menteri Abdullah Ahmad Badawi.

”Dampak kenaikan ini akan memberikan beban berat kepada banyak orang, khususnya orang miskin,” kata Teresa Kok, anggota Partai Aksi Demokratis, salah satu dari 1.000 pemrotes di Kuala Lumpur, Kamis (5/6).

Polisi dan pasukan antihuru- hara dengan tongkat dan tameng membubarkan pengunjuk rasa yang membentangkan spanduk bertuliskan ”BBM Naik, tetapi Gaji Tidak”.

Di Ipoh, diperkirakan lebih dari 100 orang turut dalam unjuk rasa tersebut. Demonstrasi lanjutan akan dilaksanakan dalam pekan depan.

Menteri Dalam Negeri Syed Hamid Albar mengkritik bahwa aksi unjuk rasa itu ilegal dan meminta publik tak bereaksi berlebihan terhadap kenaikan harga BBM.

”Ini bukan isu politik, tetapi isu nasional yang harus kita hadapi bersama. Harga minyak global terus naik,” katanya.

Pemerintah Malaysia menaikkan harga bensin menjadi 2,7 ringgit atau setara Rp 8.100 dari sebelumnya 1,92 ringgit atau Rp 5.760.

India

Sama seperti Malaysia, Pemerintah India juga mendapat kecaman dan kemarahan dari rakyatnya karena kenaikan harga bahan bakar minyak. Aksi unjuk rasa di India dipelopori oleh kelompok komunis.

India mengimpor 70 persen minyak yang diperlukan untuk menggerakkan perekonomian yang sangat cepat. Pemerintah India menaikkan harga bensin sebesar 11 persen dan harga solar sebesar 9,4 persen.

Toko-toko, sekolah, dan kantor-kantor di Bengali Barat bagian timur, Tripura bagian timur laut, dan Kerala selatan ditutup. Penutupan itu merupakan awal rencana protes di seluruh negeri menentang kenaikan harga BBM.

”Pemogokan itu total, melibatkan semua toko dan bisnis, institusi keuangan dan pendidikan,” ujar Bijon Dhar, pemimpin Marxist, di Tripura.

Di ibu kota Kerala, Thiruvananthapuram, kendaraan tidak beroperasi dan jalanan lengang.

Di ibu kota Bengali Barat, Kolkata, pusat perbelanjaan, kantor pemerintah, dan swasta, juga tutup untuk memprotes kenaikan harga BBM.

Harga bensin di New Delhi naik 3 rupee menjadi 50 rupee atau Rp 10.999 per liter. Harga bensin berbeda-beda di setiap negara bagian karena pengenaan pajak yang berbeda-beda pula.

Harga minyak berada di sekitar 123 dollar AS per barrel, didorong oleh laporan ledakan di pabrik petrokimia Kuwait. Akan tetapi, kenaikan tidak terlalu banyak karena didorong oleh penguatan nilai tukar dollar AS dan kekhawatiran mengenai menurunnya permintaan global.

Pada perdagangan sore hari di Eropa, harga minyak jenis light sweet naik 15 sen menjadi 122,45 dollar AS per barrel. Sebelumnya, kontrak minyak itu seharga 123,25 dollar AS per barrel.

Sebelumnya, kontrak berjangka Nymex dan Brent sempat naik di atas 123 dollar AS per barrel setelah laporan awal mengenai ledakan di kawasan industri Mina Abdalla, Kuwai. Namun, harga kemudian menurun lagi karena ternyata ledakan tersebut tidak memengaruhi kegiatan di kilang Kuwait yang berada di kawasan itu. (AP/AFP/joe)

RUU UMKM

Persetujuan DPR Disertai Berbagai Catatan
Jumat, 6 Juni 2008 | 00:28 WIB

Jakarta, Kompas - Setelah pembahasan berlangsung berbulan-bulan, akhirnya 10 fraksi di DPR setuju Rancangan Undang-Undang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah diajukan ke Sidang Paripurna DPR tanggal 10 Juni, untuk disetujui menjadi Undang-Undang.

Namun, ada beberapa catatan yang diberikan oleh fraksi-fraksi di DPR terhadap RUU tersebut. Fraksi Kebangkitan Bangsa melalui juru bicaranya, Ahmad Safrin Romas, meminta agar pemerintah segera membuat peraturan pemerintah untuk implementasi UU tersebut.

”Fraksi Kebangkitan Bangsa mendorong pemerintah segera menyusun dan mengeluarkan peraturan pemerintah dalam waktu enam bulan,” katanya di Jakarta, Kamis (5/6).

Selain itu, kata Safrin Romas, pemerintah diharapkan memberi kemudahan akses pembiayaan dan penjaminan kredit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Pemerintah juga diminta memberikan informasi yang transparan tentang perizinan yang berlaku bagi sektor UMKM.

Selama ini, menurut Safrin Romas, pada umumnya UMKM belum menyelesaikan ketentuan legalisasi usahanya. Hal tersebut terjadi karena para pelaku UMKM tidak memiliki informasi yang memadai tentang proses perizinan yang harus dilaluinya.

Kemitraan

Fraksi Partai Golkar melalui juru bicaranya, Rambe Kamaruzaman, menyoroti tentang kemitraan usaha besar dan UMKM.

Pemahaman tentang kemitraan tersebut diperlukan agar tidak ada perbedaan persepsi tentang peran dari masing-masing pelaku usaha. ”Agar antara usaha besar dan UMKM tidak ada yang merasa paling berperan,” tutur Rambe.

Fraksi Partai Golkar juga menekankan perlunya peran pemerintah untuk memperluas akses kredit dari perbankan dan non- perbankan bagi pelaku UMKM.

Menteri Negara Urusan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Suryadharma Ali seusai menyaksikan penandatanganan persetujuan RUU UMKM menegaskan komitmennya untuk berpihak kepada UMKM.

Komitmen tersebut diperlukan karena jumlah UMKM saat ini diperkirakan mencapai 49 juta unit. Dengan jumlah yang relatif besar tersebut, potensi UMKM untuk menggerakkan sektor riil sangat berarti. (OSA)

Tuesday, June 3, 2008

Produksi Minyak RI 2009 Belum Bisa Tembus 1 Juta Bph

Alih Istik Wahyuni - detikFinance

GB
Petani Melintas di Blok Cepu (gik)
Jakarta - Pemerintah mengusulkan tingkat lifting dan produksi minyak untuk RAPBN 2009 sebesar 950 ribu barel per hari (bph), atau naik 23 ribu bph dari 2008 yang sebanyak 927 bph.

Hal tersebut disampaikan Kepala BP Migas R Priyono dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Senin (2/6/2008) malam.

Menurutnya, peningkatan produksi memang tidak banyak karena penurunan produksi secara alamiah yang mencapai 10% dan tambahan produksi yang belum optimal.

"Peningkatan ini tidak signifikan karena lapangannya nggak besar. Kecuali dari Exxon yang baru 2010 bisa banyak. Jadi tambahannya jadi cuma 20-30 ribu barel/hari. Dari jumlah itu, kita prediksi rata-rata produksi 2009 sebesar 950,1 barel/hari," katanya.

Penurunan produksi secara alamiah bisa terlihat dari produksi pada Januari yang diperkirakan sebanyak 963 ribu bph, namun menurun hingga Desember tinggal 879 ribu bph.

Sementara tambahan produksi baru didapat dari beberapa lapangan, yaitu:
  • Mobile Cepu Ltd sebesar 20 rib bph
  • CPI (Duri Area 11) sebesar 2,8 ribu bph
  • JOB PT Bumi Siak Pusako sebesar 0,9 ribu bph
  • Medco Energy sebesar 0,2 ribu bph
  • JPB Hess Jambi Merang sebesar 0,4 ribu bph
  • JOB PPEJ ( SUkowati) 5,0 ribu bph

Lifting dan Produksi

Mulai tahun 2009, pemerintah akan menggunakan satu istilah untuk perhitungan produksi dan lifting. Selama ini produksi selalu lebih banyak 50 ribu bph karena merupakan swap antara ConocoPhilips dan Chevron.

"Perbedaan pemahaman lifting dan produksi tidak ada lagi. Produksi sama dengan lifting. Kita harapkan bulan ini swap bisa terselesaikan. Jadi own use 50 ribu bph bisa masuk lifting," katanya.
( lih / qom )

Konsumsi BBM 2008 Diprediksi 10,3% di Atas Kuota APBN


Alih Istik Wahyuni - detikFinance

GB
Antrean BBM (bgs)


Jakarta - Realisasi konsumsi BBM subsidi tahun 2008 diperkirakan mencapai 39,115 juta KL atau 10,3% diatas kuota yang ditentukan APBNP 2008 sebesar 35,475 juta KL.

Asumsi peningkatan konsumsi ini diambil dari data konsumsi hingga Maret 2008 yang diterapkan sepanjang tahun 2008.

Tren peningkatan terbesar terjadi pada konsumsi Premium yang mencapai 15% dari APBN 2007. Sementara peningkatan minyak tanah tercatat sebesar 3% dan solar sebesar 12%.

Hal tersebut disampaikan Kepala BPH Migas Tubagus Haryono dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Senin (2/6/2008) malam.

"Yang melandasi adalah kenaikan di sektor transportasi. Kegiatan eknomi meningkat, frekuensi kendaraan bermotor makin tinggi. Sementara pertambahan infrastruktur dan panjang jalan tidak seimbang. Ini membuat konsumsi BBM lebih banyak," katanya.

Data dari Pertamina menujukkan konsumsi realisasi BBM subsidi hingga April 2008:
  • Premium 6,1 juta KL dari jatah APBNP 2008 16,9 juta KL
  • Kerosine 2,997 juta KL dari jatah APBNP 2008 7,5 juta KL
  • Solar 3,793 juta KL dari jatah APBNP 2007 10,9 juta KL.

Sementara data perkiraan realisasi hingga akhir 2008 adalah:
  • Premium 19,47 juta KL.
  • Kerosene 7,79 juta KL.
  • Solar 11,89 juta KL.

Sunday, June 1, 2008

Mencermati Industri Jalan Tol di Negeri ini

Kamis, 11 Oktober 2007

Oleh : Heri Susanto

UU Nomor 38/2004 ini merupakan perubahan/penggantian terhadap UU Nomor 13/1980 yang telah berusia hampir seperempat abad dan sudah tidak sesuai lagi sebagai landasan hukum pengaturan tentang Jalan. Dasar pertimbangan yang melandasi perubahan/penggantian adalah adanya berbagai perkembangan dan perubahan penataan sistem. Pemerintahan Negara yang berorientasi pada otonomi daerah serta adanya tantangan persaingan global dan tuntutan peningkatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan Jalan.
Terdapat sejumlah perbedaan yang mencolok dan fundamental dalam perubahan UU ini antara lain:

Pertama, penetapan suatu ruas jalan tol. Penetapan jenis kendaraan bermotor dan besarnya tol, persetujuan pemakaian jalan tol selain untuk pemakai jalan yang menggunakan kendaraan bermotor dengan membayar tol. Pada UU Nomor 13/1980 hal tersebut di atas ditetapkan oleh Presiden, pada UU Nomor 38/2004 cukup oleh Menteri terkait.

Kedua, wewenang penyelenggaraan/pengusahaan Jalan Tol, pada UU Nomor 13/1980 diserahkan hanya kepada Badan Usaha Milik Negara (PT Jasa Marga) dan BUMN tersebut dapat bekerjasama dengan Badan Usaha Miiik Swasta, sedangkan pada UU Nomor 38/2004 bisa kepada BUMN dan/atau Badan Usaha Milik Daerah dan/atau Badan Usaha Milik Swasta secara langsung.

Ketiga, peran regulator dan operator dipisah. Kalau UU sebelumnya peran tersebut dirangkap dan dipegang oleh BUMN dalam hal ini PT Jasa Marga. UU yang baru ini peran PT Jasa Marga diperlakukan sebagai operator murni, sedangkan peran regulator diserahkan kepada Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT).

BPJT dibentuk oleh Menteri, berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri yang keanggotaannya terdiri dari unsur Pemerintah, unsur pemangku kepentingan dan unsur masyarakat Sebagian wewenang pemerintah dalam penyelenggaraan Jalan Tol yang meliputi: pengaturan jalan tol, pengusahaan jalan tol dan pengawasan jalan tol dilaksanakan oleh BPJT.

Dalam UU No. 13/1980 PT Jasa Marga dalam menjalankan fungsinya sebagai regulator terlihat kurang berfungsi dan malah berdampak pada timbulnya konflik kepentingan sehingga banyak merugikan Jasa Marga.

Jasa Marga sebagai korporasi tidak hanya terkait dalam UU No. 38/2004 tentang jalan tetapi juga terkait dengan UU No 19/2003 tentang BUMN dalam rangka menjalankan peranan penting terutama di dalam mendukung ekonomi, sosial budaya, lingkungan melalui Jalan sebagai bagian sistem transportasi nasional.

Jasa Marga jika dilihat dari perspektif bisnis akan cenderung lebih banyak berpihak kepada fungsinya sebagai operator dan pengusaha jalan tol. Hal ini sesuai dengan maksud dan tujuan pendirian BUMN yang tertuang dalam UU No 19/2003 tentang BUMN, dimana PT Jasa Marga adalah Badan Usaha Milik Negara yang harus semaksimal mungkin memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan Negara pada khususnya serta mengejar keuntungan.

Pembangunan jalan harus memenuhi kebutuhan masyarakat atas angkutan barang dan jasa yang aman, nyaman, berdaya guna yang benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, pengelolaan yang transparan dan terbuka serta tarif tol yang didasarkan pada kemampuan bayar pengguna jalan (masyarakat). Di samping itu tentu pengusaha jalan tol dilindungi kepentingannya yaitu adanya kepastian hukum dalam bisnis jalan tol, iklim investasi yang kondusif, diberikan konsesi (tenggang waktu) yang layak untuk dapat mengembalikan dana investasi dan keuntungan yang wajar.

Namun harapan-harapan tersebut di atas belum dapat terwujud melalui BPJT karena dalam PP No. 15/2005 walaupun semuanya telah diatur lebih rinci namun pada tataran Implementasinya BPJT tidak tegas karena kurangnya kekuasan yang dimiliki BPJT dan kurangnya kompetensi personal yang sekarang duduk di BPJT serta kurang luasnya skema organisasi BPJT yang tidak melibatkan unsur pemerintah daerah. Permasalahannya sekarang ialah bagaimana mereformasi BPJT yang independen, transparan dan terbuka, bebas KKN dengan keanggotaan yang professional.

Keempat, ada 2 (dua) Pasal yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 38/2004 sangat menguntungkan bagi pengusaha jalan tol yang telah beroperasi saat ini yaitu: a) Pasal 48 ayat (3) berbunyi, bahwa evaluasi dan penyesuaian tarif tol dilakukan setiap 2 (dua) tahun sekali berdasarkan pengaruh laju inflansi. Penyesuaian tarif tol ditentukan 2 (dua) tahun sejak penetapan terakhir tarif tol, dengan formula: Tarif baru = tarif lama (1 + inflansi). Data inflasi yang berlaku adalah data inflansi wilayah yang bersangkutan dari Badan Pusat Statistik (BPS).
Kenaikan tarif tol sebelum UU Nomor 38/2004 ini berlaku, diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40/2001, ditinjau setiap 3 (tiga) tahun sekali dengan kenaikan maksimum 25 persen (dua puluh lima persen). PT Jasa Marga dan beberapa pengelola jalan tol lainnya akan memperoleh tarif baru yang lebih cepat dan kenaikan rata-rata per tahun yang mungkin lebih besar, mengingat tingkat inflasi di negeri ini masih cukup tinggi.

Penyesuaian tarif tol akan secara otomatis ditetapkan sesuai UU ini. Kenaikan tarif tol terakhir terjadi pada bulan Juni Tahun 2003 yang lalu. b) Pasal 66 ayat (3) menyatakan bahwa konsesi yang dimiliki badan usaha milik swasta di bidang jalan tol berdasarkan Undang-Undang Nomor 13/1980 dinyatakan tetap berlaku. Itu berarti, masa konsesi yang telah diperoleh berlaku mutlak dan tidak bisa diganggu gugat lagi. Mungkin saja pemberian masa konsesi kepada pengelola jalan tol untuk ruas-ruas jalan tertentu pada jaman pemerintahan Soeharto tersebut diliputi nuansa KKN, sehingga mendapatkan masa konsesi yang panjang dan berlebihan.

Kita tahu, bahwa nilai investasi yang ditanamkan dalam suatu jalan tol berkaitan erat sekali dengan penentuan tarif tol awal dan masa konsesi. Jika nilai investasi besar atau tidak wajar, akan bisa memperoleh tarif awal yang tinggi dan masa konsesi yang lama. Oleh karena itu, perlu kiranya di tinjau kembali, apakah nilai investasi pada ruas-ruas jalan tol tersebut wajar dan layak. Hal itu perlu, apalagi di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dikenal sangat antikorupsi dan berusaha memerangi segala bentuk KKN, termasuk mark-up nilai proyek jalan tol. Sepatutnya Pasal 66 ayat (3) ini ditinjau kembali.

Kelima, pasal 64 ayat (2) tentang pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol menyatakan, bahwa pengadaan tanah dapat menggunakan dana yang berasal dari pemerintah dan/atau Badan Usaha Swasta. Ketentuan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38/2004, Pasal 64 ayat (2) ini lebih lanjut perlu dituangkan dalam Peraturan Pemerintah agar jelas aturan mainnya. Sebelum Undang-Undang ini keluar, ketentuan tentang pembebasan tanah untuk pembangunan Jalan Tol ditanggung oleh Pemerintah (Peraturan Pemerintah Nomor 8/1990, Pasal 41).

Selama ini ketentuan yang berjalan ialah apabila dana untuk pembebasan tanah di biayai oleh pengelola/investor, maka dihitung sebagai investasi dan diperhitungkan kompensasinya dalam bentuk penambahan masa konsesi. Tetapi kalau dana berasal dari pemerintah, sama sekali tidak ada perhitungan kompensasinya. Apakah itu dalam bentuk nilai saham dalam usaha patungan tersebut, atau dalam bentuk sewa-menyewa selama kurun waktu masa operasi.
Bagaimanapun dana pemerintah untuk pembebasan tanah tersebut harus kembali ke negara, karena di peroleh melalui pinjaman. Dari mana sumber nya, kalau bukan dari hasil usaha talan tol itu sendiri. Dengan demikian terjadi hubungan bisnis yang layak dan wajar.. Sebaiknya hubungan kerja sama antara pemerintah (dalam hal ini diwakili oleh BPJT) dengan investor jalan tol yang telah beroperasi, di tinjau kembali dan disesuaikan dengan semangat reformasi.

Dari uraian tersebut di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu : Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 ini telah cukup menjamin secara kepastian hukum usaha di bidang jalan tol yang selama ini dituntut oleh pengelola jalan tol atau calon investor.

Perlu mereformasi segera landasan hukum Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden untuk membantu Menteri PU, Menteri Keuangan dan Meneg BUMN serta Menteri terkait lainnya agar semua kendala industri jalan tol dapat di analisis secara komprehensif untuk memacu dengan cepat pertumbuhan ekonomi negeri ini. (*)