Monday, July 14, 2008

Kita Menjadi Bangsa Penggarap?


Senin, 14 Juli 2008 | 00:27 WIB

Oleh Gutomo Bayu Aji

Skema yang ditawarkan Presiden Yudhoyono kepada peserta KTT G-8+D-8 untuk bersama mengatasi krisis pangan dunia bisa memperbesar ketimpangan Utara-Selatan, khususnya di bidang pangan, bagi Indonesia.

Sebagaimana diberitakan media, Presiden Yudhoyono menawarkan solusi revolusi hijau kedua melalui investasi asing dan alih teknologi pertanian.

Tawaran solusi seperti itu mengesankan bangsa kita tak mempunyai investasi yang cukup untuk menguasai teknologi pertanian yang disyaratkan program revolusi hijau kedua, kecuali potensi lahan pertanian menganggur di luar Jawa seluas 12,3 juta hektar yang beberapa waktu lalu disinggung presiden.

Iptek

Sebagaimana disampaikan penggagasnya, MS Swaminathan, ilmuwan India penerima World Food Prize dan driving force di belakang revolusi hijau pertama, revolusi hijau kedua, atau yang disebut revolusi hijau lestari, mensyaratkan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) sebagai instrumen utama.

Jika sasaran revolusi hijau pertama adalah pemecahan kelangkaan bahan pangan melalui pengembangan varietas unggul baru secara besar-besaran, maka sasaran revolusi hijau kedua mencakup keseluruhan rantai pertanian, mulai dari aktivitas on-farm sampai off-farm. Dalam istilah Presiden Yudhoyono sebelumnya adalah revitalisasi pertanian yang berarti mengutamakan kembali sektor pertanian dalam pembangunan.

Kunci revolusi hijau kedua ini hampir mutlak terletak pada penguasaan bioteknologi, khususnya yang terkait ilmu dan teknologi pemuliaan tanaman di bidang pertanian, selain teknologi informasi yang disyaratkan untuk mendukung kelancaran aktivitas off-farm.

Memang selama ini bangsa kita dipreferensikan sebagai bangsa pengimpor berbagai macam bibit unggul, termasuk bibit hibrida dari berbagai institusi asing yang bergerak di bidang genetika, termasuk IRRI. Namun, bangsa kita sebenarnya pantas mengingat jasa besar (alm) Dr Zainuddin Harahap yang menghasilkan varietas unggul padi ciliwung, cisadane, memberamo, dan maros yang hingga kini masih ditanam oleh petani di Pulau Jawa.

Di bawah Badan Litbang Pertanian Departemen Pertanian, penelitian pemuliaan tanaman dan berbagai penelitian terkait program revolusi hijau kedua terbukti sudah sedemikian maju. Selain itu, pemerintah juga masih memiliki lembaga pemerintah non-dept yang bergerak dalam bidang penelitian bioteknologi seperti Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI yang bisa dikembangkan untuk mendukung program revolusi hijau kedua itu.

Pendeknya, ilmu pengetahuan dan teknologi pemuliaan tanaman di negeri kita sudah saatnya diapresiasi.

Sumber daya

Investor? Negeri kita punya orang terkaya Asia yang kini duduk dalam kabinet. Pemerintah juga masih memiliki BUMN yang bergerak di bidang pangan, seperti Bulog, yang seharusnya bisa diberdayakan bukan sekadar untuk mengatur distribusi pangan, tetapi juga penting untuk ambil bagian dalam produksi pangan.

Jika Departemen Pertanian diberi kesempatan duduk bersama universitas-universitas top negeri ini dan perusahaan-perusahaan swasta nasional yang bergerak di bidang pangan, termasuk bioteknologi dan investasi, dijamin dengan law enforcement tentu tak kurang dari mereka memanfaatkan 12,3 juta hektar potensi lahan pertanian di luar Jawa yang menganggur itu.

Sumber daya pertanian dan tenaga kerja kita berlimpah asal Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi mau menggalakkan program transmigrasi ke luar Jawa secara terpadu dengan program revolusi hijau kedua. Kaum landless di Jawa bisa menerima rasionalitas itu jika difasilitasi dengan regulasi yang praktis dan infrastruktur fisik memadai. Apalagi kian disadari, bertani di Jawa sudah tidak ekonomis lagi.

Dengan sumber daya pertanian yang melimpah, bangsa Indonesia seharusnya bisa mandiri dalam mencukupi kebutuhan pangan nasional, bahkan seharusnya menjadi bangsa eksportir pangan. Praktis, hanya dibutuhkan seorang manajer yang berjiwa entrepreneur untuk mengelola sumber daya yang ada itu sehingga terwujud bangsa yang mandiri.

Dengan sumber daya melimpah, tidak sepantasnya kita seperti pengemis yang terkesan meminta-minta negara maju untuk menanamkan investasi dan membagi teknologi pertanian ke dalam negeri, sementara kita hanya pandai menyediakan lahan pertanian yang notabene menganggur beserta tenaga kerjanya.

Sejarah kebijakan liberalisasi yang dimulai sejak diundangkannya Agrarisch Wet tahun 1870 hingga UU PMA No 1/1968 seharusnya sudah memberi pelajaran berharga bahwa hanya dengan mengundang investasi asing, tetapi alpa memandirikan bangsa sendiri, akan menjadikan generasi kita sebagai generasi penggarap. Sementara itu, kebangkrutan dan ketergantungan terus menjangkiti.

Gutomo Bayu Aji Peneliti Bidang Ekologi-Manusia pada Pusat Penelitian Kependudukan LIPI

ANALISIS EKONOMI


Menjinakkan Krisis Listrik
Senin, 14 Juli 2008 | 03:00 WIB

Oleh FAISAL BASRI

Pemadaman listrik akut di kebanyakan daerah di luar Jawa sudah berlangsung bertahun-tahun. Keluhan, protes, tuntutan, dan unjuk rasa berulang kali dilayangkan kepada PT PLN dan pemerintah. Namun, hingga kini, tak terjadi perbaikan berarti. Bahkan, di beberapa daerah, kondisi kelistrikan kian buruk.

Sungguh sangat ironis bahwa banyak daerah yang menderita kelangkaan pasokan listrik adalah penghasil sumber-sumber energi untuk menghasilkan listrik. Warga daerah-daerah kaya energi tersebut hanya bisa menahan amarah menyaksikan kekayaan alam mereka terus dikeruk dan dikuras, lalu dialirkan ke Jawa, untuk menjaga stabilitas nasional.

Ternyata, akhirnya, daya tahan kelistrikan di Jawa pun bobol. Kini, Jawa harus menghadapi ancaman krisis listrik yang sangat serius dan boleh jadi yang terburuk sepanjang sejarah kelistrikan nasional.

Sebetulnya, pemadaman di Jakarta sekalipun sudah kerap terjadi. Yang berulang kali menjadi alasan klise adalah jadwal perawatan rutin atas fasilitas pembangkit listrik. Sesekali yang dijadikan kambing hitam adalah hambatan pasokan sumber energi. Pernah pula dikemukakan alasan pasokan gas dan bahan bakar minyak terhenti, dengan beragam penjelasan.

Lalu, sekarang, pemerintah masih saja sesumbar dengan dalih baru. Wakil Presiden dengan entengnya mengatakan bahwa kelangkaan listrik lebih disebabkan oleh kegiatan ekonomi terus tumbuh dan makin cepat. Jelas ini alasan mengada-ada. Bukankah di dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah yang dikeluarkan pada awal pemerintahan SBY-JK—yang notabene merupakan penjabaran dari janji-janji kampanye mereka berdua—tercantum target laju pertumbuhan ekonomi yang relatif jauh lebih tinggi dari realisasi. Kalau mereka konsekuen dengan janji sendiri, tentu sejak awal mereka sudah sigap membangun pembangkit baru dengan kapasitas yang memadai.

Diantisipasi jauh-jauh hari

Sebetulnya, krisis listrik sudah bisa diantisipasi jauh-jauh hari, apalagi mengingat Presiden SBY pernah menjadi menteri pertambangan. Wakil Presiden Jusuf Kalla juga bukan wajah baru di pemerintahan. Purnomo Yusgiantoro sudah lebih dari sewindu menjabat Menteri ESDM. Sebelumnya, ia terlibat dalam penyusunan kebijakan dan bahkan dalam penyiapan proyek pembangkit listrik. Yang pasti, dalam proyek Pembangkit Listrik Geotermal Karaha Bodas.

Mereka tentu tahu persis bahwa kondisi kelistrikan Indonesia sangat buruk: berada pada urutan ke-11 dari 12 negara sekawasan dan persentase rumah tangga yang memperoleh akses listrik baru sekitar 55 persen.

Alih-alih melakukan pembenahan mendasar, segelintir penentu kebijakan kelistrikan justru makin terseret di dalam pusaran masalah dan telah menjadi bagian dari masalah itu sendiri. Paling tidak, Wakil Presiden dan Menteri ESDM sangat kental berkubang dengan masalah benturan kepentingan (conflict of interest) mengingat sanak keluarga dan kroni-kroni dekatnya merupakan pelaku langsung maupun tak langsung dalam usaha kelistrikan dan usaha-usaha lain yang terkait.

Sepatutnya, Presiden mengambil alih tanggung jawab dan tidak membiarkan Wakil Presiden terlibat dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan penyelesaian kemelut kelistrikan nasional, semata-mata karena alasan benturan kepentingan.

Sudah sepantasnya pula Presiden mengganti Menteri ESDM sesegera mungkin karena hampir semua bidang yang menjadi tanggung jawabnya tak pernah sepi dari masalah dan telah menimbulkan kerugian nasional yang tak terbilang, termasuk krisis listrik yang makin buruk.

Bagaimana mungkin PT PLN mampu bekerja dengan baik kalau kerap ”direcoki” oleh para elite penguasa. Cara-cara yang ditempuh oleh penguasa sudah sedemikian sangat vulgar, baik dalam mendudukkan orang-orangnya di jajaran direksi dan komisaris maupun ”intervensi” dalam proses tender proyek pembangkitan ataupun pengadaan.

Dewan direksi tak bisa bekerja optimal. Satu sama lain saling menggergaji demi memuluskan kepentingan kelompok yang mendukungnya.

Penghematan

Bagaimanapun, dalam jangka pendek, krisis listrik akan memperparah persoalan dunia usaha. Persoalannya sekarang adalah bagaimana meredam semaksimal mungkin dampak negatif bagi perekonomian.

Rencana pengalihan hari libur bagi industri sepatutnya dipertimbangkan dengan matang mengingat setiap industri atau usaha memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Sedemikian beragam perbedaan dari satu ke lain industri sehingga pengaturan atau regulasi yang cenderung menyamaratakan bisa berakibat sangat kontraproduktif. Sebaliknya, jika pengaturan sangat rinci sehingga mengakomodasikan ciri-ciri khas setiap industri, niscaya efektivitas pengaturan akan sangat rendah.

Cara yang lebih baik ialah dengan menerapkan mekanisme insentif harga. Selanjutnya PLN berdialog dengan kalangan dunia usaha untuk mengetahui pola reaksi atas struktur insentif yang ditawarkan. Jika hasil dari mekanisme ini kurang memadai, baru diajukan instrumen yang lebih keras berupa penalti atau disinsentif.

Seandainya masih perlu langkah tambahan, barulah dilakukan seleksi industri yang akan didorong untuk melakukan perubahan waktu operasi. Kriteria yang digunakan harus jelas. Prioritas pertama yang harus diatur adalah usaha yang memicu konsumerisme. Misalnya, pusat-pusat perbelanjaan besar dan hiburan tutup selama dua hari secara bergantian. Sebagai kompensasi, pada hari Sabtu dan Minggu mereka boleh beroperasi hingga larut malam.

Komitmen pemerintah

Untuk mengawali kampanye hemat listrik, pemerintah harus menunjukkan terlebih dahulu komitmennya. Dimulai dari pengurangan penggunaan listrik di istana dan kantor-kantor pemerintah. Perlu pula dipikirkan untuk memajukan jam kerja pegawai negeri satu jam dan memastikan pada awal beban puncak penggunaan listrik di kantor-kantor pemerintah berkurang drastis.

Kampanye dan penerapan mekanisme insentif dapat pula diterapkan untuk kantor-kantor swasta. Manfaat tambahan dari cara ini ialah mengurangi kemacetan lalu lintas sehingga menghemat penggunaan BBM.

Masih teramat banyak pilihan kreatif yang bisa dikembangkan. Jangan mudah kehilangan akal dan cepat ambil jalan pintas

Wednesday, July 2, 2008

Bayar Pajak Bisa Dua Kali Lipat

Pengusaha Butuh Kenyamanan dalam Mengembangkan Bisnis
KOMPAS/RIZA FATHONI / Kompas Images

Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution (tengah) memberikan keterangan pers mengenai sunset policy di Kantor Ditjen Pajak, Jakarta, Selasa (1/7). Sunset policy merupakan kebijakan penghapusan sanksi pajak penghasilan orang pribadi atau badan. Sanksi yang dihapuskan berupa pembebasan bunga atas kekurangan pembayaran pajak. Kebijakan diberlakukan baik untuk masyarakat yang belum memiliki NPWP maupun yang telah memiliki NPWP per 1 Januari 2008.
Rabu, 2 Juli 2008 | 03:00 WIB

Jakarta, Kompas - Bagi wajib pajak yang tidak memanfaatkan fasilitas sunset policy, pembayaran pajak pada tahun 2009 bisa dua kali lebih besar. Itu dimungkinkan karena tanpa fasilitas ini wajib pajak bisa diwajibkan melunasi denda yang sama besarnya dengan pokok tagihan pajak kurang bayar.

”Jika fasilitas sunset policy ini tidak digunakan, wajib pajak yang tidak jujur akan dikenai denda dan tidak lolos dari pemeriksaan pajak. Artinya, petugas pajak bisa memeriksa pembayaran pajaknya mulai tahun 2005 atau 2004. Jika ditemukan, dendanya saja bisa setara dengan pokok utang pajaknya,” ujar Dirjen Pajak Darmin Nasution, Senin (1/7) di Jakarta, saat menyosialisasikan diawalinya program sunset policy mulai 1 Juli 2008.

Sunset policy merupakan fasilitas penghapusan sanksi Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi atau badan. Sanksi yang dihapuskan berupa pembebasan beban bunga dan denda atas kekurangan pembayaran pajak.

Masyarakat yang dapat memanfaatkannya terbuka, baik bagi wajib pajak yang belum memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP) maupun telah memiliki NPWP per 1 Januari 2008.

Fasilitas lainnya adalah jaminan bagi WP yang secara jujur menyampaikan perbaikan surat pemberitahuan (SPT) pajak dari pemeriksaan. Batas waktu perbaikan SPT tanggal 31 Desember 2008. Setelah itu, mereka wajib melunasi seluruh kekurangan pajak yang mungkin timbul.

Darmin menegaskan, pelaksanaan seluruh fasilitas itu dijamin oleh berbagai dasar hukum. Kebijakan sunset policy diatur dalam Pasal 37A Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Selain itu, pelaksanaannya ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 66 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyampaian dan Pembetulan SPT serta Persyaratan Wajib Pajak yang Dapat Diberikan Sanksi Administrasi dalam Rangka Penerapan Pasal 37A UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang KUP.

Untuk memastikan tidak ada pelanggaran di tingkat lapangan, Dirjen Pajak telah menerbitkan Peraturan Dirjen Pajak Nomor 30 Tahun 2008.

”Semuanya kami siapkan agar tidak terjadi simpang siur di lapangan. Seluruh aturan pelaksana itu sebenarnya sudah selesai pada triwulan pertama 2008, tetapi ada sedikit perubahan pada surat edaran Dirjen Pajak yang menyebabkan sosialisasi program sunset policy baru dimulai pada 1 Juli 2008,” ujar Darmin.

Dalam Peraturan Dirjen Pajak itu disebutkan, orang pribadi yang belum memiliki NPWP pada 1 Januari 2008 dapat menikmati fasilitas sunset policy asal memenuhi empat syarat.

Pertama, secara sukarela mendaftarkan diri mendapatkan NPWP pada 2008. Kedua, tidak sedang diperiksa dalam kasus pidana perpajakan, baik dalam tahap pembuktian awal, penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan pengadilan.

Ketiga, mengisi SPT Tahunan PPh Orang Pribadi untuk tahun pajak 2007 dan tahun-tahun sebelumnya paling lambat tanggal 31 Maret 2009. Keempat, melunasi seluruh pajak kurang bayar sebelum SPT Tahunan PPh-nya disampaikan.

Adapun bagi orang pribadi yang sudah memiliki NPWP bisa mendapatkan fasilitas sunset policy jika memenuhi seluruh persyaratan pada wajib pajak yang belum memiliki NPWP, plus syarat tambahan. Syarat tambahan itu adalah belum menerima surat ketetapan pajak (SKP). SKP merupakan dokumen yang menunjukkan besaran pajak yang harus dibayar.

Mendorong WP jujur

Di tempat terpisah, Ketua Komite Tetap Fiskal dan Moneter Kamar Dagang dan Industri Indonesia Bambang Soesatyo menegaskan, penerapan sunset policy berguna dalam mendorong WP lebih jujur dan konsisten sehingga penerimaan negara dari pajak bertambah.

Akan tetapi, pemerintah diingatkan untuk lebih serius menambah kenyamanan bagi pengusaha dalam mengembangkan bisnisnya.

”Pertanyaannya sekarang, apa yang diberikan pemerintah kepada WP setelah WP berkata jujur atas penghasilannya? Apakah setelah ini, pengusaha bisa terbebas dari rasa waswas dan pungutan liar yang senantiasa merongrong daya saing usaha?” ujar Bambang Soesatyo. (OIN)