Oleh FAISAL BASRI
Pemadaman listrik akut di kebanyakan daerah di luar Jawa sudah berlangsung bertahun-tahun. Keluhan, protes, tuntutan, dan unjuk rasa berulang kali dilayangkan kepada PT PLN dan pemerintah. Namun, hingga kini, tak terjadi perbaikan berarti. Bahkan, di beberapa daerah, kondisi kelistrikan kian buruk.
Sungguh sangat ironis bahwa banyak daerah yang menderita kelangkaan pasokan listrik adalah penghasil sumber-sumber energi untuk menghasilkan listrik. Warga daerah-daerah kaya energi tersebut hanya bisa menahan amarah menyaksikan kekayaan alam mereka terus dikeruk dan dikuras, lalu dialirkan ke Jawa, untuk menjaga stabilitas nasional.
Ternyata, akhirnya, daya tahan kelistrikan di Jawa pun bobol. Kini, Jawa harus menghadapi ancaman krisis listrik yang sangat serius dan boleh jadi yang terburuk sepanjang sejarah kelistrikan nasional.
Sebetulnya, pemadaman di Jakarta sekalipun sudah kerap terjadi. Yang berulang kali menjadi alasan klise adalah jadwal perawatan rutin atas fasilitas pembangkit listrik. Sesekali yang dijadikan kambing hitam adalah hambatan pasokan sumber energi. Pernah pula dikemukakan alasan pasokan gas dan bahan bakar minyak terhenti, dengan beragam penjelasan.
Lalu, sekarang, pemerintah masih saja sesumbar dengan dalih baru. Wakil Presiden dengan entengnya mengatakan bahwa kelangkaan listrik lebih disebabkan oleh kegiatan ekonomi terus tumbuh dan makin cepat. Jelas ini alasan mengada-ada. Bukankah di dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah yang dikeluarkan pada awal pemerintahan SBY-JK—yang notabene merupakan penjabaran dari janji-janji kampanye mereka berdua—tercantum target laju pertumbuhan ekonomi yang relatif jauh lebih tinggi dari realisasi. Kalau mereka konsekuen dengan janji sendiri, tentu sejak awal mereka sudah sigap membangun pembangkit baru dengan kapasitas yang memadai.
Diantisipasi jauh-jauh hari
Sebetulnya, krisis listrik sudah bisa diantisipasi jauh-jauh hari, apalagi mengingat Presiden SBY pernah menjadi menteri pertambangan. Wakil Presiden Jusuf Kalla juga bukan wajah baru di pemerintahan. Purnomo Yusgiantoro sudah lebih dari sewindu menjabat Menteri ESDM. Sebelumnya, ia terlibat dalam penyusunan kebijakan dan bahkan dalam penyiapan proyek pembangkit listrik. Yang pasti, dalam proyek Pembangkit Listrik Geotermal Karaha Bodas.
Mereka tentu tahu persis bahwa kondisi kelistrikan Indonesia sangat buruk: berada pada urutan ke-11 dari 12 negara sekawasan dan persentase rumah tangga yang memperoleh akses listrik baru sekitar 55 persen.
Alih-alih melakukan pembenahan mendasar, segelintir penentu kebijakan kelistrikan justru makin terseret di dalam pusaran masalah dan telah menjadi bagian dari masalah itu sendiri. Paling tidak, Wakil Presiden dan Menteri ESDM sangat kental berkubang dengan masalah benturan kepentingan (conflict of interest) mengingat sanak keluarga dan kroni-kroni dekatnya merupakan pelaku langsung maupun tak langsung dalam usaha kelistrikan dan usaha-usaha lain yang terkait.
Sepatutnya, Presiden mengambil alih tanggung jawab dan tidak membiarkan Wakil Presiden terlibat dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan penyelesaian kemelut kelistrikan nasional, semata-mata karena alasan benturan kepentingan.
Sudah sepantasnya pula Presiden mengganti Menteri ESDM sesegera mungkin karena hampir semua bidang yang menjadi tanggung jawabnya tak pernah sepi dari masalah dan telah menimbulkan kerugian nasional yang tak terbilang, termasuk krisis listrik yang makin buruk.
Bagaimana mungkin PT PLN mampu bekerja dengan baik kalau kerap ”direcoki” oleh para elite penguasa. Cara-cara yang ditempuh oleh penguasa sudah sedemikian sangat vulgar, baik dalam mendudukkan orang-orangnya di jajaran direksi dan komisaris maupun ”intervensi” dalam proses tender proyek pembangkitan ataupun pengadaan.
Dewan direksi tak bisa bekerja optimal. Satu sama lain saling menggergaji demi memuluskan kepentingan kelompok yang mendukungnya.
Penghematan
Bagaimanapun, dalam jangka pendek, krisis listrik akan memperparah persoalan dunia usaha. Persoalannya sekarang adalah bagaimana meredam semaksimal mungkin dampak negatif bagi perekonomian.
Rencana pengalihan hari libur bagi industri sepatutnya dipertimbangkan dengan matang mengingat setiap industri atau usaha memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Sedemikian beragam perbedaan dari satu ke lain industri sehingga pengaturan atau regulasi yang cenderung menyamaratakan bisa berakibat sangat kontraproduktif. Sebaliknya, jika pengaturan sangat rinci sehingga mengakomodasikan ciri-ciri khas setiap industri, niscaya efektivitas pengaturan akan sangat rendah.
Cara yang lebih baik ialah dengan menerapkan mekanisme insentif harga. Selanjutnya PLN berdialog dengan kalangan dunia usaha untuk mengetahui pola reaksi atas struktur insentif yang ditawarkan. Jika hasil dari mekanisme ini kurang memadai, baru diajukan instrumen yang lebih keras berupa penalti atau disinsentif.
Seandainya masih perlu langkah tambahan, barulah dilakukan seleksi industri yang akan didorong untuk melakukan perubahan waktu operasi. Kriteria yang digunakan harus jelas. Prioritas pertama yang harus diatur adalah usaha yang memicu konsumerisme. Misalnya, pusat-pusat perbelanjaan besar dan hiburan tutup selama dua hari secara bergantian. Sebagai kompensasi, pada hari Sabtu dan Minggu mereka boleh beroperasi hingga larut malam.
Komitmen pemerintah
Untuk mengawali kampanye hemat listrik, pemerintah harus menunjukkan terlebih dahulu komitmennya. Dimulai dari pengurangan penggunaan listrik di istana dan kantor-kantor pemerintah. Perlu pula dipikirkan untuk memajukan jam kerja pegawai negeri satu jam dan memastikan pada awal beban puncak penggunaan listrik di kantor-kantor pemerintah berkurang drastis.
Kampanye dan penerapan mekanisme insentif dapat pula diterapkan untuk kantor-kantor swasta. Manfaat tambahan dari cara ini ialah mengurangi kemacetan lalu lintas sehingga menghemat penggunaan BBM.
Masih teramat banyak pilihan kreatif yang bisa dikembangkan. Jangan mudah kehilangan akal dan cepat ambil jalan pintas
No comments:
Post a Comment