Monday, July 14, 2008

Kita Menjadi Bangsa Penggarap?


Senin, 14 Juli 2008 | 00:27 WIB

Oleh Gutomo Bayu Aji

Skema yang ditawarkan Presiden Yudhoyono kepada peserta KTT G-8+D-8 untuk bersama mengatasi krisis pangan dunia bisa memperbesar ketimpangan Utara-Selatan, khususnya di bidang pangan, bagi Indonesia.

Sebagaimana diberitakan media, Presiden Yudhoyono menawarkan solusi revolusi hijau kedua melalui investasi asing dan alih teknologi pertanian.

Tawaran solusi seperti itu mengesankan bangsa kita tak mempunyai investasi yang cukup untuk menguasai teknologi pertanian yang disyaratkan program revolusi hijau kedua, kecuali potensi lahan pertanian menganggur di luar Jawa seluas 12,3 juta hektar yang beberapa waktu lalu disinggung presiden.

Iptek

Sebagaimana disampaikan penggagasnya, MS Swaminathan, ilmuwan India penerima World Food Prize dan driving force di belakang revolusi hijau pertama, revolusi hijau kedua, atau yang disebut revolusi hijau lestari, mensyaratkan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) sebagai instrumen utama.

Jika sasaran revolusi hijau pertama adalah pemecahan kelangkaan bahan pangan melalui pengembangan varietas unggul baru secara besar-besaran, maka sasaran revolusi hijau kedua mencakup keseluruhan rantai pertanian, mulai dari aktivitas on-farm sampai off-farm. Dalam istilah Presiden Yudhoyono sebelumnya adalah revitalisasi pertanian yang berarti mengutamakan kembali sektor pertanian dalam pembangunan.

Kunci revolusi hijau kedua ini hampir mutlak terletak pada penguasaan bioteknologi, khususnya yang terkait ilmu dan teknologi pemuliaan tanaman di bidang pertanian, selain teknologi informasi yang disyaratkan untuk mendukung kelancaran aktivitas off-farm.

Memang selama ini bangsa kita dipreferensikan sebagai bangsa pengimpor berbagai macam bibit unggul, termasuk bibit hibrida dari berbagai institusi asing yang bergerak di bidang genetika, termasuk IRRI. Namun, bangsa kita sebenarnya pantas mengingat jasa besar (alm) Dr Zainuddin Harahap yang menghasilkan varietas unggul padi ciliwung, cisadane, memberamo, dan maros yang hingga kini masih ditanam oleh petani di Pulau Jawa.

Di bawah Badan Litbang Pertanian Departemen Pertanian, penelitian pemuliaan tanaman dan berbagai penelitian terkait program revolusi hijau kedua terbukti sudah sedemikian maju. Selain itu, pemerintah juga masih memiliki lembaga pemerintah non-dept yang bergerak dalam bidang penelitian bioteknologi seperti Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI yang bisa dikembangkan untuk mendukung program revolusi hijau kedua itu.

Pendeknya, ilmu pengetahuan dan teknologi pemuliaan tanaman di negeri kita sudah saatnya diapresiasi.

Sumber daya

Investor? Negeri kita punya orang terkaya Asia yang kini duduk dalam kabinet. Pemerintah juga masih memiliki BUMN yang bergerak di bidang pangan, seperti Bulog, yang seharusnya bisa diberdayakan bukan sekadar untuk mengatur distribusi pangan, tetapi juga penting untuk ambil bagian dalam produksi pangan.

Jika Departemen Pertanian diberi kesempatan duduk bersama universitas-universitas top negeri ini dan perusahaan-perusahaan swasta nasional yang bergerak di bidang pangan, termasuk bioteknologi dan investasi, dijamin dengan law enforcement tentu tak kurang dari mereka memanfaatkan 12,3 juta hektar potensi lahan pertanian di luar Jawa yang menganggur itu.

Sumber daya pertanian dan tenaga kerja kita berlimpah asal Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi mau menggalakkan program transmigrasi ke luar Jawa secara terpadu dengan program revolusi hijau kedua. Kaum landless di Jawa bisa menerima rasionalitas itu jika difasilitasi dengan regulasi yang praktis dan infrastruktur fisik memadai. Apalagi kian disadari, bertani di Jawa sudah tidak ekonomis lagi.

Dengan sumber daya pertanian yang melimpah, bangsa Indonesia seharusnya bisa mandiri dalam mencukupi kebutuhan pangan nasional, bahkan seharusnya menjadi bangsa eksportir pangan. Praktis, hanya dibutuhkan seorang manajer yang berjiwa entrepreneur untuk mengelola sumber daya yang ada itu sehingga terwujud bangsa yang mandiri.

Dengan sumber daya melimpah, tidak sepantasnya kita seperti pengemis yang terkesan meminta-minta negara maju untuk menanamkan investasi dan membagi teknologi pertanian ke dalam negeri, sementara kita hanya pandai menyediakan lahan pertanian yang notabene menganggur beserta tenaga kerjanya.

Sejarah kebijakan liberalisasi yang dimulai sejak diundangkannya Agrarisch Wet tahun 1870 hingga UU PMA No 1/1968 seharusnya sudah memberi pelajaran berharga bahwa hanya dengan mengundang investasi asing, tetapi alpa memandirikan bangsa sendiri, akan menjadikan generasi kita sebagai generasi penggarap. Sementara itu, kebangkrutan dan ketergantungan terus menjangkiti.

Gutomo Bayu Aji Peneliti Bidang Ekologi-Manusia pada Pusat Penelitian Kependudukan LIPI

ANALISIS EKONOMI


Menjinakkan Krisis Listrik
Senin, 14 Juli 2008 | 03:00 WIB

Oleh FAISAL BASRI

Pemadaman listrik akut di kebanyakan daerah di luar Jawa sudah berlangsung bertahun-tahun. Keluhan, protes, tuntutan, dan unjuk rasa berulang kali dilayangkan kepada PT PLN dan pemerintah. Namun, hingga kini, tak terjadi perbaikan berarti. Bahkan, di beberapa daerah, kondisi kelistrikan kian buruk.

Sungguh sangat ironis bahwa banyak daerah yang menderita kelangkaan pasokan listrik adalah penghasil sumber-sumber energi untuk menghasilkan listrik. Warga daerah-daerah kaya energi tersebut hanya bisa menahan amarah menyaksikan kekayaan alam mereka terus dikeruk dan dikuras, lalu dialirkan ke Jawa, untuk menjaga stabilitas nasional.

Ternyata, akhirnya, daya tahan kelistrikan di Jawa pun bobol. Kini, Jawa harus menghadapi ancaman krisis listrik yang sangat serius dan boleh jadi yang terburuk sepanjang sejarah kelistrikan nasional.

Sebetulnya, pemadaman di Jakarta sekalipun sudah kerap terjadi. Yang berulang kali menjadi alasan klise adalah jadwal perawatan rutin atas fasilitas pembangkit listrik. Sesekali yang dijadikan kambing hitam adalah hambatan pasokan sumber energi. Pernah pula dikemukakan alasan pasokan gas dan bahan bakar minyak terhenti, dengan beragam penjelasan.

Lalu, sekarang, pemerintah masih saja sesumbar dengan dalih baru. Wakil Presiden dengan entengnya mengatakan bahwa kelangkaan listrik lebih disebabkan oleh kegiatan ekonomi terus tumbuh dan makin cepat. Jelas ini alasan mengada-ada. Bukankah di dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah yang dikeluarkan pada awal pemerintahan SBY-JK—yang notabene merupakan penjabaran dari janji-janji kampanye mereka berdua—tercantum target laju pertumbuhan ekonomi yang relatif jauh lebih tinggi dari realisasi. Kalau mereka konsekuen dengan janji sendiri, tentu sejak awal mereka sudah sigap membangun pembangkit baru dengan kapasitas yang memadai.

Diantisipasi jauh-jauh hari

Sebetulnya, krisis listrik sudah bisa diantisipasi jauh-jauh hari, apalagi mengingat Presiden SBY pernah menjadi menteri pertambangan. Wakil Presiden Jusuf Kalla juga bukan wajah baru di pemerintahan. Purnomo Yusgiantoro sudah lebih dari sewindu menjabat Menteri ESDM. Sebelumnya, ia terlibat dalam penyusunan kebijakan dan bahkan dalam penyiapan proyek pembangkit listrik. Yang pasti, dalam proyek Pembangkit Listrik Geotermal Karaha Bodas.

Mereka tentu tahu persis bahwa kondisi kelistrikan Indonesia sangat buruk: berada pada urutan ke-11 dari 12 negara sekawasan dan persentase rumah tangga yang memperoleh akses listrik baru sekitar 55 persen.

Alih-alih melakukan pembenahan mendasar, segelintir penentu kebijakan kelistrikan justru makin terseret di dalam pusaran masalah dan telah menjadi bagian dari masalah itu sendiri. Paling tidak, Wakil Presiden dan Menteri ESDM sangat kental berkubang dengan masalah benturan kepentingan (conflict of interest) mengingat sanak keluarga dan kroni-kroni dekatnya merupakan pelaku langsung maupun tak langsung dalam usaha kelistrikan dan usaha-usaha lain yang terkait.

Sepatutnya, Presiden mengambil alih tanggung jawab dan tidak membiarkan Wakil Presiden terlibat dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan penyelesaian kemelut kelistrikan nasional, semata-mata karena alasan benturan kepentingan.

Sudah sepantasnya pula Presiden mengganti Menteri ESDM sesegera mungkin karena hampir semua bidang yang menjadi tanggung jawabnya tak pernah sepi dari masalah dan telah menimbulkan kerugian nasional yang tak terbilang, termasuk krisis listrik yang makin buruk.

Bagaimana mungkin PT PLN mampu bekerja dengan baik kalau kerap ”direcoki” oleh para elite penguasa. Cara-cara yang ditempuh oleh penguasa sudah sedemikian sangat vulgar, baik dalam mendudukkan orang-orangnya di jajaran direksi dan komisaris maupun ”intervensi” dalam proses tender proyek pembangkitan ataupun pengadaan.

Dewan direksi tak bisa bekerja optimal. Satu sama lain saling menggergaji demi memuluskan kepentingan kelompok yang mendukungnya.

Penghematan

Bagaimanapun, dalam jangka pendek, krisis listrik akan memperparah persoalan dunia usaha. Persoalannya sekarang adalah bagaimana meredam semaksimal mungkin dampak negatif bagi perekonomian.

Rencana pengalihan hari libur bagi industri sepatutnya dipertimbangkan dengan matang mengingat setiap industri atau usaha memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Sedemikian beragam perbedaan dari satu ke lain industri sehingga pengaturan atau regulasi yang cenderung menyamaratakan bisa berakibat sangat kontraproduktif. Sebaliknya, jika pengaturan sangat rinci sehingga mengakomodasikan ciri-ciri khas setiap industri, niscaya efektivitas pengaturan akan sangat rendah.

Cara yang lebih baik ialah dengan menerapkan mekanisme insentif harga. Selanjutnya PLN berdialog dengan kalangan dunia usaha untuk mengetahui pola reaksi atas struktur insentif yang ditawarkan. Jika hasil dari mekanisme ini kurang memadai, baru diajukan instrumen yang lebih keras berupa penalti atau disinsentif.

Seandainya masih perlu langkah tambahan, barulah dilakukan seleksi industri yang akan didorong untuk melakukan perubahan waktu operasi. Kriteria yang digunakan harus jelas. Prioritas pertama yang harus diatur adalah usaha yang memicu konsumerisme. Misalnya, pusat-pusat perbelanjaan besar dan hiburan tutup selama dua hari secara bergantian. Sebagai kompensasi, pada hari Sabtu dan Minggu mereka boleh beroperasi hingga larut malam.

Komitmen pemerintah

Untuk mengawali kampanye hemat listrik, pemerintah harus menunjukkan terlebih dahulu komitmennya. Dimulai dari pengurangan penggunaan listrik di istana dan kantor-kantor pemerintah. Perlu pula dipikirkan untuk memajukan jam kerja pegawai negeri satu jam dan memastikan pada awal beban puncak penggunaan listrik di kantor-kantor pemerintah berkurang drastis.

Kampanye dan penerapan mekanisme insentif dapat pula diterapkan untuk kantor-kantor swasta. Manfaat tambahan dari cara ini ialah mengurangi kemacetan lalu lintas sehingga menghemat penggunaan BBM.

Masih teramat banyak pilihan kreatif yang bisa dikembangkan. Jangan mudah kehilangan akal dan cepat ambil jalan pintas

Wednesday, July 2, 2008

Bayar Pajak Bisa Dua Kali Lipat

Pengusaha Butuh Kenyamanan dalam Mengembangkan Bisnis
KOMPAS/RIZA FATHONI / Kompas Images

Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution (tengah) memberikan keterangan pers mengenai sunset policy di Kantor Ditjen Pajak, Jakarta, Selasa (1/7). Sunset policy merupakan kebijakan penghapusan sanksi pajak penghasilan orang pribadi atau badan. Sanksi yang dihapuskan berupa pembebasan bunga atas kekurangan pembayaran pajak. Kebijakan diberlakukan baik untuk masyarakat yang belum memiliki NPWP maupun yang telah memiliki NPWP per 1 Januari 2008.
Rabu, 2 Juli 2008 | 03:00 WIB

Jakarta, Kompas - Bagi wajib pajak yang tidak memanfaatkan fasilitas sunset policy, pembayaran pajak pada tahun 2009 bisa dua kali lebih besar. Itu dimungkinkan karena tanpa fasilitas ini wajib pajak bisa diwajibkan melunasi denda yang sama besarnya dengan pokok tagihan pajak kurang bayar.

”Jika fasilitas sunset policy ini tidak digunakan, wajib pajak yang tidak jujur akan dikenai denda dan tidak lolos dari pemeriksaan pajak. Artinya, petugas pajak bisa memeriksa pembayaran pajaknya mulai tahun 2005 atau 2004. Jika ditemukan, dendanya saja bisa setara dengan pokok utang pajaknya,” ujar Dirjen Pajak Darmin Nasution, Senin (1/7) di Jakarta, saat menyosialisasikan diawalinya program sunset policy mulai 1 Juli 2008.

Sunset policy merupakan fasilitas penghapusan sanksi Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi atau badan. Sanksi yang dihapuskan berupa pembebasan beban bunga dan denda atas kekurangan pembayaran pajak.

Masyarakat yang dapat memanfaatkannya terbuka, baik bagi wajib pajak yang belum memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP) maupun telah memiliki NPWP per 1 Januari 2008.

Fasilitas lainnya adalah jaminan bagi WP yang secara jujur menyampaikan perbaikan surat pemberitahuan (SPT) pajak dari pemeriksaan. Batas waktu perbaikan SPT tanggal 31 Desember 2008. Setelah itu, mereka wajib melunasi seluruh kekurangan pajak yang mungkin timbul.

Darmin menegaskan, pelaksanaan seluruh fasilitas itu dijamin oleh berbagai dasar hukum. Kebijakan sunset policy diatur dalam Pasal 37A Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Selain itu, pelaksanaannya ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 66 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyampaian dan Pembetulan SPT serta Persyaratan Wajib Pajak yang Dapat Diberikan Sanksi Administrasi dalam Rangka Penerapan Pasal 37A UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang KUP.

Untuk memastikan tidak ada pelanggaran di tingkat lapangan, Dirjen Pajak telah menerbitkan Peraturan Dirjen Pajak Nomor 30 Tahun 2008.

”Semuanya kami siapkan agar tidak terjadi simpang siur di lapangan. Seluruh aturan pelaksana itu sebenarnya sudah selesai pada triwulan pertama 2008, tetapi ada sedikit perubahan pada surat edaran Dirjen Pajak yang menyebabkan sosialisasi program sunset policy baru dimulai pada 1 Juli 2008,” ujar Darmin.

Dalam Peraturan Dirjen Pajak itu disebutkan, orang pribadi yang belum memiliki NPWP pada 1 Januari 2008 dapat menikmati fasilitas sunset policy asal memenuhi empat syarat.

Pertama, secara sukarela mendaftarkan diri mendapatkan NPWP pada 2008. Kedua, tidak sedang diperiksa dalam kasus pidana perpajakan, baik dalam tahap pembuktian awal, penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan pengadilan.

Ketiga, mengisi SPT Tahunan PPh Orang Pribadi untuk tahun pajak 2007 dan tahun-tahun sebelumnya paling lambat tanggal 31 Maret 2009. Keempat, melunasi seluruh pajak kurang bayar sebelum SPT Tahunan PPh-nya disampaikan.

Adapun bagi orang pribadi yang sudah memiliki NPWP bisa mendapatkan fasilitas sunset policy jika memenuhi seluruh persyaratan pada wajib pajak yang belum memiliki NPWP, plus syarat tambahan. Syarat tambahan itu adalah belum menerima surat ketetapan pajak (SKP). SKP merupakan dokumen yang menunjukkan besaran pajak yang harus dibayar.

Mendorong WP jujur

Di tempat terpisah, Ketua Komite Tetap Fiskal dan Moneter Kamar Dagang dan Industri Indonesia Bambang Soesatyo menegaskan, penerapan sunset policy berguna dalam mendorong WP lebih jujur dan konsisten sehingga penerimaan negara dari pajak bertambah.

Akan tetapi, pemerintah diingatkan untuk lebih serius menambah kenyamanan bagi pengusaha dalam mengembangkan bisnisnya.

”Pertanyaannya sekarang, apa yang diberikan pemerintah kepada WP setelah WP berkata jujur atas penghasilannya? Apakah setelah ini, pengusaha bisa terbebas dari rasa waswas dan pungutan liar yang senantiasa merongrong daya saing usaha?” ujar Bambang Soesatyo. (OIN)

Tuesday, June 17, 2008

Harga Minyak dan Bencana Fiskal

Senin, 16 Juni 2008 | 00:18 WIB

A Tony Prasetiantono

Pekan lalu harga minyak menembus rekor baru, 139 dollar AS per barrel. Angka ini benar-benar membuat frustrasi. Meski kemudian agak terkoreksi ke bawah, harga minyak tetap di atas 135 dollar.

Pada titik ini, kian disadari ramalan harga minyak akan mencapai 150 dollar per barrel pada Juli atau Agustus 2008, serta 200 dollar AS per barrel pada akhir 2008 atau mungkin 2009, bukan main-main. Ini benar-benar serius.

Anehnya, pemerintah justru mengajukan asumsi harga minyak 120 dollar AS per barrel untuk APBN 2009. Apakah pemerintah berusaha melakukan persuasi, dengan mengais asa agar pasar dapat ditenangkan?

Tiga analisis minyak

Dari berbagai analisis mengenai fenomena kenaikan harga minyak, saya mencoba memilahnya menjadi tiga jenis. Pertama, analisis yang menjelaskan kenaikan harga minyak dari aspek fundamental ekonomi (economic fundamental). Ekonom ahli perminyakan Italia, Leonardo Maugeri (The Age of Oil, 2008), adalah yang terdepan dalam analisis ini.

Para penganut paham ini berangkat dari analisis, kenaikan harga minyak dunia merupakan hasil tarik-menarik penawaran dan permintaan. Penawaran tersendat karena operator minyak kekurangan insentif harga. Hingga akhir 2002, harga minyak dunia hanya 30 dollar AS per barrel, padahal biaya produksi semakin naik karena kian banyak sumur minyak berada di lepas pantai (off-shore fields). Biaya eksplorasi tambang-tambang yang terletak di laut dalam juga jauh lebih mahal.

Sementara itu, upaya mencari energi alternatif kerap kandas. Bahkan Maugeri (2008: 282) menyindir, negara-negara Barat suka memberlakukan standar ganda tentang isu nuklir. Saat negara-negara berkembang, misalnya Iran, berusaha menemukan nuklir sebagai energi alternatif, selalu dihambat dengan berbagai dalih.

Analisis kedua, menggantungkan analisisnya pada realitas sejarah dan politik. Analis yang mengikuti jalur ini, antara lain Duncan Clarke (Empires of Oil: Corporate Oil in Barbarian Worlds, Profile Books, London, 2007). Clarke melihat komoditas minyak menjadi ajang perebutan kekuasaan besar (”kekaisaran” atau empires) dalam perekonomian dunia. Ia menggambarkannya sebagai barbarian, atau machiavellisme. Paham yang diangkat Niccolò Machiavelli (1469-1527) dari Florence, Italia, ini berkonotasikan negatif, cenderung manipulatif dan tak dapat dipercaya.

Dinamika industri minyak senantiasa terkait konflik dan perang, yang diwarnai hasrat berkuasa. Dalam sejarah, ada empat tonggak terpenting yang menyebabkan harga minyak bergolak dramatis. Pertama, konflik Terusan Suez (1956). Kedua, konflik Arab-Israel (1973). Ketiga, perang Teluk Persia (1991). Keempat, fenomena terorisme dan invasi AS ke Irak. Daftar itu masih bisa ditambah dengan perang Irak-Iran yang berlangsung delapan tahun sejak 1978. Dalam analisis ini, sepanjang konflik tidak bisa dihentikan, harga minyak akan terus meletup-letup.

Analisis ketiga, mengaitkan kenaikan harga minyak dengan ulah spekulan. Seiring semakin ”canggih”-nya sektor finansial, para fund manager (manajer keuangan yang mengalokasikan dana para investor besar) pun rajin menciptakan kreativitas dan peluang. Hasilnya, ketika sekian jenis investasi ”konvensional” sudah tidak atraktif lagi, minyak masuk wilayah spekulasi. Para spekulan juga memanfaatkan informasi dan momentum saat supply dan demand minyak berimpitan ketat pada keseimbangan 84 juta barrel per hari, yang memungkinkan terjadinya eksplosi harga.

Charles Morris (The Trillion Dollar Meltdown, Public Affairs, New York, 2008) memandang sektor finansial sudah seperti kasino, yang harus dikoreksi. Menurut dia, perekonomian dunia sejak 1980-an mengalami pergeseran dari manajemen yang berorientasi pada pemerintah (government-centric) menuju ke orientasi pasar (market-driven). Inilah faktor kunci kebangkitan perekonomian AS pada 1980-an dan 1990-an.

Namun, rangkaian peristiwa yang terjadi di sektor finansial akhir- akhir ini (kebangkrutan hedge fund terkenal LTCM, Long-Term Capital Management, 1998; skandal Enron dan Worldcom, 2001; hingga kasus subprime mortgage, 2007) menyebabkan ia berpikir pasar yang dogmatis seperti ini telah menjadi masalah besar.

Karena itu, ”bandul jam” sudah seharusnya mulai mengayun ke arah yang berbeda. Maksudnya, orientasi pasar secara habis-habisan harus dikoreksi. Memang, sebesar apa pun kepercayaan kita kepada pasar (market fundamentalism), harus disadari bahwa pasar pun sering mengalami kegagalan dalam memenuhi kehendak publik. Saat pasar mengalami kegagalan (market failure), pemerintah harus berinisiatif mengoreksinya. Ini pula yang diajarkan John Maynard Keynes (1936), ketika dirinya frustrasi menghadapi depresi ekonomi dunia.

Karena itu, menurut hemat saya, kini saatnya muncul semacam ”Keynes baru” untuk mengoreksi frustrasi sektor finansial dan kenaikan harga minyak. Koreksi itu bisa dimulai dengan memberlakukan regulasi ketat pada hedge fund, yang selama ini tidak atau minim tersentuh regulasi oleh otoritas finansial di AS (Securities Exchange Commission/SEC).

Koreksi pasar dan liberalisme

Berdasarkan analisis itu, saya merasa sudah tidak mungkin lagi kita berharap pada mekanisme pasar dan liberalisme untuk mengoreksi harga minyak. Tanpa campur tangan pemerintah negara-negara kunci, mustahil kita berharap harga minyak tidak mencapai 150 dollar AS per barrel, atau bahkan 200 dollar AS per barrel, sebagaimana akhir-akhir ini diprediksikan Goldman Sachs.

Runyamnya pasar finansial dan kenaikan harga minyak, akibat terlalu percaya kepada pasar dan liberalisme, harus segera dikoreksi. Ada saatnya mekanisme pasar dan liberalisme dipercayai dan memberi banyak manfaat. Ini harus diakui. Namun pada saat lain, bisa saja pasar dan liberalisme mengalami kegagalan dan kontraproduktif, bahkan berpotensi menghancurkan perekonomian dunia secara kolektif. Bila ini terjadi, koreksi pemerintah di sejumlah negara harus dilakukan. Hal inilah yang belum saya lihat, adanya gerakan signifikan dari negara-negara besar. Jika pembiaran ini berlarut-larut, asumsi harga minyak 120 per barrel seperti dalam APBN 2009 akan segera menjadi wishful thinking.

Dengan asumsi optimistik itu, APBN 2009 mengandaikan subsidi BBM Rp 155 triliun dan subsidi listrik Rp 77,9 triliun. Pada situasi ini, belanja pemerintah dalam APBN melonjak menjadi Rp 1.143 triliun. Sedangkan defisit APBN akan mencapai Rp 83,5 triliun, setara dengan 1,6 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).

Masalahnya, apakah asumsi itu realistis? Jika harga minyak 150 dollar AS per barrel, rasanya kita masih selamat. Pada tingkat harga itu, defisit APBN belum melampaui 2 persen. Tetapi jika harga minyak dunia mencapai 200 dollar AS per barrel, semua asumsi bakal jungkir balik dan terjadi bencana fiskal (fiscal disaster). Upaya penyelamatannya terletak pada pemangkasan pengeluaran dan memperkecil kebocoran penerimaan pajak. Opsi menaikkan harga BBM lagi pasti dihindari karena faktor pemilu.

Di luar itu, yang tak kalah penting, kampanye dan lobi internasional untuk mencegah harga minyak 200 dollar AS harus digiatkan. AS, sebagai negara yang paling boros (konsumsi minyaknya 22 juta barrel sehari, atau 25 persen konsumsi dunia), harus berada di barisan terdepan kampanye ini. Mereka juga harus menata hedge fund agar tidak memiliki terlalu banyak ”ruang kreatif” sehingga menjadikan minyak dan sektor finansial sebagai ajang kasino.

Tampaknya, dunia sedang menantikan lahirnya ”Keynes baru” guna mengakhiri petaka yang belum diketahui ujungnya ini.

A Tony Prasetiantono Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM; Chief Economist BNI

Friday, June 6, 2008

Manajemen yang Amburadul

Jumat, 6 Juni 2008 | 01:02 WIB

Kenaikan harga bahan bakar minyak rata-rata sebesar 28,7 persen seharusnya dijadikan momentum untuk memperbaiki sektor transportasi nasional. Sudah waktunya pemerintah fokus dan membuat konsep yang tepat untuk memilih jenis transportasi massal apa yang akan dikembangkan.

Ketegasan ini menjadi penting bagi kalangan pelaku di industri otomotif ataupun industri ikutannya, kata Safiun, Dewan Supervisi Gabungan Industri Alat-Alat Mobil dan Motor.

Apabila pemerintah fokus, nilai tambah yang didapatkan oleh industri otomotif luar biasa besar. Industri mobil akan bertumbuh luar biasa. Dengan volume yang cukup, industri otomotif akan mampu mengembangkan industrinya di Indonesia.

Para pelaku ini tidak hanya akan memproduksi dengan kisaran puluhan ribu unit per tahunnya, tetapi bisa ratusan ribu unit. Sasaran pasarnya tidak hanya lokal, tetapi juga ASEAN ataupun pasar di negara prinsipal. Namun, yang lebih penting industri ikutannya akan bertumbuh luar biasa.

Misalnya, kata Safiun, yang dipilih industri massal angkutan bus busa secara jelas, sektor yang akan menikmati tidak hanya industri kelas pabrikan yang menghasilkan rangka dan mesin. Namun, juga sektor ikutan lainnya, seperti industri komponen, industri karoseri, dan industri tekstil yang bergerak di aksesori industri otomotif.

Dengan demikian, konsep puluhan tahun untuk mengembangkan industri massal tetap menjadi mimpi. Industri tidak jalan, panjang jalan hanya bertumbuh sangat kecil, dan industri komponen ataupun karoseri justru banyak yang gulung tikar.

Akibat inkonsistensi tersebut, industri otomotif akhirnya memilih mendapatkan produk apa adanya. Tidak sedikit bus atau angkutan massal yang ada saat ini produk yang boros energi. Belum memenuhi standar Euro II, apalagi Euro III yang dipersyaratkan oleh pasar dunia.

Dengan demikian, pengorbanan pemerintah mengembangkan industri otomotif melalui kebijakan impor mobil dalam keadaan terurai pada tahun 1974, peningkatan kandungan lokal tahun 1976, pola insentif tahun 1983, hingga mobil nasional pada tahun 1996 tidak menuai hasil maksimal.

Pasar mobil mengalami fluktuasi, dengan mobil murah dan umumnya berteknologi rendah. Mengantisipasi penurunan, produsen otomotif melakukan perakitan di industrinya. Sejak saat itu industri karoseri ataupun komponen banyak yang gulung tikar. Pasar kendaraan bus pun kian menurun.

Data Samapta Polri tahun 2007 menunjukkan, pasar bus tahun 1965-2007 hanya ada 2.854.990 unit. Jumlah itu hanya separuh dari jumlah kendaraan motor atau roda dua dari Januari sampai April 2007 yang mencapai 1,9 juta unit.

Dampaknya

Oleh karena itu, kepastian pengembangan transportasi massal menjadi penting. Apabila tidak, kondisi keruwetan jalan tidak akan pernah berubah. Dampaknya, mobilitas di jalan raya tak akan pernah berubah, kecepatannya hanya 15 kilometer per jam.

Kerugian yang dipetik dari semua itu tidak kecil. BBM kian boros dan angka impor BBM yang rata-rata kini mencapai 400.000-500.000 barrel per hari sulit ditekan.

Fakta ini pernah dilansir oleh Yayasan Pelangi—sebuah organisasi nirlaba yang bergerak dalam bidang penelitian transportasi—kemacetan yang terjadi di Jakarta mencapai Rp 43 triliun.

Kerugian itu berupa pemborosan bahan bakar minyak, waktu kerja, kerugian angkutan barang, dan angkutan penumpang umum. Kemacetan terjadi sebagai akibat dari tidak dibatasinya jumlah kendaraan pribadi. Dengan demikian, volume kendaraan akan terus bertambah melampaui daya tampung jalan.

Data Samapta Polri tahun 2007 memperlihatkan, total jumlah kendaraan selama tiga tahun terakhir melonjak tajam, terutama kendaraan roda dua.

Tahun 2004 jumlah motor di Jakarta baru mencapai 28.963.987 unit. Namun, tiga tahun kemudian, yakni 2007, naik menjadi 45.987.747 unit. Kuatnya daya sedot pasar ini karena mudahnya sistem kepemilikan kendaraan dengan cara kredit. Faktor itu semakin kuat setelah pemerintah menaikkan harga BBM jenis premium pada Oktober 2005, dari Rp 2.400 per liter menjadi Rp 4.500 per liter.

Efisiensi dan penghematan di tengah tingkat pendapatan masyarakat yang relatif tertekan oleh inflasi dan perusahaan tempat mereka bekerja, transportasi motor menjadi pilihan yang efektif. Hal itu menjadi pilihan masyarakat setelah pemerintah gagal menyediakan transportasi massal yang memadai. Bagi mereka transportasi massal itu bukan saja tidak aman, tidak nyaman, dan tidak murah, tetapi juga tidak tepat jadwal.

Mereka tidak mungkin memindahkan transportasinya dari kendaraan pribadi ke kendaraan umum. Motor mayoritas menjadi pilihan utama. Dampaknya, jalan kian ruwet, timbal kian banyak dihirup warga. Ujung dari semua persoalan, pasar mobil pun kian ikut tertekan. (AST)

Kebijakan Transportasi Tanpa Cetak Biru

Jumat, 6 Juni 2008 | 01:00 WIB

Karut-marutnya sistem transportasi nasional mungkin tak bisa dilepaskan dari tidak adanya cetak biru sistem transportasi nasional. Kalaupun ada, sifatnya masih sangat sektoral.

Departemen Perhubungan, Departemen Pekerjaan Umum, Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, dan juga pemerintah daerah ibaratnya jalan sendiri-sendiri.

Akibatnya, tidak pernah terbangun suatu sistem transportasi intermoda nasional yang andal, efisien, dan terintegrasi, yang mampu menopang tuntutan pergerakan dan pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah.

Menurut Direktur Bina Sistem Transportasi Perkotaan Departemen Perhubungan Elly Sinaga, pegangan pemerintah dalam pembangunan sistem transportasi nasional sekarang ini adalah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Namun, sejauh ini undang-undang ini pun baru berupa visi dan mimpi yang masih harus diwujudkan. Elly tidak menjelaskan bagaimana menerjemahkan UU No 14/1992 itu menjadi sistem transportasi nasional yang terpadu.

Menurut dia, cetak biru transportasi di Indonesia dibagi berdasarkan jenis kota, yakni kota besar, kota sedang, dan kota kecil. Kota besar adalah kota berpenduduk di atas 500.000 jiwa, kota sedang penduduknya antara 100.000-500.000. Sedangkan kota kecil adalah kota dengan penduduk di bawah 100.000 orang.

”Memang kondisi setiap kota berbeda sehingga tidak bisa disamakan antara satu dengan lainnya,” kata Elly. Di kota besar dan kota sedang, masalah yang terjadi adalah mahalnya transportasi publik. Ini berbeda dengan kota kecil. Di kota kecil, transportasi publik masih dapat dilayani dengan kendaraan kecil seperti mikrolet. Namun, beberapa masalah, misalnya penggunaan sepeda, belum digarap dengan serius.

Dia mengakui, secara umum, masalah yang dihadapi Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia adalah masalah klasik, pertumbuhan panjang jalan yang tidak sebanding dengan pertumbuhan jumlah kendaraan.

Namun, sebetulnya, membangun jalan terus-menerus pun tidak menyelesaikan masalah. Tanpa pembatasan jumlah kendaraan atau upaya mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, panjang jalan tidak akan pernah mencukupi.

Menurut Elly, sudah saatnya kebijakan transportasi mengarah kepada transportasi publik alias public transport priority. Namun, selama ini transportasi publik yang tersedia tidak memadai. Selain tidak nyaman, transportasi publik juga tidak terintegrasi dengan baik.

”Misalnya di stasiun kereta, orang kesulitan mendapatkan kendaraan menuju tempat tujuan. Seharusnya, kan, kereta api bisa terintegrasi dengan feeder busway atau bus transkota,” kata Elly.

Selama ini, moda transportasi publik di Indonesia dikuasai oleh angkutan kota berjenis mikrolet, kendaraan dengan berkapasitas terbatas. Yang membuat kondisi semakin semrawut adalah jumlah mikrolet seolah tidak dibatasi. Sebab, di masa lalu, pemerintah daerah terus-menerus mengeluarkan izin trayek tanpa ada survei yang jelas.

Padahal, kata Elly, dalam ilmu transportasi, sudah dikenal survei asal dan tujuan (origin destination survey). Artinya, sebelum menetapkan rute tertentu untuk moda angkutan tertentu, perlu diketahui berapa besar sebenarnya permintaan untuk angkutan rute itu.

Untuk kota besar dan sedang, moda transportasi yang ideal itu transportasi massal, bukan jenis kendaraan kecil seperti mikrolet. Dephub sendiri tahun ini menyiapkan 85 bus transkota di lima kota, yaitu Semarang, Pekanbaru, Balikpapan, Menado, dan Surakarta. Bus ini konsepnya mirip bus transjakarta, hanya saja tidak menggunakan lajur khusus. Bus-bus itu hanya bisa diberhentikan di halte bus dan menggunakan kartu khusus.

Sebenarnya, tahun ini seharusnya ada 22 kota, termasuk Batam, Bogor, dan Yogyakarta yang menggunakan bus transkota sebagai moda transportasinya. Namun, tidak semua pemerintah daerah berani menerapkan kebijakan itu. Masalahnya, reaksi penolakan dari masyarakat, seperti sopir mikrolet atau juru parkir, cukup besar.

Oleh karena itu, kecuali di Yogyakarta, bus transkota beroperasi mulai dari pinggiran kota dulu. Apabila bus ini sudah diterima masyarakat, lambat laun, daerah pusat kota pun akan terlayani.

Sangat sektoral

Anggota Tim Teknis Revitalisasi Perkeretaapian Nasional Suyono Dikun mengatakan, kalaupun ada cetak biru sistem transportasi nasional (sistranas), sistranas tersebut sifatnya masih sangat sektoral. ”Sektoral, karena hanya mengindikasikan bahwa akan dibangun jalur ini, lintas itu, lintas ini, pelabuhan ini, lapangan terbang ini,” ujarnya.

Menurut mantan Deputi Bidang Sarana dan Prasarana di Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas dan Deputi V Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah di Kementerian Koordinator Perekonomian ini, sistem transportasi nasional itu bukan hanya menyangkut fasilitas fisik atau membangun jalur, lintasan dan sebagainya.

”Sistranas adalah suatu sistem nilai ekonomi, dengan melihat interaksinya dengan kelembagaan, dengan peraturan perundangan, interaksinya dengan moda lain, dengan energi, tata ruang, dan sebagainya. Bukan hanya sekadar, oh, ini ada peta, kita mau bangun lintas Kalimantan, bangun jalur rel kereta api di Sumatera, dan sebagainya. Itu bagus. Tetapi bukan hanya itu. Itu enggak cukup,” tambah Suyono Dikun.

Selain sangat sektoral, semua pemangku kepentingan dan instansi atau departemen yang terkait juga terkesan berjalan sendiri-sendiri dengan ego masing-masing. Akibatnya, sangat tidak jelas transportasi nasional mau di bawa ke mana.

Ia mencontohkan kajian JICA- Bappenas mengenai sistem transportasi terintegrasi Jabodetabek (Study on Integrated Transportation Master Plan/SITRAMP) yang sudah dibiayai dengan mahal (4 juta dollar AS), tetapi akhirnya tidak jelas tindak lanjutnya hingga sekarang.

”Kejelekan kita sebagai bangsa adalah tak menghargai suatu konsep strategi yang bagus. Follow up-nya enggak ada. Pemerintah jalan aja dengan kaca mata kudanya dan tidak pernah mau berubah. Jadi tidak ada sama sekali keterpautan antara konsep, strategi, hasil studi, dan rekomendasi yang begitu bagus dengan proses pembuatan keputusan oleh pemerintah,” ujarnya.

Jabodetabek

Khusus untuk Jabodetabek, gambaran kemacetan wilayah ini pada tahun 2020 antara lain tercantum dalam laporan Rencana Induk Transportasi Terpadu (SITRAMP) yang dilakukan oleh JICA dan Bappenas pada Maret 2004. Dalam laporan itu disebutkan, Jakarta akan macet total di semua ruas jalan pada tahun 2020 jika tidak ada upaya untuk menguranginya.

Elly mengakui, di daerah seperti Jakarta sudah selayaknya angkutan massal terintegrasi dengan daerah-daerah pinggirannya, seperti Tangerang, Bogor, Depok, Bekasi. Bus transjakarta, misalnya, idealnya jalurnya menjangkau daerah yang berbatasan langsung dengan Jakarta, seperti Tangerang atau Depok.

Namun, selama ini kebijakan transportasi di Jabodetabek tidak terintegrasi karena sulitnya koordinasi antarpemerintah daerah. ”Masalahnya, kan, ada beberapa kepala daerah, baik bupati maupun gubernur yang terlibat sehingga sulit terintegrasi. Semestinya, untuk Jabodetabek, ada satu badan khusus yang mengaturnya,” kata Elly.

Untuk kendaraan pribadi, dia mengakui, di Indonesia sulit untuk menerapkan kebijakan pembatasan jumlah kendaraan, seperti diterapkan di negara tetangga Singapura. ”Soalnya terkait dengan berbagai hal, misalnya industri otomotif, dan lain sebagainya,” katanya.

Sebenarnya, yang bisa diterapkan adalah transport demand management atau manajemen yang memaksa orang mereduksi perjalanan dengan kendaraan pribadi. Dia mencontohkan penggunaan smart card atau parking policy.

Hal lain yang bisa dilakukan adalah pengenaan retribusi bagi kendaraan pribadi. Namun, hal itu masih sulit dilakukan karena untuk mengenakan retribusi, pengendara kendaraan pribadi harus mendapat kompensasi di jalan raya, seperti bebas macet.

”Karena kita belum bisa menjamin jalanan bebas macet, mungkin retribusi sulit diterapkan,” katanya.

Sebenarnya, Elly berharap kenaikan harga BBM ini menjadi momen yang tepat agar masyarakat mau beralih ke transportasi massal. Namun, dengan kondisi transportasi yang masih semrawut, apakah harapan itu dapat terwujud? (IRN/TAT)

Protes Harga BBM Kian Meluas


Ledakan di Kuwait Tidak Mendorong Kenaikan Harga

AP Photo/ Anupam Nath / Kompas Images
Polisi mencoba merebut boneka yang merupakan gambaran dari Menteri Perminyakan India Murli Deora, yang sedang dibakar para pemrotes akibat keputusan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak di Gauhati, India, Kamis (5/6).
Jumat, 6 Juni 2008 | 03:00 WIB

Kuala Lumpur, Kamis - Protes atas keputusan beberapa pemerintah menaikkan harga minyak semakin meluas ke seluruh penjuru dunia. Setelah di Uni Eropa, kini muncul di Asia.

Keputusan Pemerintah Malaysia menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) sebesar 41 persen menjadi alasan para pemrotes turun ke jalan-jalan. Kenaikan itu dilakukan agar subsidi pemerintah tidak terlalu besar.

Kelompok oposisi menggelar protes di Kuala Lumpur dan Ipoh serta menekan Perdana Menteri Abdullah Ahmad Badawi.

”Dampak kenaikan ini akan memberikan beban berat kepada banyak orang, khususnya orang miskin,” kata Teresa Kok, anggota Partai Aksi Demokratis, salah satu dari 1.000 pemrotes di Kuala Lumpur, Kamis (5/6).

Polisi dan pasukan antihuru- hara dengan tongkat dan tameng membubarkan pengunjuk rasa yang membentangkan spanduk bertuliskan ”BBM Naik, tetapi Gaji Tidak”.

Di Ipoh, diperkirakan lebih dari 100 orang turut dalam unjuk rasa tersebut. Demonstrasi lanjutan akan dilaksanakan dalam pekan depan.

Menteri Dalam Negeri Syed Hamid Albar mengkritik bahwa aksi unjuk rasa itu ilegal dan meminta publik tak bereaksi berlebihan terhadap kenaikan harga BBM.

”Ini bukan isu politik, tetapi isu nasional yang harus kita hadapi bersama. Harga minyak global terus naik,” katanya.

Pemerintah Malaysia menaikkan harga bensin menjadi 2,7 ringgit atau setara Rp 8.100 dari sebelumnya 1,92 ringgit atau Rp 5.760.

India

Sama seperti Malaysia, Pemerintah India juga mendapat kecaman dan kemarahan dari rakyatnya karena kenaikan harga bahan bakar minyak. Aksi unjuk rasa di India dipelopori oleh kelompok komunis.

India mengimpor 70 persen minyak yang diperlukan untuk menggerakkan perekonomian yang sangat cepat. Pemerintah India menaikkan harga bensin sebesar 11 persen dan harga solar sebesar 9,4 persen.

Toko-toko, sekolah, dan kantor-kantor di Bengali Barat bagian timur, Tripura bagian timur laut, dan Kerala selatan ditutup. Penutupan itu merupakan awal rencana protes di seluruh negeri menentang kenaikan harga BBM.

”Pemogokan itu total, melibatkan semua toko dan bisnis, institusi keuangan dan pendidikan,” ujar Bijon Dhar, pemimpin Marxist, di Tripura.

Di ibu kota Kerala, Thiruvananthapuram, kendaraan tidak beroperasi dan jalanan lengang.

Di ibu kota Bengali Barat, Kolkata, pusat perbelanjaan, kantor pemerintah, dan swasta, juga tutup untuk memprotes kenaikan harga BBM.

Harga bensin di New Delhi naik 3 rupee menjadi 50 rupee atau Rp 10.999 per liter. Harga bensin berbeda-beda di setiap negara bagian karena pengenaan pajak yang berbeda-beda pula.

Harga minyak berada di sekitar 123 dollar AS per barrel, didorong oleh laporan ledakan di pabrik petrokimia Kuwait. Akan tetapi, kenaikan tidak terlalu banyak karena didorong oleh penguatan nilai tukar dollar AS dan kekhawatiran mengenai menurunnya permintaan global.

Pada perdagangan sore hari di Eropa, harga minyak jenis light sweet naik 15 sen menjadi 122,45 dollar AS per barrel. Sebelumnya, kontrak minyak itu seharga 123,25 dollar AS per barrel.

Sebelumnya, kontrak berjangka Nymex dan Brent sempat naik di atas 123 dollar AS per barrel setelah laporan awal mengenai ledakan di kawasan industri Mina Abdalla, Kuwai. Namun, harga kemudian menurun lagi karena ternyata ledakan tersebut tidak memengaruhi kegiatan di kilang Kuwait yang berada di kawasan itu. (AP/AFP/joe)

RUU UMKM

Persetujuan DPR Disertai Berbagai Catatan
Jumat, 6 Juni 2008 | 00:28 WIB

Jakarta, Kompas - Setelah pembahasan berlangsung berbulan-bulan, akhirnya 10 fraksi di DPR setuju Rancangan Undang-Undang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah diajukan ke Sidang Paripurna DPR tanggal 10 Juni, untuk disetujui menjadi Undang-Undang.

Namun, ada beberapa catatan yang diberikan oleh fraksi-fraksi di DPR terhadap RUU tersebut. Fraksi Kebangkitan Bangsa melalui juru bicaranya, Ahmad Safrin Romas, meminta agar pemerintah segera membuat peraturan pemerintah untuk implementasi UU tersebut.

”Fraksi Kebangkitan Bangsa mendorong pemerintah segera menyusun dan mengeluarkan peraturan pemerintah dalam waktu enam bulan,” katanya di Jakarta, Kamis (5/6).

Selain itu, kata Safrin Romas, pemerintah diharapkan memberi kemudahan akses pembiayaan dan penjaminan kredit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Pemerintah juga diminta memberikan informasi yang transparan tentang perizinan yang berlaku bagi sektor UMKM.

Selama ini, menurut Safrin Romas, pada umumnya UMKM belum menyelesaikan ketentuan legalisasi usahanya. Hal tersebut terjadi karena para pelaku UMKM tidak memiliki informasi yang memadai tentang proses perizinan yang harus dilaluinya.

Kemitraan

Fraksi Partai Golkar melalui juru bicaranya, Rambe Kamaruzaman, menyoroti tentang kemitraan usaha besar dan UMKM.

Pemahaman tentang kemitraan tersebut diperlukan agar tidak ada perbedaan persepsi tentang peran dari masing-masing pelaku usaha. ”Agar antara usaha besar dan UMKM tidak ada yang merasa paling berperan,” tutur Rambe.

Fraksi Partai Golkar juga menekankan perlunya peran pemerintah untuk memperluas akses kredit dari perbankan dan non- perbankan bagi pelaku UMKM.

Menteri Negara Urusan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Suryadharma Ali seusai menyaksikan penandatanganan persetujuan RUU UMKM menegaskan komitmennya untuk berpihak kepada UMKM.

Komitmen tersebut diperlukan karena jumlah UMKM saat ini diperkirakan mencapai 49 juta unit. Dengan jumlah yang relatif besar tersebut, potensi UMKM untuk menggerakkan sektor riil sangat berarti. (OSA)

Tuesday, June 3, 2008

Produksi Minyak RI 2009 Belum Bisa Tembus 1 Juta Bph

Alih Istik Wahyuni - detikFinance

GB
Petani Melintas di Blok Cepu (gik)
Jakarta - Pemerintah mengusulkan tingkat lifting dan produksi minyak untuk RAPBN 2009 sebesar 950 ribu barel per hari (bph), atau naik 23 ribu bph dari 2008 yang sebanyak 927 bph.

Hal tersebut disampaikan Kepala BP Migas R Priyono dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Senin (2/6/2008) malam.

Menurutnya, peningkatan produksi memang tidak banyak karena penurunan produksi secara alamiah yang mencapai 10% dan tambahan produksi yang belum optimal.

"Peningkatan ini tidak signifikan karena lapangannya nggak besar. Kecuali dari Exxon yang baru 2010 bisa banyak. Jadi tambahannya jadi cuma 20-30 ribu barel/hari. Dari jumlah itu, kita prediksi rata-rata produksi 2009 sebesar 950,1 barel/hari," katanya.

Penurunan produksi secara alamiah bisa terlihat dari produksi pada Januari yang diperkirakan sebanyak 963 ribu bph, namun menurun hingga Desember tinggal 879 ribu bph.

Sementara tambahan produksi baru didapat dari beberapa lapangan, yaitu:
  • Mobile Cepu Ltd sebesar 20 rib bph
  • CPI (Duri Area 11) sebesar 2,8 ribu bph
  • JOB PT Bumi Siak Pusako sebesar 0,9 ribu bph
  • Medco Energy sebesar 0,2 ribu bph
  • JPB Hess Jambi Merang sebesar 0,4 ribu bph
  • JOB PPEJ ( SUkowati) 5,0 ribu bph

Lifting dan Produksi

Mulai tahun 2009, pemerintah akan menggunakan satu istilah untuk perhitungan produksi dan lifting. Selama ini produksi selalu lebih banyak 50 ribu bph karena merupakan swap antara ConocoPhilips dan Chevron.

"Perbedaan pemahaman lifting dan produksi tidak ada lagi. Produksi sama dengan lifting. Kita harapkan bulan ini swap bisa terselesaikan. Jadi own use 50 ribu bph bisa masuk lifting," katanya.
( lih / qom )

Konsumsi BBM 2008 Diprediksi 10,3% di Atas Kuota APBN


Alih Istik Wahyuni - detikFinance

GB
Antrean BBM (bgs)


Jakarta - Realisasi konsumsi BBM subsidi tahun 2008 diperkirakan mencapai 39,115 juta KL atau 10,3% diatas kuota yang ditentukan APBNP 2008 sebesar 35,475 juta KL.

Asumsi peningkatan konsumsi ini diambil dari data konsumsi hingga Maret 2008 yang diterapkan sepanjang tahun 2008.

Tren peningkatan terbesar terjadi pada konsumsi Premium yang mencapai 15% dari APBN 2007. Sementara peningkatan minyak tanah tercatat sebesar 3% dan solar sebesar 12%.

Hal tersebut disampaikan Kepala BPH Migas Tubagus Haryono dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Senin (2/6/2008) malam.

"Yang melandasi adalah kenaikan di sektor transportasi. Kegiatan eknomi meningkat, frekuensi kendaraan bermotor makin tinggi. Sementara pertambahan infrastruktur dan panjang jalan tidak seimbang. Ini membuat konsumsi BBM lebih banyak," katanya.

Data dari Pertamina menujukkan konsumsi realisasi BBM subsidi hingga April 2008:
  • Premium 6,1 juta KL dari jatah APBNP 2008 16,9 juta KL
  • Kerosine 2,997 juta KL dari jatah APBNP 2008 7,5 juta KL
  • Solar 3,793 juta KL dari jatah APBNP 2007 10,9 juta KL.

Sementara data perkiraan realisasi hingga akhir 2008 adalah:
  • Premium 19,47 juta KL.
  • Kerosene 7,79 juta KL.
  • Solar 11,89 juta KL.

Sunday, June 1, 2008

Mencermati Industri Jalan Tol di Negeri ini

Kamis, 11 Oktober 2007

Oleh : Heri Susanto

UU Nomor 38/2004 ini merupakan perubahan/penggantian terhadap UU Nomor 13/1980 yang telah berusia hampir seperempat abad dan sudah tidak sesuai lagi sebagai landasan hukum pengaturan tentang Jalan. Dasar pertimbangan yang melandasi perubahan/penggantian adalah adanya berbagai perkembangan dan perubahan penataan sistem. Pemerintahan Negara yang berorientasi pada otonomi daerah serta adanya tantangan persaingan global dan tuntutan peningkatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan Jalan.
Terdapat sejumlah perbedaan yang mencolok dan fundamental dalam perubahan UU ini antara lain:

Pertama, penetapan suatu ruas jalan tol. Penetapan jenis kendaraan bermotor dan besarnya tol, persetujuan pemakaian jalan tol selain untuk pemakai jalan yang menggunakan kendaraan bermotor dengan membayar tol. Pada UU Nomor 13/1980 hal tersebut di atas ditetapkan oleh Presiden, pada UU Nomor 38/2004 cukup oleh Menteri terkait.

Kedua, wewenang penyelenggaraan/pengusahaan Jalan Tol, pada UU Nomor 13/1980 diserahkan hanya kepada Badan Usaha Milik Negara (PT Jasa Marga) dan BUMN tersebut dapat bekerjasama dengan Badan Usaha Miiik Swasta, sedangkan pada UU Nomor 38/2004 bisa kepada BUMN dan/atau Badan Usaha Milik Daerah dan/atau Badan Usaha Milik Swasta secara langsung.

Ketiga, peran regulator dan operator dipisah. Kalau UU sebelumnya peran tersebut dirangkap dan dipegang oleh BUMN dalam hal ini PT Jasa Marga. UU yang baru ini peran PT Jasa Marga diperlakukan sebagai operator murni, sedangkan peran regulator diserahkan kepada Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT).

BPJT dibentuk oleh Menteri, berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri yang keanggotaannya terdiri dari unsur Pemerintah, unsur pemangku kepentingan dan unsur masyarakat Sebagian wewenang pemerintah dalam penyelenggaraan Jalan Tol yang meliputi: pengaturan jalan tol, pengusahaan jalan tol dan pengawasan jalan tol dilaksanakan oleh BPJT.

Dalam UU No. 13/1980 PT Jasa Marga dalam menjalankan fungsinya sebagai regulator terlihat kurang berfungsi dan malah berdampak pada timbulnya konflik kepentingan sehingga banyak merugikan Jasa Marga.

Jasa Marga sebagai korporasi tidak hanya terkait dalam UU No. 38/2004 tentang jalan tetapi juga terkait dengan UU No 19/2003 tentang BUMN dalam rangka menjalankan peranan penting terutama di dalam mendukung ekonomi, sosial budaya, lingkungan melalui Jalan sebagai bagian sistem transportasi nasional.

Jasa Marga jika dilihat dari perspektif bisnis akan cenderung lebih banyak berpihak kepada fungsinya sebagai operator dan pengusaha jalan tol. Hal ini sesuai dengan maksud dan tujuan pendirian BUMN yang tertuang dalam UU No 19/2003 tentang BUMN, dimana PT Jasa Marga adalah Badan Usaha Milik Negara yang harus semaksimal mungkin memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan Negara pada khususnya serta mengejar keuntungan.

Pembangunan jalan harus memenuhi kebutuhan masyarakat atas angkutan barang dan jasa yang aman, nyaman, berdaya guna yang benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, pengelolaan yang transparan dan terbuka serta tarif tol yang didasarkan pada kemampuan bayar pengguna jalan (masyarakat). Di samping itu tentu pengusaha jalan tol dilindungi kepentingannya yaitu adanya kepastian hukum dalam bisnis jalan tol, iklim investasi yang kondusif, diberikan konsesi (tenggang waktu) yang layak untuk dapat mengembalikan dana investasi dan keuntungan yang wajar.

Namun harapan-harapan tersebut di atas belum dapat terwujud melalui BPJT karena dalam PP No. 15/2005 walaupun semuanya telah diatur lebih rinci namun pada tataran Implementasinya BPJT tidak tegas karena kurangnya kekuasan yang dimiliki BPJT dan kurangnya kompetensi personal yang sekarang duduk di BPJT serta kurang luasnya skema organisasi BPJT yang tidak melibatkan unsur pemerintah daerah. Permasalahannya sekarang ialah bagaimana mereformasi BPJT yang independen, transparan dan terbuka, bebas KKN dengan keanggotaan yang professional.

Keempat, ada 2 (dua) Pasal yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 38/2004 sangat menguntungkan bagi pengusaha jalan tol yang telah beroperasi saat ini yaitu: a) Pasal 48 ayat (3) berbunyi, bahwa evaluasi dan penyesuaian tarif tol dilakukan setiap 2 (dua) tahun sekali berdasarkan pengaruh laju inflansi. Penyesuaian tarif tol ditentukan 2 (dua) tahun sejak penetapan terakhir tarif tol, dengan formula: Tarif baru = tarif lama (1 + inflansi). Data inflasi yang berlaku adalah data inflansi wilayah yang bersangkutan dari Badan Pusat Statistik (BPS).
Kenaikan tarif tol sebelum UU Nomor 38/2004 ini berlaku, diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40/2001, ditinjau setiap 3 (tiga) tahun sekali dengan kenaikan maksimum 25 persen (dua puluh lima persen). PT Jasa Marga dan beberapa pengelola jalan tol lainnya akan memperoleh tarif baru yang lebih cepat dan kenaikan rata-rata per tahun yang mungkin lebih besar, mengingat tingkat inflasi di negeri ini masih cukup tinggi.

Penyesuaian tarif tol akan secara otomatis ditetapkan sesuai UU ini. Kenaikan tarif tol terakhir terjadi pada bulan Juni Tahun 2003 yang lalu. b) Pasal 66 ayat (3) menyatakan bahwa konsesi yang dimiliki badan usaha milik swasta di bidang jalan tol berdasarkan Undang-Undang Nomor 13/1980 dinyatakan tetap berlaku. Itu berarti, masa konsesi yang telah diperoleh berlaku mutlak dan tidak bisa diganggu gugat lagi. Mungkin saja pemberian masa konsesi kepada pengelola jalan tol untuk ruas-ruas jalan tertentu pada jaman pemerintahan Soeharto tersebut diliputi nuansa KKN, sehingga mendapatkan masa konsesi yang panjang dan berlebihan.

Kita tahu, bahwa nilai investasi yang ditanamkan dalam suatu jalan tol berkaitan erat sekali dengan penentuan tarif tol awal dan masa konsesi. Jika nilai investasi besar atau tidak wajar, akan bisa memperoleh tarif awal yang tinggi dan masa konsesi yang lama. Oleh karena itu, perlu kiranya di tinjau kembali, apakah nilai investasi pada ruas-ruas jalan tol tersebut wajar dan layak. Hal itu perlu, apalagi di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dikenal sangat antikorupsi dan berusaha memerangi segala bentuk KKN, termasuk mark-up nilai proyek jalan tol. Sepatutnya Pasal 66 ayat (3) ini ditinjau kembali.

Kelima, pasal 64 ayat (2) tentang pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol menyatakan, bahwa pengadaan tanah dapat menggunakan dana yang berasal dari pemerintah dan/atau Badan Usaha Swasta. Ketentuan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38/2004, Pasal 64 ayat (2) ini lebih lanjut perlu dituangkan dalam Peraturan Pemerintah agar jelas aturan mainnya. Sebelum Undang-Undang ini keluar, ketentuan tentang pembebasan tanah untuk pembangunan Jalan Tol ditanggung oleh Pemerintah (Peraturan Pemerintah Nomor 8/1990, Pasal 41).

Selama ini ketentuan yang berjalan ialah apabila dana untuk pembebasan tanah di biayai oleh pengelola/investor, maka dihitung sebagai investasi dan diperhitungkan kompensasinya dalam bentuk penambahan masa konsesi. Tetapi kalau dana berasal dari pemerintah, sama sekali tidak ada perhitungan kompensasinya. Apakah itu dalam bentuk nilai saham dalam usaha patungan tersebut, atau dalam bentuk sewa-menyewa selama kurun waktu masa operasi.
Bagaimanapun dana pemerintah untuk pembebasan tanah tersebut harus kembali ke negara, karena di peroleh melalui pinjaman. Dari mana sumber nya, kalau bukan dari hasil usaha talan tol itu sendiri. Dengan demikian terjadi hubungan bisnis yang layak dan wajar.. Sebaiknya hubungan kerja sama antara pemerintah (dalam hal ini diwakili oleh BPJT) dengan investor jalan tol yang telah beroperasi, di tinjau kembali dan disesuaikan dengan semangat reformasi.

Dari uraian tersebut di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu : Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 ini telah cukup menjamin secara kepastian hukum usaha di bidang jalan tol yang selama ini dituntut oleh pengelola jalan tol atau calon investor.

Perlu mereformasi segera landasan hukum Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden untuk membantu Menteri PU, Menteri Keuangan dan Meneg BUMN serta Menteri terkait lainnya agar semua kendala industri jalan tol dapat di analisis secara komprehensif untuk memacu dengan cepat pertumbuhan ekonomi negeri ini. (*)

Friday, May 30, 2008

Kekayaan Negara Rp 1.600 Triliun

Baru Pertama Laporan Keuangan Pemerintah Positif
Kamis, 29 Mei 2008 | 01:18 WIB

Jakarta, Kompas - Setelah tiga tahun berturut- turut negatif, kini neraca pemerintah dilaporkan positif karena nilai aset negara lebih tinggi dibanding utangnya. Nilai aset negara dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat atau LKPP 2007 mencapai Rp 1.600,21 triliun, sedangkan utangnya Rp 1.430,96 triliun.

”Ini pertama kalinya neraca pemerintah positif. Dengan pencapaian ini, saya sangat berharap Indonesia bisa segera masuk menjadi negara berkategori investment grade (negara dengan risiko fiskal sangat rendah sehingga surat utang pemerintah dan swasta dinilai aman dari risiko gagal bayar),” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Jakarta, Rabu (28/5).

Menurut Sri Mulyani, peningkatan nilai aset itu dimungkinkan karena pemerintah mendapatkan tambahan nilai aset dari revaluasi kekayaan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) migas senilai Rp 232,42 triliun. Ini mendongkrak nilai aset pemerintah hingga melampaui utangnya.

”Ini artinya, aset yang tercatat semakin banyak. Namun, saya yakin masih banyak aset negara yang belum terungkap,” ujarnya.

Direktur Jenderal Kekayaan Negara Depkeu Hadiyanto menyebutkan, nilai aset KKKS itu terdiri atas aset produksi senilai 24,6 miliar dollar AS dan aset nonproduksi 33,59 juta dollar.

”Penilaian ulang atas aset KKKS ini dimungkinkan karena setiap pemindahtanganan, baik dijual atau disewakan, aset KKKS harus direvaluasi oleh Ditjen Kekayaan Negara. Ini dilakukan karena aset KKKS merupakan aset pemerintah,” ujarnya.

Audit BPK

Berdasarkan hasil audit, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memutuskan untuk tidak memberikan pendapat (disclaimer) terhadap LKPP 2007. Artinya, pemerintah dianggap gagal memenuhi prinsip-prinsip pelaporan keuangan BPK.

Auditor Utama Keuangan Negara II BPK, Safri Adnan Baharuddin, menegaskan, pihaknya belum dapat mengumumkan hasil audit atas LKPP 2007 kepada publik. Ini karena BPK harus melaporkan hasil audit tersebut kepada DPR. (OIN)

Sunday, May 25, 2008

Harga BBM, Buah Si Malakama?

Sabtu, 24 Mei 2008 | 03:00 WIB

Ivan A Hadar

Seakan buah si malakama, bila harga BBM dinaikkan, dampaknya memicu harga-harga bahan pokok yang menyengsarakan masyarakat miskin. Sebaliknya, bila memilih tidak menaikkan harga BBM, dipastikan akibat melonjaknya harga BBM di pasar internasional, defisit anggaran bisa mencapai angka ratusan triliun. Pemerintah akhirnya memutuskan menaikkan harga BBM bersubsidi di bawah 30 persen. Pada saat yang sama, dana dari penghematan subsidi rencananya akan disalurkan lewat bantuan langsung tunai kepada orang miskin.

Wapres Jusuf Kalla berargumen, ”Akan jauh lebih banyak orang miskin jika negara tak mampu menanggung beban subsidi karena defisit anggaran bisa mencapai 4 atau 5 persen.” Selain itu, semakin besar subsidi BBM, semakin besar ketidakadilan dibiarkan terus dilakukan. Berdasarkan hitungannya, 80 persen subsidi dinikmati orang mampu yang memakai premium dan solar untuk kendaraan pribadinya (Kompas, 11/5/2008). Cukup masuk di akal, meski sebenarnya telah banyak waktu terbuang tanpa ada upaya serius pemerintah untuk keluar dari jebakan buah simalakama. Suara kontra menilai kenaikan harga BBM hanya merupakan jalan pintas pemerintah untuk melepaskan diri dari beban keuangan negara. Kebijakan tersebut dipastikan menuai dampak buruk yang melemahkan daya beli masyarakat, meningkatkan kemiskinan, dan memukul sektor usaha.

Tingkat kemiskinan, misalnya, diperkirakan akan melonjak tajam menjadi sekitar 52 juta jiwa (25,4 persen) dari 36,6 juta jiwa (16,85 persen). Padahal, ada sejumlah kebijakan alternatif yang dapat ditempuh, seperti melakukan negosiasi dengan para kreditor untuk refinancing atau reprofiling utang, menaikkan sektor perpajakan dan pemangkasan biaya pengadaan BBM. Selain itu, makin seriusnya krisis BBM merupakan saat yang tepat untuk menoleh kepada sumber energi nonkonvensional, baik dalam lingkup perorangan, industri, maupun nasional. Karena, sebenarnya, negeri ini amat diberkati oleh sinar matahari, angin, geotermal, dan ombak pantai berlimpah (Kompas, 8-9/5/2008).

Energi sinar matahari yang dipancarkan ke planet Bumi, misalnya, 15.000 kali lebih besar dibandingkan penggunaan energi global dan 100 kali dibandingkan cadangan batu bara, gas, dan minyak bumi. Sementara teknologi mutakhir telah mampu mengubah 10-20 persen pancaran sinar matahari tersebut menjadi energi. Secara teoretis, untuk mencukupi kebutuhan energi global, penempatan peralatan tersebut hanya memerlukan kurang dari 1 persen permukaan bumi. Sebuah besaran yang jauh lebih kecil dibandingkan lahan yang dibutuhkan bendungan pembangkit tenaga listrik.

Mulanya sumber energi ini dikembangkan penggunaannya bagi satelit ruang angkasa. Kini, pemanfaatannya mulai menyebar ke kawasan industri, rumah pribadi, dan bahkan ke pelosok desa. Tak lama lagi ia diramal akan menjadi sumber energi pada pembangkit tenaga listrik kapasitas besar. Sejak harga minyak pasar internasional mencapai 60 dollar AS per barrel, minat industri pembangkit tenaga listrik pada sumber energi terperbarui semakin membesar. Pertimbangan ekonomi menjadi alasan pertama.

Kenyataannya, kini, persaingan ini telah terjadi di negara-negara industri, khususnya di sektor industri kecil dan menengah. Menurut Report on World Development (UN, 1992), kebutuhan energi global dalam 30 tahun ke depan meningkat dua kali lipat per tahun. Dan, 40 tahun mendatang, kebutuhan tersebut menjadi tiga kali lipat atau sepadan dengan energi 20 miliar ton minyak bumi.

Perkembangan ini ditaksir bakal mahal karena eksploitasi dan eksplorasinya lebih sulit. Ada baiknya kita bayangkan bahwa penggunaan 20 miliar ton energi per tahun itu memerlukan biaya sebesar 4,5 triliun dollar AS. Separuhnya adalah pengeluaran negara-negara berkembang. Indonesia yang setiap tahun disinari energi matahari sebesar 2.500 kw per hrs berpotensi besar untuk keluar dari ketergantungan pada energi fosil, seperti BBM.

Selain itu, kelebihan energi matahari yang sering diungkapkan adalah pembakarannya tidak menghasilkan CO2, SO2, dan gas racun lainnya. Uraian singkat tentang dua pembangkit energi dari sinar matahari, yaitu solar thermal dan photogalvanic, berikut ini menggambarkan hal tersebut. Keduanya tak membutuhkan areal yang luas bagi peralatannya. Ide awal tentang pembangkit tenaga listrik solar thermal sudah sangat tua. Pembangkit listrik pertama dibangun di Mesir tahun 1912, tetapi ditutup saat usai Perang Dunia I karena rendahnya harga minyak. Prinsipnya, sederhana. Sinar matahari diperkuat oleh cermin yang mengalihkannya ke alat penyerap berisi cairan. Cairan ini memanas dan menghasilkan uap yang membangkitkan generator turbo pembangkit tenaga listrik. Di California, AS, alat ini telah mampu menghasilkan 354 megawatt listrik. Saat ini, di Indonesia, harga satuan energi matahari 4-5 dollar AS per W, cukup ekonomis untuk penggunaan secara massal.

Sementara itu, pengembangan pembangkit listrik photogalvanic berkembang cepat sejak dua dasawarsa terakhir. Harga peralatannya merosot tajam berkat keberhasilan teknologi, padahal kebijakan energi nasional maupun internasional sama sekali tidak mendukung. Subsidi besar-besaran hanyalah untuk pembangkit tenaga listrik dengan sumber energi fosil dan nuklir. Energi photo electric pertama kali diungkapkan Edmond Bacquerel, tahun 1839. Penggunaannya yang terbaru menggunakan sel-sel photogalvanic. Akibat sengatan sinar matahari, sel-sel tersebut melepaskan elektron yang dipaksa berputar dengan dampak terjadinya aliran listrik. Sel-sel tersebut dikemas dan dijual dalam bentuk modul yang dapat digunakan pada teknologi tegangan tinggi. Saat ini, harga pembangkit listrik sel surya adalah Rp 1.900-Rp 3.000 per kWh.

Menilik berbagai kelebihan energi terperbarui, pertanyaan yang kemudian timbul, apakah cara menunjang pengembangan dan perluasan penggunaan energi ini sehingga sinkron dengan kebijakan energi nasional dan global.

Pertama, harus ada diversifikasi penelitian dan pengembangan. Dana penelitian energi ramah lingkungan ini, sayangnya, dari tahun ke tahun menyusut. Di negara-negara industri, hanya sekitar 5 persen dana penelitian yang diperuntukkan bagi sektor energi. Darinya, sebagian besar untuk jenis energi fosil. Di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, hal tersebut lebih memprihatinkan.

Kedua, dengan perkembangan teknologi saat ini, biaya produksi energi tererbarui ini bisa bersaing dengan harga energi fosil. Namun, tentu saja, untuk memproduksi energi surya secara massal, diperlukan kemauan politik. Ketika Indonesia masih menjadi produsen dan eksportir minyak dan di dalam negeri harga jualnya masih disubsidi, mungkin terkesan tidak realistis untuk mendudukkan energi terperbarui pada posisi penting. Namun, kini keadaan sudah sangat mendesak untuk berpikir dan bertindak mengantisipasinya. Jadi, dalam waktu dekat, harga BBM diharapkan tidak lagi menjadi buah si malakama.

IVAN A HADAR Koordinator Nasional Target MDGs (Bappenas/UNDP); Pendapat Pribadi

Kenaikan harga BBM


Menjadi Rasional, Harapan yang Ingin Dituju
Sabtu, 24 Mei 2008 | 00:44 WIB

Orin Basuki

Sophian (65), pensiunan Departemen Keuangan, sudah menghitung dampak kenaikan harga bahan bakar minyak atau BBM terhadap nilai riil uang pensiunnya, jauh sebelum perubahan harga BBM diputuskan pemerintah. Pengeluaran yang pasti akan dipangkas bapak 10 anak ini adalah anggaran belanja rokok.

Keputusan itu cukup pahit bagi Sophian, yang kini mengabdikan diri di Kantor Menteri Koordinator Perekonomian. Namun, keputusan itu tetap harus diambil karena dengan kenaikan harga BBM rata-rata 28,7-30 persen, maka pengeluaran untuk bensin motornya akan bertambah.

Setiap harinya, Sophian mengendarai motor dari rumahnya, di kawasan Ciledug, Tangerang, ke Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, tempatnya bekerja saat ini. Untuk itu, ia perlu Rp 50.000 per minggu buat membeli bensin.

Naiknya harga BBM akan membuat pengeluaran Sophian untuk bensin meningkat minimal Rp 20.000 per minggu. Konsekuensinya, ada pos anggaran lain yang harus dikurangi. Pilihannya adalah mengurangi belanja rokok. Biasanya, dalam sehari Sophian menghabiskan empat bungkus rokok filter putih yang harganya Rp 9.000 per bungkus. Ia berencana hanya akan membelanjakan Rp 27.000 per hari untuk rokok dari sebelumnya Rp 36.000 per hari.

”Jadi, ada untungnya harga BBM naik. Saya dipaksa menghemat rokok,” ujarnya.

Penghematan bukan baru kali ini dilakukan Sophian. Sejak pensiun sebagai pegawai negeri sipil (PNS), Sophian mengubah pola makannya. Jika sebelumnya membelanjakan Rp 12.000 untuk sekali makan siang, setelah pensiun hanya Rp 4.500.

Ekses kenaikan harga BBM yang dialami orang-orang seperti Sophian mungkin tak pernah dipikirkan pemerintah saat merencanakan kenaikan harga BBM.

Lalu, apa landasan yang dipakai pemerintah untuk mengambil keputusan menaikkan harga BBM? Mengapa keputusan itu menimbulkan penolakan yang disampaikan melalui unjuk rasa di berbagai daerah?

Untuk menjelaskan maksud pemerintah menaikkan harga BBM, ada dua menteri yang menggelar konferensi pers pada hari yang sama, Rabu (21/5), yakni Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati serta Menteri Komunikasi dan Informatika Mohammad Nuh. Keduanya menggelar konferensi pers di dua tempat yang berbeda. Menkeu menggelar konferensi pers di Kantor Departemen Keuangan, Jalan Wahidin, sementara Menkominfo di Kantor Wakil Presiden.

Dua menteri ini ingin mengungkapkan bahwa pemerintah sangat ingin menurunkan harga BBM, jika mampu. Namun, tak ada satu pun manusia di dunia ini yang sanggup melakukannya, termasuk Pemerintah Indonesia.

Pada saat APBN Perubahan (APBN-P) 2008 diputuskan April 2008, asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) 95 dollar AS per barrel. Padahal, harga minyak mentah dunia sudah 125 dollar AS per barrel.

Di sisi lain, baru memasuki bulan Mei 2008, realisasi konsumsi BBM bersubsidi sudah lebih dari separuh target konsumsi yang ditetapkan APBN-P 2008, yakni 35,5 juta kiloliter. Dengan demikian, pemerintah harus menaikkan target volume konsumsi jadi 36,2 juta kiloliter.

Ini membuat dana untuk subsidi BBM meningkat dari Rp 126,8 triliun menjadi Rp 132,1 triliun hingga akhir 2008. Itu pun dengan satu syarat, harga BBM di dalam negeri dinaikkan sehingga sebagian subsidi BBM bisa dikurangi. ”Jika pemerintah tidak menaikkan harga BBM, subsidi bisa melonjak hingga Rp 190 triliun,” ujar Menkeu.

Melemah

Seandainya subsidi dibiarkan meningkat hingga Rp 190 triliun, maka kemampuan pemerintah membiayai program mengurangi kemiskinan semakin lemah.

Hal itu dimungkinkan karena dari Rp 190 triliun subsidi BBM sebesar Rp 133 triliun, atau 70 persen, di antaranya untuk memanjakan 40 persen orang terkaya di negeri ini. Mereka adalah pemilik mobil mewah atau penduduk yang membeli mobil pribadi lebih dari satu unit.

Sementara sekitar 11 persen dari anggaran subsidi itu, atau hanya Rp 20,9 triliun, yang dinikmati masyarakat miskin. Padahal, kelompok inilah yang mendominasi struktur kependudukan Indonesia saat ini.

Jika dibandingkan antara Rp 133 triliun subsidi BBM dan anggaran penanggulangan kemiskinan yang hanya Rp 60 triliun, komposisi itu terlihat sangat tak seimbang. Pemerintah menyebutnya ketidakadilan yang nyata yang berlangsung saat ini.

Kondisi ini sudah disampaikan oleh unsur-unsur pemerintah dalam beberapa hari terakhir. Namun, penjelasan itu tidak cukup memuaskan bagi kelompok masyarakat kritis. Dampaknya, Istana Presiden nyaris setiap hari disatroni pengunjuk rasa.

Kini, pertanyaan yang harus dijawab adalah, bagaimana konsekuensi dari kenaikan harga BBM? Bagaimana negara tetangga mengatasi masalah kenaikan harga minyak mentah dunia?

Jawaban Menkeu adalah, harga minyak mentah dunia telah meningkat dua kali lipat dari 60 dollar AS per barrel di pertengahan 2007 menjadi 120 dollar AS per barrel pada Mei 2008. Sementara harga jual di dalam negeri tetap, Rp 4.500 per liter untuk premium, Rp 4.300 per liter untuk solar, dan minyak tanah Rp 2.000 per liter.

Padahal, harga di pasar internasional untuk premium sudah Rp 8.600 per liter, solar Rp 8.300 per liter, dan minyak tanah Rp 9.000 per liter.

Itu artinya, subsidi yang ditanggung pemerintah Rp 4.100 per liter untuk premium, Rp 4.000 per liter untuk solar, dan Rp 7.000 per liter untuk minyak tanah. Tingginya selisih harga itu mendorong terjadinya penyelundupan BBM ke luar negeri.

Hal itu antara lain yang membuat volume konsumsi BBM bersubsidi melonjak. Akibatnya, target subsidi BBM dan volume konsumsi BBM dalam APBN-P 2008 jebol. Makanya, subsidi BBM harus dikurangi, antara lain dengan menaikkan harga jual BBM di dalam negeri.

Menurut perhitungan Menkeu, setiap pemilik mobil yang memakai bensin rata-rata 10 liter per hari mendapatkan subsidi Rp 41.000 per hari untuk premium dan untuk solar Rp 40.000 per hari. Dalam sebulan, subsidi yang diterima satu mobil minimal Rp 1 juta-Rp 1,2 juta, dengan asumsi pemakaian 25 hari sebulan.

”Bayangkan satu keluarga yang memiliki lebih dari satu mobil. Bandingkan dengan bantuan langsung tunai (BLT) yang diberikan kepada setiap keluarga miskin, Rp 100.000 per bulan. Ini tidak adil,” tutur Sri Mulyani.

Sementara rakyat miskin, jangankan memiliki mobil, motor pun tidak. Itu berarti rakyat miskin tidak menikmati subsidi BBM secara langsung. Mereka menikmati subsidi BBM melalui kendaraan umum yang membeli BBM dengan harga murah.

Berdasarkan data Direktorat Lalu Lintas Polri dan hasil survei Badan Pengatur Hilir Migas, konsumsi BBM per kapita per hari untuk transportasi umum, termasuk bus, hanya 0,9 persen dari total konsumsi.

Atas dasar inilah pemerintah mengalihkan sebagian anggaran subsidi BBM ke program yang langsung menyentuh orang kecil. Dari dana hasil penghematan subsidi BBM sebesar Rp 34,5 triliun, sekitar Rp 4,2 triliun dialokasikan untuk raskin, Rp 14,1 triliun untuk BLT, dan Rp 1 triliun untuk kredit usaha rakyat.

Selain itu, ada program penanggulangan kemiskinan yang sudah dilakukan sejak lama, antara lain Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Program padat karya ini anggarannya Rp 13,2 triliun.

Negara lain

Benarkah harga BBM di Indonesia terendah di dunia? Jika dibandingkan dengan sembilan negara tetangga terdekat, harga BBM Indonesia memang terendah. Pada saat premium di Indonesia dijual Rp 4.500 per liter, harga produk yang sama di Malaysia dijual Rp 5.420 per liter, dan China Rp 6.890 per liter. Bahkan, di Timor Leste, Thailand, dan Vietnam sudah ditetapkan Rp 7.990 per liter.

Sementara itu, harga premium di India Rp 10.380 per liter, Filipina Rp 10.650 per liter, dan Singapura Rp 13.680 per liter. Di Kamboja, yang relatif lebih miskin dari Indonesia, harga premium sudah Rp 11.300 per liter.

Kesimpulannya, menyubsidi BBM dan listrik Rp 265,6 triliun sama artinya dengan mengeluarkan uang Rp 727,6 miliar per hari hanya untuk ”membakarnya” tanpa ada sisa yang layak dinikmati.

Bayangkan jika uang itu digunakan untuk membangun sesuatu yang lebih produktif. ”Ini keputusan sulit dan dilematis, tetapi kekeliruan ini harus diakhiri,” ujar Sri Mulyani.

Hal itu juga yang dirasakan kalangan usaha. Ketua Komite Tetap Moneter dan Fiskal Kadin Indonesia Bambang Soesatyo mengatakan, kenaikan harga BBM terasa berat buat siapa pun, tetapi kepastian sikap pemerintah terhadap harga BBM akan mempermudah perhitungan rugi dan laba pengusaha.

”Meski demikian, para pelaku usaha belum dapat tidur nyenyak karena memikirkan dampak dan kerusakan ekonomi akibat kenaikan harga BBM yang disertai demonstrasi akhir-akhir ini. Ada satu yang melegakan. Karena dengan kepastian itu, bobot tekanan pada APBN-P 2008 direduksi,” tuturnya.

Tuesday, May 6, 2008

Presiden: Harga BBM Akan Naik

Selamatkan Ekonomi Rakyat
Selasa, 6 Mei 2008 | 00:30 WIB

Jakarta, Kompas - Rapat terbatas yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Senin (5/5), akhirnya memutuskan untuk menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi secara terbatas. Terbatas yang dimaksud adalah kenaikan harga masih dalam rentang jangkauan masyarakat dan pelaku usaha.

Sebelumnya, dalam dialog dengan pemilik dan pemimpin media massa, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan indikasi akan diambilnya kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak atau BBM menyusul tekanan berat kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

”Tahapan sekarang ini bukan lagi naik atau tidak naik (BBM). Kalau naik (BBM) berapa? Komoditas apa saja? Apakah naiknya 20 persen, 25 persen, atau 30 persen? Mengapa sampai pada angka itu? Kemudian instrumen yang menyertai kenaikan harga BBM apa saja?” ujar Presiden di Istana Negara.

Kebijakan pemerintah ini, selain akan diikuti dengan penghematan secara total konsumsi BBM dengan berbagai langkah, juga akan disertai dengan pemberian kompensasi yang cukup besar, khususnya bagi masyarakat golongan ekonomi lemah.

Senada dengan Presiden, berapa persentase kenaikan dan tanggal kepastian waktu pemberlakuan kenaikan harga BBM tersebut, Menko Perekonomian Boediono hanya mengatakan, masih dihitung rinci dan pada waktunya akan segera diumumkan.

”Soal besaran kenaikan harga BBM, pemerintah masih menghitung dan menyelesaikan persoalan teknisnya. Akan tetapi, besarannya masih dalam jangkauan yang bisa ditanggung masyarakat, apalagi dibarengi dengan pemberian kompensasi. Masalah pengumuman kenaikannya, tunggu beberapa minggu ke depan,” kata Boediono.

Menurut informasi yang dihimpun Kompas, besaran kenaikan yang tengah dihitung adalah rata-rata 30 persen, dengan perkiraan pengurangan anggaran subsidi mencapai Rp 30 triliun. Kenaikan harga BBM itu disebut-sebut paling lambat diputuskan pada 1 Juni mendatang.

”Kami saat ini tengah menyiapkan suatu langkah kebijakan dengan tujuan untuk mengamankan APBN tahun 2008 maupun 2009. Dengan fokus pada masalah subsidi BBM dan listrik, ini kita lakukan dalam satu paket, yang terdiri dari tiga elemen,” ujar Boediono.

Penghematan total

Menurut Boediono, tiga elemen yang merupakan satu paket kesatuan, terdiri dari penghematan konsumsi BBM secara total, kenaikan harga beberapa BBM bersubsidi secara terbatas, dan kompensasi bagi mereka yang berpenghasilan rendah.

”Penghematan yang dilakukan antara lain melalui konversi energi, penghitungan tarif listrik dengan disinsentif, dan pengaturan penggunaan listrik di kantor-kantor. Sedangkan penghematan BBM, dengan menggunakan kartu kendali (smart card) untuk membatasi premium dan solar bersubsidi yang diuji coba di beberapa daerah,” kata Boediono.

Pemerintah, tambah Boediono, juga terus melakukan program penghematan belanja negara yang sudah diputuskan APBN-P 2008, baik penerimaan pajak maupun nonpajak.

>subinteri<>

Ditanya mengenai besaran anggaran yang bisa dihemat dari kenaikan harga BBM, penghematan dan pemberian kompensasi BBM, Menkeu mengaku masih harus menghitung lagi. ”Akan tetapi, kami upayakan agar defisit anggaran di APBN-P 2008 tetap di bawah 2 persen dari produk domestik bruto,” ujar Menkeu.

Makin cepat makin baik

Terkait rencana kenaikan harga BBM, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia MS Hidayat mengatakan, hingga saat ini Kadin masih menantikan kebijakan konkret pemerintah menyangkut krisis BBM. Semakin cepat diambil kebijakan, semakin baik bagi dunia usaha. ”Dengan begitu, spekulasi-spekulasi yang terjadi terutama di pasar finansial dapat segera ditiadakan,” kata Hidayat.

Menurut Hidayat, pasar finansial mengharapkan sinyal pemerintah secepatnya untuk menghitung langkah menanggulangi krisis BBM. Kadin mengkhawatirkan, kelambanan pemerintah dalam mengambil kebijakan BBM akan membuat larinya permodalan.

Kadin mengakui, kebijakan kenaikan harga BBM kelak akan membuat daya beli, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah, semakin menurun. Untuk itu, Kadin sudah secara resmi melayangkan surat untuk memberikan bantuan tunai langsung ke kantong-kantong kemiskinan.

Selamatkan ekonomi rakyat

Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi Pri Agung Rakhmanto mengingatkan, dalam rencana kenaikan harga BBM, yang terpenting adalah menyelamatkan daya beli dan kehidupan ekonomi masyarakat, bukan menyelamatkan anggaran negara. Pemerintah harus menjabarkan program kompensasi secara lebih konkret sehingga bisa diukur manfaatnya bagi masyarakat.

”Kalau pemerintah mengatakan akan membuka lapangan kerja, berapa banyak dan di wilayah mana saja, melalui program apa. Untuk bantuan langsung tunai, terus terang melihat pelaksanaannya pada kenaikan harga BBM tahun 2005, saya meragukan efektivitasnya,” ujarnya.

Menurut Pri Agung, kesiapan program kompensasi yang memadai jauh lebih penting sebelum memutuskan besaran kenaikan.

Pemerintah, kata Pri Agung, harus menyampaikan secara terbuka dasar perhitungan kenaikan harga BBM. Sebab, apabila dilihat dari sisi harga minyak saja, realisasi harga minyak mentah Indonesia Januari-April 2008 baru sekitar 99 dollar AS per barrel, atau hanya selisih 4 dollar AS dari asumsi APBN-P yang sebesar 95 dollar AS per barrel.

Alokasi subsidi BBM dalam APBN Perubahan 2008 ditetapkan Rp 126,82 triliun dengan asumsi harga minyak 95 dollar AS per barrel dan volume BBM subsidi 35 juta kiloliter. APBN-P masih memberikan dana cadangan atau bantalan sebesar Rp 18,3 triliun apabila asumsi harga minyak dan volume BBM meleset.
(INU/HAR/OSA/ LKT/MDN/CHE/DOT)

1,5 Miliar Orang Miskin

14 Negara Terdampak Kenaikan Harga Makanan dan Minyak Mentah
Minggu, 4 Mei 2008 | 00:51 WIB

Madrid, Kompas - Para donor yang tergabung dalam Dana Pembangunan Asia atau ADF menyetujui pengalokasian dana 11,3 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 104,751 triliun untuk penggunaan empat tahun ke depan, khusus untuk memerangi kemiskinan di kawasan Asia Pasifik.

Alokasi dana yang akan disalurkan melalui Bank Pembangunan Asia (ADB) itu dinaikkan 60 persen dibandingkan dengan fase empat tahun sebelumnya karena tekanan yang dialami masyarakat miskin Asia Pasifik semakin berat akibat kenaikan harga pangan dan minyak mentah.

”Kesepakatan para donor diperoleh di Madrid kemarin,” ujar Presiden ADB Haruhiko Kuroda dalam satu sesi konferensi pers di sela-sela Sidang Tahunan ADB Ke-41 di Madrid, Spanyol, Sabtu (3/5).

Menurut Kuroda, dana tersebut akan digunakan untuk mengangkat sekitar 1,5 miliar orang miskin di Asia Pasifik dari kemiskinannya. Ini dilakukan dengan memastikan adanya dukungan infrastruktur memadai, antara lain akses jalan, air bersih, dan jaringan listrik.

”Kami tidak hanya memikirkan solusi jangka pendek, yakni mempertahankan daya beli masyarakat, tetapi juga solusi jangka menengah dan panjang, yaitu meningkatkan produktivitas pertanian. Caranya adalah memastikan ada akses jalan di pedesaan, sistem irigasi yang baik, serta pembiayaan ke desa-desa. Itu yang kami lakukan sekarang untuk menahan dampak kenaikan harga komoditas pangan yang terjadi dalam empat bulan terakhir ini,” ujarnya.

Kuroda tidak menyebutkan negara-negara yang akan mendapatkan bantuan. Dalam sebuah laporan penelitian yang dipimpin Deputi Direktur Jenderal ADB untuk Wilayah Asia Selatan S Hafeez Rahman, disebutkan bahwa setidaknya ada 14 negara yang terkena dampak kenaikan harga makanan dan minyak mentah.

Naik 100 persen

Negara-negara yang terkena dampak adalah Afganistan, Banglades, Kamboja, China, India, Indonesia, Kirgistan, Mongolia, Nepal, Pakistan, Filipina, Sri Lanka, Tajikistan, dan Vietnam. Negara yang terkena dampak paling serius adalah Banglades dan Kamboja, Kirgistan, dan Tajikistan.

Itu ditunjukkan dengan kenaikan harga beras 100 persen pada periode Maret 2007-Maret 2008 di Banglades dan Kamboja serta peningkatan harga terigu sebesar 100 persen di Tajikistan dan Kirgistan. Dalam laporan ADB, Indonesia disebutkan hanya terkena dampak kenaikan harga beras. Itu pun hanya 8,7 persen.

Kuroda menegaskan, masyarakat miskin di Asia dan Pasifik mendesak untuk dilindungi karena 60 persen dari total penghasilannya untuk membeli makanan. Padahal jumlah penghasilan mereka rata-rata di bawah 2 dollar AS per hari atau sekitar Rp 19.000 per hari. Saat harga komoditas pangan meningkat tajam seluruh penghasilannya akan terdegradasi.

Dalam sidang tahunan ADB di Madrid, delegasi Indonesia dipimpin Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Goeltom.

Pada kesempatan ini delegasi Indonesia membawa serta perusahaan penyelenggara kegiatan PT Royalindo Expoduta untuk mempromosikan Bali, tempat penyelenggaraan sidang tahunan ADB ke-42 tahun 2009. (Orin Basuki)

Friday, May 2, 2008

May Day, Hari Penuh Harapan


Sejak zaman purbakala, tanggal 1 Mei memiliki arti khusus bagi orang-orang yang tinggal di belahan utara bumi. Tanggal 1 Mei adalah awal dimulainya musim panas.

Dalam kebudayaan Celtic ada festival Beltane, festival yang dirayakan pada 1 Mei.Saat itulah ternak dilepas di padang rumput yang sedang subur-suburnya di musim panas. Pada perayaan ini, para pemimpin spiritual Celtic akan menyalakan api unggun raksasa di tengah permukiman sebagai perlambang harapan akan datangnya panen berlimpah di bulan-bulan yang akan datang.

Orang-orang dari kebudayaan Germanik memiliki festival musim panas, yang berlangsung sejak malam 30 April sampai 1 Mei. Pada malam 30 April, orang menyalakan api unggun besar untuk menangkal sial dan gangguan roh-roh jahat. Dengan begitu, tanggal 1 Mei menjadi hari dengan harapan baru muncul, bebas dari kesialan dan roh jahat. Masih banyak festival seperti ini di seluruh Eropa, baik pada zaman pra-Nasrani maupun setelah agama Nasrani meresap ke seluruh tatanan masyarakat.

Jadi, sudah sejak lama sekali tanggal 1 Mei menjadi sebuah tanggal yang melambangkan harapan akan hari depan, yang bebas dari keterikatan, bebas dari kekuatan jahat, bebas dari beban penderitaan hidup. Gereja Katolik tentu berusaha melarang perayaan festival pemujaan dewadewa semacam ini.Tapi sebagaimana halnya upaya pelarangan tradisi yang banyak terjadi di seluruh dunia, upaya ini tidak sepenuhnya berhasil. Perayaan-perayaan ini terus dilangsungkan di seluruh Eropa sampai 1700-an.

Kelanjutan Tradisi

Tradisi perayaan May Day tradisional di Eropa diteruskan oleh masyarakat perkotaan yang kebanyakan terdiri atas para perajin yang tergabung dalam gilda-gilda. Pada hari itu, masyarakat perkotaan akan mengadakan pesta, memilih seorang "Ratu Mei" yang akan menjadi perlambang rezeki baik dan menobatkan seorang Robin Goodfellow, Lord of Misrule.Robin Goodfellow ini akan dijadikan raja sehari dan dijadikan bahan olokolok oleh seluruh peserta pawai.

Untuk satu hari, pada hari perayaan 1 Mei, May Day,"Raja menjadi sasaran olok-olok". Tentu saja, para bangsawan dan jajaran penguasa lainnya memandang perayaan ini dengan rasa tidak senang-aroma pemberontakan di dalamnya terlalu keras untuk diabaikan begitu saja. Jadi, nasib perayaan yang muncul dalam bentuk baru ini pun mendapat tentangan dari para penguasa.

Upaya-upaya pemerintah dan Gereja untuk memberangus perayaan ini berlangsung di mana-mana. Bahkan di Inggris, perayaan May Day dinyatakan sebagai aktivitas terlarang pada 1600-an. Tongkat estafet untuk perayaan May Day diambil oleh gerakan buruh. Kelas buruh, yang muncul sebagai akibat peralihan sistem produksi gilda menjadi sistem industrial, mewarisi semangat penentangan terhadap kekuasaan yang dilambangkan oleh perayaan May Day dari para pendahulu mereka.

Karena itu tidaklah mengherankan bahwa seruan demonstrasi pada 1 Mei 1886 yang dikumandangkan oleh Knights of Labor, salah satu serikat buruh terpenting di Amerika Serikat di abad ke- 19, disambut oleh ratusan ribu pekerja di sana. Demonstrasi yang dilangsungkan di seluruh Amerika pada 1 Mei 1886 itu adalah hasil sebuah kampanye terorganisir untuk memangkas jam kerja menjadi hanya delapan jam sehari.

Kampanye ini sudah dimulai di era 1860-an, segera setelah selesainya perang sipil yang menghancurkan sistem perbudakan di Negeri Paman Sam itu. Kampanye perbaikan upah memang sering lebih disorot, namun bagi buruh, upah setinggi apa pun tidak akan banyak gunanya jika mereka diharuskan bekerja dua belas sampai lima belas jam di pabrik-pabrik- jauh di atas kemampuan normal manusia untuk bekerja.

Bahkan kerja delapan belas jam bukan satu hal yang jarang dijumpai di tengah industri Eropa dan Amerika Serikat masa itu. Kelelahan yang akut akan membuat seseorang tidak lagi dapat menikmati hasil cucuran keringatnya sendiri. Di samping itu, karena waktu terjaga dihabiskan untuk bekerja, seorang buruh tidak akan lagi memiliki waktu untuk olah jiwa, untuk rekreasi, untuk mengembangkan diri, dan kepribadian.

Seorang buruh benar-benar menjadi sebuah mesin, yang akan digantikan begitu saja demikian mesin itu mengalami keausan. Karena itu, kampanye untuk pemotongan jam kerja merupakan salah satu kampanye terpenting untuk menjamin kesejahteraan buruh. Kampanye peningkatan upah, tanpa diimbangi dengan kampanye pemotongan jam kerja, tidak akan berarti banyak bagi peningkatan kesejahteraan buruh.

Peristiwa Haymarket Square, yang sering ditunjuk sebagai patokan bagi perayaan May Day di masa modern, merupakan bagian dari sebuah aksi nasional yang berlangsung di seluruh Amerika Serikat. Aksi ini dipersiapkan selama setahun oleh Federation of Organized Trades and Labor Unions dan Knights of Labor.

Di seluruh Amerika Serikat, represi oleh kepolisian berlangsung di seluruh kota-kota industri, namun di Chicagolah represi berlangsung paling keras dan menimbulkan korban tewas, baik di pihak buruh maupun polisi. Pengadilan yang dilangsungkan sesudahnya atas para pimpinan demonstrasi di Haymarket Square menghasilkan hukuman gantung bagi Albert Parsons, August Spies, George Engle, dan Adolph Fischer.

Perlambang Harapan

Walau demikian, sekalipun 1 Mei 1886 berakhir dengan banyak kekalahan di pihak gerakan buruh, tuntutan delapan jam kerja yang kemudian dikumandangkan tiap tahun pada 1 Mei akhirnya mengalami kemenangan di mana-mana. Saat ini, kalau pekerja di seluruh dunia menikmati delapan jam kerja sehari, seharusnya mereka mengingat bahwa salah satu tonggak penting perjuangan untuk mencapai itu dirayakan tiap tahun pada tanggal 1 Mei.

Sejak zaman purbakala, May Day telah menjadi hari di mana pengorbanan diberikan, untuk menumbuhkan harapan dan membangkitkan tenaga juang untuk meraih hari depan yang lebih baik. Perayaan 1 Mei telah diwariskan dari zaman ke zaman, lewat generasi demi generasi, untuk selalu menjaga api harapan berkobar di dada mereka yang berjuang demi kesejahteraan, demi masa depan yang lebih cerah dan gemilang. (*)

Ken Budha Kusumandaru
Penulis adalah anggota Komite Pusat Perhimpunan Rakyat Pekerja
(//mbs)

Pemborosan dan Konversi Energi


Sekitar dua pekan lalu (8/4/2008), Presiden memarahi salah satu bupati yang tertidur ketika beliau berpidato. Serta-merta kejadian memalukan yang menimpa salah satu bupati peserta Forum Konsolidasi Pimpinan Daerah di Gedung Lemhannas itu menjadi konsumsi media massa.

Kejadian itu tentu menarik, namun mungkin sudah tidak ada gunanya lagi kita perdebatkan. Yang patut jadi perhatian adalah tema pidato yang disampaikan Presiden dalam kesempatan tersebut. Presiden menekankan pentingnya mengubah gaya hidup masyarakat dalam penggunaan energi.

Gaya hidup bangsa ini sangat boros, padahal krisis energi sedang mengombangambingkan perekonomian Indonesia. Indonesia yang anggota OPEC ini saja sudah menjadi net-importer. Tercatat, total dana subsidi bidang energi mencapai Rp187,1 triliun atau setara 79,8 persen dari beban subsidi di APBNP yang mencapai Rp234,4 triliun.

Dari besaran tersebut, subsidi untuk bahan bakar minyak (BBM) mencapai Rp126,8 triliun, sedangkan subsidi listrik Rp60,2 triliun. Subsidi untuk sektor nonenergi dianggarkan hanya sebesar Rp47,2 triliun (SINDO, 14/4). Sekalipun satu bupati tidak mendengarkan kekhawatiran Presiden, setidaknya bupati-bupati dan wali kota-wali kota lainnya dapat menangkap kekhawatiran Presiden tersebut.

Pemborosan


Ada tiga sektor utama yang menyebabkan pemborosan di Indonesia. Sektor-sektor tersebut masih terus tumbuh dan bisa mengakibatkan keruntuhan perekonomian Indonesia jika tak jua ditangani. Mengambil istilah Thomas Robert Malthus dalam konsep pangan, bila penyediaan minyak bumi Indonesia tak mampu mengikuti laju pertumbuhan pemakaian yang tak terkendali, bisa saja terjadi kiamat energi nasional yang dibarengi lumpuhnya perekonomian.

Ketiga sektor tersebut, pertama, pola kepemilikan dan pemakaian kendaraan pribadi. Kendaraan pribadi telah lama dijadikan simbol kemapanan. Permintaan untuk produk konsumsi ini selalu menanjak. Bahkan pada 2007 saja para produsen mobil mampu menjual 434.437 unit mobil. Jumlah tersebut meningkat 36,2 persen dibanding 2006, saat mobil terjual sebanyak 318.904 unit.

Segendang sepenarian, produsen motor pun menikmati penjualan yang terus melesat akibat pola konsumtif bangsa ini. Tahun lalu 4.688.263 motor terjual, naik 5,89 persen dari penjualan tahun 2006 yang mencapai 4.427.342 unit motor. Kedua, pola pemakaian listrik yang berlebihan dan boros tenaga.

Bangsa ini memang sudah lama terkenal konsumtif. Kepemilikan alat elektronik dalam satu keluarga sering kali berlebihan. Ketiga, manajemen transportasi yang buruk. Hari-hari tanpa macet bak masakan tanpa garam. Padahal, kerugian yang ditimbulkan sangat besar. Berdasarkan perhitungan Bappenas, pemborosan bahan bakar minyak ratarata untuk mobil yang terjebak kemacetan sebesar 1,75 liter dan 0,35 liter per hari untuk sepeda motor.

Dari segi nilai, berdasarkan perhitungan Study on Integrated Transportation Master Plan for Jabodetabek (Sitramp 2004), kerugian akibat kemacetan lalu lintas di DKI Jakarta saja mencapai Rp8,3 triliun per tahun. Angka tersebut mencakup biaya operasional, waktu, dan kesehatan. Belum lagi jika dihitung kerugian seluruh Indonesia.

Konversi dan Penghematan

Minyak bumi merupakan pedang bermata dua. Di satu sisi merupakan rahmat bagi bangsa ini, sekaligus akan menjadi "pembunuh" paling efektif karena kita sudah terlengah oleh segala kemudahan yang didapat dari rahmat tersebut. Wacana saat ini yang paling sering digembor-gemborkan adalah diversifikasi energi atau umum kita kenal sebagai konversi. Program ini jelas harus didukung.

Kesalahan dalam penanganan yang dilakukan pemerintah harusnya jangan jadi alasan bagi masyarakat untuk menilai secara parsial program ini sebagai suatu kesalahan. Tentu kita semua tak ingin akhirnya ekonomi Indonesia kolaps akibat kesalahan rakyat dalam memahami maksud konversi energi yang dilakukan pemerintah.

Langkah yang diambil pemerintah untuk melakukan konsumsi bahan bakar di tingkat dasar konsumen adalah langkah yang tepat. Pengalihan dari minyak tanah ke elpiji menjadi wacana paling ideal karena Indonesia salah satu produsen gas bumi dunia. Selama ini, gas bumi lebih banyak diekspor dengan harga murah.

Lalu kenapa tidak untuk dimanfaatkan di dalam negeri untuk mengurangi beban subsidi? Namun, antrean mengular pembeli gas adalah salah satu kesalahan dalam program konversi ini yang membuat banyak pihak cenderung apatis dengan proyek yang menjanjikan ini. Minyak tanah secara perlahan tapi pasti menghilang dari pasaran, sementara gas makin sulit didapat sehingga harga meroket sesuai mekanisme pasar.

Niat baik pemerintah belum ditopang kinerja aparat di lapangan dalam mengamankan pasokan. Ketim pangan suplai dan permintaan tersebut tentu menyengsarakan rakyat. Titik inilah yang membutuhkan manajemen maksimal dari pemerintah. Indonesia juga harus mengonversi bahan bakar pada banyak pembangkit listrik. Saat ini banyak yang masih memakai minyak bumi.

Rencana diversifikasi energi yang tertuang dalam Peraturan Presiden No 5/2006 harus konsisten dilaksanakan dan diwujudkan. Dalam peraturan tersebut diskemakan bahwa pada 2025 Indonesia hanya akan mengonsumsi minyak bumi sebesar 40% dari jumlah konsumsi 2006. Pemakaian energi akan dialihkan ke gas alam, batu bara, dan sumber energi terbarukan.

Terakhir, dan mungkin yang paling tidak populer, pemerintah memang sudah seharusnya mencabut subsidi bahan bakar, terutama untuk kendaraan pribadi. Pemerintah bisa mengalihkannya untuk pengembangan transportasi massal sehingga masyarakat dengan sendirinya akan beralih moda transportasi.

Terlalu dimanjakannya bangsa ini oleh sumber energi yang murah membuat bangsa ini secara tak sadar melakukan pemborosan. Pemerintah harus berani menerapkan insentif dan disinsentif dalam pemanfaatan energi. Implementasinya bisa jadi dalam memberikan pajak yang sangat besar untuk barang-barang konsumsi yang boros energi. Atau mungkin pemerintah memberikan insentif besar-besaran untuk pengembangan transportasi massal. (*)

B Setia Prakarsa MSC
Pemerhati Masalah Energi Alumnus Westminster Business School
(//mbs)

Minyak, Pemicu Revolusi


Jangan kaget dulu, tulisan ini tidak bermaksud menakut-nakuti, meneror, apalagi menambah kalut suasana.Sebab,pemicu revolusi di sini maknanya positif.

Percaya atau tidakkah Anda, pada akhirnya minyak akan mendorong perubahan perilaku kita secara cepat dalam bernegara. Sebab,kini pemerintah mulai direpotkan untuk merespons harga minyak yang terus naik secara drastis melampaui ambang batas 100 dolar AS setiap barel.Bahkan,skenario terburuk sudah harus disiapkan walau tampaknya terlambat karena negara lain telah jauh-jauh hari melakukannya dengan berbagai rencana cadangan darurat secara berlapis.

Itu karena minyak merupakan faktor pengubah yang hebat. Kini, minyak lebih tepat digambarkan sebagai agen atau pemicu revolusi, bukan lagi sekadar variabel yang banyak kita kenal dalam penelitian atau matematika.

Di beberapa negara seperti Nigeria di Afrika, minyak telah menjadi kutukan karena ia telah membawa negara ke jurang kemiskinan, keterbelakangan, dan ketergantungan, yang membawa negara itu ke jurang kehancuran secara total sebagai negara gagal (failed state). Karena itu, peran minyak di sana secara pesimistis dilihat selamanya akan buruk karena selama ini tidak membawa perubahan apa-apa dan malah membuat rakyat mengalami kesengsaraan yang lebih buruk.

Konsekuensi Kumulatif

Dalam argumen saya, untuk kasus Indonesia, minyak justru akan menjadi pendorong perubahan secara besar-besaran dan cepat, membawa negara menuju ke arah yang lebih konstruktif.Namun sebelum mencapai kondisi untuk mendorong perubahan ini, dibutuhkan kondisionalitas, yakni harganya di pasar dunia harus mencapai tingkat yang jauh lebih tinggi dari sekarang seperti 150 dan bahkan 200 dolar AS setiap barel.

Jadi, asumsinya, semakin tinggi kenaikan harga minyak akan semakin baik untuk memicu perubahan cepat dan signifikan. Maaf saja, dengan pandangan ini, penulis seolah tidak berempati terhadap nasib rakyat kebanyakan, apalagi yang berkategori paling miskin, yang sangat rentan menjadi korban melambungnya harga minyak di pasar dunia.

Namun,setelah m e n g i k u t i penjelasan selanjutnya, tentu para pembaca dapat memahami argumen tersebut dan mungkin akan sependapat. Pertama-tama, patut dikemukakan bahwa posisi minyak sekarang sudah lebih dari sekadar energi utama penggerak industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi. Harus disadari, minyak telah menjadi penentu masa depan negara-negara dan dunia.

Karena melambungnya harga minyak akan mengancam keamanan manusia (human security) dan negara (state security) secara simultan.Sudahkah dibayangkan, apa implikasinya jika subsidi minyak tanah yang banyak menolong rakyat kecil di Indonesia selama ini dihilangkan sama sekali? Kerusuhan dan tindakan anarki tentu akan muncul di mana-mana mengingat mayoritas rakyat di negeri ini mengonsumsi minyak tanah.

Jadi, yang akan resah dan bertindak anarkistis tidak hanya pedagang warteg dan gorengan, tetapi juga rumah-rumah tangga di seluruh Indonesia.Yang tidak kecil dampaknya juga adalah jika subsidi bensin yang dinikmati kalangan kelas menengah ke atas dihapus. Sebab, kelas menengah dan kalangan borjuasi Indonesia bukan kelompok yang mau berkorban dan terpanggil menjadi pelopor perubahan, melainkan kelas yang sangat manja dan cepat marah jika kenikmatannya terganggu.

Selain itu,kenaikan BBM untuk kelas menengah ke atas dan industri berdampak juga menciptakan pengangguran baru dan menaikkan biaya transportasi, yang semuanya akan memberi implikasi ganda terhadap lapisan rakyat terbawah. Kedua, bersama-sama dengan resesi ekonomi AS akibat kredit macet perumahan (subprime mortgage) yang berimplikasi global menciptakan angka inflasi yang besar, naiknya harga minyak dunia tanpa tertahan akan memicu krisis pangan di banyak negara berkembang dan miskin.

Di Haiti, contohnya, kerusuhan sosial yang semula merupakan aksi-aksi penjarahan telah menumbangkan pemerintahan akibat harga pangan yang melonjak setelah meroketnya harga minyak dunia. Di negara-negara lain akan menyusul seiring dengan cadangan pangan dan devisa yang menipis karena defisit anggaran untuk membayar pembengkakan belanja minyak.

Di Indonesia, masa akhir pemerintahan Soeharto telah memberikan pembelajaran yang baik tentang collapse-nya rezim yang telah tiga dasawarsa sangat berkuasa akibat kebijakan menaikkan harga BBM setelah negara mulai dilanda krisis. Karena itu, keliru sama sekali jika melonjaknya harga minyak secara drastis dan tidak tertahan serta krisis pangan yang menyertainya akibat integrasi sistem ekonomi global yang kuat dewasa ini tidak segera diantisipasi dampaknya terhadap kondisi keamanan negara dan stabilitas rezim.

Ultimatum Perubahan

Sebagai konsekuensinya,jika tidak ingin lumpuh dan jatuh, pemerintah nasional harus segera menyikapinya dengan melakukan berbagai perubahan kebijakan yang revolusioner. Kesalahan Soeharto dulu adalah ia terlalu percaya diri dengan kemampuannya bertahan selama ini.Paling tidak, secara rasional, jika pemerintah yang berkuasa cerdas,ia harus segera mengambil langkah-langkah efisiensi.

Yang lebih mudah dan rendah resistensinya adalah dengan memotong "anggaran kemewahan" yang dinikmati pejabat seperti penarikan rumah dan mobil dinas pribadi, pengurangan drastis perjalanan dinas, terutama ke luar negeri, dan anggaran belanja barang. Yang lebih progresif, tunjangan pembelian baju buat pejabat,pengawalan, konsumsi makanan untuk rapat-rapat, serta subsidi listrik dan BBM untuk pejabat tidak perlu diadakan lagi.

Dengan demikian, jika birokrasi, prosedur, dan fasilitas penunjangnya segera dirampingkan, korupsi akan jauh berkurang. Secara rasional, kenaikan harga minyak di pasar dunia seharusnya memang dapat memaksa pemerintah bekerja lebih serius.Jika tidak,ia akan dikatakan bebal karena tidak berkeinginan mendorong lebih serius reformasi dan penegakan hukum.

Tidak ada pilihan lain, jika ingin bertahan sampai pemilu berikutnya dan terpilih lagi, pemerintah harus melakukan langkah itu. Selama ini, boleh saja eksekutif, legislatif, dan yudikatif tutup mata terhadap berbagai praktik penyimpangan. Namun, jika uang negara yang ingin dikorupsi sudah tidak tersedia lagi,yang akan terjadi adalah tekanan dan keterpaksaan untuk melakukan perubahan.

Defisit keuangan negara bisa saja ditutup dengan utang luar negeri yang besar.Namun,upaya ini tetap tidak bisa menghindari terjadinya revolusi sosial karena keadaan akan semakin buruk akibat jebakan utang dan sikap antiasing yang semakin dalam. Siapa yang bertelinga, hendaklah mendengar, terutama para pemegang kekuasaan,karena jika tidak,sebentar lagi mereka akan kehilangan kekuasaan mereka.

Sekali lagi, ini hanya soal waktu saja dan tulisan ini bukan provokasi, apalagi catatan subversif,melainkan early warning untuk segera mengubah sikap dan kebijakan demi menyelamatkan negara dari munculnya anarkisme baru dan jatuh-bangunnya rezim secara kontinu dalam waktu pendek, melalui mekanisme yang tidak tertib.

Melakukan perubahan karena dipaksa keadaan tentu tidak enak dan akan lebih baik jika segera menyiapkan skenario terburuk dan langkah untuk mengatasi masalah yang akan lebih berat dihadapi negeri ini, sesulit apa pun, dengan memulainya dari langkah yang paling mudah.(*)

Poltak Partogi Nainggolan
Penulis adalah Kandidat Doktor Ilmu Politik Universitaet Freiburg, Jerman