Kenaikan harga bahan bakar minyak rata-rata sebesar 28,7 persen seharusnya dijadikan momentum untuk memperbaiki sektor transportasi nasional. Sudah waktunya pemerintah fokus dan membuat konsep yang tepat untuk memilih jenis transportasi massal apa yang akan dikembangkan.
Ketegasan ini menjadi penting bagi kalangan pelaku di industri otomotif ataupun industri ikutannya, kata Safiun, Dewan Supervisi Gabungan Industri Alat-Alat Mobil dan Motor.
Apabila pemerintah fokus, nilai tambah yang didapatkan oleh industri otomotif luar biasa besar. Industri mobil akan bertumbuh luar biasa. Dengan volume yang cukup, industri otomotif akan mampu mengembangkan industrinya di Indonesia.
Para pelaku ini tidak hanya akan memproduksi dengan kisaran puluhan ribu unit per tahunnya, tetapi bisa ratusan ribu unit. Sasaran pasarnya tidak hanya lokal, tetapi juga ASEAN ataupun pasar di negara prinsipal. Namun, yang lebih penting industri ikutannya akan bertumbuh luar biasa.
Misalnya, kata Safiun, yang dipilih industri massal angkutan bus busa secara jelas, sektor yang akan menikmati tidak hanya industri kelas pabrikan yang menghasilkan rangka dan mesin. Namun, juga sektor ikutan lainnya, seperti industri komponen, industri karoseri, dan industri tekstil yang bergerak di aksesori industri otomotif.
Dengan demikian, konsep puluhan tahun untuk mengembangkan industri massal tetap menjadi mimpi. Industri tidak jalan, panjang jalan hanya bertumbuh sangat kecil, dan industri komponen ataupun karoseri justru banyak yang gulung tikar.
Akibat inkonsistensi tersebut, industri otomotif akhirnya memilih mendapatkan produk apa adanya. Tidak sedikit bus atau angkutan massal yang ada saat ini produk yang boros energi. Belum memenuhi standar Euro II, apalagi Euro III yang dipersyaratkan oleh pasar dunia.
Dengan demikian, pengorbanan pemerintah mengembangkan industri otomotif melalui kebijakan impor mobil dalam keadaan terurai pada tahun 1974, peningkatan kandungan lokal tahun 1976, pola insentif tahun 1983, hingga mobil nasional pada tahun 1996 tidak menuai hasil maksimal.
Pasar mobil mengalami fluktuasi, dengan mobil murah dan umumnya berteknologi rendah. Mengantisipasi penurunan, produsen otomotif melakukan perakitan di industrinya. Sejak saat itu industri karoseri ataupun komponen banyak yang gulung tikar. Pasar kendaraan bus pun kian menurun.
Data Samapta Polri tahun 2007 menunjukkan, pasar bus tahun 1965-2007 hanya ada 2.854.990 unit. Jumlah itu hanya separuh dari jumlah kendaraan motor atau roda dua dari Januari sampai April 2007 yang mencapai 1,9 juta unit.
Dampaknya
Oleh karena itu, kepastian pengembangan transportasi massal menjadi penting. Apabila tidak, kondisi keruwetan jalan tidak akan pernah berubah. Dampaknya, mobilitas di jalan raya tak akan pernah berubah, kecepatannya hanya 15 kilometer per jam.
Kerugian yang dipetik dari semua itu tidak kecil. BBM kian boros dan angka impor BBM yang rata-rata kini mencapai 400.000-500.000 barrel per hari sulit ditekan.
Fakta ini pernah dilansir oleh Yayasan Pelangi—sebuah organisasi nirlaba yang bergerak dalam bidang penelitian transportasi—kemacetan yang terjadi di Jakarta mencapai Rp 43 triliun.
Kerugian itu berupa pemborosan bahan bakar minyak, waktu kerja, kerugian angkutan barang, dan angkutan penumpang umum. Kemacetan terjadi sebagai akibat dari tidak dibatasinya jumlah kendaraan pribadi. Dengan demikian, volume kendaraan akan terus bertambah melampaui daya tampung jalan.
Data Samapta Polri tahun 2007 memperlihatkan, total jumlah kendaraan selama tiga tahun terakhir melonjak tajam, terutama kendaraan roda dua.
Tahun 2004 jumlah motor di Jakarta baru mencapai 28.963.987 unit. Namun, tiga tahun kemudian, yakni 2007, naik menjadi 45.987.747 unit. Kuatnya daya sedot pasar ini karena mudahnya sistem kepemilikan kendaraan dengan cara kredit. Faktor itu semakin kuat setelah pemerintah menaikkan harga BBM jenis premium pada Oktober 2005, dari Rp 2.400 per liter menjadi Rp 4.500 per liter.
Efisiensi dan penghematan di tengah tingkat pendapatan masyarakat yang relatif tertekan oleh inflasi dan perusahaan tempat mereka bekerja, transportasi motor menjadi pilihan yang efektif. Hal itu menjadi pilihan masyarakat setelah pemerintah gagal menyediakan transportasi massal yang memadai. Bagi mereka transportasi massal itu bukan saja tidak aman, tidak nyaman, dan tidak murah, tetapi juga tidak tepat jadwal.
Mereka tidak mungkin memindahkan transportasinya dari kendaraan pribadi ke kendaraan umum. Motor mayoritas menjadi pilihan utama. Dampaknya, jalan kian ruwet, timbal kian banyak dihirup warga. Ujung dari semua persoalan, pasar mobil pun kian ikut tertekan. (AST)
No comments:
Post a Comment