Friday, May 30, 2008

Kekayaan Negara Rp 1.600 Triliun

Baru Pertama Laporan Keuangan Pemerintah Positif
Kamis, 29 Mei 2008 | 01:18 WIB

Jakarta, Kompas - Setelah tiga tahun berturut- turut negatif, kini neraca pemerintah dilaporkan positif karena nilai aset negara lebih tinggi dibanding utangnya. Nilai aset negara dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat atau LKPP 2007 mencapai Rp 1.600,21 triliun, sedangkan utangnya Rp 1.430,96 triliun.

”Ini pertama kalinya neraca pemerintah positif. Dengan pencapaian ini, saya sangat berharap Indonesia bisa segera masuk menjadi negara berkategori investment grade (negara dengan risiko fiskal sangat rendah sehingga surat utang pemerintah dan swasta dinilai aman dari risiko gagal bayar),” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Jakarta, Rabu (28/5).

Menurut Sri Mulyani, peningkatan nilai aset itu dimungkinkan karena pemerintah mendapatkan tambahan nilai aset dari revaluasi kekayaan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) migas senilai Rp 232,42 triliun. Ini mendongkrak nilai aset pemerintah hingga melampaui utangnya.

”Ini artinya, aset yang tercatat semakin banyak. Namun, saya yakin masih banyak aset negara yang belum terungkap,” ujarnya.

Direktur Jenderal Kekayaan Negara Depkeu Hadiyanto menyebutkan, nilai aset KKKS itu terdiri atas aset produksi senilai 24,6 miliar dollar AS dan aset nonproduksi 33,59 juta dollar.

”Penilaian ulang atas aset KKKS ini dimungkinkan karena setiap pemindahtanganan, baik dijual atau disewakan, aset KKKS harus direvaluasi oleh Ditjen Kekayaan Negara. Ini dilakukan karena aset KKKS merupakan aset pemerintah,” ujarnya.

Audit BPK

Berdasarkan hasil audit, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memutuskan untuk tidak memberikan pendapat (disclaimer) terhadap LKPP 2007. Artinya, pemerintah dianggap gagal memenuhi prinsip-prinsip pelaporan keuangan BPK.

Auditor Utama Keuangan Negara II BPK, Safri Adnan Baharuddin, menegaskan, pihaknya belum dapat mengumumkan hasil audit atas LKPP 2007 kepada publik. Ini karena BPK harus melaporkan hasil audit tersebut kepada DPR. (OIN)

Sunday, May 25, 2008

Harga BBM, Buah Si Malakama?

Sabtu, 24 Mei 2008 | 03:00 WIB

Ivan A Hadar

Seakan buah si malakama, bila harga BBM dinaikkan, dampaknya memicu harga-harga bahan pokok yang menyengsarakan masyarakat miskin. Sebaliknya, bila memilih tidak menaikkan harga BBM, dipastikan akibat melonjaknya harga BBM di pasar internasional, defisit anggaran bisa mencapai angka ratusan triliun. Pemerintah akhirnya memutuskan menaikkan harga BBM bersubsidi di bawah 30 persen. Pada saat yang sama, dana dari penghematan subsidi rencananya akan disalurkan lewat bantuan langsung tunai kepada orang miskin.

Wapres Jusuf Kalla berargumen, ”Akan jauh lebih banyak orang miskin jika negara tak mampu menanggung beban subsidi karena defisit anggaran bisa mencapai 4 atau 5 persen.” Selain itu, semakin besar subsidi BBM, semakin besar ketidakadilan dibiarkan terus dilakukan. Berdasarkan hitungannya, 80 persen subsidi dinikmati orang mampu yang memakai premium dan solar untuk kendaraan pribadinya (Kompas, 11/5/2008). Cukup masuk di akal, meski sebenarnya telah banyak waktu terbuang tanpa ada upaya serius pemerintah untuk keluar dari jebakan buah simalakama. Suara kontra menilai kenaikan harga BBM hanya merupakan jalan pintas pemerintah untuk melepaskan diri dari beban keuangan negara. Kebijakan tersebut dipastikan menuai dampak buruk yang melemahkan daya beli masyarakat, meningkatkan kemiskinan, dan memukul sektor usaha.

Tingkat kemiskinan, misalnya, diperkirakan akan melonjak tajam menjadi sekitar 52 juta jiwa (25,4 persen) dari 36,6 juta jiwa (16,85 persen). Padahal, ada sejumlah kebijakan alternatif yang dapat ditempuh, seperti melakukan negosiasi dengan para kreditor untuk refinancing atau reprofiling utang, menaikkan sektor perpajakan dan pemangkasan biaya pengadaan BBM. Selain itu, makin seriusnya krisis BBM merupakan saat yang tepat untuk menoleh kepada sumber energi nonkonvensional, baik dalam lingkup perorangan, industri, maupun nasional. Karena, sebenarnya, negeri ini amat diberkati oleh sinar matahari, angin, geotermal, dan ombak pantai berlimpah (Kompas, 8-9/5/2008).

Energi sinar matahari yang dipancarkan ke planet Bumi, misalnya, 15.000 kali lebih besar dibandingkan penggunaan energi global dan 100 kali dibandingkan cadangan batu bara, gas, dan minyak bumi. Sementara teknologi mutakhir telah mampu mengubah 10-20 persen pancaran sinar matahari tersebut menjadi energi. Secara teoretis, untuk mencukupi kebutuhan energi global, penempatan peralatan tersebut hanya memerlukan kurang dari 1 persen permukaan bumi. Sebuah besaran yang jauh lebih kecil dibandingkan lahan yang dibutuhkan bendungan pembangkit tenaga listrik.

Mulanya sumber energi ini dikembangkan penggunaannya bagi satelit ruang angkasa. Kini, pemanfaatannya mulai menyebar ke kawasan industri, rumah pribadi, dan bahkan ke pelosok desa. Tak lama lagi ia diramal akan menjadi sumber energi pada pembangkit tenaga listrik kapasitas besar. Sejak harga minyak pasar internasional mencapai 60 dollar AS per barrel, minat industri pembangkit tenaga listrik pada sumber energi terperbarui semakin membesar. Pertimbangan ekonomi menjadi alasan pertama.

Kenyataannya, kini, persaingan ini telah terjadi di negara-negara industri, khususnya di sektor industri kecil dan menengah. Menurut Report on World Development (UN, 1992), kebutuhan energi global dalam 30 tahun ke depan meningkat dua kali lipat per tahun. Dan, 40 tahun mendatang, kebutuhan tersebut menjadi tiga kali lipat atau sepadan dengan energi 20 miliar ton minyak bumi.

Perkembangan ini ditaksir bakal mahal karena eksploitasi dan eksplorasinya lebih sulit. Ada baiknya kita bayangkan bahwa penggunaan 20 miliar ton energi per tahun itu memerlukan biaya sebesar 4,5 triliun dollar AS. Separuhnya adalah pengeluaran negara-negara berkembang. Indonesia yang setiap tahun disinari energi matahari sebesar 2.500 kw per hrs berpotensi besar untuk keluar dari ketergantungan pada energi fosil, seperti BBM.

Selain itu, kelebihan energi matahari yang sering diungkapkan adalah pembakarannya tidak menghasilkan CO2, SO2, dan gas racun lainnya. Uraian singkat tentang dua pembangkit energi dari sinar matahari, yaitu solar thermal dan photogalvanic, berikut ini menggambarkan hal tersebut. Keduanya tak membutuhkan areal yang luas bagi peralatannya. Ide awal tentang pembangkit tenaga listrik solar thermal sudah sangat tua. Pembangkit listrik pertama dibangun di Mesir tahun 1912, tetapi ditutup saat usai Perang Dunia I karena rendahnya harga minyak. Prinsipnya, sederhana. Sinar matahari diperkuat oleh cermin yang mengalihkannya ke alat penyerap berisi cairan. Cairan ini memanas dan menghasilkan uap yang membangkitkan generator turbo pembangkit tenaga listrik. Di California, AS, alat ini telah mampu menghasilkan 354 megawatt listrik. Saat ini, di Indonesia, harga satuan energi matahari 4-5 dollar AS per W, cukup ekonomis untuk penggunaan secara massal.

Sementara itu, pengembangan pembangkit listrik photogalvanic berkembang cepat sejak dua dasawarsa terakhir. Harga peralatannya merosot tajam berkat keberhasilan teknologi, padahal kebijakan energi nasional maupun internasional sama sekali tidak mendukung. Subsidi besar-besaran hanyalah untuk pembangkit tenaga listrik dengan sumber energi fosil dan nuklir. Energi photo electric pertama kali diungkapkan Edmond Bacquerel, tahun 1839. Penggunaannya yang terbaru menggunakan sel-sel photogalvanic. Akibat sengatan sinar matahari, sel-sel tersebut melepaskan elektron yang dipaksa berputar dengan dampak terjadinya aliran listrik. Sel-sel tersebut dikemas dan dijual dalam bentuk modul yang dapat digunakan pada teknologi tegangan tinggi. Saat ini, harga pembangkit listrik sel surya adalah Rp 1.900-Rp 3.000 per kWh.

Menilik berbagai kelebihan energi terperbarui, pertanyaan yang kemudian timbul, apakah cara menunjang pengembangan dan perluasan penggunaan energi ini sehingga sinkron dengan kebijakan energi nasional dan global.

Pertama, harus ada diversifikasi penelitian dan pengembangan. Dana penelitian energi ramah lingkungan ini, sayangnya, dari tahun ke tahun menyusut. Di negara-negara industri, hanya sekitar 5 persen dana penelitian yang diperuntukkan bagi sektor energi. Darinya, sebagian besar untuk jenis energi fosil. Di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, hal tersebut lebih memprihatinkan.

Kedua, dengan perkembangan teknologi saat ini, biaya produksi energi tererbarui ini bisa bersaing dengan harga energi fosil. Namun, tentu saja, untuk memproduksi energi surya secara massal, diperlukan kemauan politik. Ketika Indonesia masih menjadi produsen dan eksportir minyak dan di dalam negeri harga jualnya masih disubsidi, mungkin terkesan tidak realistis untuk mendudukkan energi terperbarui pada posisi penting. Namun, kini keadaan sudah sangat mendesak untuk berpikir dan bertindak mengantisipasinya. Jadi, dalam waktu dekat, harga BBM diharapkan tidak lagi menjadi buah si malakama.

IVAN A HADAR Koordinator Nasional Target MDGs (Bappenas/UNDP); Pendapat Pribadi

Kenaikan harga BBM


Menjadi Rasional, Harapan yang Ingin Dituju
Sabtu, 24 Mei 2008 | 00:44 WIB

Orin Basuki

Sophian (65), pensiunan Departemen Keuangan, sudah menghitung dampak kenaikan harga bahan bakar minyak atau BBM terhadap nilai riil uang pensiunnya, jauh sebelum perubahan harga BBM diputuskan pemerintah. Pengeluaran yang pasti akan dipangkas bapak 10 anak ini adalah anggaran belanja rokok.

Keputusan itu cukup pahit bagi Sophian, yang kini mengabdikan diri di Kantor Menteri Koordinator Perekonomian. Namun, keputusan itu tetap harus diambil karena dengan kenaikan harga BBM rata-rata 28,7-30 persen, maka pengeluaran untuk bensin motornya akan bertambah.

Setiap harinya, Sophian mengendarai motor dari rumahnya, di kawasan Ciledug, Tangerang, ke Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, tempatnya bekerja saat ini. Untuk itu, ia perlu Rp 50.000 per minggu buat membeli bensin.

Naiknya harga BBM akan membuat pengeluaran Sophian untuk bensin meningkat minimal Rp 20.000 per minggu. Konsekuensinya, ada pos anggaran lain yang harus dikurangi. Pilihannya adalah mengurangi belanja rokok. Biasanya, dalam sehari Sophian menghabiskan empat bungkus rokok filter putih yang harganya Rp 9.000 per bungkus. Ia berencana hanya akan membelanjakan Rp 27.000 per hari untuk rokok dari sebelumnya Rp 36.000 per hari.

”Jadi, ada untungnya harga BBM naik. Saya dipaksa menghemat rokok,” ujarnya.

Penghematan bukan baru kali ini dilakukan Sophian. Sejak pensiun sebagai pegawai negeri sipil (PNS), Sophian mengubah pola makannya. Jika sebelumnya membelanjakan Rp 12.000 untuk sekali makan siang, setelah pensiun hanya Rp 4.500.

Ekses kenaikan harga BBM yang dialami orang-orang seperti Sophian mungkin tak pernah dipikirkan pemerintah saat merencanakan kenaikan harga BBM.

Lalu, apa landasan yang dipakai pemerintah untuk mengambil keputusan menaikkan harga BBM? Mengapa keputusan itu menimbulkan penolakan yang disampaikan melalui unjuk rasa di berbagai daerah?

Untuk menjelaskan maksud pemerintah menaikkan harga BBM, ada dua menteri yang menggelar konferensi pers pada hari yang sama, Rabu (21/5), yakni Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati serta Menteri Komunikasi dan Informatika Mohammad Nuh. Keduanya menggelar konferensi pers di dua tempat yang berbeda. Menkeu menggelar konferensi pers di Kantor Departemen Keuangan, Jalan Wahidin, sementara Menkominfo di Kantor Wakil Presiden.

Dua menteri ini ingin mengungkapkan bahwa pemerintah sangat ingin menurunkan harga BBM, jika mampu. Namun, tak ada satu pun manusia di dunia ini yang sanggup melakukannya, termasuk Pemerintah Indonesia.

Pada saat APBN Perubahan (APBN-P) 2008 diputuskan April 2008, asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) 95 dollar AS per barrel. Padahal, harga minyak mentah dunia sudah 125 dollar AS per barrel.

Di sisi lain, baru memasuki bulan Mei 2008, realisasi konsumsi BBM bersubsidi sudah lebih dari separuh target konsumsi yang ditetapkan APBN-P 2008, yakni 35,5 juta kiloliter. Dengan demikian, pemerintah harus menaikkan target volume konsumsi jadi 36,2 juta kiloliter.

Ini membuat dana untuk subsidi BBM meningkat dari Rp 126,8 triliun menjadi Rp 132,1 triliun hingga akhir 2008. Itu pun dengan satu syarat, harga BBM di dalam negeri dinaikkan sehingga sebagian subsidi BBM bisa dikurangi. ”Jika pemerintah tidak menaikkan harga BBM, subsidi bisa melonjak hingga Rp 190 triliun,” ujar Menkeu.

Melemah

Seandainya subsidi dibiarkan meningkat hingga Rp 190 triliun, maka kemampuan pemerintah membiayai program mengurangi kemiskinan semakin lemah.

Hal itu dimungkinkan karena dari Rp 190 triliun subsidi BBM sebesar Rp 133 triliun, atau 70 persen, di antaranya untuk memanjakan 40 persen orang terkaya di negeri ini. Mereka adalah pemilik mobil mewah atau penduduk yang membeli mobil pribadi lebih dari satu unit.

Sementara sekitar 11 persen dari anggaran subsidi itu, atau hanya Rp 20,9 triliun, yang dinikmati masyarakat miskin. Padahal, kelompok inilah yang mendominasi struktur kependudukan Indonesia saat ini.

Jika dibandingkan antara Rp 133 triliun subsidi BBM dan anggaran penanggulangan kemiskinan yang hanya Rp 60 triliun, komposisi itu terlihat sangat tak seimbang. Pemerintah menyebutnya ketidakadilan yang nyata yang berlangsung saat ini.

Kondisi ini sudah disampaikan oleh unsur-unsur pemerintah dalam beberapa hari terakhir. Namun, penjelasan itu tidak cukup memuaskan bagi kelompok masyarakat kritis. Dampaknya, Istana Presiden nyaris setiap hari disatroni pengunjuk rasa.

Kini, pertanyaan yang harus dijawab adalah, bagaimana konsekuensi dari kenaikan harga BBM? Bagaimana negara tetangga mengatasi masalah kenaikan harga minyak mentah dunia?

Jawaban Menkeu adalah, harga minyak mentah dunia telah meningkat dua kali lipat dari 60 dollar AS per barrel di pertengahan 2007 menjadi 120 dollar AS per barrel pada Mei 2008. Sementara harga jual di dalam negeri tetap, Rp 4.500 per liter untuk premium, Rp 4.300 per liter untuk solar, dan minyak tanah Rp 2.000 per liter.

Padahal, harga di pasar internasional untuk premium sudah Rp 8.600 per liter, solar Rp 8.300 per liter, dan minyak tanah Rp 9.000 per liter.

Itu artinya, subsidi yang ditanggung pemerintah Rp 4.100 per liter untuk premium, Rp 4.000 per liter untuk solar, dan Rp 7.000 per liter untuk minyak tanah. Tingginya selisih harga itu mendorong terjadinya penyelundupan BBM ke luar negeri.

Hal itu antara lain yang membuat volume konsumsi BBM bersubsidi melonjak. Akibatnya, target subsidi BBM dan volume konsumsi BBM dalam APBN-P 2008 jebol. Makanya, subsidi BBM harus dikurangi, antara lain dengan menaikkan harga jual BBM di dalam negeri.

Menurut perhitungan Menkeu, setiap pemilik mobil yang memakai bensin rata-rata 10 liter per hari mendapatkan subsidi Rp 41.000 per hari untuk premium dan untuk solar Rp 40.000 per hari. Dalam sebulan, subsidi yang diterima satu mobil minimal Rp 1 juta-Rp 1,2 juta, dengan asumsi pemakaian 25 hari sebulan.

”Bayangkan satu keluarga yang memiliki lebih dari satu mobil. Bandingkan dengan bantuan langsung tunai (BLT) yang diberikan kepada setiap keluarga miskin, Rp 100.000 per bulan. Ini tidak adil,” tutur Sri Mulyani.

Sementara rakyat miskin, jangankan memiliki mobil, motor pun tidak. Itu berarti rakyat miskin tidak menikmati subsidi BBM secara langsung. Mereka menikmati subsidi BBM melalui kendaraan umum yang membeli BBM dengan harga murah.

Berdasarkan data Direktorat Lalu Lintas Polri dan hasil survei Badan Pengatur Hilir Migas, konsumsi BBM per kapita per hari untuk transportasi umum, termasuk bus, hanya 0,9 persen dari total konsumsi.

Atas dasar inilah pemerintah mengalihkan sebagian anggaran subsidi BBM ke program yang langsung menyentuh orang kecil. Dari dana hasil penghematan subsidi BBM sebesar Rp 34,5 triliun, sekitar Rp 4,2 triliun dialokasikan untuk raskin, Rp 14,1 triliun untuk BLT, dan Rp 1 triliun untuk kredit usaha rakyat.

Selain itu, ada program penanggulangan kemiskinan yang sudah dilakukan sejak lama, antara lain Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Program padat karya ini anggarannya Rp 13,2 triliun.

Negara lain

Benarkah harga BBM di Indonesia terendah di dunia? Jika dibandingkan dengan sembilan negara tetangga terdekat, harga BBM Indonesia memang terendah. Pada saat premium di Indonesia dijual Rp 4.500 per liter, harga produk yang sama di Malaysia dijual Rp 5.420 per liter, dan China Rp 6.890 per liter. Bahkan, di Timor Leste, Thailand, dan Vietnam sudah ditetapkan Rp 7.990 per liter.

Sementara itu, harga premium di India Rp 10.380 per liter, Filipina Rp 10.650 per liter, dan Singapura Rp 13.680 per liter. Di Kamboja, yang relatif lebih miskin dari Indonesia, harga premium sudah Rp 11.300 per liter.

Kesimpulannya, menyubsidi BBM dan listrik Rp 265,6 triliun sama artinya dengan mengeluarkan uang Rp 727,6 miliar per hari hanya untuk ”membakarnya” tanpa ada sisa yang layak dinikmati.

Bayangkan jika uang itu digunakan untuk membangun sesuatu yang lebih produktif. ”Ini keputusan sulit dan dilematis, tetapi kekeliruan ini harus diakhiri,” ujar Sri Mulyani.

Hal itu juga yang dirasakan kalangan usaha. Ketua Komite Tetap Moneter dan Fiskal Kadin Indonesia Bambang Soesatyo mengatakan, kenaikan harga BBM terasa berat buat siapa pun, tetapi kepastian sikap pemerintah terhadap harga BBM akan mempermudah perhitungan rugi dan laba pengusaha.

”Meski demikian, para pelaku usaha belum dapat tidur nyenyak karena memikirkan dampak dan kerusakan ekonomi akibat kenaikan harga BBM yang disertai demonstrasi akhir-akhir ini. Ada satu yang melegakan. Karena dengan kepastian itu, bobot tekanan pada APBN-P 2008 direduksi,” tuturnya.

Tuesday, May 6, 2008

Presiden: Harga BBM Akan Naik

Selamatkan Ekonomi Rakyat
Selasa, 6 Mei 2008 | 00:30 WIB

Jakarta, Kompas - Rapat terbatas yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Senin (5/5), akhirnya memutuskan untuk menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi secara terbatas. Terbatas yang dimaksud adalah kenaikan harga masih dalam rentang jangkauan masyarakat dan pelaku usaha.

Sebelumnya, dalam dialog dengan pemilik dan pemimpin media massa, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan indikasi akan diambilnya kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak atau BBM menyusul tekanan berat kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

”Tahapan sekarang ini bukan lagi naik atau tidak naik (BBM). Kalau naik (BBM) berapa? Komoditas apa saja? Apakah naiknya 20 persen, 25 persen, atau 30 persen? Mengapa sampai pada angka itu? Kemudian instrumen yang menyertai kenaikan harga BBM apa saja?” ujar Presiden di Istana Negara.

Kebijakan pemerintah ini, selain akan diikuti dengan penghematan secara total konsumsi BBM dengan berbagai langkah, juga akan disertai dengan pemberian kompensasi yang cukup besar, khususnya bagi masyarakat golongan ekonomi lemah.

Senada dengan Presiden, berapa persentase kenaikan dan tanggal kepastian waktu pemberlakuan kenaikan harga BBM tersebut, Menko Perekonomian Boediono hanya mengatakan, masih dihitung rinci dan pada waktunya akan segera diumumkan.

”Soal besaran kenaikan harga BBM, pemerintah masih menghitung dan menyelesaikan persoalan teknisnya. Akan tetapi, besarannya masih dalam jangkauan yang bisa ditanggung masyarakat, apalagi dibarengi dengan pemberian kompensasi. Masalah pengumuman kenaikannya, tunggu beberapa minggu ke depan,” kata Boediono.

Menurut informasi yang dihimpun Kompas, besaran kenaikan yang tengah dihitung adalah rata-rata 30 persen, dengan perkiraan pengurangan anggaran subsidi mencapai Rp 30 triliun. Kenaikan harga BBM itu disebut-sebut paling lambat diputuskan pada 1 Juni mendatang.

”Kami saat ini tengah menyiapkan suatu langkah kebijakan dengan tujuan untuk mengamankan APBN tahun 2008 maupun 2009. Dengan fokus pada masalah subsidi BBM dan listrik, ini kita lakukan dalam satu paket, yang terdiri dari tiga elemen,” ujar Boediono.

Penghematan total

Menurut Boediono, tiga elemen yang merupakan satu paket kesatuan, terdiri dari penghematan konsumsi BBM secara total, kenaikan harga beberapa BBM bersubsidi secara terbatas, dan kompensasi bagi mereka yang berpenghasilan rendah.

”Penghematan yang dilakukan antara lain melalui konversi energi, penghitungan tarif listrik dengan disinsentif, dan pengaturan penggunaan listrik di kantor-kantor. Sedangkan penghematan BBM, dengan menggunakan kartu kendali (smart card) untuk membatasi premium dan solar bersubsidi yang diuji coba di beberapa daerah,” kata Boediono.

Pemerintah, tambah Boediono, juga terus melakukan program penghematan belanja negara yang sudah diputuskan APBN-P 2008, baik penerimaan pajak maupun nonpajak.

>subinteri<>

Ditanya mengenai besaran anggaran yang bisa dihemat dari kenaikan harga BBM, penghematan dan pemberian kompensasi BBM, Menkeu mengaku masih harus menghitung lagi. ”Akan tetapi, kami upayakan agar defisit anggaran di APBN-P 2008 tetap di bawah 2 persen dari produk domestik bruto,” ujar Menkeu.

Makin cepat makin baik

Terkait rencana kenaikan harga BBM, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia MS Hidayat mengatakan, hingga saat ini Kadin masih menantikan kebijakan konkret pemerintah menyangkut krisis BBM. Semakin cepat diambil kebijakan, semakin baik bagi dunia usaha. ”Dengan begitu, spekulasi-spekulasi yang terjadi terutama di pasar finansial dapat segera ditiadakan,” kata Hidayat.

Menurut Hidayat, pasar finansial mengharapkan sinyal pemerintah secepatnya untuk menghitung langkah menanggulangi krisis BBM. Kadin mengkhawatirkan, kelambanan pemerintah dalam mengambil kebijakan BBM akan membuat larinya permodalan.

Kadin mengakui, kebijakan kenaikan harga BBM kelak akan membuat daya beli, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah, semakin menurun. Untuk itu, Kadin sudah secara resmi melayangkan surat untuk memberikan bantuan tunai langsung ke kantong-kantong kemiskinan.

Selamatkan ekonomi rakyat

Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi Pri Agung Rakhmanto mengingatkan, dalam rencana kenaikan harga BBM, yang terpenting adalah menyelamatkan daya beli dan kehidupan ekonomi masyarakat, bukan menyelamatkan anggaran negara. Pemerintah harus menjabarkan program kompensasi secara lebih konkret sehingga bisa diukur manfaatnya bagi masyarakat.

”Kalau pemerintah mengatakan akan membuka lapangan kerja, berapa banyak dan di wilayah mana saja, melalui program apa. Untuk bantuan langsung tunai, terus terang melihat pelaksanaannya pada kenaikan harga BBM tahun 2005, saya meragukan efektivitasnya,” ujarnya.

Menurut Pri Agung, kesiapan program kompensasi yang memadai jauh lebih penting sebelum memutuskan besaran kenaikan.

Pemerintah, kata Pri Agung, harus menyampaikan secara terbuka dasar perhitungan kenaikan harga BBM. Sebab, apabila dilihat dari sisi harga minyak saja, realisasi harga minyak mentah Indonesia Januari-April 2008 baru sekitar 99 dollar AS per barrel, atau hanya selisih 4 dollar AS dari asumsi APBN-P yang sebesar 95 dollar AS per barrel.

Alokasi subsidi BBM dalam APBN Perubahan 2008 ditetapkan Rp 126,82 triliun dengan asumsi harga minyak 95 dollar AS per barrel dan volume BBM subsidi 35 juta kiloliter. APBN-P masih memberikan dana cadangan atau bantalan sebesar Rp 18,3 triliun apabila asumsi harga minyak dan volume BBM meleset.
(INU/HAR/OSA/ LKT/MDN/CHE/DOT)

1,5 Miliar Orang Miskin

14 Negara Terdampak Kenaikan Harga Makanan dan Minyak Mentah
Minggu, 4 Mei 2008 | 00:51 WIB

Madrid, Kompas - Para donor yang tergabung dalam Dana Pembangunan Asia atau ADF menyetujui pengalokasian dana 11,3 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 104,751 triliun untuk penggunaan empat tahun ke depan, khusus untuk memerangi kemiskinan di kawasan Asia Pasifik.

Alokasi dana yang akan disalurkan melalui Bank Pembangunan Asia (ADB) itu dinaikkan 60 persen dibandingkan dengan fase empat tahun sebelumnya karena tekanan yang dialami masyarakat miskin Asia Pasifik semakin berat akibat kenaikan harga pangan dan minyak mentah.

”Kesepakatan para donor diperoleh di Madrid kemarin,” ujar Presiden ADB Haruhiko Kuroda dalam satu sesi konferensi pers di sela-sela Sidang Tahunan ADB Ke-41 di Madrid, Spanyol, Sabtu (3/5).

Menurut Kuroda, dana tersebut akan digunakan untuk mengangkat sekitar 1,5 miliar orang miskin di Asia Pasifik dari kemiskinannya. Ini dilakukan dengan memastikan adanya dukungan infrastruktur memadai, antara lain akses jalan, air bersih, dan jaringan listrik.

”Kami tidak hanya memikirkan solusi jangka pendek, yakni mempertahankan daya beli masyarakat, tetapi juga solusi jangka menengah dan panjang, yaitu meningkatkan produktivitas pertanian. Caranya adalah memastikan ada akses jalan di pedesaan, sistem irigasi yang baik, serta pembiayaan ke desa-desa. Itu yang kami lakukan sekarang untuk menahan dampak kenaikan harga komoditas pangan yang terjadi dalam empat bulan terakhir ini,” ujarnya.

Kuroda tidak menyebutkan negara-negara yang akan mendapatkan bantuan. Dalam sebuah laporan penelitian yang dipimpin Deputi Direktur Jenderal ADB untuk Wilayah Asia Selatan S Hafeez Rahman, disebutkan bahwa setidaknya ada 14 negara yang terkena dampak kenaikan harga makanan dan minyak mentah.

Naik 100 persen

Negara-negara yang terkena dampak adalah Afganistan, Banglades, Kamboja, China, India, Indonesia, Kirgistan, Mongolia, Nepal, Pakistan, Filipina, Sri Lanka, Tajikistan, dan Vietnam. Negara yang terkena dampak paling serius adalah Banglades dan Kamboja, Kirgistan, dan Tajikistan.

Itu ditunjukkan dengan kenaikan harga beras 100 persen pada periode Maret 2007-Maret 2008 di Banglades dan Kamboja serta peningkatan harga terigu sebesar 100 persen di Tajikistan dan Kirgistan. Dalam laporan ADB, Indonesia disebutkan hanya terkena dampak kenaikan harga beras. Itu pun hanya 8,7 persen.

Kuroda menegaskan, masyarakat miskin di Asia dan Pasifik mendesak untuk dilindungi karena 60 persen dari total penghasilannya untuk membeli makanan. Padahal jumlah penghasilan mereka rata-rata di bawah 2 dollar AS per hari atau sekitar Rp 19.000 per hari. Saat harga komoditas pangan meningkat tajam seluruh penghasilannya akan terdegradasi.

Dalam sidang tahunan ADB di Madrid, delegasi Indonesia dipimpin Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Goeltom.

Pada kesempatan ini delegasi Indonesia membawa serta perusahaan penyelenggara kegiatan PT Royalindo Expoduta untuk mempromosikan Bali, tempat penyelenggaraan sidang tahunan ADB ke-42 tahun 2009. (Orin Basuki)

Friday, May 2, 2008

May Day, Hari Penuh Harapan


Sejak zaman purbakala, tanggal 1 Mei memiliki arti khusus bagi orang-orang yang tinggal di belahan utara bumi. Tanggal 1 Mei adalah awal dimulainya musim panas.

Dalam kebudayaan Celtic ada festival Beltane, festival yang dirayakan pada 1 Mei.Saat itulah ternak dilepas di padang rumput yang sedang subur-suburnya di musim panas. Pada perayaan ini, para pemimpin spiritual Celtic akan menyalakan api unggun raksasa di tengah permukiman sebagai perlambang harapan akan datangnya panen berlimpah di bulan-bulan yang akan datang.

Orang-orang dari kebudayaan Germanik memiliki festival musim panas, yang berlangsung sejak malam 30 April sampai 1 Mei. Pada malam 30 April, orang menyalakan api unggun besar untuk menangkal sial dan gangguan roh-roh jahat. Dengan begitu, tanggal 1 Mei menjadi hari dengan harapan baru muncul, bebas dari kesialan dan roh jahat. Masih banyak festival seperti ini di seluruh Eropa, baik pada zaman pra-Nasrani maupun setelah agama Nasrani meresap ke seluruh tatanan masyarakat.

Jadi, sudah sejak lama sekali tanggal 1 Mei menjadi sebuah tanggal yang melambangkan harapan akan hari depan, yang bebas dari keterikatan, bebas dari kekuatan jahat, bebas dari beban penderitaan hidup. Gereja Katolik tentu berusaha melarang perayaan festival pemujaan dewadewa semacam ini.Tapi sebagaimana halnya upaya pelarangan tradisi yang banyak terjadi di seluruh dunia, upaya ini tidak sepenuhnya berhasil. Perayaan-perayaan ini terus dilangsungkan di seluruh Eropa sampai 1700-an.

Kelanjutan Tradisi

Tradisi perayaan May Day tradisional di Eropa diteruskan oleh masyarakat perkotaan yang kebanyakan terdiri atas para perajin yang tergabung dalam gilda-gilda. Pada hari itu, masyarakat perkotaan akan mengadakan pesta, memilih seorang "Ratu Mei" yang akan menjadi perlambang rezeki baik dan menobatkan seorang Robin Goodfellow, Lord of Misrule.Robin Goodfellow ini akan dijadikan raja sehari dan dijadikan bahan olokolok oleh seluruh peserta pawai.

Untuk satu hari, pada hari perayaan 1 Mei, May Day,"Raja menjadi sasaran olok-olok". Tentu saja, para bangsawan dan jajaran penguasa lainnya memandang perayaan ini dengan rasa tidak senang-aroma pemberontakan di dalamnya terlalu keras untuk diabaikan begitu saja. Jadi, nasib perayaan yang muncul dalam bentuk baru ini pun mendapat tentangan dari para penguasa.

Upaya-upaya pemerintah dan Gereja untuk memberangus perayaan ini berlangsung di mana-mana. Bahkan di Inggris, perayaan May Day dinyatakan sebagai aktivitas terlarang pada 1600-an. Tongkat estafet untuk perayaan May Day diambil oleh gerakan buruh. Kelas buruh, yang muncul sebagai akibat peralihan sistem produksi gilda menjadi sistem industrial, mewarisi semangat penentangan terhadap kekuasaan yang dilambangkan oleh perayaan May Day dari para pendahulu mereka.

Karena itu tidaklah mengherankan bahwa seruan demonstrasi pada 1 Mei 1886 yang dikumandangkan oleh Knights of Labor, salah satu serikat buruh terpenting di Amerika Serikat di abad ke- 19, disambut oleh ratusan ribu pekerja di sana. Demonstrasi yang dilangsungkan di seluruh Amerika pada 1 Mei 1886 itu adalah hasil sebuah kampanye terorganisir untuk memangkas jam kerja menjadi hanya delapan jam sehari.

Kampanye ini sudah dimulai di era 1860-an, segera setelah selesainya perang sipil yang menghancurkan sistem perbudakan di Negeri Paman Sam itu. Kampanye perbaikan upah memang sering lebih disorot, namun bagi buruh, upah setinggi apa pun tidak akan banyak gunanya jika mereka diharuskan bekerja dua belas sampai lima belas jam di pabrik-pabrik- jauh di atas kemampuan normal manusia untuk bekerja.

Bahkan kerja delapan belas jam bukan satu hal yang jarang dijumpai di tengah industri Eropa dan Amerika Serikat masa itu. Kelelahan yang akut akan membuat seseorang tidak lagi dapat menikmati hasil cucuran keringatnya sendiri. Di samping itu, karena waktu terjaga dihabiskan untuk bekerja, seorang buruh tidak akan lagi memiliki waktu untuk olah jiwa, untuk rekreasi, untuk mengembangkan diri, dan kepribadian.

Seorang buruh benar-benar menjadi sebuah mesin, yang akan digantikan begitu saja demikian mesin itu mengalami keausan. Karena itu, kampanye untuk pemotongan jam kerja merupakan salah satu kampanye terpenting untuk menjamin kesejahteraan buruh. Kampanye peningkatan upah, tanpa diimbangi dengan kampanye pemotongan jam kerja, tidak akan berarti banyak bagi peningkatan kesejahteraan buruh.

Peristiwa Haymarket Square, yang sering ditunjuk sebagai patokan bagi perayaan May Day di masa modern, merupakan bagian dari sebuah aksi nasional yang berlangsung di seluruh Amerika Serikat. Aksi ini dipersiapkan selama setahun oleh Federation of Organized Trades and Labor Unions dan Knights of Labor.

Di seluruh Amerika Serikat, represi oleh kepolisian berlangsung di seluruh kota-kota industri, namun di Chicagolah represi berlangsung paling keras dan menimbulkan korban tewas, baik di pihak buruh maupun polisi. Pengadilan yang dilangsungkan sesudahnya atas para pimpinan demonstrasi di Haymarket Square menghasilkan hukuman gantung bagi Albert Parsons, August Spies, George Engle, dan Adolph Fischer.

Perlambang Harapan

Walau demikian, sekalipun 1 Mei 1886 berakhir dengan banyak kekalahan di pihak gerakan buruh, tuntutan delapan jam kerja yang kemudian dikumandangkan tiap tahun pada 1 Mei akhirnya mengalami kemenangan di mana-mana. Saat ini, kalau pekerja di seluruh dunia menikmati delapan jam kerja sehari, seharusnya mereka mengingat bahwa salah satu tonggak penting perjuangan untuk mencapai itu dirayakan tiap tahun pada tanggal 1 Mei.

Sejak zaman purbakala, May Day telah menjadi hari di mana pengorbanan diberikan, untuk menumbuhkan harapan dan membangkitkan tenaga juang untuk meraih hari depan yang lebih baik. Perayaan 1 Mei telah diwariskan dari zaman ke zaman, lewat generasi demi generasi, untuk selalu menjaga api harapan berkobar di dada mereka yang berjuang demi kesejahteraan, demi masa depan yang lebih cerah dan gemilang. (*)

Ken Budha Kusumandaru
Penulis adalah anggota Komite Pusat Perhimpunan Rakyat Pekerja
(//mbs)

Pemborosan dan Konversi Energi


Sekitar dua pekan lalu (8/4/2008), Presiden memarahi salah satu bupati yang tertidur ketika beliau berpidato. Serta-merta kejadian memalukan yang menimpa salah satu bupati peserta Forum Konsolidasi Pimpinan Daerah di Gedung Lemhannas itu menjadi konsumsi media massa.

Kejadian itu tentu menarik, namun mungkin sudah tidak ada gunanya lagi kita perdebatkan. Yang patut jadi perhatian adalah tema pidato yang disampaikan Presiden dalam kesempatan tersebut. Presiden menekankan pentingnya mengubah gaya hidup masyarakat dalam penggunaan energi.

Gaya hidup bangsa ini sangat boros, padahal krisis energi sedang mengombangambingkan perekonomian Indonesia. Indonesia yang anggota OPEC ini saja sudah menjadi net-importer. Tercatat, total dana subsidi bidang energi mencapai Rp187,1 triliun atau setara 79,8 persen dari beban subsidi di APBNP yang mencapai Rp234,4 triliun.

Dari besaran tersebut, subsidi untuk bahan bakar minyak (BBM) mencapai Rp126,8 triliun, sedangkan subsidi listrik Rp60,2 triliun. Subsidi untuk sektor nonenergi dianggarkan hanya sebesar Rp47,2 triliun (SINDO, 14/4). Sekalipun satu bupati tidak mendengarkan kekhawatiran Presiden, setidaknya bupati-bupati dan wali kota-wali kota lainnya dapat menangkap kekhawatiran Presiden tersebut.

Pemborosan


Ada tiga sektor utama yang menyebabkan pemborosan di Indonesia. Sektor-sektor tersebut masih terus tumbuh dan bisa mengakibatkan keruntuhan perekonomian Indonesia jika tak jua ditangani. Mengambil istilah Thomas Robert Malthus dalam konsep pangan, bila penyediaan minyak bumi Indonesia tak mampu mengikuti laju pertumbuhan pemakaian yang tak terkendali, bisa saja terjadi kiamat energi nasional yang dibarengi lumpuhnya perekonomian.

Ketiga sektor tersebut, pertama, pola kepemilikan dan pemakaian kendaraan pribadi. Kendaraan pribadi telah lama dijadikan simbol kemapanan. Permintaan untuk produk konsumsi ini selalu menanjak. Bahkan pada 2007 saja para produsen mobil mampu menjual 434.437 unit mobil. Jumlah tersebut meningkat 36,2 persen dibanding 2006, saat mobil terjual sebanyak 318.904 unit.

Segendang sepenarian, produsen motor pun menikmati penjualan yang terus melesat akibat pola konsumtif bangsa ini. Tahun lalu 4.688.263 motor terjual, naik 5,89 persen dari penjualan tahun 2006 yang mencapai 4.427.342 unit motor. Kedua, pola pemakaian listrik yang berlebihan dan boros tenaga.

Bangsa ini memang sudah lama terkenal konsumtif. Kepemilikan alat elektronik dalam satu keluarga sering kali berlebihan. Ketiga, manajemen transportasi yang buruk. Hari-hari tanpa macet bak masakan tanpa garam. Padahal, kerugian yang ditimbulkan sangat besar. Berdasarkan perhitungan Bappenas, pemborosan bahan bakar minyak ratarata untuk mobil yang terjebak kemacetan sebesar 1,75 liter dan 0,35 liter per hari untuk sepeda motor.

Dari segi nilai, berdasarkan perhitungan Study on Integrated Transportation Master Plan for Jabodetabek (Sitramp 2004), kerugian akibat kemacetan lalu lintas di DKI Jakarta saja mencapai Rp8,3 triliun per tahun. Angka tersebut mencakup biaya operasional, waktu, dan kesehatan. Belum lagi jika dihitung kerugian seluruh Indonesia.

Konversi dan Penghematan

Minyak bumi merupakan pedang bermata dua. Di satu sisi merupakan rahmat bagi bangsa ini, sekaligus akan menjadi "pembunuh" paling efektif karena kita sudah terlengah oleh segala kemudahan yang didapat dari rahmat tersebut. Wacana saat ini yang paling sering digembor-gemborkan adalah diversifikasi energi atau umum kita kenal sebagai konversi. Program ini jelas harus didukung.

Kesalahan dalam penanganan yang dilakukan pemerintah harusnya jangan jadi alasan bagi masyarakat untuk menilai secara parsial program ini sebagai suatu kesalahan. Tentu kita semua tak ingin akhirnya ekonomi Indonesia kolaps akibat kesalahan rakyat dalam memahami maksud konversi energi yang dilakukan pemerintah.

Langkah yang diambil pemerintah untuk melakukan konsumsi bahan bakar di tingkat dasar konsumen adalah langkah yang tepat. Pengalihan dari minyak tanah ke elpiji menjadi wacana paling ideal karena Indonesia salah satu produsen gas bumi dunia. Selama ini, gas bumi lebih banyak diekspor dengan harga murah.

Lalu kenapa tidak untuk dimanfaatkan di dalam negeri untuk mengurangi beban subsidi? Namun, antrean mengular pembeli gas adalah salah satu kesalahan dalam program konversi ini yang membuat banyak pihak cenderung apatis dengan proyek yang menjanjikan ini. Minyak tanah secara perlahan tapi pasti menghilang dari pasaran, sementara gas makin sulit didapat sehingga harga meroket sesuai mekanisme pasar.

Niat baik pemerintah belum ditopang kinerja aparat di lapangan dalam mengamankan pasokan. Ketim pangan suplai dan permintaan tersebut tentu menyengsarakan rakyat. Titik inilah yang membutuhkan manajemen maksimal dari pemerintah. Indonesia juga harus mengonversi bahan bakar pada banyak pembangkit listrik. Saat ini banyak yang masih memakai minyak bumi.

Rencana diversifikasi energi yang tertuang dalam Peraturan Presiden No 5/2006 harus konsisten dilaksanakan dan diwujudkan. Dalam peraturan tersebut diskemakan bahwa pada 2025 Indonesia hanya akan mengonsumsi minyak bumi sebesar 40% dari jumlah konsumsi 2006. Pemakaian energi akan dialihkan ke gas alam, batu bara, dan sumber energi terbarukan.

Terakhir, dan mungkin yang paling tidak populer, pemerintah memang sudah seharusnya mencabut subsidi bahan bakar, terutama untuk kendaraan pribadi. Pemerintah bisa mengalihkannya untuk pengembangan transportasi massal sehingga masyarakat dengan sendirinya akan beralih moda transportasi.

Terlalu dimanjakannya bangsa ini oleh sumber energi yang murah membuat bangsa ini secara tak sadar melakukan pemborosan. Pemerintah harus berani menerapkan insentif dan disinsentif dalam pemanfaatan energi. Implementasinya bisa jadi dalam memberikan pajak yang sangat besar untuk barang-barang konsumsi yang boros energi. Atau mungkin pemerintah memberikan insentif besar-besaran untuk pengembangan transportasi massal. (*)

B Setia Prakarsa MSC
Pemerhati Masalah Energi Alumnus Westminster Business School
(//mbs)

Minyak, Pemicu Revolusi


Jangan kaget dulu, tulisan ini tidak bermaksud menakut-nakuti, meneror, apalagi menambah kalut suasana.Sebab,pemicu revolusi di sini maknanya positif.

Percaya atau tidakkah Anda, pada akhirnya minyak akan mendorong perubahan perilaku kita secara cepat dalam bernegara. Sebab,kini pemerintah mulai direpotkan untuk merespons harga minyak yang terus naik secara drastis melampaui ambang batas 100 dolar AS setiap barel.Bahkan,skenario terburuk sudah harus disiapkan walau tampaknya terlambat karena negara lain telah jauh-jauh hari melakukannya dengan berbagai rencana cadangan darurat secara berlapis.

Itu karena minyak merupakan faktor pengubah yang hebat. Kini, minyak lebih tepat digambarkan sebagai agen atau pemicu revolusi, bukan lagi sekadar variabel yang banyak kita kenal dalam penelitian atau matematika.

Di beberapa negara seperti Nigeria di Afrika, minyak telah menjadi kutukan karena ia telah membawa negara ke jurang kemiskinan, keterbelakangan, dan ketergantungan, yang membawa negara itu ke jurang kehancuran secara total sebagai negara gagal (failed state). Karena itu, peran minyak di sana secara pesimistis dilihat selamanya akan buruk karena selama ini tidak membawa perubahan apa-apa dan malah membuat rakyat mengalami kesengsaraan yang lebih buruk.

Konsekuensi Kumulatif

Dalam argumen saya, untuk kasus Indonesia, minyak justru akan menjadi pendorong perubahan secara besar-besaran dan cepat, membawa negara menuju ke arah yang lebih konstruktif.Namun sebelum mencapai kondisi untuk mendorong perubahan ini, dibutuhkan kondisionalitas, yakni harganya di pasar dunia harus mencapai tingkat yang jauh lebih tinggi dari sekarang seperti 150 dan bahkan 200 dolar AS setiap barel.

Jadi, asumsinya, semakin tinggi kenaikan harga minyak akan semakin baik untuk memicu perubahan cepat dan signifikan. Maaf saja, dengan pandangan ini, penulis seolah tidak berempati terhadap nasib rakyat kebanyakan, apalagi yang berkategori paling miskin, yang sangat rentan menjadi korban melambungnya harga minyak di pasar dunia.

Namun,setelah m e n g i k u t i penjelasan selanjutnya, tentu para pembaca dapat memahami argumen tersebut dan mungkin akan sependapat. Pertama-tama, patut dikemukakan bahwa posisi minyak sekarang sudah lebih dari sekadar energi utama penggerak industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi. Harus disadari, minyak telah menjadi penentu masa depan negara-negara dan dunia.

Karena melambungnya harga minyak akan mengancam keamanan manusia (human security) dan negara (state security) secara simultan.Sudahkah dibayangkan, apa implikasinya jika subsidi minyak tanah yang banyak menolong rakyat kecil di Indonesia selama ini dihilangkan sama sekali? Kerusuhan dan tindakan anarki tentu akan muncul di mana-mana mengingat mayoritas rakyat di negeri ini mengonsumsi minyak tanah.

Jadi, yang akan resah dan bertindak anarkistis tidak hanya pedagang warteg dan gorengan, tetapi juga rumah-rumah tangga di seluruh Indonesia.Yang tidak kecil dampaknya juga adalah jika subsidi bensin yang dinikmati kalangan kelas menengah ke atas dihapus. Sebab, kelas menengah dan kalangan borjuasi Indonesia bukan kelompok yang mau berkorban dan terpanggil menjadi pelopor perubahan, melainkan kelas yang sangat manja dan cepat marah jika kenikmatannya terganggu.

Selain itu,kenaikan BBM untuk kelas menengah ke atas dan industri berdampak juga menciptakan pengangguran baru dan menaikkan biaya transportasi, yang semuanya akan memberi implikasi ganda terhadap lapisan rakyat terbawah. Kedua, bersama-sama dengan resesi ekonomi AS akibat kredit macet perumahan (subprime mortgage) yang berimplikasi global menciptakan angka inflasi yang besar, naiknya harga minyak dunia tanpa tertahan akan memicu krisis pangan di banyak negara berkembang dan miskin.

Di Haiti, contohnya, kerusuhan sosial yang semula merupakan aksi-aksi penjarahan telah menumbangkan pemerintahan akibat harga pangan yang melonjak setelah meroketnya harga minyak dunia. Di negara-negara lain akan menyusul seiring dengan cadangan pangan dan devisa yang menipis karena defisit anggaran untuk membayar pembengkakan belanja minyak.

Di Indonesia, masa akhir pemerintahan Soeharto telah memberikan pembelajaran yang baik tentang collapse-nya rezim yang telah tiga dasawarsa sangat berkuasa akibat kebijakan menaikkan harga BBM setelah negara mulai dilanda krisis. Karena itu, keliru sama sekali jika melonjaknya harga minyak secara drastis dan tidak tertahan serta krisis pangan yang menyertainya akibat integrasi sistem ekonomi global yang kuat dewasa ini tidak segera diantisipasi dampaknya terhadap kondisi keamanan negara dan stabilitas rezim.

Ultimatum Perubahan

Sebagai konsekuensinya,jika tidak ingin lumpuh dan jatuh, pemerintah nasional harus segera menyikapinya dengan melakukan berbagai perubahan kebijakan yang revolusioner. Kesalahan Soeharto dulu adalah ia terlalu percaya diri dengan kemampuannya bertahan selama ini.Paling tidak, secara rasional, jika pemerintah yang berkuasa cerdas,ia harus segera mengambil langkah-langkah efisiensi.

Yang lebih mudah dan rendah resistensinya adalah dengan memotong "anggaran kemewahan" yang dinikmati pejabat seperti penarikan rumah dan mobil dinas pribadi, pengurangan drastis perjalanan dinas, terutama ke luar negeri, dan anggaran belanja barang. Yang lebih progresif, tunjangan pembelian baju buat pejabat,pengawalan, konsumsi makanan untuk rapat-rapat, serta subsidi listrik dan BBM untuk pejabat tidak perlu diadakan lagi.

Dengan demikian, jika birokrasi, prosedur, dan fasilitas penunjangnya segera dirampingkan, korupsi akan jauh berkurang. Secara rasional, kenaikan harga minyak di pasar dunia seharusnya memang dapat memaksa pemerintah bekerja lebih serius.Jika tidak,ia akan dikatakan bebal karena tidak berkeinginan mendorong lebih serius reformasi dan penegakan hukum.

Tidak ada pilihan lain, jika ingin bertahan sampai pemilu berikutnya dan terpilih lagi, pemerintah harus melakukan langkah itu. Selama ini, boleh saja eksekutif, legislatif, dan yudikatif tutup mata terhadap berbagai praktik penyimpangan. Namun, jika uang negara yang ingin dikorupsi sudah tidak tersedia lagi,yang akan terjadi adalah tekanan dan keterpaksaan untuk melakukan perubahan.

Defisit keuangan negara bisa saja ditutup dengan utang luar negeri yang besar.Namun,upaya ini tetap tidak bisa menghindari terjadinya revolusi sosial karena keadaan akan semakin buruk akibat jebakan utang dan sikap antiasing yang semakin dalam. Siapa yang bertelinga, hendaklah mendengar, terutama para pemegang kekuasaan,karena jika tidak,sebentar lagi mereka akan kehilangan kekuasaan mereka.

Sekali lagi, ini hanya soal waktu saja dan tulisan ini bukan provokasi, apalagi catatan subversif,melainkan early warning untuk segera mengubah sikap dan kebijakan demi menyelamatkan negara dari munculnya anarkisme baru dan jatuh-bangunnya rezim secara kontinu dalam waktu pendek, melalui mekanisme yang tidak tertib.

Melakukan perubahan karena dipaksa keadaan tentu tidak enak dan akan lebih baik jika segera menyiapkan skenario terburuk dan langkah untuk mengatasi masalah yang akan lebih berat dihadapi negeri ini, sesulit apa pun, dengan memulainya dari langkah yang paling mudah.(*)

Poltak Partogi Nainggolan
Penulis adalah Kandidat Doktor Ilmu Politik Universitaet Freiburg, Jerman