Sunday, May 25, 2008

Kenaikan harga BBM


Menjadi Rasional, Harapan yang Ingin Dituju
Sabtu, 24 Mei 2008 | 00:44 WIB

Orin Basuki

Sophian (65), pensiunan Departemen Keuangan, sudah menghitung dampak kenaikan harga bahan bakar minyak atau BBM terhadap nilai riil uang pensiunnya, jauh sebelum perubahan harga BBM diputuskan pemerintah. Pengeluaran yang pasti akan dipangkas bapak 10 anak ini adalah anggaran belanja rokok.

Keputusan itu cukup pahit bagi Sophian, yang kini mengabdikan diri di Kantor Menteri Koordinator Perekonomian. Namun, keputusan itu tetap harus diambil karena dengan kenaikan harga BBM rata-rata 28,7-30 persen, maka pengeluaran untuk bensin motornya akan bertambah.

Setiap harinya, Sophian mengendarai motor dari rumahnya, di kawasan Ciledug, Tangerang, ke Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, tempatnya bekerja saat ini. Untuk itu, ia perlu Rp 50.000 per minggu buat membeli bensin.

Naiknya harga BBM akan membuat pengeluaran Sophian untuk bensin meningkat minimal Rp 20.000 per minggu. Konsekuensinya, ada pos anggaran lain yang harus dikurangi. Pilihannya adalah mengurangi belanja rokok. Biasanya, dalam sehari Sophian menghabiskan empat bungkus rokok filter putih yang harganya Rp 9.000 per bungkus. Ia berencana hanya akan membelanjakan Rp 27.000 per hari untuk rokok dari sebelumnya Rp 36.000 per hari.

”Jadi, ada untungnya harga BBM naik. Saya dipaksa menghemat rokok,” ujarnya.

Penghematan bukan baru kali ini dilakukan Sophian. Sejak pensiun sebagai pegawai negeri sipil (PNS), Sophian mengubah pola makannya. Jika sebelumnya membelanjakan Rp 12.000 untuk sekali makan siang, setelah pensiun hanya Rp 4.500.

Ekses kenaikan harga BBM yang dialami orang-orang seperti Sophian mungkin tak pernah dipikirkan pemerintah saat merencanakan kenaikan harga BBM.

Lalu, apa landasan yang dipakai pemerintah untuk mengambil keputusan menaikkan harga BBM? Mengapa keputusan itu menimbulkan penolakan yang disampaikan melalui unjuk rasa di berbagai daerah?

Untuk menjelaskan maksud pemerintah menaikkan harga BBM, ada dua menteri yang menggelar konferensi pers pada hari yang sama, Rabu (21/5), yakni Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati serta Menteri Komunikasi dan Informatika Mohammad Nuh. Keduanya menggelar konferensi pers di dua tempat yang berbeda. Menkeu menggelar konferensi pers di Kantor Departemen Keuangan, Jalan Wahidin, sementara Menkominfo di Kantor Wakil Presiden.

Dua menteri ini ingin mengungkapkan bahwa pemerintah sangat ingin menurunkan harga BBM, jika mampu. Namun, tak ada satu pun manusia di dunia ini yang sanggup melakukannya, termasuk Pemerintah Indonesia.

Pada saat APBN Perubahan (APBN-P) 2008 diputuskan April 2008, asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) 95 dollar AS per barrel. Padahal, harga minyak mentah dunia sudah 125 dollar AS per barrel.

Di sisi lain, baru memasuki bulan Mei 2008, realisasi konsumsi BBM bersubsidi sudah lebih dari separuh target konsumsi yang ditetapkan APBN-P 2008, yakni 35,5 juta kiloliter. Dengan demikian, pemerintah harus menaikkan target volume konsumsi jadi 36,2 juta kiloliter.

Ini membuat dana untuk subsidi BBM meningkat dari Rp 126,8 triliun menjadi Rp 132,1 triliun hingga akhir 2008. Itu pun dengan satu syarat, harga BBM di dalam negeri dinaikkan sehingga sebagian subsidi BBM bisa dikurangi. ”Jika pemerintah tidak menaikkan harga BBM, subsidi bisa melonjak hingga Rp 190 triliun,” ujar Menkeu.

Melemah

Seandainya subsidi dibiarkan meningkat hingga Rp 190 triliun, maka kemampuan pemerintah membiayai program mengurangi kemiskinan semakin lemah.

Hal itu dimungkinkan karena dari Rp 190 triliun subsidi BBM sebesar Rp 133 triliun, atau 70 persen, di antaranya untuk memanjakan 40 persen orang terkaya di negeri ini. Mereka adalah pemilik mobil mewah atau penduduk yang membeli mobil pribadi lebih dari satu unit.

Sementara sekitar 11 persen dari anggaran subsidi itu, atau hanya Rp 20,9 triliun, yang dinikmati masyarakat miskin. Padahal, kelompok inilah yang mendominasi struktur kependudukan Indonesia saat ini.

Jika dibandingkan antara Rp 133 triliun subsidi BBM dan anggaran penanggulangan kemiskinan yang hanya Rp 60 triliun, komposisi itu terlihat sangat tak seimbang. Pemerintah menyebutnya ketidakadilan yang nyata yang berlangsung saat ini.

Kondisi ini sudah disampaikan oleh unsur-unsur pemerintah dalam beberapa hari terakhir. Namun, penjelasan itu tidak cukup memuaskan bagi kelompok masyarakat kritis. Dampaknya, Istana Presiden nyaris setiap hari disatroni pengunjuk rasa.

Kini, pertanyaan yang harus dijawab adalah, bagaimana konsekuensi dari kenaikan harga BBM? Bagaimana negara tetangga mengatasi masalah kenaikan harga minyak mentah dunia?

Jawaban Menkeu adalah, harga minyak mentah dunia telah meningkat dua kali lipat dari 60 dollar AS per barrel di pertengahan 2007 menjadi 120 dollar AS per barrel pada Mei 2008. Sementara harga jual di dalam negeri tetap, Rp 4.500 per liter untuk premium, Rp 4.300 per liter untuk solar, dan minyak tanah Rp 2.000 per liter.

Padahal, harga di pasar internasional untuk premium sudah Rp 8.600 per liter, solar Rp 8.300 per liter, dan minyak tanah Rp 9.000 per liter.

Itu artinya, subsidi yang ditanggung pemerintah Rp 4.100 per liter untuk premium, Rp 4.000 per liter untuk solar, dan Rp 7.000 per liter untuk minyak tanah. Tingginya selisih harga itu mendorong terjadinya penyelundupan BBM ke luar negeri.

Hal itu antara lain yang membuat volume konsumsi BBM bersubsidi melonjak. Akibatnya, target subsidi BBM dan volume konsumsi BBM dalam APBN-P 2008 jebol. Makanya, subsidi BBM harus dikurangi, antara lain dengan menaikkan harga jual BBM di dalam negeri.

Menurut perhitungan Menkeu, setiap pemilik mobil yang memakai bensin rata-rata 10 liter per hari mendapatkan subsidi Rp 41.000 per hari untuk premium dan untuk solar Rp 40.000 per hari. Dalam sebulan, subsidi yang diterima satu mobil minimal Rp 1 juta-Rp 1,2 juta, dengan asumsi pemakaian 25 hari sebulan.

”Bayangkan satu keluarga yang memiliki lebih dari satu mobil. Bandingkan dengan bantuan langsung tunai (BLT) yang diberikan kepada setiap keluarga miskin, Rp 100.000 per bulan. Ini tidak adil,” tutur Sri Mulyani.

Sementara rakyat miskin, jangankan memiliki mobil, motor pun tidak. Itu berarti rakyat miskin tidak menikmati subsidi BBM secara langsung. Mereka menikmati subsidi BBM melalui kendaraan umum yang membeli BBM dengan harga murah.

Berdasarkan data Direktorat Lalu Lintas Polri dan hasil survei Badan Pengatur Hilir Migas, konsumsi BBM per kapita per hari untuk transportasi umum, termasuk bus, hanya 0,9 persen dari total konsumsi.

Atas dasar inilah pemerintah mengalihkan sebagian anggaran subsidi BBM ke program yang langsung menyentuh orang kecil. Dari dana hasil penghematan subsidi BBM sebesar Rp 34,5 triliun, sekitar Rp 4,2 triliun dialokasikan untuk raskin, Rp 14,1 triliun untuk BLT, dan Rp 1 triliun untuk kredit usaha rakyat.

Selain itu, ada program penanggulangan kemiskinan yang sudah dilakukan sejak lama, antara lain Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Program padat karya ini anggarannya Rp 13,2 triliun.

Negara lain

Benarkah harga BBM di Indonesia terendah di dunia? Jika dibandingkan dengan sembilan negara tetangga terdekat, harga BBM Indonesia memang terendah. Pada saat premium di Indonesia dijual Rp 4.500 per liter, harga produk yang sama di Malaysia dijual Rp 5.420 per liter, dan China Rp 6.890 per liter. Bahkan, di Timor Leste, Thailand, dan Vietnam sudah ditetapkan Rp 7.990 per liter.

Sementara itu, harga premium di India Rp 10.380 per liter, Filipina Rp 10.650 per liter, dan Singapura Rp 13.680 per liter. Di Kamboja, yang relatif lebih miskin dari Indonesia, harga premium sudah Rp 11.300 per liter.

Kesimpulannya, menyubsidi BBM dan listrik Rp 265,6 triliun sama artinya dengan mengeluarkan uang Rp 727,6 miliar per hari hanya untuk ”membakarnya” tanpa ada sisa yang layak dinikmati.

Bayangkan jika uang itu digunakan untuk membangun sesuatu yang lebih produktif. ”Ini keputusan sulit dan dilematis, tetapi kekeliruan ini harus diakhiri,” ujar Sri Mulyani.

Hal itu juga yang dirasakan kalangan usaha. Ketua Komite Tetap Moneter dan Fiskal Kadin Indonesia Bambang Soesatyo mengatakan, kenaikan harga BBM terasa berat buat siapa pun, tetapi kepastian sikap pemerintah terhadap harga BBM akan mempermudah perhitungan rugi dan laba pengusaha.

”Meski demikian, para pelaku usaha belum dapat tidur nyenyak karena memikirkan dampak dan kerusakan ekonomi akibat kenaikan harga BBM yang disertai demonstrasi akhir-akhir ini. Ada satu yang melegakan. Karena dengan kepastian itu, bobot tekanan pada APBN-P 2008 direduksi,” tuturnya.

No comments: