Friday, May 30, 2008

Kekayaan Negara Rp 1.600 Triliun

Baru Pertama Laporan Keuangan Pemerintah Positif
Kamis, 29 Mei 2008 | 01:18 WIB

Jakarta, Kompas - Setelah tiga tahun berturut- turut negatif, kini neraca pemerintah dilaporkan positif karena nilai aset negara lebih tinggi dibanding utangnya. Nilai aset negara dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat atau LKPP 2007 mencapai Rp 1.600,21 triliun, sedangkan utangnya Rp 1.430,96 triliun.

”Ini pertama kalinya neraca pemerintah positif. Dengan pencapaian ini, saya sangat berharap Indonesia bisa segera masuk menjadi negara berkategori investment grade (negara dengan risiko fiskal sangat rendah sehingga surat utang pemerintah dan swasta dinilai aman dari risiko gagal bayar),” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Jakarta, Rabu (28/5).

Menurut Sri Mulyani, peningkatan nilai aset itu dimungkinkan karena pemerintah mendapatkan tambahan nilai aset dari revaluasi kekayaan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) migas senilai Rp 232,42 triliun. Ini mendongkrak nilai aset pemerintah hingga melampaui utangnya.

”Ini artinya, aset yang tercatat semakin banyak. Namun, saya yakin masih banyak aset negara yang belum terungkap,” ujarnya.

Direktur Jenderal Kekayaan Negara Depkeu Hadiyanto menyebutkan, nilai aset KKKS itu terdiri atas aset produksi senilai 24,6 miliar dollar AS dan aset nonproduksi 33,59 juta dollar.

”Penilaian ulang atas aset KKKS ini dimungkinkan karena setiap pemindahtanganan, baik dijual atau disewakan, aset KKKS harus direvaluasi oleh Ditjen Kekayaan Negara. Ini dilakukan karena aset KKKS merupakan aset pemerintah,” ujarnya.

Audit BPK

Berdasarkan hasil audit, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memutuskan untuk tidak memberikan pendapat (disclaimer) terhadap LKPP 2007. Artinya, pemerintah dianggap gagal memenuhi prinsip-prinsip pelaporan keuangan BPK.

Auditor Utama Keuangan Negara II BPK, Safri Adnan Baharuddin, menegaskan, pihaknya belum dapat mengumumkan hasil audit atas LKPP 2007 kepada publik. Ini karena BPK harus melaporkan hasil audit tersebut kepada DPR. (OIN)

No comments: