Tuesday, July 31, 2007

Budi Hartono Orang Terkaya RI



Kekayaan 150 Pengusaha Mencapai Rp 419 Triliun

Jakarta, Kompas - Orang terkaya di Indonesia dipegang Budi Hartono (66), raja tembakau pemilik pabrik rokok Djarum, Kudus, dengan kekayaan 4,2 miliar dollar AS atau sekitar Rp 37,8 triliun. Hanya 150 orang terkaya di negeri ini yang memiliki kekayaan senilai 46,6 miliar dollar AS atau setara Rp 419 triliun.

Pengusaha rokok lainnya, Rachman Halim (60) dari Gudang Garam, Kediri, menempati posisi kedua. Soedono Salim (92) yang namanya senantiasa dikaitkan dengan taipan terkaya era Orde Baru hanya menempati peringkat keempat, di bawah Eka Tjipta Widjaja (Sinar Mas).

Menariknya, Budi Hartono kini menguasai mayoritas saham Bank Central Asia (BCA) yang dibangun Soedono Salim. Ia juga melebarkan sayap bisnisnya ke properti dengan membangun Grand Indonesia, yang dulu Hotel Indonesia.

Kekayaan tiga "raja tembakau" (Budi Hartono, Rachman Halim, plus Putera Sampoerna) mencapai sekitar Rp 90 triliun.

Daftar 150 orang terkaya di Indonesia itu diumumkan, Senin (30/7) di Jakarta, oleh Executive Chairman of Globe Asia Rizal Ramli. Daftar 150 orang terkaya itu menjadi liputan utama edisi khusus majalah Globe Asia.

Pengusaha Muhammad Jusuf Kalla yang kini Wakil Presiden memiliki kekayaan 125 juta dollar AS (Rp 1,1 triliun), dan kekayaan Sultan Hamengku Buwono 140 juta dollar AS (Rp 1,2 triliun).

Walaupun perusahaan tembakau mendominasi, ada bukti bahwa elite bisnis di Indonesia kini sudah mulai berkembang pesat, baik secara domestik maupun secara global.

"Setelah krisis, para pemain baru sudah mulai tampil dengan strategi yang dapat mengisi peluang bisnis di Indonesia maupun di tingkat global," kata Rizal Ramli, mantan Menteri Keuangan dan mantan Menteri Koordinator Perekonomian.

Anak muda

Pengusaha seperti Teddy William Katuari, pemilik Wings Group, secara dominan menguasai pasar barang-barang konsumsi setelah Unilever. Katuari memproduksi detergen dan produk personal untuk 220 juta orang Indonesia. Salah satu produknya, Mie Sedap, kini merebak di pasar berdampingan dengan Indomie produksi Indofood.

Sejumlah pengusaha muda yang juga masuk dalam daftar ini adalah Sandiaga Uno yang baru berusia 38 tahun (Saratoga Capital), Benjamin Jiaravanon (36) dari CP Indonesia, Chaerul Tanjung (45) dari Grup Para, dan Rachmat Gobel (45) dari Gobel International.

Rizal Ramli mengatakan, daftar itu merupakan terobosan dari semangat kewirausahaan dan talenta komunitas bisnis Indonesia. "Evaluasi didasarkan data, laporan keuangan perusahaan, dan intelijen pasar. Nilai yang dihasilkan bukan saja berdasarkan pendapatan resmi, tapi juga berdasarkan nilai strategis yang bisa diukur jika dijual sesuai harga pasar," katanya.

Globe Asia juga mendaftar kekayaan pejabat publik, pengusaha yang jadi pejabat publik, di luar daftar 150 orang terkaya. Teratas adalah Fadel Muhammad, Gubernur Gorontalo, dengan kekayaan 16,6 juta dollar AS, disusul Fahmi Idris, Menteri Perindustrian. Keduanya pengusaha.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memiliki kekayaan 516.000 dollar AS atau Rp 4,6 miliar per tahun 2004. (DIS)

Presiden: Kembangkan Metode SRI secara Luas



Ketersediaan Pupuk Organik Menjadi Hambatan

Cianjur, Kompas - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengajak kalangan petani, perbankan, pengusaha, dan pemangku kepentingan di bidang ketahanan pangan untuk mengembangkan metode penanaman padi dengan intensif (system of rice intensification/SRI) secara luas.

Ajakan itu disampaikan, Senin (30/7), seusai panen perdana pengembangan lahan percontohan penanaman padi metode SRI seluas 7,5 hektar. Pengembangan SRI di Bobojong, Mande, Cianjur, Jawa Barat, itu dilakukan Medco Foundation bekerja sama dengan Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), Departemen Pertanian, dan Yayasan Aliksa Organic.

Menurut Presiden Yudhoyono, pengembangan tanam padi dengan metode SRI adalah contoh nyata mengoreksi gerakan revolusi hijau, yaitu upaya meningkatkan produksi padi yang bertumpu pada pupuk kimia.

"Dengan SRI, peningkatan produksi padi untuk mendorong peningkatan kesejahteraan petani tercapai, masalah ketahanan pangan dapat diselesaikan, tetapi caranya tanpa merusak lingkungan," kata Yudhoyono.

Metode SRI juga menghemat air. Hal ini penting mengingat ketersediaan air, khususnya di Pulau Jawa yang kini memprihatinkan.

Menteri Pertanian Anton Apriyantono mengungkapkan, metode SRI tepat diterapkan di Indonesia di tengah persoalan lahan. Lahan terus menyempit akibat laju alih fungsi yang tak terkendali. "SRI merupakan contoh meningkatkan produksi beras dengan inovasi teknologi pertanian," katanya.

Pendiri Yayasan Aliksa Organic, Alik Sutaryat, menerangkan, SRI adalah metode budidaya tanaman padi secara intensif, efisien, dan ramah lingkungan. Budidaya ini menggunakan pendekatan manajemen sistem perakaran yang berbasis pada pengelolaan tanah, tanaman, dan air.

"Tanaman padi butuh air, tetapi bukan tanaman air. Dengan SRI penggunaan benih lebih hemat, tanpa pupuk kimia, tetapi produksi meningkat," katanya.

Persoalan serius yang harus segera ditangani untuk mendukung pengembangan SRI adalah penyediaan pupuk organik yang cukup, baik kompos dari kotoran hewan maupun hijauan. Menanggapi itu, Mentan mengatakan, untuk memenuhi kebutuhan pupuk organik, pemerintah pada tahun 2008 berkonsentrasi menambah populasi ternak ruminansia.

Konsep CSR

Chairman Medco Foundation Arifin Panigoro mengungkapkan, pengembangan padi SRI merupakan peluang usaha menjanjikan. Beras organik harganya mahal dan bisa mendorong peningkatan kesejahteraan petani.

Swasembada beras akan tercipta bila SRI terus dikembangkan oleh perusahaan lain dalam konsep CSR. Setelah berhasil melakukan uji coba penanaman SRI di lahan 7,5 hektar, Medco Foundation ingin memperluas lahan penanaman SRI, konsep kemitraan dengan petani dan perbankan di lahan 10.000 hektar dengan anggaran Rp 100 miliar.

Ketua Dewan Penasihat DPKLTS Solohin GP meminta pemerintah mencarikan pengusaha yang bisa memasarkan beras produk SR agar ada jaminan harga bagi petani. (MAS/AHA/har)

Bank Tidak Perlu Takut "Haircut"



Laba Bersih Bank NISP Tumbuh 35 Persen

Jakarta, Kompas - Sepanjang dilakukan dengan niat baik dan penuh kejujuran, para bankir bank BUMN tidak perlu takut menerapkan PP Nomor 33/2006 yang memberi kewenangan bank melakukan haircut.

Penegasan tersebut disampaikan Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah saat acara sosialisasi Surat Keputusan Bersama (SKB) antara BI, Kepolisian RI, dan Kejaksaan RI, Senin (30/7) di Jakarta.

Dalam kesempatan itu, ketiga pemimpin tersebut menegaskan kembali komitmen bersama dan menginstruksikan secara langsung kepada seluruh kepala polda, kepala kejaksaan tinggi, dan Kantor BI di daerah mengenai pentingnya koordinasi dan kerja sama dalam penanganan tindak pidana perbankan.

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 33 Tahun 2006 dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 87 Tahun 2006 berisi tata cara penyelesaian utang bermasalah atau penghapusan piutang BUMN.

Kedua peraturan tersebut merupakan landasan hukum bagi bank BUMN untuk melakukan haircut atau memotong utang debitor yang macet sebagai salah satu strategi mengurangi kredit bermasalah (non performing loan/NPL). Sebelum kedua aturan tersebut terbit, bank BUMN tidak bisa melakukan haircut.

Bankir BUMN juga diimbau tidak perlu takut dipersalahkan di masa datang mengingat para penegak hukum bekerja secara cermat dan saksama berdasarkan hukum yang berlaku.

Seperti diberitakan, bankir BUMN, terutama Bank Mandiri dan BNI, masih ragu-ragu memberikan haircut meskipun secara hukum dibenarkan.

Bankir BUMN menilai, belum semua aparat penegak hukum memiliki penafsiran dan pemahaman yang sama mengenai undang-undang yang terkait dengan bank BUMN sebagai kekayaan negara. Dampaknya, sejak PP dan PMK itu diterbitkan akhir tahun 2006, belum ada bank BUMN yang memberikan haircut.

Belum ada kesepahaman

EVP Coordinator Directorate of Change Management Bank Mandiri Haryanto Budiman menjelaskan, karena belum ada kesepahaman, para bankir khawatir langkah untuk memberikan haircut akan diperkarakan di kemudian hari.

"Karena itu kami membutuhkan kepastian bahwa seluruh aparat hukum telah memiliki kesamaan pandang mengenai wewenang haircut oleh bank BUMN," ujar Haryanto.

Menurut dia, belum meratanya kesamaan pandang di kalangan aparat hukum diakibatkan kurangnya sosialisasi PP No 33/ 2006 dan PMK No 87/2006 oleh oversight committe (OC). OC adalah badan yang dibentuk pemerintah guna mengawasi upaya penyelesaian NPL di bank BUMN.

"Jika sosialisasi bisa diselesaikan bulan Agustus 2007, maka kami akan mulai menerapkan PP 33/2006 pada bulan September 2007," janji Haryanto.

PP No 33/2006 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah dan PMK No 87/2006 tentang Pengurusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah pada dasarnya memberi kewenangan pada bank BUMN untuk menangani NPL sesuai mekanisme korporasi. Dengan demikian, dapat dicapai kesamaan level of playing field antara bank-bank BUMN dan bank- bank swasta.

Hal ini tentunya memiliki pengaruh yang sangat positif bagi peningkatan kinerja bank-bank BUMN, khususnya dalam menjaga tingkat kesehatan bank.

Kelancaran penyelesaian NPL sangat dibutuhkan Bank Mandiri dan BNI. Meskipun kedua bank papan atas ini mampu menurunkan rasio NPL secara drastis dalam setahun terakhir, kewenangan melakukan haircut tetap diperlukan untuk memperlancar penjualan kredit bermasalah.

Bank Mandiri misalnya, siap menjual aset berupa kredit bermasalah senilai Rp 2,3 triliun dari 30 debitor besar kepada pihak lain. Hasil yang diperoleh dari penjualan itu akan dimasukkan sebagai pendapatan sehingga berpotensi mendongkrak laba tahun 2007.

Aset tersebut akan dijual dalam bentuk paket. Setiap paket terdiri dari 10-15 rekening, berasal dari sumber yang berbeda. Tidak ada aset yang berasal dari satu debitor Bank Mandiri. Tujuannya, mencegah pemilik lama kembali membeli aset-aset itu.

Sementara itu, PT Bank NISP Tbk selama semester I-2007 mencatat laba bersih Rp 140,6 miliar, naik 35 persen dari Rp 104 miliar tahun lalu.

Kenaikan laba bersih tersebut didorong oleh peningkatan pendapatan bunga bersih maupun pendapatan berbasis komisi (fee based income).

"Pencapaian kinerja semester ini sangat menggembirakan mengingat saat ini Bank NISP sebenarnya banyak mengeluarkan biaya untuk melakukan investasi melalui ekspansi penambahan jaringan kantor, ATM, personel, IT, serta melakukan inovasi produk dan jasa guna meningkatkan kualitas pelayanan bagi nasabah," jelas Presdir Bank NISP Pramukti Surjaudaja.

Kredit yang disalurkan Bank NISP per Juni 2007 sebesar Rp 17,7 triliun atau naik 38 persen dari Rp 12,8 triliun pada semester pertama tahun lalu. (FAJ)

Monday, July 30, 2007

Krisis Listrik, sampai Kapan?

OlehSri Hartati Samhadi

Krisis listrik kembali melanda sejumlah daerah. Di beberapa wilayah, ibaratnya tiada hari tanpa pemadaman. Kebijakan energi pada masa lalu yang sangat tidak bervisi jauh ke depan dan kerangka kebijakan yang tidak jelas dalam mendorong investasi swasta di sektor ketenagalistrikan, dituding sebagai biang keladi krisis listrik berkepanjangan di negara ini. Krisis ini diperkirakan belum akan teratasi sampai beberapa tahun ke depan.

ari sisi keseimbangan suplai dan permintaan, krisis listrik nasional terjadi karena pasokan listrik tidak mampu mengimbangi kebutuhan dalam perekonomian. Sejak krisis 1997, bisa dikatakan tidak ada penambahan kapasitas pembangkit baru yang signifikan.

Produksi listrik stagnan sejak 1998, hanya tumbuh sekitar 3 persen per tahun, atau di bawah laju pertumbuhan ekonomi yang 5-6 persen sekarang ini. Angka pertumbuhan produksi listrik sebesar ini tidak bisa mengimbangi pertumbuhan permintaan listrik yang 7-8 persen per tahun.

Persoalan underinvestment bukan hanya dialami oleh pembangkit, tetapi juga jaringan transmisi dan distribusi.

Sistem Jawa-Bali yang paling maju dan saling tersambung (interkoneksi) dengan jaringan 500 kV dan kabel laut 150 kV pun sebenarnya belum sepenuhnya saling tersambung karena kelemahan dalam sistem transmisi dan distribusi ini.

Sistem Jawa-Bali juga sangat rawan karena terlalu menggantungkan diri pada dua pembangkit besar, PLTU Suralaya (3.400 MW) dan PLTU Paiton (2.400 MW), yang sudah tua dan "sakit-sakitan".

Untuk mengimbangi laju konsumsi listrik yang diperkirakan mencapai 8-10 persen per tahun hingga tahun 2013, Indonesia, menurut pemerintah, memerlukan tambahan kapasitas pembangkit sebesar 24 gigawatt (GW) hingga tahun 2013. Kapasitas terpasang pembangkit yang dimiliki sekarang ini sekitar 24,7 GW.

Beban ini tidak mungkin ditimpakan hanya pada PT PLN yang beberapa tahun ini terus dilanda kesulitan keuangan. Ironisnya, meski berbagai upaya pembenahan regulasi dan insentif sudah dilakukan pemerintah, investasi swasta tidak juga kunjung masuk.

Demikian pula berbagai program fast track yang dimaksudkan untuk mengatasi krisis listrik dalam jangka pendek (terutama di Jawa-Bali), seperti proyek PLTU batu bara 10.000 MW yang ditargetkan selesai dalam tiga tahun, juga tidak jelas perkembangannya sampai sekarang.

Berdasarkan kajian sejumlah lembaga, faktor utama yang menarik investor untuk masuk ke sektor ketenagalistrikan adalah pertumbuhan permintaan, laju elektrifikasi, kompetitif tidaknya struktur tarif, potensi keuntungan (return on investment), tingkat risiko, keterbukaan pasar, fundamental jangka panjang dan stabilitas politik dan demokrasi.

Dari faktor-faktor tersebut, mereka melihat Filipina merupakan tempat menarik untuk investasi kelistrikan, disusul Thailand, Vietnam, India, Malaysia, dan China. Sedangkan Indonesia bersama Sri Lanka dan Pakistan dianggap tidak menarik.

Analis investasi Lin Che Wei menilai, salah satu alasan tidak masuknya investor adalah karena tidak adanya kerangka kebijakan (regulatory framework) yang jelas. Salah satu yang diinginkan investor adalah kepastian tentang tarif. Persoalannya, struktur tarif yang sekarang ini tidak didukung oleh undang-undang kelistrikan yang benar.

Di satu sisi, mereka yang mendukung dianulirnya UU Kelistrikan Nomor 2 Tahun 2002 menginginkan tarif listrik tetap ditentukan oleh pemerintah, namun harga BBM untuk pembangkit diserahkan pada mekanisme pasar. Ini yang membuat investasi di kelistrikan menjadi tidak menarik bagi investor.

"Aturannya sekarang ini kan banci. Harganya (listrik) tak boleh ditentukan oleh pasar, tetapi peranan pemerintah untuk melakukan ini juga terbatas," ujar Lin Che Wei.

Tidak masuknya investasi swasta mengakibatkan struktur industri kelistrikan tetap didominasi oleh PT PLN yang tidak efisien, penuh korupsi, dan tidak mampu menjadi ujung tombak ekspansi pembangunan kelistrikan karena kesulitan keuangan yang terus merundungnya sejak krisis.

Keterpurukan PLN, selain bersumber dari kebobrokan di dalam, juga karena kebijakan pemerintah yang kontradiktif, dan keterlambatan pemerintah membayar subsidi ke PLN membuat PLN tidak bisa membeli pasokan BBM atau gas ke Pertamina dan PGN sehingga upaya pelayanan PLN ikut terganggu.

Konsekuensi dari kondisi ini, upaya menggenjot pasokan kelistrikan juga terkendala. Ini baru bicara pembangkit. Krisis listrik sebenarnya gambaran krisis energi nasional akibat kegagalan dalam pengelolaan sumber daya energi nasional secara optimal.

Program konservasi dan diversifikasi energi bukan baru kali ini saja disuarakan, tetapi di lapangan tidak segera terlihat realisasinya, kendati status net importer dan kelangkaan BBM sudah dirasakan beberapa tahun terakhir.

Keberanian mengurangi subsidi secara signifikan baru ada pada pemerintahan sekarang ini. Kendati dikritik dan memunculkan dampak temporer yang sangat berat bagi perekonomian, kebijakan pengurangan subsidi secara tajam dua kali dalam tahun 2005 itu menjadi fondasi awal yang kokoh untuk menata kebijakan energi ke depan.

Tidak kompetitif

Dari sisi suplai, problem utama sistem kelistrikan Indonesia sekarang ini, menurut Lin Che Wei, adalah ketergantungan yang sangat besar pada sumber energi yang mahal. Sekitar 80 persen pembangkit milik PT PLN—yang memasok sekitar 90 persen kebutuhan listrik nasional—masih mengandalkan pembangkit termal seperti minyak, gas dan batu bara.

Akibatnya, ketika harga BBM melonjak, biaya pembangkitan juga menjadi sangat tidak efisien dan sangat mahal.

Di luar Jawa-Bali, sistem kelistrikan yang dikembangkan juga belum efisien dan masih banyak mengandalkan pada diesel yang berbahan bakar solar, belum terinterkoneksi, dan belum mampu melayani konsumen secara optimal.

Krisis listrik di Tanah Air dan kealpaan mengembangkan energi alternatif terbarukan itu sebenarnya hanya manifestasi dari kebijakan energi yang tidak bervisi jauh ke depan, karena cenderung menganggap minyak tidak akan pernah habis.

Salah satunya adalah kebijakan subsidi BBM regresif yang diterapkan pemerintah beberapa dekade terakhir. Kebijakan subsidi ini dituding sebagai biang keladi amburadulnya pengelolaan energi di Indonesia, karena justru tidak mendorong terjadinya konservasi dan diversifikasi energi, sehingga menjadi beban berat bagi keuangan negara, sumber inefisiensi, dan modus praktik-praktik penyelundupan.

Kebijakan energi murah lewat subsidi itu juga membuat program-program pengembangan listrik di daerah, seperti listrik pedesaan, pun tidak mengandalkan sumber energi terbarukan yang tersedia secara melimpah di daerah setempat, tetapi justru pada sumber energi mahal seperti genset solar.

Untuk konservasi dan diversifikasi energi nasional, pemerintah sebenarnya sudah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 mengenai Kebijakan Energi Nasional.

Perpres ini sudah menggariskan target pemanfaatan energi optimal, yang intinya menekan penggunaan minyak dari 80 persen menjadi kurang dari 20 persen pada 2020.

Sementara peran gas dalam pembangkitan listrik diharapkan meningkat menjadi di atas 30 persen, batu bara lebih dari 33 persen, biofuel di atas 5 persen, panas bumi di atas 5 persen, dan 5 persen sisanya dari biomassa, nuklir, mikrohidro, surya dan angin, serta 2 persen lebih dari batu bara cair.

Namun, lagi-lagi persoalannya selalu ada pada implementasi. Meski sudah ada cetak biru kebijakan energi nasional dalam rangka konservasi dan diversifikasi, pelaksanaan di lapangan terasa kurang gereget. Salah satu contoh, program biofuel yang jalan di tempat.

Tujuan Inpres No 1 Tahun 2006 tentang Pasokan dan Pemanfaatan biofuel adalah mendorong pengembangan proyek-proyek biofuel di Indonesia yang pro-growth (mendorong pertumbuhan ekonomi), pro-poor (mengentaskan kemiskinan), dan pro-job (menciptakan lapangan kerja) dengan pendekatan multisektoral.

Pengamatan Kompas di lapangan, program ini hanya menggebu-gebu di muka, melempem di tengah jalan. Untuk bioetanol, misalnya, banyak daerah atau petani atau daerah yang sebelumnya sudah antusias menanam jarak pagar karena iming-iming manfaat ekonomisnya, akhirnya harus menyaksikan semangat itu menguap begitu saja karena tidak ada tindak lanjut program di lapangan.

Akhirnya, bagaimana bicara pertumbuhan ekonomi jika listrik terus byarpet? Seperti kata Komisaris PT PLN Bambang Brodjonegoro, selama pertumbuhan produksi listrik tak mampu mengimbangi pertumbuhan ekonomi dan konsumsi listrik, pemadaman di mana-mana masih akan terjadi. Sampai kapan?

Prediksi PLN, untuk Sumut sudah akan teratasi pada 2010. Demikian pula Jawa. Namun, itu pun masih bergantung pada apakah proposal-proposal proyek pembangkit swasta yang sudah masuk itu akan benar-benar direalisasikan.

Dipertaruhkan

Salah satu yang dipertaruhkan dengan program pembangunan kelistrikan nasional adalah target elektrifikasi 90 persen pada 2020. Dibandingkan negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Thailand, dan Filipina, rasio elektrifikasi di Indonesia termasuk rendah karena terpuruknya investasi infrastruktur sejak krisis. Dengan rasio elektrifikasi 53 persen, sekitar 70 juta penduduk belum menikmati listrik setelah 62 tahun Indonesia merdeka.

Untuk mencapai target ini, produksi listrik harus tumbuh sekitar 13,1 persen per tahun. Sekali lagi, itu tidak bisa hanya dibebankan kepada PLN. Kuncinya tetap pada iklim investasi. Dalam hal ini, seperti pada kasus proyek crash program PLTU batu bara 10.000 MW dengan China, pemerintah tidak bisa hanya "mau menang sendiri", ingin cepat, murah, namun insentif tidak diberikan.

Akhirnya, menangani krisis listrik tidak bisa hanya dengan membangun pembangkit atau jaringan transmisi dan distribusi. Untuk wilayah Indonesia yang kepulauan, kebijakan inovatif sangat diperlukan. Termasuk di sini dengan mendorong inisiatif-inisiatif pembangunan kelistrikan berbasis masyarakat dan bertumbuhnya gerakan swasembada listrik di wilayah-wilayah lumbung energi.

Jadi, masih banyak pekerjaan rumah pemerintah setelah regulasi dan iklim investasi ditata agar Indonesia tidak gelap gulita.

Sektor Swasta dan Kemiskinan


Ari Margiono

Awal Juli lalu, Perserikatan Bangsa-Bangsa menyelenggarakan UN Summit on Corporate Citizenship di Geneva. Konferensi ini merupakan acara temu lebih dari 1.000 pemimpin sektor swasta, masyarakat sipil, dan pemerintah seluruh dunia.

Ada beberapa hal yang gaungnya relevan untuk Indonesia. Pertama, pertanyaan motif dan alasan sektor swasta terlibat penanggulangan kemiskinan. Kedua, sikap pemerintah dalam memandang keterlibatan swasta guna penanggulangan kemiskinan.

Keterlibatan swasta

Banyak pandangan mengungkap pentingnya sektor swasta terlibat penanggulangan kemiskinan. Sebuah pandangan berpendapat, keterlibatan swasta dalam penanggulangan kemiskinan pada dasarnya diawali pemenuhan kebutuhan internal perusahaan.

CK Prahalad dalam The Fortune at the Bottom of Pyramid melihat kebutuhan internal itu melalui kepentingan perusahaan dalam memperluas pasar melalui inovasi produk dan pemberdayaan mereka yang ada di bawah garis kemiskinan agar bisa menjadi konsumen. Prahalad berpendapat, dengan menjadi konsumen, peluang untuk meningkatkan kualitas kehidupan melalui aktivitas ekonomi residual menjadi lebih besar.

Survei McKinsey and Company —hasil wawancara dengan hampir 400 pimpinan perusaha- an multinasional di seluruh dunia— pada pertemuan UN Summit on Corporate Citizenship bertajuk "Shaping the New Rules of Competition" mempertegas pandangan itu. Survei menemukan prioritas sosial tertinggi yang menarik minat perusahaan: sektor edukasi dan ketenagakerjaan (50 persen) serta governance (44 persen). Aneka pilihan itu jelas terkait kebutuhan perusahaan atas ketersediaan tenaga terampil dan kepastian iklim usaha.

David Vogel dalam The Market for Virtue memberi perspektif berbeda, bahwa hakikat perusahaan sebagai entitas pencari keuntungan tidak dapat diganggu gugat. Dorongan untuk memupuk keuntungan dan memikirkan diri sendiri (self-interest) akan membatasi sektor swasta agar selaras dengan yang diharapkan banyak pihak dalam penanggulangan kemiskinan. Sektor swasta akan selalu melakukan aneka pilihan yang aman untuk kelangsungan hidup perusahaan.

Karena itu, agar partisipasi sektor swasta relevan, dorongan eksternal untuk mengatur perilaku sektor swasta menjadi mutlak. Regulasi pemerintah yang mengatur aktivitas sosial perusahaan menjadi penting. Perluasan dari aturan-aturan hukum yang ada untuk memastikan perilaku bertanggung jawab dari sektor swasta, misalnya hukum tenaga kerja dan lingkungan hidup, harus diutamakan.

Penanggulangan kemiskinan

Apa yang sebenarnya dituntut masyarakat adalah peningkatan kesejahteraan. Hal ini bisa diterjemahkan peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan (growth and equity). Dalam konteks Indonesia ini berarti peningkatan laju investasi, pemberdayaan ekonomi pedesaan, peningkatan lapangan kerja, serta pemerataan pendapatan dan kualitas akses bagi masyarakat. Ada tuntutan atas penyelesaian kemiskinan melalui kebijakan yang terpadu dan menyeluruh.

Temuan McKinsey and Co menunjukkan, minat perusahaan untuk melakukan investasi sosial ada di wilayah yang langsung menguntungkan perusahaan dan ironisnya ada pada wilayah berbeda dengan prioritas penanggulangan kemiskinan yang strategis. Area seperti kualitas pendidikan dan pemerintahan bersih merupakan wilayah yang langsung memberi manfaat kepada perusahaan. Namun, sektor swasta akan secara voluntary terlibat pembangunan ekonomi pedesaan, pengembangan infrastruktur, dan peningkatan pemerataan.

Jika kenyataan ini diabaikan, jelas ada disharmoni antara klaim penanggulangan kemiskinan yang dikembangkan sektor swasta dengan tuntutan penanggulangan kemiskinan secara terpadu yang diharapkan masyarakat.

Peran pemerintah

Menghadapi terputusnya voluntary initiative yang didasari ke- butuhan internal sektor swasta dengan kebutuhan dalam penanggulangan kemiskinan menuntut pemerintah lebih aktif. Sesuai mandat, pemerintah wajib memastikan arah partisipasi berbagai pihak dalam penanggulangan kemiskinan.

Langkah yang bisa dilakukan ialah mewujudkan dialog konstruktif antara pemerintah, masyarakat, dan swasta guna mengembangkan tata laksana kontribusi peran swasta dalam mengatasi kemiskinan sebagai bagian terpadu kebijakan penanggulangan kemiskinan pemerintah.

Pemerintah juga harus menciptakan rambu-rambu melalui aneka kebijakan insentif dan disinsentif terkait kontribusi sektor swasta dalam penanggulangan kemiskinan. Rambu-rambu investasi juga harus dikembangkan dalam kerangka ini.

Namun, tata laksana ini tidak boleh sedangkal pungutan. Selain rentan korupsi dan terkesan jalan pintas, pungutan seperti pajak hanya akan mendistorsi tatanan swasta-pemerintah-masyarakat sipil yang ideal. Pungutan akan menjadi pemajakan berganda (double taxation).

Sebaliknya, memikirkan kebijakan terpadu yang mengintegrasikan mereka yang ada di bawah garis kemiskinan, terutama yang ada di pedesaan, dalam value chain perusahaan dapat menjadi salah satu langkah awal pembicaraan tata laksana itu.

Memikirkan bankability warga miskin agar bisa mendapat modal untuk melakukan aktivitas ekonomi merupakan hal lain. Untuk itu, dibutuhkan paradigma baru dalam memandang hubungan swasta, pemerintah, dan masyarakat sipil. Paradigma yang mengizinkan tiap sektor dengan rendah hati mengakui kesuksesan yang satu bergantung kesuksesan yang lain. Paradigma yang berpihak kepada kesejahteraan masyarakat luas.

Ari Margiono Alumnus Jurusan Politik Internasional University of Wales, Aberystwyth, Inggris

Operator Akan Gunakan Menara Bersama


Jakarta, Kompas - Pemerintah akan mengesahkan regulasi tentang penggunaan menara telekomunikasi secara bersama bulan September 2007.

Aturan tersebut untuk menertibkan dan menata pembangunan menara serta mengefisiensikan biaya pengembangan jaringan operator telekomunikasi.

Juru bicara Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi Departemen Komunikasi dan Informatika, Gatot S Dewa Broto, akhir pekan lalu di Jakarta, mengatakan, setiap satu menara bisa digunakan secara bersama, maksimal tiga operator.

"Operator yang membangun menara harus memberi kesempatan kepada operator lain untuk menggunakan menaranya secara bersama," ujarnya.

Gatot mengutarakan, hanya menara untuk kepentingan jaringan utama yang tidak digunakan secara bersama dengan operator lain.

Hal itu karena jaringan utama khusus digunakan operator pemilik menara untuk memancarkan layanannya ke sistem jaringan tulang punggung atau backbone.

Penolakan masyarakat

Penggunaan menara secara bersama tak perlu dilakukan jika sistem telekomunikasi yang digunakan operator berbeda dan berpotensi menimbulkan interferensi.

"Regulasi ini mendesak untuk diterapkan karena banyaknya kasus penolakan masyarakat terhadap pembangunan menara," ungkap Gatot.

Kebutuhan dana untuk pembangunan menara tergolong cukup besar. Untuk pembangunan satu menara berikut kelengkapan alatnya, menghabiskan biaya Rp 2 miliar hingga Rp 3 miliar.

Direktur Utama PT Indosat Johnny Swandi Sjam mengungkapkan, sampai semester I tahun 2007, infrastruktur radio pemancar (base transceiver station/BTS) Indosat mencapai 8.700 unit, dan diproyeksikan mencapai 10.200 BTS pada akhir tahun ini. "Pembangunan tersebut didukung belanja modal sebesar 1 miliar dollar AS," ujar Johnny.

Secara terpisah, Dirut PT Excelcomindo Pratama Tbk (XL) Hasnul Suhaimi menyebutkan, sampai pertengahan tahun ini XL telah memiliki 8.936 BTS (sudah termasuk node B untuk infrastruktur 3G) yang diklaimnya menjangkau 80 persen populasi penduduk Indonesia.

XL menargetkan jumlah infrastrukturnya mencapai 10.640 BTS atau menjangkau 85 persen penduduk pada akhir 2007.

Untuk meningkatkan kejernihan suara dan kecepatan pengiriman layanan pesan singkat, XL didukung ketersediaan backbone kabel serat optik bawah laut yang telah terpasang sejak 2006 di hampir seluruh wilayah Sumatera, Kalimantan, Jawa, dan Sulawesi. (OTW)

Porsi Asing di SBI Turun



Laba Kotor Bank Permata Naik 41 Persen

Jakarta, Kompas - Memasuki semester II-2007, pertumbuhan likuiditas perbankan masih tetap lebih cepat dibandingkan penyaluran kredit. Itu tercermin dari penempatan di Sertifikat Bank Indonesia atau SBI yang masih saja terus meningkat. Kendati demikian, porsi asing di SBI menunjukkan kecenderungan menurun.

Direktur Perencanaan Strategis dan Humas BI Budi Mulya akhir pekan lalu di Jakarta menjelaskan, posisi SBI per pekan ketiga Juli 2007 sebesar Rp 273,5 triliun, meningkat dibandingkan pekan sebelumnya yang sebesar Rp 268,4 triliun.

Namun, porsi kepemilikan asing di SBI turun dari 14 persen atau Rp 37,5 triliun pada pekan kedua Juli 2007 menjadi 12,8 persen atau Rp 35 triliun pada pekan ketiga Juli 2007.

Menurut Budi, hingga kini likuiditas dana global masih mengalir ke negara-negara emerging market termasuk Indonesia.

"Namun, penurunan dan kenaikan porsi asing di aset-aset keuangan rupiah merupakan hal biasa dalam pengaturan portofolio aset keuangan dalam menyikapi perkembangan pasar global yang dinamis," jelas Budi.

Seiring turunnya suku bunga acuan atau BI Rate, investor asing cenderung mengurangi portofolionya di SBI dan mengalihkannya ke saham. Terbukti indeks saham di Bursa Efek Jakarta terus meningkat.

Dana di SUN

Adapun penempatan dana asing di Surat Utang Negara (SUN) saat ini cenderung stabil. Dana milik asing di SUN saat ini mencapai sekitar Rp 81 triliun, tidak jauh berbeda dengan bulan sebelumnya.

Ekonom Bank Rakyat Indonesia (BRI), Djoko Retnadi, mengatakan, asing semakin tidak tertarik dengan SBI karena imbal hasilnya semakin turun.

"Dana asing pindah ke pasar modal, namun dana dalam rupiah tetap saja masuk ke sistem perbankan. Ini menjelaskan mengapa porsi asing di SBI turun tetapi jumlah SBI-nya secara total tetap naik," jelas Djoko.

Menurut Djoko, laju penyaluran kredit memang belum secepat pertumbuhan likuiditas. "Perbankan tidak dapat melempar dananya begitu saja ke kredit," kata Djoko.

Budi Mulya berharap proyek infrastruktur bisa bergulir lebih cepat sehingga penyaluran kredit akan melonjak. BI optimistis pertumbuhan kredit tahun ini akan mencapai 18 persen.

Ekonom BNI, Tony Prasetiantono, menjelaskan, porsi asing di SBI turun karena ekspektasi kenaikan suku bunga di Amerika dan Eropa, dalam rangka mengantisipasi kenaikan inflasi yang disebabkan oleh kenaikan harga minyak yang kini mencapai 77 dollar AS per barrel.

Sementara, suku bunga SBI semakin rendah. "Namun, penurunan suku bunga SBI tampaknya akan tertahan di level 8,25 persen karena BI harus menjaga kurs rupiah agar tidak mengalami depresiasi lebih lanjut," ujarnya.

Berdasarkan data BI, pertumbuhan kredit selama Januari-Mei 2007 hanya sekitar Rp 32 triliun. Padahal, target tahun 2007 sekitar Rp 180 triliun.

Kredit yang telah disetujui namun belum ditarik (undisbursed loan) cukup besar mencapai Rp 172 triliun atau 20 persen dari total kredit

Sementara itu, Bank Permata mencatat laba kotor (sebelum dikurangi pajak) per Juni 2007 sebesar Rp 289 miliar, naik 41 persen dibandingkan periode sama tahun sebelumnya senilai Rp 204 miliar.

Adapun laba bersih (setelah dikurangi pajak) mencapai Rp 198 miliar, tumbuh 39 persen dibandingkan tahun lalu yang sebesar Rp 143 miliar.

Direktur Utama Bank Permata Stewart D Hall mengatakan, total pinjaman yang disalurkan (gross) mencapai Rp 25 triliun atau meningkat 12 persen dibanding periode yang sama 2006. (faj)

Analisis Danareksa


Kontribusi Bursa Harus Ditingkatkan

Purbaya Yudhi Sadewa dan Muhammad Hanif

Pada tahun 2007 ini indeks harga saham gabungan mengalami kenaikan yang signifikan. Akan tetapi, dampak terhadap perekonomian masih belum optimal karena jumlah investor domestik yang relatif kecil dan masih relatif terbatasnya perusahaan yang memanfaatkan pasar saham kita.

Langkah yang lebih serius harus diambil untuk meningkatkan kontribusi bursa saham kita terhadap perekonomian.

Volatilitas harga saham dalam jangka pendek memang amat tinggi. Misalnya, dalam perdagangan minggu lalu indeks harga saham gabungan (IHSG) sempat menembus level 2.400 di awal minggu. Akan tetapi, pada hari-hari berikutnya indeks mulai terkoreksi dan ditutup pada level 2.298, sedikit lebih rendah dibandingkan dengan penutupan minggu sebelumnya pada level 2.366.

Walaupun demikian, IHSG masih mengalami kenaikan sebesar 27 persen dibandingkan dengan penutupan pada akhir tahun 2006. Return yang terjadi di bursa saham ternyata jauh lebih tinggi dari yang bisa diperoleh dari deposito dalam periode yang sama. Memang, dengan horizon yang lebih panjang investasi di pasar saham dapat menjadi alternatif investasi yang lebih menjanjikan.

Perlu diingat bahwa pergerakan jangka panjang harga saham pada dasarnya ditentukan oleh arah pergerakan perekonomian. Di tengah laju inflasi yang semakin terkendali, BI telah menurunkan suku bunga secara agresif sejak pertengahan tahun 2006.

Rasanya BI masih memiliki ruang untuk menurunkan suku bunga ke level yang lebih rendah lagi. Tentunya hal ini pada gilirannya akan terus meningkatkan belanja konsumen dan aktivitas investasi.

Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan pun akan mengalami peningkatan. Dengan latar belakang yang demikian, tidaklah terlalu mengherankan bila IHSG mengalami kenaikan yang signifikan pada tahun 2007 ini.

Apakah kenaikan IHSG ini dapat dirasakan oleh masyarakat kita secara luas, dan apakah pasar saham kita sudah memberikan dampak yang optimal terhadap perekonomian?

Asing lebih diuntungkan

Sayangnya, prospek keuntungan berinvestasi di bursa saham kita tampaknya lebih dipahami oleh investor asing. Hal ini antara lain dapat dilihat dari data struktur kepemilikan saham di bursa saham kita. Sampai dengan April 2007, investor asing menguasai sekitar 67,6 persen dari total investasi di pasar saham kita (Tabel 1).

Tentunya kenaikan yang signifikan dari harga-harga saham di bursa kita akhir-akhir ini pun sebagian besar dinikmati oleh investor asing tersebut.

Walaupun berita tentang naik-turunnya harga saham sering diberitakan di media massa cetak maupun elektronik, tampaknya pasar saham sebagai alternatif investasi belum terlalu memasyarakat. Hal ini dapat dilihat dari masih relatif sedikitnya jumlah rumah tangga yang berinvestasi di pasar saham.

Sebagai catatan, sampai dengan April 2007, jumlah rekening perorangan baru mencapai sekitar 56.000. Suatu angka yang amat kecil bila dibandingkan dengan jumlah rumah tangga yang ada di negara kita.

Sering disebutkan bahwa bursa saham dapat memengaruhi perekonomian melalui efek kemakmuran (wealth effect). Harga-harga saham yang meningkat akan membuat masyarakat yang memiliki investasi di pasar saham bertambah kaya (atau merasa bertambah kaya).

Akibatnya, mereka akan cenderung meningkatkan belanja. Mengingat belanja konsumen memberikan kontribusi yang amat signifikan terhadap suatu perekonomian, maka kenaikan harga saham dapat memberi dampak yang cukup signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di suatu negara.

Jadi, untuk kasus Indonesia, tampaknya kenaikan harga saham tidak meningkatkan belanja konsumen dengan signifikan. Di AS, misalnya, lebih dari 50 persen rumah tangganya memiliki investasi di pasar saham sehingga kenaikan harga saham lebih dapat dirasakan oleh masyarakat dan perekonomian AS secara menyeluruh.

Sisi suplai

Sementara itu, jumlah perusahaan yang memanfaatkan pasar modal kita pun cenderung stagnan. Dalam periode tahun 2002 sampai Juni 2007, hanya ada tambahan lima perusahaan yang masuk ke bursa saham kita (ada juga perusahaan yang go private). Angka di atas jauh di bawah angka negara-negara tetangga.

Jumlah perusahaan yang terdaftar di bursa saham Thailand, misalnya, bertambah sebanyak 87 perusahaan dalam periode yang sama. Di Malaysia mengalami pertambahan sebanyak 152 perusahaan (Tabel 2), dan di Singapura sebanyak 153 perusahaan.

Perbandingan di atas memberi indikasi bahwa jumlah perusahaan di Indonesia yang memanfaatkan bursa saham sebagai alternatif sumber pendanaan relatif kecil dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Tampaknya manfaat pasar modal bagi perekonomian nasional secara keseluruhan belum optimal.

Malaysia, misalnya, sudah jauh lebih maju dari Indonesia dalam memanfaatkan pasar modal sebagai sumber alternatif pendanaan untuk ekspansi bisnis. Selain terlihat dari jumlah perusahaan yang masuk bursa juga dari kapitalisasi pasar saham Malaysia yang mencapai sekitar 122 persen dari PDB-nya. Sementara kapitalisasi pasar modal di Indonesia sekitar 43,3 persen dari PDB.

Malaysia mengalami perbaikan karena pemerintah dan otoritas pasar modal di negeri itu lebih serius dalam mengembangkan pasar modal mereka. Salah satu contohnya adalah adanya kebijakan bahwa BUMN dan kantor pemerintahan hanya boleh bertransaksi dengan perusahaan yang sudah publik.

Popularitas bursa saham di kalangan dunia usaha kita pun tampaknya masih perlu ditingkatkan lagi. Danareksa Research Institute baru-baru ini melakukan survei terhadap sekitar 200 orang pimpinan perusahaan di Indonesia tentang pasar modal (dipilih secara acak).

Survei menunjukkan bahwa sekitar 36,4 persen dari responden tidak mengetahui alternatif sumber pendanaan dari pasar modal. Ketika ditanya lebih jauh alasan keengganan mereka untuk memanfaatkan pasar modal, ada sekitar 8 persen yang mengatakan belum mengetahui pasar modal, 10 persen mengatakan proses di pasar modal rumit, dan sekitar 22 persen mengatakan keadaan pasar tidak mendukung (Gambar 1).

Sebagai catatan, bursa saham kita terus mengalami kenaikan sejak awal tahun 2006. Jadi, ada kemungkinan mereka yang mengatakan bahwa pasar tidak mendukung sebenarnya tidak terlalu mengerti tentang pasar modal.

Hasil survei di atas memberikan indikasi bahwa masih cukup banyak pimpinan perusahaan di Indonesia yang belum terlalu mengenal pasar modal. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika jumlah perusahaan baru yang terdaftar di bursa saham jumlahnya tidak banyak.

Belum optimal

Diskusi di atas memberi indikasi bahwa dampak kenaikan IHSG terhadap perekonomian kita tampaknya masih jauh dari optimal. Dari sisi investor, jumlah investor domestik di pasar saham kita relatif tidak terlalu banyak. Dengan demikian, efek kemakmuran dari kenaikan harga saham tidaklah terlalu besar. Sementara dari sisi penawaran, pertumbuhan jumlah perusahaan yang memanfaatkan bursa saham juga relatif terbatas.

Untuk mengoptimalkan manfaat bursa saham bagi perekonomian kita, pemerintah dan otoritas bursa saham harus berusaha lebih keras. Hal itu diperlukan agar jumlah investor domestik di pasar modal kita terus meningkat dan jumlah perusahaan yang memanfaatkan bursa saham juga bertambah secara signifikan.

Untuk jangka panjang (bila diperlukan), mungkin perlu dibuat suatu program nasional yang komprehensif untuk mengoptimalkan peranan pasar modal bagi perekonomian. Sementara itu, untuk jangka pendek, otoritas pasar modal dan bursa efek (termasuk perusahaan sekuritas yang merupakan anggota bursa) harus lebih aktif lagi melakukan proses edukasi publik yang benar (kepada masyarakat maupun kepada perusahaan) tentang pasar saham.

Purbaya Yudhi Sadewa Chief Economist Danareksa Research Institute
Muhammad Hanif Direktur PT Danareksa (Persero)

Perbaiki Mesin Sepatu



Nike Memperpanjang Kontrak hingga 24 Bulan

Jakarta, Kompas - Demi menjaga mutu agar bisa bersaing di pasar internasional, maka restrukturisasi mesin sepatu berteknologi modern perlu dilakukan. Apalagi, industri sepatu merupakan sektor unggulan yang bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi dan dapat menyediakan lapangan kerja.

Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Eddy Widjanarko di Jakarta, akhir pekan lalu, mengatakan, "Dari total anggota Aprisindo sebanyak 200 perusahaan, ada 70 perusahaan sepatu yang kondisi mesinnya sudah tua."

Menurut Eddy, investasi awal industri sepatu dimulai pada tahun 1987. Selama 20 tahun, belum ada pembaruan dalam industri mesin sepatu.

Jika restrukturisasi mesin sepatu dapat dilakukan, ditargetkan akan ada peningkatan produksi 20 persen dari nilai produksi saat ini sekitar 1,6 juta dollar AS per tahun.

Sekarang ini, ujar Eddy, industri sepatu cenderung untuk melakukan kegiatan ekspor meskipun marjin keuntungannya kecil. Industri sepatu umumnya masih banyak berkonsentrasi pada ekspor, dengan mengandalkan mesin-mesin dari Italia, Taiwan, Korea, dan Jepang.

Sama dengan TPT

Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Tekstil, dan Aneka Departemen Perindustrian Anshari Bukhari mengatakan, pemerintah memandang kondisi dan prospek industri alas kaki hampir sama dengan industri tekstil dan produk tekstil (TPT).

Kemungkinan masalah-masalah yang dihadapi industri alas kaki sama dengan industri TPT.

Selama ini industri TPT sudah begitu gencar mengeluhkan kondisi sulitnya menghadapi persaingan pasar. Sementara, industri sepatu belum pernah mengeluh kepada pemerintah menyangkut permasalahan yang mereka hadapi.

"Kalau memang industri alas kaki memerlukan dukungan semacam restrukturisasi mesin seperti sedang dilakukan terhadap industri TPT, pemerintah siap membantu. Pemerintah hanya akan memprioritaskan industri sepatu kulit dan sepatu sport merek lokal. Bukan industri yang hanya berkonsentrasi menjahit sepatu merek-merek asing," ujar Anshari.

Pada dasarnya, lanjut Anshari, pemerintah ingin mekanismenya berjalan sebagai bisnis normal, misalnya industri bebas meningkatkan modal usahanya dengan meminjam kepada perbankan.

Namun, jika sistem kredit ini tidak berjalan baik, pemerintah akan turut memfasilitasi dan mendukung secara konkret.

Sementara itu, dari Semarang, Jawa Tengah, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Suparno mengatakan, sudah ada kesepakatan antara Nike Inc dan PT Nasa dan PT HASI untuk memperpanjang kontrak pembuatan sepatu hingga 24 bulan (dua tahun) ke depan.

Namun, ujar Erman, masih terdapat sejumlah pembicaraan lanjutan tentang kelanjutan kontrak tersebut. (OSA/GAL)

ANALISIS EKONOMI


Kasus Nike: Limbung di Tengah Deru Globalisasi

FAISAL BASRI

Data resmi yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik atau BPS menunjukkan terjadi penurunan terus-menerus angka pengangguran terbuka, dari 11,2 persen pada Mei 2005 menjadi 10,4 persen pada Februari 2006, dan 10,3 persen pada Agustus 2006. Penurunan terus berlanjut hingga mencapai satu digit (9,8 persen) pada Februari 2006.

Sekalipun telah menunjukkan penurunan yang cukup konsisten, dalam konteks Indonesia yang tingkat pendapatan per kapitanya masih rendah, tetap saja angka pengangguran sebesar 9,75 persen tergolong relatif sangat tinggi. Apalagi mengingat sistem jaminan sosial yang kita miliki masih jauh dari memadai.

Kita pun masih patut prihatin mengingat bahwa sebagian besar penduduk yang bekerja ternyata menyemut di sektor informal. Jumlahnya justru mengalami peningkatan, dari 66,3 juta jiwa pada tahun 2005 menjadi 67,9 juta jiwa atau hampir 70 persen dari seluruh penduduk yang bekerja pada tahun 2007.

Rendahnya kualitas kondisi ketenagakerjaan kita tercermin pula dari jumlah yang bekerja tidak penuh atau separuh menganggur (under employment). Diperkirakan jumlah mereka mencapai tiga kali lipat dari yang sama sekali tak memiliki pekerjaan. Dengan demikian, jumlah keseluruhan penganggur terbuka dan separuh penganggur mencapai hampir 40 persen dari keseluruhan angkatan kerja.

Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa sektor pertanian masih saja menjadi tumpuan utama penyerapan tenaga kerja. Meskipun peranan sektor pertanian di dalam produk domestik bruto (PDB) hanya tinggal sekitar 13 persen dalam lima tahun terakhir, peranannya sebagai penyerap tenaga kerja tak kunjung mengalami penurunan berarti. Pada tahun 2007, sebanyak 44 persen dari keseluruhan penduduk yang memiliki status bekerja memadati sektor pertanian.

Kasus Nike

Bertolak dari kenyataan bahwa lebih dari 80 persen pekerja adalah tamatan sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) ke bawah, keberadaan industri manufaktur padat karya sangat menjadi andalan untuk menyerap mayoritas tenaga kerja. Industri manufaktur berperan pula sebagai lokomotif untuk memperbesar lapisan pekerja formal sehingga kian banyak tenaga kerja yang memperoleh perlindungan kerja, serta hak-hak normatif pekerja. Dengan demikian, diharapkan kualitas hidup keluarga Indonesia bertambah baik.

Oleh karena itu, tatkala muncul berita dua pabrik sepatu terancam tutup karena tak akan lagi menerima pesanan dari prinsipal asing pemegang merek dagang Nike, kita semua patut prihatin. Para pengambil keputusan seharusnya satu kata dan tindakan untuk melindungi kepentingan pekerja sebagai kelompok yang paling lemah.

Tidak benar kalau kasus ini sekadar persoalan pemilik pabrik dengan para pekerjanya semata. Pemerintah harus berperan untuk meningkatkan daya tawar pekerja dan investor domestik menghadapi prinsipal asing. Bukankah keberadaan prinsipal asing bukan sekadar pemberi order, melainkan juga ikut menentukan hampir segala aspek, mulai dari pengadaan bahan baku (jenis, vendor, dan harganya), proses produksi, hingga akhir proses distribusi ke tingkat pengecer.

Kita tak hendak mencampuri sengketa antara prinsipal asing dan pemilik pabrik. Yang harus menjadi kepedulian kita bersama, terutama pemerintah, ialah bagaimana kepentingan pekerja terlindungi dengan mendesak para pihak menempuh proses transisi yang lebih mulus.

Jika kasus Nike ini ditangani secara serampangan sehingga menimbulkan kesan sedemikian mudahnya memutus order dan hubungan kerja, maka tak tertutup kemungkinan akan muncul gelombang yang lebih besar pada industri sepatu dan industri-industri padat karya lainnya.

Pelajaran berharga

Prinsipal asing pada dasarnya adalah kapitalis tulen. Mereka selalu akan memaksimalkan laba. Karena menghadapi persaingan yang makin ketat, pilihan logis mereka adalah mencari kos produksi yang paling rendah. Mereka membandingkan para pemilik pabrik di suatu negara dengan pabrik di luar negeri.

Pengalaman di Indonesia menunjukkan sudah banyak pabrik sepatu yang gulung tikar. Yang tersisa praktis adalah pabrik besar yang kebanyakan dimiliki pemodal asing.

Pabrik-pabrik berskala "tanggung" sulit menjadi besar karena mau tak mau harus menghadapi peningkatan kos tenaga kerja. Pabrik yang telah beroperasi belasan tahun yang selalu menyesuaikan gaji pekerjanya dan tak melakukan pemutusan hubungan kerja niscaya akan digilas oleh pabrik-pabrik besar yang kurang peduli terhadap peningkatan kesejahteraan pekerjanya.

Jika kos produksi di suatu negara kian hari semakin mahal, otomatis para prinsipal asing akan memindahkan ordernya ke pabrik-parik di negara lain yang menawarkan kos lebih murah.

Seperti itulah tampaknya hukum globalisasi bekerja. Tinggal bagaimana kita bersikap. Kini tiba momentum bagi kita untuk berbenah. Para pengusaha domestik yang sudah belasan tahun menggeluti industri sepatu dan industri padat karya lainnya paling tidak telah menguasai teknologi untuk menghasilkan produk-produk berkualitas. Sudah saatnya pengusaha domestik mengembangkan merek sendiri untuk memanfaatkan pasar dalam negeri yang cukup besar, dengan kualitas yang setara dengan merek terkenal, tetapi dengan harga yang lebih murah.

Dengan ditopang oleh kemampuan desain dan pengembangan jaringan pemasaran bersama, tak tertutup kemungkinan produk-produk kita bisa pula menembus pasar dunia. Setidaknya dimulai dari negara-negara berkembang di Afrika dan Asia.

Ada dua faktor yang menjadi kunci keberhasilan. Pertama, pemerintah mendukung sepenuhnya kegiatan riset dan pengembangan agar pengusaha-pengusaha Indonesia selalu melahirkan invensi dan inovasi berkelanjutan. Sementara itu, para investor asing didorong membangun pusat-pusat pengembangan produk di sini. Tentu diperlukan insentif untuk memacu kegiatan seperti itu.

Kedua, pemerintah harus memiliki kebijakan industrial yang jelas, terutama bagaimana mengharmoniskan berbagai kebijakan setiap departemen sehingga satu sama lain saling dukung, bukan saling "jegal". Kebijakan ekspor dan impor kulit, misalnya, menjadi salah satu kendala yang membuat industri sepatu kesulitan bahan baku.

Sunday, July 29, 2007

Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Keagamaan


Cetak E-mail
Oleh: WARDI TAUFIQ MSi

Pemerintah melalui Departemen Sosial (Depsos) telah mengimplementasikan Program Keluarga Harapan (PKH),25 Juli 2007, di Provinsi Gorontalo. Program itu sebagai salah satu upaya untuk mengurangi kemiskinan melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia dari keluarga sangat miskin dengan cara pemberian bantuan tunai bersyarat.

Diharapkan,program ini tidak menambah daftar kegagalan pemerintah dalam program penanggulangan kemiskinan yang pernah dilakukan sebelumnya. Dengan kasatmata bisa disaksikan, misalnya,Program Inpres Desa Tertinggal (IDT),Proyek Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K),Program Pemberdayaan Daerah Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDM-DKE),Program Pengembangan Kecamatan (PPK),Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP),Jaring Pengaman Sosial,Bantuan/Subsidi Langsung Tunai,dan masih banyak lagi program pemerintah yang nyaris tanpa meninggalkan bekas.

Yang terjadi justru angka kemiskinan tetap berada di luar batas-batas kewajaran. Hingga kini,kondisi objektif tingkat kesejahteraan warga masyarakat di Indonesia tidak banyak mengalami perubahan yang berarti.Persoalan mendasar yang dihadapi bangsa ini terasa belum tersentuh perbaikan.Jika ada upaya perbaikan,upaya itu belum mampu menjangkau pada akar permasalahan yang menyebabkan bangsa ini jatuh dalam jurang kemiskinan. Sudah dimaklumi,Data Bank Dunia menyebutkan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia pada 2006 sebanyak 108,78 juta orang atau 49% dari jumlah total penduduk Indonesia.

Mereka hidup dengan pendapatan kurang dari USD2 per hari atau sekitar Rp19.000 per hari.Jika berdasarkan Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) pada September 2006,jumlah penduduk miskin sebanyak 17,75% dengan pendapatan USD1,55 per hari.Sementara itu,per Maret 2007,jumlah penduduk miskin sebanyak 39,30 juta orang.Pada Juli 2007,jumlah penduduk miskin di Indonesia berkurang 2,13 juta orang atau menjadi 37,17 juta orang.Menurut laporan BPS,kategori penduduk miskin adalah mereka yang pengeluarannya di bawah 166.697 per bulan.

Tingkat kemiskinan yang begitu besar mengakibatkan masalah-masalah dasar lain,terutama pendidikan dan kesehatan kurang menjadi prioritas pemikiran warga masyarakat.Artinya, masyarakat miskin menghadapi masalah keterbatasan akses layanan pendidikan dan kesehatan layak yang berdampak pada rendahnya daya tahan mereka untuk bekerja dan mencari nafkah,terbatasnya kemampuan anak dari keluarga untuk tumbuh.

Terkait dengan kemiskinan yang melanda bangsa ini,tentu semua pihak punya tanggung jawab untuk mempertajam visi dan kepekaan sosial mereka dalam berpartisipasi mencari jalan keluar dari masalah akut ini. Salah satu elemen penting yang belum dimaksimalkan peranannya padahal strategis adalah lembaga-lembaga keagamaan lokal,seperti pesantren, masjid,gereja,wihara,dan seterusnya.

Para agamawan sebagai juru bicara Tuhan ditantang untuk menyelesaikan urusan-urusan yang lebih konkret dan ditagih kepeduliannya pada masalahmasalah yang paling nyata,memberi keteladanan dan menjadi motivator perubahan.Masyarakat miskin harus dibantu mengubahnya dan bukan dininabobokan tentang arti kesabaran di hari nanti.Mereka berhak memperoleh kesempatan untuk hidup secara layak sebagai khalifah Tuhan di bumi-Nya.Di sini,agama harus menjadi energi utama bagi setiap pemeluknya untuk berlomba-lomba menjadi makhluk yang bermartabat,baik secara duniawi maupun ukhrawi.


Semua agama harus bersatu padu dan bekerja sama dalam memerangi kemiskinan ketimbang membesarbesarkan perbedaan ritual keagamaan untuk memicu konflik sosial.Sudah waktunya,semua agama di Indonesia meredefinisi diri sebagai kekuatan perubahan (the power of change) bagi umatnya dengan mengobarkan etos kerja keras,ulet,tahan banting, mengutamakan kualitas,berani mengambil risiko,dan lain-lain sebagai ”panggilan”(beruf) Tuhan untuk memakmurkan bumi-Nya (ta’mir alardl). Sukses ’’duniawi’’ seperti itu tidak ragu lagi merupakan tanda-tanda bagi pemeluk yang terpilih (Al-Nahl 16: 122) dan sebaliknya kegagalan yang bersumbu pada kemalasan dan kebodohan merupakan isyarat yang jelas sebagai orang yang tidak terpilih. Lembaga keagamaan lokal yang memiliki tugas membangun kesadaran kolektif para jamaahnya,tentu tidak hanya memiliki kewajiban untuk menyampaikan pesan ilahiah melalui khotbah (bil-lisan),tetapi juga dengan tindakan (bil-khal)sebagai tugas kenabian.

Dalam banyak hal,orang miskin tidak hanya membutuhkan khotbah bahwa kemiskinan bukanlah sebuah nasib melainkan sebagai hasil konstruksi sosial,tetapi yang terpenting bagaimana kemiskinan itu harus diubah. Merevitalisasi Lembaga Keagamaan Lokal Kemiskinan,yang umumnya berada di pedesaan,merupakan salah satu masalah besar yang membutuhkan gerakan bersama secara terus menerus dari seluruh komponen bangsa untuk mengatasinya.Salah satu komponen bangsa yang peranannya sangat diharapkan dalam konteks penanggulangan kemiskinan adalah lembagalembaga keagamaan lokal tersebut. Keberadaannya akan dapat menjadi pusat pembangunan umat.

Pemberdayaan umat melalui lembaga keagamaan lokal yang diarahkan pada problem solving yang sesuai dengan karakter kemiskinan lokal dan core competentdaerah yang bersangkutan sangat kompatibel dengan kondisi dan karakteristik kemiskinan di Indonesia. Pada gilirannya,lembaga-lembaga keagamaan lokal,jika ditata akan memainkan peran yang strategis dalam upaya melakukan transformasi di bidang ekonomi,kesehatan dan pendidikan dalam rangka mewujudkan tata kehidupan baru yang lebih sejahtera.

Dia akan dapat dimanfaatkan sebagai ujung tombak penanggulangan kemiskinan dan perlu dipersiapkan secara permanen sebagai poros perubahan masyarakat sekitarnya,khususnya dalam penanggulangan kemiskinan. (*)

WARDI TAUFIQ MSi
Staf Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Jakarta

ANALISA KWIK KIAN GIE


Melawan Kartel IMF


SATU hari setelah kabinet di-reshuffle terjadi silang pendapat antara Meneg PPN/Kepala Bappenas dan Menteri Keuangan. Kepala Bappenas memberi pernyataan akan mengupayakan memperoleh potongan utang luar negeri atau hair cut. Langsung ditentang secara terbuka pula oleh Menteri Keuangan dengan alasan bahwa dengan pernyataan seperti itu beliau akan kesulitan menjual obligasi di luar negeri. Menkeu juga menganjurkan kepada Kepala Bappenas supaya jangan bersikap dan bertutur kata seperti anggota DPR, karena sekarang sudah menjabat sebagai Menteri.

Kepala Bappenas mengetahui bahwa semua negara pemberi pinjaman kepada Indonesia bersama-sama dengan Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, Paris Club, London Club dan IMF selalu menyatukan sikapnya terhadap negara seperti Indonesia, dan sikap itu ialah: satu dollarpun tidak akan memberikan penundaan pembayaran utang (apalagi haircut) kepada Indonesia. Penundaan pembayaran pernah diberikan selama lima tahun, tetapi dalam program pendiktean dan pengawasan yang ketat yang kita kenal dengan sebutan “Letter of Intent” dengan isi yang sangat tidak masuk akal dan merugikan Indonesia.

Kesatuan sikap ini dipimpin oleh IMF. Maka untuk mudahnya saya sebut “Kartel IMF”. Di Indonesia ada sekelompok teknokrat yang selama berpuluh-puluh tahun selalu seia sekata dengan Kartel IMF, betapapun Kartel IMF merugikan bangsa Indonesia. Ini tidak berarti bahwa bangsa Indonesia tidak boleh menggugat.

Karena Kepala Bappenas yang sepanjang karirnya sebagai pimpinan Komisi IX dan sekarang Komisi XI DPR menggeluti masalah-masalah utang, beliau paham betul betapa dahsyatnya utang luar negeri dan utang dalam negeri yang diciptakan oleh Kartel IMF membebani keuangan negara.

Itulah sebabnya begitu mempunyai kesempatan duduk dalam eksekutif beliau menyatakan sikapnya yang terpuji. Beliau mengatakan akan melakukannya dengan pendekatan yang hati-hati. Namun seperti kita ketahui, langsung saja disantlap. Artinya, Menteri Paskah Suuzetta baru mau berbicara saja tidak boleh! Mayoritas rakyat Indonesia mendambakan Kepala Bappenas menjadi ujung tombak membebaskan bangsa ini dari penjajahan dengan teknik-teknik mutakhir yang oleh Angkatan Darat disebut “perang modern”.

Negara-negara kreditur selama 36 tahun telah dan masih menikmati pendapatan dan manfaat luar biasa besarnya dalam bentuk uang. Dalam bentuk kekuasaan dan pengaruh terhadap seluruh negara bangsa Indonesia juga semakin lama semakin mencengkeram. Sudah tiba waktunya kita melakukan perlawanan.

Saya membela dan mendukung Kepala Bappenas dengan argumen-argumen sebagai berikut.

Kartel IMF mengajarkan good corporate governance, dan juga apa yang dinamakan prudent banking. Intinya ialah bahwa barang siapa memberi utang, wajib menilai kemampuan debitur membayar kembali utangnya secara prudent pula, yaitu membayar kembali tepat waktu dari nilai tambah yang dihasilkan oleh penggunaan utang, bukan dengan cara menjual asset seperti BUMN atau dengan cara utang baru untuk membayar utang yang jatuh tempo atau menggali lubang untuk menutup lubang yang ternganga. Kalau penilaiannya meleset, pemberi utang wajib ikut menanggung beban ketidak mampuan debitur membayar utangnya secara prudent.

Kartel IMF jelas mau menangnya sendiri. Mereka memberi utang selama 36 tahun lamanya dan menilai kemampuan Indonesia 36 kali. Sekarang penilaiannya meleset. Sedikitpun tidak mau ikut menanggung bebannya.

Sebaliknya, ketika Bank Indonesia meleset melakukan penilaian tentang kesehatan bank-bank di Indonesia, dan juga salah kaprah dalam mengatur dan mengawasi perbankan di Indonesia, didikte oleh Kartel IMF untuk membayari semua kerugiannya sampai jumlah Rp 600 triliun, ditambah dengan kewajiban membayar bunga yang minimal juga sebesar Rp 600 triliun.

Jadi Kartel IMF sendirinya tidak mau tau, tidak mau bertanggung jawab dan tidak mau ikut menanggung beban dalam kesalahannya ketika bertindak sebagai rentenir terhadap Indonesia selama 36 tahun itu. Tetapi ketika pemerintah Indonesia yang selalu patuh secara membabi buta terhadap pendiktean, pemaksaan dan ajaran Kartel IMF dihadapkan pada para debitur perampok uang masyarakat, Kartel IMF memaksa pembayar pajak Indonesia menanggung seluruh bebannya. Kartel IMF menerapkan standar ganda yang sangat luar biasa brutal dan khasat matanya.

Kartel IMF mengajarkan, dan bahkan memaksa Indonesia mengadopsi sepenuhnya mekanisme pasar. Kartel IMF mengetahui betul dan karena itu diajarkan kepada Indonesia bahwa musuh besar dari mekanisme pasar ialah segala sesuatu yang bersifat monopolistik. Bentuk organisasi yang monopolistik ialah kartel. Guru mekanisme pasar yang harus memusuhi kartel menghadapi Indonesia sebagai kartel.

Sebagai bangsa yang telah 60 tahun merdeka dan berdaulat, sepantasnialah kalau tidak mau diperlakukan begitu tidak adil dan tidak masuk akalnya. Maka sikap Kepala Bappenas patut didukung oleh seluruh rakyat Indonesia. Marilah kita menggalang kekuatan menyadarkan dan menyatukan rakyat mendukung sikap Kepala Bappenas, supaya semboyan “bersatu kita bisa” tidak menjadi “bersatu kita binasa”.

Penulis adalah ekonom, bekas Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas

ANALISA KWIK KIAN GIE



50 Tahun Berkeley Mafia



SEJAK Soeharto berkuasa, ekonom yang tergabung dalam Organisasi Tanpa Bentuk yang bernama "Berkeley Mafia" memegang kendali ekonomi Indonesia sampai sekarang, dengan jeda sebentar selama Kyai Haji Abdurrahman Wahid menjabat sebagai Presiden.

Di masa itu, pengaruhnya tidak lagi semutlak sebelumnya, namun masih tetap besar melalui Dewan Ekonomi Nasional yang diketuai oleh Prof. Emil Salim dan Dr. Sri Mulyani Indrawati sebagai sekretarisnya. Setelah itu juga dibentuk Tim Asistensi pada Menko EKUIN yang diketuai oleh Prof. Widjojo Nitisastro dengan Sri Mulyani sebagai sekretarisnya.

Jadi dalam periode pemerintahan Abdurrahaman Wahid, seluruh Tim Ekonomi yang bukan anggota Berkeley Mafia terus menerus dibayang-bayangi Berkeley Mafia yang mempunyai hubungan sangat dekat dan intensif dengan negara-negara dan lembaga-lembaga internasional pemberi utang kepada Indonesia.

Para anggota Berkeley Mafia tidak perlu harus lulusan dari Universitas Berkeley di California. Banyak lulusan dari Berkeley yang bukan anggota Berkeley Mafia. Sebaliknya, banyak pula para sarjana lulusan dari perguruan tinggi yang bukan Berkeley adalah anggota Berkeley Mafia.

Dalam era Presiden Soekarno yang disebut Orde Lama, pembangunan ekonomi tidak memperoleh perhatian yang cukup. Ini disebabkan karena Bung Karno dengan rekan-rekannya dihadapkan pada sekelompok besar manusia dengan sangat banyak suku yang masing-masing mempunyai latar belakang kebudayaannya sendiri-sendiri, serta menghuni sangat banyak pulau.

Dalam era Presiden Soekarno yang saya lebih suka menyebutnya era Nation and Character Building, utang luar negeri sebesar US$ 2 miliar. Sumber daya alam praktis utuh. Namun pertumbuhan ekonomi tidak ada atau tidak seberapa, kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya terbelakang. Pada akhir pemerintahan Soekarno inflasi mencapai 600%. Pada akhir pemerintahannya kondisi politik sangat tidak stabil dengan terjadinya G-30-S PKI beserta aftermath-nyoi.

Mengapa ekonomi "diterlantarkan"? Benarkah Bung Karno tidak mengerti ekonomi dan tidak mempunyai perhatian terhadap pembangunan ekonomi?

Mengapa tidak mengundang modal asing secara besar-besaran, dan mengapa tidak mempersilakan akhli-akhli asing mengendalikan Indonesia melalui nasihat-nasihat atau rekomendasi yang mengikat, karena dibiarkan menggrojok Indonesia dengan utang?

Dari berbagai pidato Bung Karno dapat dengan sangat jelas diketahui bahwa Bung Karno mengerti betul pentingnya pembangunan ekonomi. Namun ada dua faktor yang membedakan Bung Karno dengan pikiran-pikiran Berkeley Mafia. Yang pertama ialah tugas untuk menggembleng bangsa Indonesia menjadi satu nation yang diikat dengan Tunggal Eka dalam Kebhinekaannya membutuhkan waktu dan prioritas tinggi, sehingga pembangunan ekonominya tidak terlampau tertangani, mengingat akan beratnya tugas menyatukan bangsa ini, yang diganggu oleh DI/TII, RMS, PRRI/Permesta, dan belum lagi rong-rongan dari kekuatan-kekuatan geopolitik. Kedua, karena Bung Karno seorang nasionalis dalam arti positif.

Tentang mengapa Bung Karno mempunyai reserve terhadap modal asing, Ibu Megawati pernah bercerita kepada saya. Istana selalu ramai dikunjungi investor asing yang minta kepada Bung Karno supaya dibolehkan mengeksplorasi dan mengeksploitasi minyak dan sumber daya mineral lainnya. Bung Karno selalu menolak kecuali yang minimal sekali untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak. Ibu Mega yang ketika itu berusia 16 tahun bertanya kepada ayahnya, mengapa menolak?

Dijawab oleh Bung Karno: "Nanti Dis, kita tunggu sampai kita mempunyai insinyur-insinyur sendiri.”

Jadi Bung Karno tidak anti asing, tetapi ingin menggarap sumber daya mineral yang ada di bumi Indonesia oleh insinyur-insinyur Indonesia sendiri yang sedang disiapkan, terutama oleh almamaternya, ITB. Lagi-lagi tidak memusuhi asing, namun lebih mencintai bangsanya tanpa merugikan orang lain. Bung Karno memimpikan bangkitnya perusahaan-perusahaan minyak Indonesia seperti Shell, Exxon Mobil, Chevron, Total dan sebagainya.

Sekarang kita mempunyai sangat banyak insinyur pertambangan, dan di antaranya banyak yang bergelar Ph.D dari universitas-universitas bereputasi tinggi di Eropa dan Amerika Serikat. Namun 92% dari minyak kita dieksploitasi oleh perusahaan-perusahaan asing. Pertamina hanya mengeksploitasi 8% saja. Formula kontrak bagi hasil mengatakan 85% untuk Indonesia dan 15% untuk perusahaan minyak asing. Namun kenyataan sampai sekarang, 40% dinikmati oleh perusahaan-perusahaan asing dan 60% oleh bangsa Indonesia.

Mengapa asing tidak memperoleh 15% sesuai dengan kontrak? Karena di dalam kontrak itu ada ketentuan bahwa biaya eksplorasi harus dibayar terlebih dahulu sampai habis. Yang selalu menjadi pertanyaan di benak saya ialah mengapa tidak habis-habis terbayar sampai
sekarang ?

Seperti kita ketahui, di tahun 2006, ketika Petronas yang awalnya belajar dari kita berjaya sebagai perusahaan transnasional yang sudah mulai membuka pompa-pompa bensin di Indonesia, blok Cepu yang konon mempunyai kandungan minyak sebesar 1 sampai 2 miliar barrel itu eksploitasinya praktis diserahkan kepada Exxon Mobil.

Hutan-hutan kita gundul, dana reboisasi dikorup, sehingga demikian kecilnya sampai tidak ada artinya sama sekali kalau maksudnya untuk melakukan reboisasi. Sumber daya mineral kita dieksploitasi dengan kontrak-kontrak yang tidak pernah diketahui cukup jelas duduk perkaranya oleh pemiliknya, yaitu rakyat Indonesia beserta wakil-wakilnya. Pembukuan Pertamina dan pembukuan di Departemen Keuangan dalam bidang minyak tidak pernah terbuka buat rakyat beserta wakil-wakilnya. Utang luar negeri dan utang dalam negeri terakumulasi dengan pembengkakan demikian besarnya, sehingga 25% dari APBN harus dipakai untuk membayar utang.

Hakikat utang ialah ditanamkan sedemikian rupa, sehingga dapat dibayar dari nilai tambah atau value added yang diciptakan oleh utang itu. Maka dikatakan bahwa utang harus mempunyai self liquidating character. Tetapi utang pemerintah kita hanya dapat dibayar melalui membuat utang baru dan menjual asset negara. Utang dipakai untuk membangun sesuatu. Pada waktu utang harus dibayar, yang dibangun itu lenyap lagi untuk membayar utang.

Akibatnya pemerintah tidak mempunyai cukup uang untuk melakukan tugas-tugas pokok pemerintah dalam bidang ekonomi, yaitu membangung infra struktur yang cukup dari hasil pajak. Hasil pajaknya harus dipakai untuk membayar utang. Dalam kondisi seperti ini, dicanangkanlah sebuah ideologi yang mengatakan bahwa jalan raya bebas hambatan atau freeway yang di negara-negara paling kapitalis dan paling liberal disediakan dengan cuma-cuma, di Indonesia dinyatakan sebagai purely commercial goods, sehingga rakyat yang menggunakannya harus membayar tarif yang cukup tinggi untuk dapat memberi laba atau return on investment yang bersaing dengan kemungkinan investasi dalam bidang-bidang lainnya.

Ideologi lainnya ialah bahwa harga minyak yang harus dibayar oleh pemiliknya harus ditentukan oleh New York Mercantile Exchange. Tidak boleh ditentukan oleh pemiliknya sesuai dengan kepatutan atau daya beli pemiliknya. Alasan yang dikemukakan ialah ideologi mekanisme pasar yang harus dberlakukan kepada bangsa Indonesia, walaupun bangsa Indonesia tidak mempunyai mekanisme pasar untuk minyak.

Maka diambillah mekanisme pasar di New York, walaupun hanya memperdagangkan 30% dari volume minyak dunia. Bentuk pasar Indonesia yang oleh undang-undang ditetapkan sebagai pasar yang monopoli dengan penugasan menjual BBM dengan harga yang tingginya ditetapkan sesuai dengan daya beli pemiliknya, harus serta merta dihapus, diganti dengan harga hasil mekanisme pasar di New York, tanpa mengubah atau membuang pasal 33 dari Konstitusinya terlebih dahulu.