Monday, July 30, 2007

Sektor Swasta dan Kemiskinan


Ari Margiono

Awal Juli lalu, Perserikatan Bangsa-Bangsa menyelenggarakan UN Summit on Corporate Citizenship di Geneva. Konferensi ini merupakan acara temu lebih dari 1.000 pemimpin sektor swasta, masyarakat sipil, dan pemerintah seluruh dunia.

Ada beberapa hal yang gaungnya relevan untuk Indonesia. Pertama, pertanyaan motif dan alasan sektor swasta terlibat penanggulangan kemiskinan. Kedua, sikap pemerintah dalam memandang keterlibatan swasta guna penanggulangan kemiskinan.

Keterlibatan swasta

Banyak pandangan mengungkap pentingnya sektor swasta terlibat penanggulangan kemiskinan. Sebuah pandangan berpendapat, keterlibatan swasta dalam penanggulangan kemiskinan pada dasarnya diawali pemenuhan kebutuhan internal perusahaan.

CK Prahalad dalam The Fortune at the Bottom of Pyramid melihat kebutuhan internal itu melalui kepentingan perusahaan dalam memperluas pasar melalui inovasi produk dan pemberdayaan mereka yang ada di bawah garis kemiskinan agar bisa menjadi konsumen. Prahalad berpendapat, dengan menjadi konsumen, peluang untuk meningkatkan kualitas kehidupan melalui aktivitas ekonomi residual menjadi lebih besar.

Survei McKinsey and Company —hasil wawancara dengan hampir 400 pimpinan perusaha- an multinasional di seluruh dunia— pada pertemuan UN Summit on Corporate Citizenship bertajuk "Shaping the New Rules of Competition" mempertegas pandangan itu. Survei menemukan prioritas sosial tertinggi yang menarik minat perusahaan: sektor edukasi dan ketenagakerjaan (50 persen) serta governance (44 persen). Aneka pilihan itu jelas terkait kebutuhan perusahaan atas ketersediaan tenaga terampil dan kepastian iklim usaha.

David Vogel dalam The Market for Virtue memberi perspektif berbeda, bahwa hakikat perusahaan sebagai entitas pencari keuntungan tidak dapat diganggu gugat. Dorongan untuk memupuk keuntungan dan memikirkan diri sendiri (self-interest) akan membatasi sektor swasta agar selaras dengan yang diharapkan banyak pihak dalam penanggulangan kemiskinan. Sektor swasta akan selalu melakukan aneka pilihan yang aman untuk kelangsungan hidup perusahaan.

Karena itu, agar partisipasi sektor swasta relevan, dorongan eksternal untuk mengatur perilaku sektor swasta menjadi mutlak. Regulasi pemerintah yang mengatur aktivitas sosial perusahaan menjadi penting. Perluasan dari aturan-aturan hukum yang ada untuk memastikan perilaku bertanggung jawab dari sektor swasta, misalnya hukum tenaga kerja dan lingkungan hidup, harus diutamakan.

Penanggulangan kemiskinan

Apa yang sebenarnya dituntut masyarakat adalah peningkatan kesejahteraan. Hal ini bisa diterjemahkan peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan (growth and equity). Dalam konteks Indonesia ini berarti peningkatan laju investasi, pemberdayaan ekonomi pedesaan, peningkatan lapangan kerja, serta pemerataan pendapatan dan kualitas akses bagi masyarakat. Ada tuntutan atas penyelesaian kemiskinan melalui kebijakan yang terpadu dan menyeluruh.

Temuan McKinsey and Co menunjukkan, minat perusahaan untuk melakukan investasi sosial ada di wilayah yang langsung menguntungkan perusahaan dan ironisnya ada pada wilayah berbeda dengan prioritas penanggulangan kemiskinan yang strategis. Area seperti kualitas pendidikan dan pemerintahan bersih merupakan wilayah yang langsung memberi manfaat kepada perusahaan. Namun, sektor swasta akan secara voluntary terlibat pembangunan ekonomi pedesaan, pengembangan infrastruktur, dan peningkatan pemerataan.

Jika kenyataan ini diabaikan, jelas ada disharmoni antara klaim penanggulangan kemiskinan yang dikembangkan sektor swasta dengan tuntutan penanggulangan kemiskinan secara terpadu yang diharapkan masyarakat.

Peran pemerintah

Menghadapi terputusnya voluntary initiative yang didasari ke- butuhan internal sektor swasta dengan kebutuhan dalam penanggulangan kemiskinan menuntut pemerintah lebih aktif. Sesuai mandat, pemerintah wajib memastikan arah partisipasi berbagai pihak dalam penanggulangan kemiskinan.

Langkah yang bisa dilakukan ialah mewujudkan dialog konstruktif antara pemerintah, masyarakat, dan swasta guna mengembangkan tata laksana kontribusi peran swasta dalam mengatasi kemiskinan sebagai bagian terpadu kebijakan penanggulangan kemiskinan pemerintah.

Pemerintah juga harus menciptakan rambu-rambu melalui aneka kebijakan insentif dan disinsentif terkait kontribusi sektor swasta dalam penanggulangan kemiskinan. Rambu-rambu investasi juga harus dikembangkan dalam kerangka ini.

Namun, tata laksana ini tidak boleh sedangkal pungutan. Selain rentan korupsi dan terkesan jalan pintas, pungutan seperti pajak hanya akan mendistorsi tatanan swasta-pemerintah-masyarakat sipil yang ideal. Pungutan akan menjadi pemajakan berganda (double taxation).

Sebaliknya, memikirkan kebijakan terpadu yang mengintegrasikan mereka yang ada di bawah garis kemiskinan, terutama yang ada di pedesaan, dalam value chain perusahaan dapat menjadi salah satu langkah awal pembicaraan tata laksana itu.

Memikirkan bankability warga miskin agar bisa mendapat modal untuk melakukan aktivitas ekonomi merupakan hal lain. Untuk itu, dibutuhkan paradigma baru dalam memandang hubungan swasta, pemerintah, dan masyarakat sipil. Paradigma yang mengizinkan tiap sektor dengan rendah hati mengakui kesuksesan yang satu bergantung kesuksesan yang lain. Paradigma yang berpihak kepada kesejahteraan masyarakat luas.

Ari Margiono Alumnus Jurusan Politik Internasional University of Wales, Aberystwyth, Inggris

No comments: