Wednesday, July 18, 2007


PAHAM

Ariel Heryanto

Menurut Presiden SBY, Indonesia tidak menganut sistem "ekonomi kapitalis, komunis, dan neoliberalis". Begitu dilaporkan media massa tentang sambutan beliau pada Hari Koperasi Ke-60 di Bali, Kamis kemarin. Berbagai sistem ekonomi dunia dikatakannya "terbukti gagal". Masih menurut SBY, berbeda dari semua itu, Indonesia menganut sistem "ekonomi terbuka berkeadilan sosial".

Bagi yang kini berusia 40 tahun atau lebih, ucapan itu mirip propaganda Orde Baru. Di zamannya dulu, ucapan seperti itu diulang-ulang dalam pidato pejabat. Para cendekiawan pendukung Orde Baru juga mengejek berbagai sistem di dunia, sambil mengunggulkan sistem ekonomi di Indonesia yang disebut "ekonomi Pancasila".

Dalam waktu singkat, gagasan itu babak belur secara ilmiah karena dikritik para sarjana lain. Gagasan bahwa Indonesia punya sistem ekonomi atau politik yang serba lain dari yang ada di dunia jadi bahan tertawaan. Tapi, sebagai propaganda resmi dan secara ideologis, gagasan tentang "ekonomi Pancasila", juga "demokrasi Pancasila", berusia panjang.

Kita boleh bercuriga, jangan-jangan ucapan Presiden SBY itu disiapkan staf pembantunya yang masih hidup di bawah bayang-bayang Orde Baru. Atau sebaliknya staf itu terlalu muda ketika perdebatan tentang ekonomi Pancasila berlangsung di Tanah Air. Tapi harian ini menjelaskan bahwa Presiden SBY berpidato di Bali kemarin tanpa teks.

Kalau dibilang banyak sistem ekonomi di dunia itu tidak menyejahterakan sebagian besar rakyat, siapa pun mudah menyetujui. Tapi kalau dibilang sistem di Indonesia serba lain dan lebih unggul, ada tiga soal berikutnya.

Pertama, apakah dengan demikian SBY menyimpulkan bahwa mayoritas rakyat kita "terbukti" lebih sejahtera ketimbang di negara-negara lain? Ironisnya, ucapan ini dinyatakan di saat Indonesia beberapa tahun menderita krisis berkepanjangan seperti yang diakui sebagian besar pejabat pimpinan pemerintahan SBY sendiri.

Kedua, siapa sih yang hari-hari segini masih bisa berpura-pura lugu dan menyangkal kejayaan kapitalisme di dunia sejak berakhirnya Perang Dingin 1990-an? Bahkan musuh utama dan bebuyutan kapitalisme seperti Republik Rakyat China dan Vietnam telah merangkulnya tanpa malu. Apalagi negara modern Indonesia yang sejak dari cikal bakalnya (VOC) sampai sekarang bisa hadir berkat sepak terjang kapitalisme.

Ketiga, dan masih berkait dengan pokok kedua, di bawah bayang-bayang kejayaan kapitalisme pasca-Perang Dingin saat ini, mana ada negara yang secara murni bisa menganut atau secara tuntas menolak sistem ekonomi dengan label-label besar seperti "komunis", "kapitalisme", atau "neoliberal"? Jadi, dengan segala hormat, kita layak bertanya apa persisnya yang dimaksud SBY dalam pidatonya.

Ini mengingatkan kita pada sejumlah masalah lain yang belakangan ramai diperdebatkan. Semuanya menyangkut label-label politis. Misalnya soal nama dan bendera Partai GAM. Atau tarian di Maluku yang dianggap mengancam Negara Kesatuan RI. Juga penarikan kembali buku-buku teks sejarah yang tidak mencantumkan istilah "G-30-S/PKI", salah satu ciptaan kreatif dan keramat Orde Baru.

Dalam berbagai peristiwa itu, tampak betapa rendahnya rasa aman masyarakat Indonesia. Seakan-akan Indonesia sedemikian rapuh. Orang mudah panik karena membayangkan hadirnya ancaman maut di mana-mana, termasuk bahaya separatisme atau komunisme. Ini bisa dibandingkan dengan ketakutan yang melanda sebagian masyarakat di Australia terhadap apa yang mereka bayangkan sebagai ancaman serbuan militer dari Indonesia.

Dalam keadaan panik, reaksi di Indonesia yang biasa tampil adalah semangat "maju tak gentar" ala bonek (bondo nekat). Gejala itu bisa disebabkan karena miskinnya pemahaman. Gejala yang sama juga menolak pemahaman baru tentang pihak lain dan diri sendiri. Dalam kepanikan yang dikejar hanya hasrat menggempur pihak lain, tanpa siap mengkaji ulang apakah pihak lain yang dimusuhi benar-benar ada, seperti apa, dan mengapa membahayakan.

Ajaran Marxisme di luar kegiatan ilmiah dilarang pemerintah Orde Baru dan pasca-Orde Baru. Larangan itu mengasumsikan tiga hal. Pertama, pihak yang melarang sudah paham apa itu Marxisme. Kedua, memang benar Marxisme membahayakan, misalnya karena orang yang belajar tentang Marxisme akan dengan sendirinya kecanduan dan mendukung Marxisme. Ketiga, gara-gara dilarang, seakan-akan masyarakat Indonesia tidak bisa menyiasati larangan dan tetap berkesempatan belajar tentang Marxisme sehingga tahu bila ada pejabat yang berpura-pura paham Marxisme.

Bagaimana bila salah satu atau beberapa dari asumsi itu meleset? Bagaimana, misalnya, bila para pejabat pemerintah ternyata tidak paham Marxisme, kapitalisme, liberalisme, atau komunisme, karena memang paham-paham besar dalam sejarah mutakhir ini tidak pernah diajarkan di sekolah kita?

No comments: