Monday, July 30, 2007

Krisis Listrik, sampai Kapan?

OlehSri Hartati Samhadi

Krisis listrik kembali melanda sejumlah daerah. Di beberapa wilayah, ibaratnya tiada hari tanpa pemadaman. Kebijakan energi pada masa lalu yang sangat tidak bervisi jauh ke depan dan kerangka kebijakan yang tidak jelas dalam mendorong investasi swasta di sektor ketenagalistrikan, dituding sebagai biang keladi krisis listrik berkepanjangan di negara ini. Krisis ini diperkirakan belum akan teratasi sampai beberapa tahun ke depan.

ari sisi keseimbangan suplai dan permintaan, krisis listrik nasional terjadi karena pasokan listrik tidak mampu mengimbangi kebutuhan dalam perekonomian. Sejak krisis 1997, bisa dikatakan tidak ada penambahan kapasitas pembangkit baru yang signifikan.

Produksi listrik stagnan sejak 1998, hanya tumbuh sekitar 3 persen per tahun, atau di bawah laju pertumbuhan ekonomi yang 5-6 persen sekarang ini. Angka pertumbuhan produksi listrik sebesar ini tidak bisa mengimbangi pertumbuhan permintaan listrik yang 7-8 persen per tahun.

Persoalan underinvestment bukan hanya dialami oleh pembangkit, tetapi juga jaringan transmisi dan distribusi.

Sistem Jawa-Bali yang paling maju dan saling tersambung (interkoneksi) dengan jaringan 500 kV dan kabel laut 150 kV pun sebenarnya belum sepenuhnya saling tersambung karena kelemahan dalam sistem transmisi dan distribusi ini.

Sistem Jawa-Bali juga sangat rawan karena terlalu menggantungkan diri pada dua pembangkit besar, PLTU Suralaya (3.400 MW) dan PLTU Paiton (2.400 MW), yang sudah tua dan "sakit-sakitan".

Untuk mengimbangi laju konsumsi listrik yang diperkirakan mencapai 8-10 persen per tahun hingga tahun 2013, Indonesia, menurut pemerintah, memerlukan tambahan kapasitas pembangkit sebesar 24 gigawatt (GW) hingga tahun 2013. Kapasitas terpasang pembangkit yang dimiliki sekarang ini sekitar 24,7 GW.

Beban ini tidak mungkin ditimpakan hanya pada PT PLN yang beberapa tahun ini terus dilanda kesulitan keuangan. Ironisnya, meski berbagai upaya pembenahan regulasi dan insentif sudah dilakukan pemerintah, investasi swasta tidak juga kunjung masuk.

Demikian pula berbagai program fast track yang dimaksudkan untuk mengatasi krisis listrik dalam jangka pendek (terutama di Jawa-Bali), seperti proyek PLTU batu bara 10.000 MW yang ditargetkan selesai dalam tiga tahun, juga tidak jelas perkembangannya sampai sekarang.

Berdasarkan kajian sejumlah lembaga, faktor utama yang menarik investor untuk masuk ke sektor ketenagalistrikan adalah pertumbuhan permintaan, laju elektrifikasi, kompetitif tidaknya struktur tarif, potensi keuntungan (return on investment), tingkat risiko, keterbukaan pasar, fundamental jangka panjang dan stabilitas politik dan demokrasi.

Dari faktor-faktor tersebut, mereka melihat Filipina merupakan tempat menarik untuk investasi kelistrikan, disusul Thailand, Vietnam, India, Malaysia, dan China. Sedangkan Indonesia bersama Sri Lanka dan Pakistan dianggap tidak menarik.

Analis investasi Lin Che Wei menilai, salah satu alasan tidak masuknya investor adalah karena tidak adanya kerangka kebijakan (regulatory framework) yang jelas. Salah satu yang diinginkan investor adalah kepastian tentang tarif. Persoalannya, struktur tarif yang sekarang ini tidak didukung oleh undang-undang kelistrikan yang benar.

Di satu sisi, mereka yang mendukung dianulirnya UU Kelistrikan Nomor 2 Tahun 2002 menginginkan tarif listrik tetap ditentukan oleh pemerintah, namun harga BBM untuk pembangkit diserahkan pada mekanisme pasar. Ini yang membuat investasi di kelistrikan menjadi tidak menarik bagi investor.

"Aturannya sekarang ini kan banci. Harganya (listrik) tak boleh ditentukan oleh pasar, tetapi peranan pemerintah untuk melakukan ini juga terbatas," ujar Lin Che Wei.

Tidak masuknya investasi swasta mengakibatkan struktur industri kelistrikan tetap didominasi oleh PT PLN yang tidak efisien, penuh korupsi, dan tidak mampu menjadi ujung tombak ekspansi pembangunan kelistrikan karena kesulitan keuangan yang terus merundungnya sejak krisis.

Keterpurukan PLN, selain bersumber dari kebobrokan di dalam, juga karena kebijakan pemerintah yang kontradiktif, dan keterlambatan pemerintah membayar subsidi ke PLN membuat PLN tidak bisa membeli pasokan BBM atau gas ke Pertamina dan PGN sehingga upaya pelayanan PLN ikut terganggu.

Konsekuensi dari kondisi ini, upaya menggenjot pasokan kelistrikan juga terkendala. Ini baru bicara pembangkit. Krisis listrik sebenarnya gambaran krisis energi nasional akibat kegagalan dalam pengelolaan sumber daya energi nasional secara optimal.

Program konservasi dan diversifikasi energi bukan baru kali ini saja disuarakan, tetapi di lapangan tidak segera terlihat realisasinya, kendati status net importer dan kelangkaan BBM sudah dirasakan beberapa tahun terakhir.

Keberanian mengurangi subsidi secara signifikan baru ada pada pemerintahan sekarang ini. Kendati dikritik dan memunculkan dampak temporer yang sangat berat bagi perekonomian, kebijakan pengurangan subsidi secara tajam dua kali dalam tahun 2005 itu menjadi fondasi awal yang kokoh untuk menata kebijakan energi ke depan.

Tidak kompetitif

Dari sisi suplai, problem utama sistem kelistrikan Indonesia sekarang ini, menurut Lin Che Wei, adalah ketergantungan yang sangat besar pada sumber energi yang mahal. Sekitar 80 persen pembangkit milik PT PLN—yang memasok sekitar 90 persen kebutuhan listrik nasional—masih mengandalkan pembangkit termal seperti minyak, gas dan batu bara.

Akibatnya, ketika harga BBM melonjak, biaya pembangkitan juga menjadi sangat tidak efisien dan sangat mahal.

Di luar Jawa-Bali, sistem kelistrikan yang dikembangkan juga belum efisien dan masih banyak mengandalkan pada diesel yang berbahan bakar solar, belum terinterkoneksi, dan belum mampu melayani konsumen secara optimal.

Krisis listrik di Tanah Air dan kealpaan mengembangkan energi alternatif terbarukan itu sebenarnya hanya manifestasi dari kebijakan energi yang tidak bervisi jauh ke depan, karena cenderung menganggap minyak tidak akan pernah habis.

Salah satunya adalah kebijakan subsidi BBM regresif yang diterapkan pemerintah beberapa dekade terakhir. Kebijakan subsidi ini dituding sebagai biang keladi amburadulnya pengelolaan energi di Indonesia, karena justru tidak mendorong terjadinya konservasi dan diversifikasi energi, sehingga menjadi beban berat bagi keuangan negara, sumber inefisiensi, dan modus praktik-praktik penyelundupan.

Kebijakan energi murah lewat subsidi itu juga membuat program-program pengembangan listrik di daerah, seperti listrik pedesaan, pun tidak mengandalkan sumber energi terbarukan yang tersedia secara melimpah di daerah setempat, tetapi justru pada sumber energi mahal seperti genset solar.

Untuk konservasi dan diversifikasi energi nasional, pemerintah sebenarnya sudah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 mengenai Kebijakan Energi Nasional.

Perpres ini sudah menggariskan target pemanfaatan energi optimal, yang intinya menekan penggunaan minyak dari 80 persen menjadi kurang dari 20 persen pada 2020.

Sementara peran gas dalam pembangkitan listrik diharapkan meningkat menjadi di atas 30 persen, batu bara lebih dari 33 persen, biofuel di atas 5 persen, panas bumi di atas 5 persen, dan 5 persen sisanya dari biomassa, nuklir, mikrohidro, surya dan angin, serta 2 persen lebih dari batu bara cair.

Namun, lagi-lagi persoalannya selalu ada pada implementasi. Meski sudah ada cetak biru kebijakan energi nasional dalam rangka konservasi dan diversifikasi, pelaksanaan di lapangan terasa kurang gereget. Salah satu contoh, program biofuel yang jalan di tempat.

Tujuan Inpres No 1 Tahun 2006 tentang Pasokan dan Pemanfaatan biofuel adalah mendorong pengembangan proyek-proyek biofuel di Indonesia yang pro-growth (mendorong pertumbuhan ekonomi), pro-poor (mengentaskan kemiskinan), dan pro-job (menciptakan lapangan kerja) dengan pendekatan multisektoral.

Pengamatan Kompas di lapangan, program ini hanya menggebu-gebu di muka, melempem di tengah jalan. Untuk bioetanol, misalnya, banyak daerah atau petani atau daerah yang sebelumnya sudah antusias menanam jarak pagar karena iming-iming manfaat ekonomisnya, akhirnya harus menyaksikan semangat itu menguap begitu saja karena tidak ada tindak lanjut program di lapangan.

Akhirnya, bagaimana bicara pertumbuhan ekonomi jika listrik terus byarpet? Seperti kata Komisaris PT PLN Bambang Brodjonegoro, selama pertumbuhan produksi listrik tak mampu mengimbangi pertumbuhan ekonomi dan konsumsi listrik, pemadaman di mana-mana masih akan terjadi. Sampai kapan?

Prediksi PLN, untuk Sumut sudah akan teratasi pada 2010. Demikian pula Jawa. Namun, itu pun masih bergantung pada apakah proposal-proposal proyek pembangkit swasta yang sudah masuk itu akan benar-benar direalisasikan.

Dipertaruhkan

Salah satu yang dipertaruhkan dengan program pembangunan kelistrikan nasional adalah target elektrifikasi 90 persen pada 2020. Dibandingkan negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Thailand, dan Filipina, rasio elektrifikasi di Indonesia termasuk rendah karena terpuruknya investasi infrastruktur sejak krisis. Dengan rasio elektrifikasi 53 persen, sekitar 70 juta penduduk belum menikmati listrik setelah 62 tahun Indonesia merdeka.

Untuk mencapai target ini, produksi listrik harus tumbuh sekitar 13,1 persen per tahun. Sekali lagi, itu tidak bisa hanya dibebankan kepada PLN. Kuncinya tetap pada iklim investasi. Dalam hal ini, seperti pada kasus proyek crash program PLTU batu bara 10.000 MW dengan China, pemerintah tidak bisa hanya "mau menang sendiri", ingin cepat, murah, namun insentif tidak diberikan.

Akhirnya, menangani krisis listrik tidak bisa hanya dengan membangun pembangkit atau jaringan transmisi dan distribusi. Untuk wilayah Indonesia yang kepulauan, kebijakan inovatif sangat diperlukan. Termasuk di sini dengan mendorong inisiatif-inisiatif pembangunan kelistrikan berbasis masyarakat dan bertumbuhnya gerakan swasembada listrik di wilayah-wilayah lumbung energi.

Jadi, masih banyak pekerjaan rumah pemerintah setelah regulasi dan iklim investasi ditata agar Indonesia tidak gelap gulita.

No comments: