Paradoks Perbankan Indonesia
Oleh : Elba Damhuri
Wartawan Republika
Bank Sentral Inggris (Bank of England/BOE) merealisasikan kenaikan bunga acuan 25 basis poin (bps) menjadi 5,75 persen. Ini merupakan lonjakan kelima sejak Agustus 2006. Kenaikan dilakukan untuk menekan laju inflasi, sejalan dengan ekspektasi pasar.
Membanjirnya produk-produk Cina menjadi musuh baru ekonomi Inggris, khususnya terkait dengan inflasi dan defisit perdagangan dengan Cina. Sejumlah ekonom dan analis pasar modal di Inggris bahkan menyebut gempuran Cina itu sebagai hantu yang bergentayangan di Eropa setelah komunisme.
Selandia Baru dan Cina termasuk yang mengikuti nasihat Greenspan untuk menaikkan suku bunga acuannya. Kini, suku bunga Selandia Baru mencapai 8,0 persen atau tertinggi yang dimiliki sebuah negara maju. Suku bunga sebelumnya 7,75 persen atau ada kenaikan 25 bps. Sementara Cina beralasan menaikkan suku bunganya karena ingin mengerem laju pertumbuhan ekonomi yang terus panas.
The Fed di bawah kepemimpinan Ben Bernanke masih bertahan dengan angka 5,25 persen. Pertumbuhan ekonomi dan inflasi yang masih moderat dianggap sebagai kabar bagus bagi perekonomian AS. Sebagian kalangan ingin The Fed menurunkan suku bunganya, sebagian lain menyarankan adanya kenaikan untuk mengembalikan kekuatan dolar AS yang sempat terpuruk.
Tren didongkraknya suku bunga acuan oleh otoritas bank sentral masing-masing negara ternyata tidak terjadi di Indonesia. Bank Indonesia (BI) malah mengambil langkah berani dengan menurunkan suku bunga acuan (BI Rate)dari 12,75 persen menjadi 8,25 persen selama setahun lebih ini. Bahkan, sejak pertengahan tahun lalu, BI rutin menurunkan BI Rate untuk menopang pertumbuhan ekonomi melalui intrmediasi perbankan.
Terukur dan terkontrolnya inflasi sejak beberapa bulan ini menjadi alasan kuat mengapa BI melakukan langkah yang menurut Dana Moneter Internasional (IMF) berani dan meyakinkan. Lihat saja, sampai Juni ini, inflasi kalender (Januari-Juni) berada di bawah angka 6 persen atau tepatnya di 5,77 persen. Secara bulanan, inflasi Juni pun hanya 0,23 persen di tengah masih tingginya harga sejumlah barang pokok seperti beras, minyak goreng, susu, dan cabai merah.
Terus merosotnya suku bunga acuan itu tampaknya menjadi kado istimewa bagi perbankan dan ekonomi nasional dari BI di hari jadinya ke-54 ini. Pada setiap awal Juli, BI merayakan hari kelahirannya. BI beralasan, secara umum, perekonomian Indonesia sampai triwulan II 2007 berada pada jalur yang tepat, dengan ekspansi perekonomian yang terus berlanjut. Inflasi tetap terkendali dan cenderung menurun, stabilitas di pasar keuangan juga tetap terjaga sejalan dengan membaiknya kinerja perbankan.
Sementara, kinerja neraca pembayaran Indonesia lebih baik dari perkiraan sebelumnya, yang ditandai dengan surplus dan posisi cadangan devisa yang terus meningkat, serta nilai tukar rupiah yang menguat. Berbagai hal tersebut diperkirakan BI akan mendukung pencapaian pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan berimbang di tahun 2007 dan 2008, sehingga BI Rate pun diturunkan.
Ini memang langkah mencengangkan mengingat ancaman inflasi di Tanah Air masih ada. Bahkan, Bappenas telah mengingatkan akumulasi kenaikan harga dan datangnya hari raya besar di Oktober sampai akhir tahun mendatang menjadi ancaman besar atas naiknya inflasi. Belum lagi, kembali maraknya belanja investasi pemda-pemda yang berjalan di semester kedua tahun ini pun bakal memberikan andil atas inflasi.
Banyak pemda masih telah menyerahkan anggaran dan baru mengerjakan proyek-proyek infrastruktur. Semuanya tertumpuk pada semester kedua 2007 dan ini membuat Menkeu Sri Mulyani tampak gerah. Ke depan, BI mesti lebih berhati-hati mengukur penurunan BI Rate yang saat ini merupakan terendah sepanjang sejarah diberlakukannya BI Rate sejak dua tahun lalu. BI juga harus melihat respons perbankan dan sektor usaha terhadap penurunan itu, apakah memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan kredit bank atau tidak.
Pekerjaan rumah
Ini yang menjadi paradoks lainnya bagi BI dan perbankan nasional. Ketika suku bunga acuan sudah turun signifikan bunga kredit bank malah bergerak pelan. Ketika BI Rate masih berada di angka 12,75 persen, bunga kreditnya 17-22 persen. Sekarang, dengan BI Rate di kisaran 8 persen, bunga kredit rata-rata masih di atas 15 persen.
Dampak berikutnya, peran bank sebagai penyalur kredit kepada masyarakat, khususnya kalangan pengusaha, bergerak tipis. BI menyatakan pertumbuhan kredit perbankan belum cukup menggembirakan, namun tanda-tanda ke arahnya positif sudah terlihat. Lihat saja, kredit per Mei 2007 mencapai Rp 118,02 triliun atau sebesar 15,8 persen, masih lebih rendah dari target tahun ini sebesar 18 persen.
Malah, ada sejumlah bank yang mencatat nol koma sekian persen pertumbuhan kreditnya di Mei 2007 ini. Namun, bank-bank pelat merah dan bank besar lainnya tetap menunjukkan performa cukup menjanjikan, terutama kredit di sektor konsumer dan korporasi.
Selama ini, terkait hubungan antara perbankan dan dunia usaha, kedua belah pihak saling menunggu. Sektor riil menunggu perbankan melakukan langkah-langkah taktis seperti menurunkan suku bunga secara agresif, sementara perbankan menanti bergeraknya sektor usaha. Di sini, mestinya BI mampu berperan lebih aktif, bukan sebagai the invisible hand, melainkan sebagai regulator perbankan nasional.
Ini menjadi pekerjaan rumah bagi BI, terutama dalam mempromosikan betapa prospektifnya suatu sektor usaha yang menurut bank kurang bagus. Kasus perkebunan tebu, misalnya, menjadi contoh betapa kurang komunikasinya antara dunia usaha dan bank berdampak buruk bagi industri tebu yang kurang mendapat suntikan dari perbankan. Begitu ada inisiatif memperkenalkan prospek usahanya, ternyata bank-bank berminat kuat membiayai sektor itu.
No comments:
Post a Comment