Wednesday, July 18, 2007

Kewirausahaan Sosial
Menyoal Budi Pekerti Perusahaan

Nur Hidayati

Di Amerika Serikat, penelitian Johns Hopkins University menunjukkan, lapangan kerja yang diciptakan lembaga swadaya masyarakat 2,5 kali lebih besar daripada sektor bisnis. Di Indonesia, usaha mikro dan kecil paling besar menyerap tenaga kerja. Sebanyak 99 persen dari 48,9 juta total usaha pada tahun 2006 adalah usaha kecil.

Potensi dunia bisnis mendorong perubahan sosial kian disadari sebagai isu strategis. Kewirausahaan sosial adalah topik diskusi panel terbatas yang diselenggarakan Harian Kompas, GarudaFood, dan Yayasan Ashoka Indonesia di Jakarta, Selasa, (17/7).

Diskusi ini menggagas upaya berbagai kalangan masyarakat, termasuk pebisnis, membawa perubahan alias berwirausaha sosial. Di negeri ini, pengurangan kemiskinan adalah perubahan yang harus diciptakan bersama.

Sekian rezim pemerintahan berganti, kemiskinan belum juga teratasi. Hal ini membuktikan reformasi bukan hanya diperlukan di lingkup birokrasi. Gerakan masyarakat madani pun mesti dibangkitkan.

Pendiri Yayasan Bina Swadaya Bambang Ismawan dalam diskusi sempat mengutip ucapan ekonom peraih Nobel Perdamaian 2006, Muhammad Yunus, "Ketika terjadi kemiskinan dan ketidakadilan sosial, kewirausahaan sosial menjadi jawaban".

Persoalannya, bagaimana masing-masing elemen masyarakat dapat menggali potensi dan bergandengan membangun keberlangsungan hidup bersama?

"Jangan selalu melihat dunia bisnis ibarat setan dan (pekerja) sosial selalu malaikat. Dua-duanya bisa jadi setan, juga bisa jadi malaikat," ujar pendiri dan CEO GarudaFood Sudhamek AWS.

Sudhamek mengingatkan, cara pandang baru pengelolaan bisnis kini merumuskan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR) sebagai strategi jangka panjang untuk menjaga keberlangsungan hidup perusahaan dan pemangku kepentingannya.

Secara singkat, Presiden Direktur PT Apac Inti Corpora Benny Soetrisno mengartikan CSR sebagai "budi pekerti" perusahaan. Artinya, CSR mewujud dalam semua aspek kegiatan perusahaan.

Kemitraan yang berkeadilan dalam mata rantai nilai bisnis dipandang sebagai salah bentuk CSR pada aspek ekonomi.

Pada aspek lingkungan, CSR mewujud antara lain pada analisis dan antisipasi dampak lingkungan secara bertanggung jawab. "Di sisi etika, CSR bersifat sukarela, tapi terkait dampak lingkungan CSR bersifat memaksa, diatur hukum. Kalau ada masalah, bukan karena nggak ada aturan, coba tanya penegak hukumnya," ujar Sudhamek.

Perdagangan yang adil

Menilik pengalaman GarudaFood, daya saing diyakini justru dapat ditingkatkan ketika kemitraan dalam mata rantai nilai bisnis terbangun.

Pada industri makanan misalnya, petani penyedia bahan baku dilatih membudidayakan tanaman dengan baik. Bibit unggul difasilitasi, petani juga direkomendasikan akses kredit serta diberi jaminan pasar.

Kemitraan juga dibangun dengan UKM yang mengolah hasil pertanian menjadi produk setengah jadi dengan manajemen dan kontrol kualitas terjaga. Distribusi pun dikembangkan dengan kemitraan. Dengan begitu, perusahaan mendapat jaminan bahan baku bermutu serta efisiensi dalam proses produksi dan distribusinya.

Cerita lain disampaikan Direktur Yayasan Mitra Bali Agung Alit. Langkah Alit diawali kegelisahan melihat kemiskinan makin mendalam di tengah gemerlap pariwisata Bali.

Alit menilai, pariwisata dan perdagangan bebas dieksploitasi untuk keuntungan segelintir orang saja. Praktik ketidakadilan yang sangat kentara, menurut Alit, dialami para perajin di Bali.

"Selama ini para perajin hanya membuat produk, lalu dijual kepada pengusaha yang menjualnya lagi pada konsumen tanpa perajin tahu berapa sesungguhnya kerajinan mereka dihargai pembeli. Pembayaran ke perajin pun sering terlambat, bahkan berbulan-bulan," ujarnya.

Perajin harus rela menerima potongan keuntungan hingga 40 persen untuk membayar pemandu wisata yang membawa tamu ke show room mereka. Akibatnya, posisi perajin makin lemah.

Melihat praktik yang tidak adil itu, Alit mendirikan Yayasan Mitra Bali tahun 1993. Yayasan ini berusaha menciptakan sistem perdagangan yang berkeadilan. Alit membuka seluas mungkin akses perajin terhadap informasi pasar.

Lalu perajin diajak terlibat dalam seluruh mata rantai ekonomi, dari penyediaan bahan baku hingga penjualan. Uang muka perajin dibayarkan 50 persen di depan, dan dilunasi saat penyerahan barang.

"Namun, kami tidak asal membantu. Kami mensyaratkan pihak yang membutuhkan bantuan juga bisa bekerja keras. Prinsip produk yang baik harus dijaga secara ketat. Produk yang tidak berkualitas tak akan kami terima," jelas Agung Alit yang juga Sekjen Forum Fair Trade Indonesia.

Untuk itu, Mitra Bali memberi pelatihan perancangan, kontrol kualitas produk, organisasi usaha, dan pemasaran. Perajin juga dikenalkan dengan diversifikasi produk yang diinginkan pasar.

Perajin Bali yang semula tergantung pada pembelian dari wisatawan yang datang ke Bali, kini membuat kerajinan yang bisa dijual langsung ke pasar luar negeri. "Kuncinya adalah bagaimana menyeimbangkan antara kerja sosial dan bisnis yang berkeadilan," jelas Alit. (AIK)

No comments: