Tuesday, July 17, 2007

Menyangkal Kemajuan

Razali Ritonga

Berlarut-larutnya keterpurukan hidup agaknya membentuk masyarakat antagonis. Kesuksesan dianggap sebagai kemustahilan.

Ketidakpercayaan akan keberhasilan meluas dalam hampir setiap aspek kehidupan. Contoh nyata, turunnya angka pengangguran dan kemiskinan.

Badan Pusat Statistik (BPS) beberapa waktu lalu mengumumkan sejumlah indikator penting, antara lain turunnya angka pengangguran dari 10,28 persen (Agustus 2006) menjadi 9,75 persen (Februari 2007).

Secara absolut, angka pengangguran turun 384.000 orang, dari 10,93 juta orang (Agustus 2006) menjadi 10,55 juta orang (Februari 2007). Angka kemiskinan juga turun dari 39,30 juta (17,75 persen, Maret 2006) menjadi 37,17 juta (16,58 persen, Maret 2007). Atau, terjadi penurunan penduduk miskin 2,13 juta. Penurunan ini mengagetkan berbagai kalangan, termanifestasi dalam penyangkalan (denial).

"Denial" kemajuan

Ketidakpercayaan itu mungkin disebabkan kita terlalu lama hidup dalam keterpurukan. Memburuknya perekonomian akibat krisis 1997 sepertinya terus berlangsung. Padahal, tanpa dirasakan, ekonomi perlahan-lahan membaik dan berdampak terhadap peningkatan kualitas hidup.

Namun karena telah terbiasa hidup susah, angin perbaikan itu kurang dirasakan. Saat perbaikan disajikan dalam angka statistik, timbul rasa tidak percaya.

Kita memang memiliki rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) di tingkat pusat dan RPJMD di tingkat daerah. Namun, hal itu belum mampu memperjelas arah yang diinginkan. Banyak target dalam RPJM dan RPJMD bersifat normatif. Padahal untuk membuat arah pembangunan lebih nyata, seluruh target harus terukur.

Memang, tidak mudah mendesain rancangan yang terukur, akurat, dan terarah. Bahkan di negara maju, rancangan pembangunan didasarkan cost-benefit terhadap suatu program yang akan dijalankan. Cara demikian adalah masuk akal mengingat banyak pilihan bisa diambil untuk memecahkan suatu persoalan.

Untuk meningkatkan kesehatan masyarakat, misalnya, banyak alternatif kebijakan bisa diambil. Namun, masalah kesehatan berbeda antardaerah, status sosial ekonomi, dan kelompok umur.

Dalam banyak hal, tampaknya rancangan pembangunan di Tanah Air tidak serinci seperti di negara-negara maju. Bahkan ada kesan, rancangan pembangunan kita masih sebatas menghabiskan anggaran (Sri Mulyani, Media Indonesia, 25/6/2007). Amat disayangkan, perencanaan yang tidak jelas target capaiannya dapat mengakibatkan penggunaan biaya tidak realistis, tidak sepadan dengan hasil yang dicapai. Ini adalah pemborosan.

Visi-misi pilkada dan pilpres

Ditengarai, rencana pembangunan yang bersifat normatif itu sebagai produk dari visi dan misi para calon pemimpin saat berkampanye dalam pemilu atau pemilihan kepala daerah.

Pemaparan visi dan misi saat mereka berkampanye sarat konsep normatif dan kadang sulit untuk diukur. Bahkan visi dan misi yang diungkap kadang tidak sinkron dengan masalah yang sedang dihadapi masyarakat. Celakanya, saat terpilih menjadi pemimpin, materi visi dan misi itu dijadikan acuan menyusun rencana pembangunan.

Mencermati kondisi ini, hasil yang diperoleh hampir pasti akan jauh dari harapan masyarakat. Berbagai masalah di masyarakat tidak akan terselesaikan, bahkan mungkin sama sekali tidak tersentuh.

Penilaian masyarakat terhadap kinerja penyelenggara pemerintah tentu tidak asal dilakukan, tetapi berdasarkan kriteria tertentu. Kriteria yang paling mudah dan kerap dilakukan masyarakat adalah berdasar observasi dalam kehidupan keseharian.

Ketika kehidupan kian susah karena harga kebutuhan kian mahal, akses ke pelayanan publik makin sulit, dan peluang mencari pekerjaan kian kecil, maka hal itu mengindikasikan kegagalan penyelenggaraan pemerintah.

Maka, di tengah minimnya informasi dari hasil riset dan studi untuk menyusun rancangan pembangunan, sepatutnya pemerintah tidak menyerah, perlu terus menyempurnakan. Kekurangan informasi dalam penyusunan rencana pembangunan dapat diatasi dengan prinsip "tidak ada rotan akar pun jadi".

Berbagai upaya perlu dilakukan pemerintah pusat dan daerah guna menyempurnakan rancangan pembangunan berbasis tolok ukur. Sebab, rancangan pembangunan ini mencerminkan kadar keseriusan dan komitmen penyelenggara pemerintahan untuk mengatasi berbagai masalah yang melilit masyarakat, khususnya kemiskinan dan pengangguran.

Dan yang terpenting di balik itu semua adalah menyosialisasikan rancangan pembangunan kepada masyarakat. Ini penting karena ada masyarakat tidak percaya atas capaian pembangunan. Boleh jadi itu semua bukan disebabkan terlalu lama hidup dalam keterpurukan, tetapi karena kurang paham atas pembangunan yang dilakukan pemerintah.

Razali Ritonga Kepala Subdirektorat Analisis Konsistensi Statistik, BPS

No comments: