Oleh:
Irfan Syauqi Beik
Dosen FEM IPB dan Kandidat Doktor Ekonomi Syariah IIU Malaysia
Dalam orasi ilmiah Sabtu, 23 Juni 2007, Guru Besar IPB, KH Didin Hafidhuddin, meminta bank syariah untuk lebih memperhatikan pembangunan pertanian dengan lebih meningkatkan penyaluran pembiayaan bagi sektor tersebut. Bahkan, beliau juga merekomendasikan untuk mendirikan bank pertanian syariah yang dirancang khusus untuk mengembangkan sektor pertanian di Tanah Air (Republika, 24 Juni 2007). Gagasan tersebut sangat menarik mengingat sektor pertanian, bagi sebagian bankir dan praktisi keuangan, masih dianggap sebagai sektor yang memiliki risiko sangat besar dan dianggap kurang menguntungkan.
Stigma negatif
Munculnya stigma tersebut terjadi karena buruknya komunikasi dan koordinasi antara para pemangku kepentingan (stakeholder) sektor pertanian dan lembaga keuangan. Lemahnya kondisi tersebut menyebabkan kurang tergalinya potensi dan peluang bisnis sektor pertanian, sehingga pembiayaan untuk sektor tersebut menjadi terbatas. Persentase kredit/pembiayaan pertanian yang disalurkan dalam satu dekade terakhir ini nilainya masih di bawah delapan persen dari total kredit perbankan nasional.
Selain dianggap berisiko tinggi, menurut Bustanul Arifin, sektor perbankan masih dipersepsi sangat bergantung pada musim, ketersediaan air, jaminan harga yang fluktuatif, dan sebagainya. Tidak hanya itu, pada sebagian praktisi keuangan, muncul pemahaman yang lebih ekstrem, yang menganggap petani terutama petani kecil, masih terbelenggu dalam kebodohan dan kemiskinan. Mereka dikhawatirkan tidak mampu memberikan marjin keuntungan yang layak bagi kalangan perbankan dan lembaga pembiayaan lainnya.
Memang jika kita melihat survei pendapatan petani yang dilakukan BPS (2005), lebih dari 60 persen petani mengatakan bahwa kondisi ekonomi rumah tangga mereka tidak berubah dari tahun-tahun sebelumnya. Bahkan survei tersebut juga menunjukkan bahwa rata-rata penghasilan tertinggi petani dalam setahun adalah Rp 11,3 juta (Sumatera Barat) dan terendah Rp 7,7 juta (Nusa Tenggara Barat). Tentu saja tingkat pendapatan tersebut masih jauh dari layak untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga petani.
Wajarlah jika kemudian sektor pertanian, terutama pertanian dengan omzet di bawah Rp 50 juta per tahun, memiliki kesulitan dalam mengakses sumber-sumber pembiayaan. Kalangan perbankan hanya memiliki kepercayaan untuk menyalurkan pembiayaan kepada para pelaku usaha pertanian (agribisnis) modern dan besar, termasuk sektor usaha perkebunan besar. Sehingga, gagasan pendirian bank pertanian syariah sebagai sumber alternatif pembiayaan pertanian perlu ditindaklanjuti secara lebih serius. Apalagi masyarakat sebenarnya sudah tidak asing lagi dengan sistem bagi hasil dalam pertanian, sebagaimana tercermin pada sistem maro dalam tanaman pangan, sistem gaduhan dalam peternakan, dan sistem bagi hasil dalam perikanan tangkap. Pengalaman Malaysia dan Pakistan pun menunjukkan bahwa produk keuangan syariah mampu memainkan peran yang sangat penting dalam membangun sektor pertanian.
Mengapa bank syariah?
Satu pertanyaan yang menarik untuk didiskusikan adalah mengapa perlu mendirikan bank pertanian syariah, sebagaimana diusulkan Didin Hafidhuddin, dan bukan bank pertanian konvensional. Tentu saja diskusi ini akan mengundang perdebatan dan perbedaan pendapat. Dalam artikel ini, penulis mencoba mengupas beberapa alasan pentingnya mendirikan bank pertanian dengan prinsip syariah.
Pertama, sistem syariah sebenarnya lebih sesuai dengan karakter petani dan pertanian di Indonesia, sehingga lebih memungkinkan untuk diterapkan, dibandingkan dengan sistem bunga. Pada sistem syariah, yang dituntut adalah kemampuan petani untuk memproduksi hasil pertanian. Misalnya pada skema pembiayaan bai' as salaam, di mana petani mendapatkan modal untuk berproduksi sesuai biaya aktual yang dibutuhkan dan mendapat keuntungan dengan persentase tertentu. Kewajiban petani, berdasarkan skema tersebut, adalah menyerahkan produk pertanian dengan kriteria yang telah disepakati kepada pemberi modal (dalam hal ini adalah bank dan atau pemerintah). Bank dan pemerintah dapat menunjuk suatu lembaga untuk memasarkan produk pertanian tersebut. Berbeda dengan sistem konvensional, di mana yang menjadi titik tekannya adalah pengembalian modal (uang) plus bunga.
Jika kondisi yang ada saat ini tetap berlangsung, di mana tingkat suku bunga SBI lebih besar daripada tingkat suku bunga deposito, maka dipastikan bank konvensional akan merasa lebih aman menaruh uangnya dengan membeli SBI daripada menginvestasikannya di sektor riil. Dengan membeli SBI, bank dapat memperoleh keuntungan sekaligus mampu membayar bunga kepada nasabahnya. Akibatnya, uang tidak akan mengalir ke sektor riil dan pembiayaan sektor pertanian tidak akan menjadi prioritas utama. Kalau pun petani kecil mendapat kredit, maka petani tersebut akan kesulitan dalam memenuhi kewajiban membayar bunga, kecuali jika pemerintah memberikan subsidi bunga. Subsidi bunga inipun nilainya sangat fluktuatif, bergantung pada kondisi moneter. Saat ini setiap tahun pemerintah harus menanggung defisit anggaran akibat pembayaran bunga ini. Sebagai contoh pada tahun 2005, jika tanpa pembayaran bunga, pemerintah akan mendapat surplus anggaran senilai Rp 43,67 triliun.
Kedua, bank syariah lebih menitikberatkan pada investasi di sektor riil, dan sektor pertanian merupakan bagian dari sektor riil. Untuk itu, struktur bank pertanian syariah yang nantinya didirikan ini sebaiknya mengikuti struktur bank investasi daripada bank komersial. Diharapkan, bank pertanian syariah ini dapat menjadi model bank investasi syariah, sehingga mampu menjawab problematika akses pembiayaan bagi petani. Bank ini pun dapat menjadi jembatan untuk mengintegrasikan pasar keuangan syariah dengan sektor pertanian, antara lain melalui penerbitan sukuk untuk pertanian.
Ketiga, bank pertanian syariah dapat menjadi substitusi kebijakan subsidi pemerintah untuk sektor pertanian. Selama ini subsidi yang diberikan pemerintah lebih menitikberatkan pada subsidi sarana produksi pertanian. Pada praktiknya seringkali subsidi tersebut salah sasaran akibat moral hazard. Sebagai contoh adalah subsidi pupuk yang tujuannya adalah memberikan pupuk dengan harga murah dan dapat dijangkau oleh petani. Namun demikian, akibat permainan di tingkat distribusi, seringkali harga yang diterima di tingkat petani menjadi lebih mahal dari harga yang ditetapkan pemerintah.
Melalui pendirian bank pertanian syariah, dana triliunan ini dapat disuntikkan oleh pemerintah kepada bank, dan dapat disalurkan langsung untuk membiayai petani sehingga memiliki dampak langsung terhadap kesejahteraan petani. Penulis berharap komitmen pemerintah untuk mengembangkan sektor pertanian melalui pendirian bank pertanian syariah dapat diwujudkan. Departemen Pertanian perlu mengadakan komunikasi yang lebih intensif, terutama dengan Bank Indonesia dan Departemen Keuangan di dalam merealisasikan gagasan ini.
Ikhtisar
- Usaha pertanian skala kecil senantiasa mendapatkan stigma negatif dari bank dan lembaga keuangan lain, akibatnya petani sulit mendapat bantuan modal dari lembaga tersebut.
- Bank dan lembaga keuangan lainnya lebih senang mengucurkan dananya ke bisnis pertanian yang besar dan modern.
- Bank syariah memiliki banyak kedekatan dengan sistem yang berjalan di sektor pertanian selama ini.
- Ide untuk membangun bank pertanian syariah menjadi wacana yang menarik untuk diwujudkan.
No comments:
Post a Comment