Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Reformasi tidak terbatas pada panggung negara dan politik, sosial, dan budaya. Reformasi juga melibatkan panggung ekonomi berikut pelaku dunia usaha.
Reformasi pada para pelaku bisnis atau para wirausaha di antaranya berupa bangkitnya kesadaran tentang tanggung jawab sosial korporat, dikenal juga sebagai CSR, corporate social responsibility.
Kesadaran tampak dari intensifnya seminar dan studi perihal CSR. Juga bertambah banyaknya perusahaan yang melakukan CSR. Reformasi berupa antara lain CSR timbul karena kesadaran, pengertian, dan tanggung jawab. Justru karena bangkit dari kesadaran, praksis yang sukarela itu mulai tumbuh sebagai gejala reformasi di panggung pelaku bisnis.
Logis alias masuk akal jika kesadaran baru yang tanpa paksaan hukum itu merupakan perluasan dari berbagai kewajiban pelaku bisnis, seperti membayar pajak, mempraktikkan bisnis bersih tanpa korupsi, kolusi, dan nepotisme, taat peraturan dan hukum. Dalam kerangka ekonomi pasar sosial yang kita anut, masuk akal jika semakin mendalam dan relevan pemahaman serta praktik perihal fungsi dan tanggung jawab sosial dari dunia bisnis dan para pelakunya. Sekali lagi, CSR dipahami dan dipraktikkan sebagai tanggung jawab yang mendorong kegiatan sukarela, bukan karena perintah hukum.
Maka beragamlah reaksi ketika sekurang-kurangnya untuk dunia usaha yang mengolah sumber alam, tanggung jawab sosial itu dikukuhkan sebagai kewajiban hukum. Ketentuan itu termuat dalam UU baru tentang perusahaan yang mengolah sumber alam. Tujuannya agar perusahaan mematuhi tanggung jawab ikut memelihara lingkungan hidup. Ketentuan hukum itu dinyatakan dalam bentuk pajak tambahan.
Ketentuan hukum itu sendiri mengundang reaksi. Reaksi lebih seru karena konotasi pajak—yang juga diperbarui dan ditegaskan lebih serba jelas—masih meninggalkan kesan ketidakpastian atau multi-interpretasi dan praktik subyektif. Di antaranya multitafsir undang-undang itulah yang dicemaskan. Sikap itu dipengaruhi pengalaman yang sering terjadi sejauh ini. Tafsir ketentuan hukum bisa meluas dan menyempit. Sebaliknya, benar juga, kerusakan lingkungan alam sejauh ini dilakukan oleh praktik bisnis pengolahan sumber alam yang tidak bertanggung jawab. Ambillah misalnya kerusakan hutan. Namun juga dengan pengertian itu, catatan dunia usaha terhadap beberapa pasal UU Perseroan Terbatas perlu diperhatikan.
Bagi dunia usaha, catatan itu pada waktu yang sama juga harus semakin memperkuat komitmennya untuk meluaskan dan menumbuhkan praktik CSR. Seperti ditunjukkan oleh banyak negara, sangat ditentukan oleh peran sosial ekonomi yang dilakukan dunia usaha, kecil, menengah, maupun besar. Masa lampau dunia bisnis kita, terutama pada tingkat korporatnya, sempat bernoda hitam. Pelajaran kita ambil dari pengalaman itu. Sebaliknya jangan pula kita hanya terbelenggu oleh kejadian tersebut. Kita ambil pelajaran dan sesuai dengan tuntutan zaman, para pelaku bisnis terpanggil bangkit dalam konteks, semangat, serta tujuan reformasi.
No comments:
Post a Comment