KALLANOMICS
DALAM sambutan di depan Konferensi Kebijakan Sosial yang diselenggarakan Prakarsa, di Jakarta, baru-baru ini Wapres M Jusuf Kalla menyatakan, sepuluh tahun sejak reformasi 1998, Indonesia tidak mengajukan gagasan dan pikiran besar. Wapres juga menegaskan, kita tidak membangun bidang-bidang yang amat diperlukan, seperti pengairan dan infrastruktur. ”Kita menghabiskan banyak waktu untuk berdebat dan berpolitik!” tegasnya.
Akibatnya, menurut Kalla, pengangguran dan kemiskinan membludak. ”Untuk memeranginya kedua persoalan tersebut, Indonesia membutuhkan investasi baru sebesar Rp 1000 triliun (US$ 111 miliar),” tuturnya. Dengan modal seperti itu, menurut perhitungan Kalla, perekonomian nasional bisa tumbuh sampai 7% per tahun, sehingga bisa benar-benar diandalkan untuk mengikis kemiskinan dan pengangguran. Dana investasi itu sendiri diharapkan datang dari swasta nasional, pemerintah, dan modal asing.
Mengingat angka kemiskinan sudah demikian tinggi, Kalla juga mengingatkan. ”Jika kita tidak berhasil mengatasi kemiskinan, rakyat akan marah. Buat apa berdemokrasi kalau tetap hidup miskin," ujarnya. Sementara itu data Biro Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, angka kemiskinan telah mencapai 17% dari 220 juta jiwa penduduk Indonesia. Kaum miskin ini, menurut definisi BPS, adalah mereka yang hidup dengan kurang dari US$ 1,55 per hari. (Jakarta Post,28/6/2007)
Dewasa ini, kalangan civil society menilai, reformasi terasa mandul akibat perselisihan politik yang tak kunjung reda akibat terlalu banyak Parpol, serta lembaga eksekutif yang lemah lantaran dahsyatnya kekuatan legislatif. Belum lagi lembaga yudikatif, yang nyaris berjalan ditempat—mungkin bahkan mundur—dalam soal pembenahan hukum. Tak kalah memprihatinkan, kualitas para teknokrat juga sangat terbatas, sehingga tak mampu menghasilkan terobosan berarti. Mereka praktis hanya bekerja secara normatif dan belum menyuguhkan kinerja inovatif.
Merujuk perspektif ekonom Mubyarto, sampai kira-kira 28 tahun lalu (1975), pembangunan dianggap mampu menghapuskan kemiskinan “dengan sendirinya”. Ketika itu, para teknokrat ekonomi dengan analisis-analisisnya percaya, bahwa pertumbuhan akan mampu mengatasi segala masalah pembangunan dan kesejahteraan nasional. Mereka juga menyajikan angka-angka yang cukup mencengangkan. Selama periode 1976-1996 (20 tahun, Repelita II-V) misalnya, angka kemiskinan Indonesia rontok dari 40% menjadi 11%. Lalu, angka kemiskinan tersebut kembali meroket ke angka 24% gara-gara krisis moneter 1998.
Mubyarto kemudian berkesimpulan, para teknokrat bukanlah pendukung kuat kebijakan dan program-program yang bisa diandalkan untuk menanggulangi kemiskinan secara jangka panjang. Ini karena, menurut Mubyarto, ilmu ekonomi menghasilkan para intelektual universal yang seolah hidup di awang-awang. Maka wajar bila Alejandro Sanz de Santamaria dalam Paul Ekins and Max-Neef & Manfred Max-Neef, Real Life Economics, London-New York: Routledge, 1992, mengutarakan, ”Saya kira waktunya telah tiba bagi para ekonom untuk mulai mengubah diri mereka—dan melakukannya dengan cepat—menjadi intelektual yang lebih spesifik, dan rendah hati.”
Maka tak mengherankan jika Jusuf Kalla merasa prihatin, bahwa setelah 10 tahun memasuki era reformasi, Indonesia masih terseok-seok. Pendidikan dan kesehatan masih mahal, harga sembako kerap tak terjangkau oleh orang kebanyakan, dan antrian pencari kerja makin panjang. Ini semua tentu saja menunjukkan bahwa reformasi birokrasi belum efektif, etos kerja masih lembek, dan kualitas sumber daya manusia yang ada belum memadai.
Sungguh ironis. Sebab, para pengemplang BLBI, yang telah menyebabkan perekonomian Indonesia terpuruk berkepanjangan, masih bisa tetap mempertahankan bahkan menumpuk lebih banyak asset pribadi maupun korporat. Kini, beban BLBI yang harus ditanggung oleh pemerintah adalah Rp 650 triliun, dengan bunga per tahun yang dibayar melalui APBN sebesar Rp 70 triliun.
Di tengah kelemahan institusi-institusi kenegaraan, ekonomi dan politik, maka kepemimpinan (leadership) yang kompeten dan tangguh harus menjadi kompensasi guna menutup lubang-lubang kelemahan kelembagaan tersebut. Di tengah gigantisme birokrasi yang berwatak menak dan berkultur priyayi, maka reformasi budaya harus dicanangkan oleh kepemimpinan nasional untuk melakukan pembaruan dari dalam (reform from within). Saya kira, disinilah keharusan pemerintahan SBY-JK untuk berpacu dengan waktu dalam upaya mewujudkan tata-kelola pemerintahan yang baik (good governance). Dalam konteks kebutuhan investasi, maka kehendak bagi investasi Rp 1000 triliun hanya akan datang jika faktor-faktor non-ekonomi yang mengganggu seperti ketidakpastian hukum, buruknya birokrasi, kelemahan infrastruktur, maraknya biaya siluman, premanisme, ekonomi rente, ketidakamanan dan instabilitas, bisa diatasi secara menyeluruh.
Riuh rendah aliansi kebangsaan maupun koalisi kerakyatan, yang sedang digalang oleh berbagai Parpol belakangan ini, tidak akan bermakna apapun bagi rakyat tanpa kerja kreatif yang sanggup memecahkan persoalan bangsa. Meminjam bahasa Herbert Feith, kita membutuhkan pemimpin, administratur, dan penyelesai masalah yang mumpuni. Bukan politisi, calo kekuasaan, dan penggalang solidaritas yang sarat dengan agenda tersembunyi dan kepentingan pribadsi. Sejarah, seperti dicatat akademisi John Bresnan (Managing Indonesia,1993), sudah membuktikannya tatkala Pak Harto, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Widjojo Nitisastro dan timnya tahun 1966 dulu mengatasi krisis ekonomi Indonesia, menyusul jatuhnya kekuasaan Presiden Soekarno. Prestasi mereka pada waktu itu harus kita akui, sungguh bermakna.
Sayang, Presiden Soeharto kemudian terjerembab kedalam masalah korupsi dan kroniisme. Lalu, ia terkena hukum besi sejarah sebagaimana pendahulunya: ia jatuh dari singgasana karena gagal melakukan reformasi secara struktural, karena terlalu menikmati kekuasaan tanpa checks and balances yang rasional. Sebuah pelajaran yang berharga bagi anak-anak bangsa. Wallahualam
Herdi Sahrasad, Associate Director Media Institute dan Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina
No comments:
Post a Comment