Paradoks Ekonomi Asia
Ahmad Erani Yustika
Pertemuan Forum Ekonomi Dunia tentang Ekonomi Asia Timur di Singapura, 24 Juni, secara eksplisit memunculkan paradoks, yakni selisih antara pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan (dan penyakit lain) di Asia (Kompas, 25/6).
Dalam dua dekade ini, jika merujuk ke China, India, Korsel, Taiwan, Hongkong, Singapura, Thailand, Filipina, Malaysia, dan Indonesia, pertumbuhan ekonomi di Asia amat mencengangkan. Namun, pertumbuhan juga dibarengi penyebaran kemiskinan.
Majalah Time (14/03/2005) mengungkapkan, minimal ada 1,2 miliar penduduk dunia yang tergolong miskin absolut (extreme poverty), terbanyak di Afrika yang terperangkap kemelaratan absolut, disusul wilayah Asia.
Informalisasi ekonomi
Laporan Bank Indonesia dan IMF (2006) menunjukkan, pertumbuhan ekonomi dunia banyak ditopang negara-negara Asia (Timur). Misalnya, tahun 2007 pertumbuhan ekonomi dunia diprediksi 4,7 persen, dengan negara-negara maju tumbuh 2,8 persen. Ekonomi AS diperkirakan tumbuh 3,3 persen, Jepang 2,1 persen, dan Eropa 1,9 persen.
Adapun pertumbuhan di Asia diperkirakan bakal fantastis. China memimpin dengan pertumbuhan 9,0 persen, India 7,0 persen, Indonesia 5,8 persen-6,3 persen, Malaysia 5,8 persen, Thailand 5,4 persen, Korsel 4,5 persen, Hongkong 4,5 persen, dan Singapura 4,5 persen.
Melihat data-data itu, terbayang, ekonomi Asia sedang memasuki musim semi, menjadi pemantik datangnya investasi. Jika disimak, sumber pertumbuhan ekonomi di Asia bisa dikelompokkan dalam tiga kategori.
Pertama, pertumbuhan ekonomi yang ditopang industri padat teknologi (menengah dan tinggi). Jenis pertumbuhan ini, misalnya, di India dan Korsel. Pada tahun 2006 industri teknologi informasi India menyumbang pendapatan 36 miliar dollar AS terhadap perekonomian nasional.
Kedua, pertumbuhan ekonomi yang disokong sentra ekonomi baru yang terkonsentrasi di zona tertentu, seperti dipraktikkan China. Sedihnya, pertumbuhan ekonomi dibarengi ketimpangan pertumbuhan antarkawasan.
Ketiga, pertumbuhan ekonomi dipandu penanaman modal asing (PMA). Sifat PMA biasanya padat modal (teknologi), menguras input sumber daya alam (migas dan pertambangan), dan membawa lari keuntungan ekonomi. Inilah yang terjadi di Indonesia
Di luar fakta-fakta itu, di kawasan Asia ada tendensi pendalaman informalisasi ekonomi, khususnya akibat krisis ekonomi 1997/1998. Krisis ekonomi menenggelamkan sebagian usaha formal di kawasan Asia sehingga tidak hanya berdampak terhadap pemilik modal, tetapi juga sebagian pekerja yang dikeluarkan perusahaan (PHK).
Di Thailand, tahun 2002 sumbangan ekonomi informal terhadap pendapatan nasional (PDB) mencapai 52 persen, disusul Filipina 43,4 persen, Banglades 35,6 persen, Malaysia 31,1 persen, Korsel 27,5 persen, India 23,1 persen, Indonesia 19,4 persen, Vietnam 15,6 persen, India dan Singapura masing-masing 13,1 persen (Schneider, 2002).
Di Indonesia, pada 2006 sumbangan ekonomi informal kian membengkak, terlihat dari penyerapan tenaga kerja. Sektor ini pada 2006 menyerap 70 persen tenaga kerja di Indonesia. Jadi, informalisasi ekonomi di wilayah Asia berjalan bersamaan dasawarsa pertumbuhan ekonomi (paradoks yang memilukan).
Kebijakan dan kelembagaan
Secara empiris, ada dua soal penting yang menyebabkan penurunan kualitas pertumbuhan ekonomi di Asia.
Pertama, formulasi kebijakan ekonomi yang buruk, dengan sebagiannya bisa ditunjukkan dari orientasi kepada pencapaian pertumbuhan ekonomi semata, tanpa mencermati efek yang bakal ditimbulkan. Pembukaan akses pasar yang begitu cepat dan insentif yang berlebihan terhadap investasi asing (berteknologi tinggi) menjadi katarsis terpenting dari masalah ini. Pembukaan akses pasar yang tidak selektif bukan hanya menenggelamkan sektor industri domestik, tetapi juga merontokkan sektor primer (pertanian).
Kedua, kelembagaan ekonomi yang kurang kredibel dan nyaris tanpa kepastian. Pemicunya, birokrasi dan lembaga penegak hukum sebagai pilar terpenting untuk mengimplementasikan kelembagaan (regulasi) menjadi titik terlemah. Kasus pengurusan izin usaha yang berbelit dan mahal hanya sebagian kecil bukti, padahal faktor inilah yang memelaratkan ekonomi Peru (de Soto, 2000).
Konfigurasi ekonomi Asia itu sebangun dengan yang terjadi di Indonesia. Kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan pendapatan bergandeng tangan dengan pertumbuhan ekonomi. Lihat, distribusi pendapatan Indonesia 2002-2005 bertendensi kian memburuk, khususnya apabila diukur dari Rasio Gini (RG). Tahun 2002 RG hanya 0,29, lalu menjadi 0,32 (2003), 0,34 (2004), dan 0,35 (2005) (BPS, 2006).
Paradoks ekonomi Asia menjadi pelajaran bagus bahwa pertumbuhan ekonomi tanpa diiringi kualitas kebijakan dan kelembagaan akan menjadi benih yang menyemai kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan. Jika fakta empiris itu tidak segera membuat siuman para ekonom dan pengambil kebijakan untuk memutar haluan model/kebijakan pembangunan ekonomi, proses pembusukan ekonomi akan kian cepat. Indonesia, tanpa kecuali, juga tunduk pada diktum ini.
No comments:
Post a Comment