Tuesday, July 17, 2007

Anggaran untuk Kemiskinan dan Pengangguran?

Iman Sugema

Dalam sebuah negara, penilaian masyarakat terhadap kinerja pemerintah biasanya ditentukan oleh seberapa jauh perbaikan di bidang ekonomi dapat dirasakan masyarakat.

Alasannya sederhana. Dibandingkan dengan faktor politik, misalnya, faktor ekonomi seperti biaya hidup, pengangguran, dan kemiskinan merupakan hal yang langsung menyentuh dan dirasakan masyarakat. Indikator ekonomi lebih "nyata" dan terukur.

Instrumen paling powerful yang dimiliki pemerintah untuk mencapai arah yang diinginkan adalah anggaran. Kini masalah anggaran berpangkal pada efektivitas. Sementara itu, defisit anggaran dirancang terus membengkak, tetapi pada saat sama, masyarakat tidak melihat dan merasakan langkah pemerintah.

Kajian Lingkaran Survei Indonesia menunjukkan, mayoritas responden tidak percaya bahwa pemerintah mampu memecahkan masalah perekonomian. Ada dua hal yang menurut masyarakat mengganjal, yaitu penanganan pengangguran dan kemiskinan. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, tingkat pengangguran dan kemiskinan cenderung menurun. Artinya, ada gap antara yang dirasakan masyarakat dan keadaan yang dicoba ditampilkan pemerintah.

Gap seperti ini tidak akan timbul jika kebijakan anggaran benar-benar menyentuh orang miskin dan mampu menyediakan lapangan kerja. Beberapa teman di eselon satu sering menyebut, anggaran kemiskinan dan pengangguran adalah bodong alias tidak sungguh-sungguh mencerminkan program antikemiskinan dan pengangguran.

Disebutkan, anggaran kemiskinan tahun 2007 mencapai Rp 54 triliun dan tahun 2008 direncanakan menjadi Rp 62 triliun. Namun, angka ini tidak nyata dan disiapkan untuk menyenangkan Presiden dan Wapres yang kebetulan amat memerhatikan dua masalah ini. Akibatnya fatal, banyak petinggi sering mengungkap angka itu di depan umum dengan membusungkan dada. Bagi yang tahu seluk-beluk anggaran, itu merupakan tontonan yang amat menggelikan.

Program antikemiskinan?

Apa yang ada dalam angka Rp 54 triliun itu? Yang didefinisikan sebagai program antikemiskinan ternyata mencakup 19 program yang tersebar di berbagai departemen dan lembaga pemerintah nondepartemen. Yang langsung bersentuhan dengan kemiskinan paling hanya Rp 5 triliun lebih sedikit, dalam bentuk raskin dan sekeskin. Sisanya, program yang diberi "label" bagian dari strategi penanggulangan kemiskinan.

Contoh program yang tidak bisa disebut program antikemiskinan ialah tiga program yang ada di Depdiknas dengan total anggaran Rp 28,8 triliun. Ketiganya ialah program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun, program pendidikan menengah, dan program pendidikan nonformal. Pertanyaannya, mengapa pendidikan tinggi tidak dimasukkan ke dalamnya agar tampak lebih menggelembung?

Ketiga program itu tidak khusus didesain untuk menanggulangi kemiskinan. Bahwa program ini membantu orang miskin, adalah suatu kenyataan. Tetapi, di bidang pendidikan, siswa miskin tetap saja tidak memiliki akses yang sama dan setara dengan yang tidak miskin. Lagi pula, berapa persen yang benar-benar sampai ke kelompok miskin? Pengalaman dalam program Bantuan Operasional Sekolah menunjukkan, dana itu tidak langsung dinikmati siswa miskin.

Contoh lain, apa yang disebut Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) yang diunggulkan sebagai program yang akan menyediakan lapangan kerja bagi jutaan orang sekaligus menanggulangi kemiskinan. Padahal, program itu adalah kompilasi dua program yang telah berjalan dengan biaya Bank Dunia, yakni Program Pengembangan Kecamatan (PPK) dan Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP). Tahun ini PNPM direncanakan akan meliputi 2.000 kecamatan, diperkirakan akan berdampak terhadap jutaan orang. Betulkah?

Lagi-lagi dampak sosialnya tampak digelembungkan. Tahun 2006 PPK dilaksanakan di 1.145 kecamatan (18.007 desa). Dilaporkan, PPK telah dinikmati 18,1 juta orang miskin, 50 persen di antaranya wanita. Sebuah prestasi amat spektakuler, jauh mengalahkan Grameen Bank.

Reformasi birokrasi

Tidak hanya itu. Kita pun tak cukup memiliki empati terhadap orang miskin. Saat subsidi dikebiri, target penerimaan negara meleset, defisit membengkak, tiba-tiba Departemen Keuangan mempunyai ide menaikkan tunjangan jabatan yang diberi judul reformasi birokrasi, berbiaya Rp 4,3 triliun atau hanya sedikit di bawah yang diterima orang miskin langsung. Tunjangan terendah golongan II justru lebih tinggi daripada tunjangan tertinggi di perguruan tinggi, tunjangan profesor yang hanya Rp 990.000. Tunjangan tertinggi di Depkeu akan sama dengan 470 kali BLT yang diterima orang miskin. Seandainya dana itu ditambahkan ke program kemiskinan, pemimpin akan bertambah populer.

Kini kita amat membutuhkan seorang pemimpin yang dipopulerkan masyarakat, bukan pemimpin yang mencari popularitas. Kita perlu mengarahkan anggaran untuk orang miskin.

Iman Sugema Senior Economist, Inter CAFE, Institut Pertanian Bogor

No comments: