Saturday, July 28, 2007

Industri Alas Kaki Nasional Terabaikan

Industri Alas Kaki Nasional Terabaikan
Pemerintah Susun Skenario Besar Revitalisasi

Jakarta, Kompas - Kejadian pemutusan pembelian dari prinsipal asing yang mempertaruhkan nasib puluhan ribu karyawan sebenarnya sudah beberapa kali terjadi. Ketergantungan pengusaha sepatu terhadap order dari pemegang merek asing mencerminkan kurang seriusnya pemerintah mendorong munculnya merek lokal.

"Semuanya tahu, industri sepatu tumbuh pesat di awal tahun 1980-an karena proses relokasi dari Taiwan dan Korea Selatan untuk mencari buruh murah. Seharusnya pemerintah dan pengusaha menyadarinya, lalu dengan serius belajar menciptakan merek lokal yang andal di pasar," ujar ekonom Faisal Basri yang dihubungi di Bandung, Jumat (27/7).

Menurut Faisal, nilai investasi pabrik sepatu yang berkisar 5 juta dollar AS sampai 15 juta dollar AS per pabrik untuk mengerjakan order sampai puluhan juta dollar AS menarik minat pengusaha untuk berinvestasi. Tanpa mereka sadari, semakin lama bekerja semakin tipis marjin keuntungan yang diperoleh.

Sistem kontrak tersebut memudahkan pembeli memindahkan pesanan dari satu pabrik ke pabrik lain untuk menekan biaya. Pembeli akan memilih pabrik yang berani mengerjakan produk dengan harga terendah.

Di sisi lain, kebijakan pemerintah antarsektor sering tidak sinkron. Akibatnya, industri sepatu dan pendukungnya, seperti penyamakan kulit dan pabrik kulit imitasi, kurang berkembang.

"Regulasi yang ketat soal impor kulit dan ekspor kulit menjadi dilema bagi industri sepatu lokal. Sudah saatnya pemerintah menyusun kebijakan komprehensif untuk mendukung mereka," ungkap Faisal.

Dominasi produk impor

Di Jakarta, Ketua Bidang Non Sport Shoes dan Usaha Kecil Menengah Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Yongki Komaladi mengatakan, industri lokal sebenarnya mampu mematahkan dominasi produk impor.

Penduduk sebanyak 220 juta jiwa merupakan modal utama pengusaha lokal untuk meningkatkan daya saing di pasar domestik.

Pemahaman produsen lokal terhadap perilaku konsumen domestik merupakan salah satu keunggulan komparatif. Pengusaha lokal juga harus konsisten berinovasi dan memasarkan produknya sampai merek produknya tertanam di benak konsumen.

"Produsen lokal belum terbiasa memasarkan mereknya di pasar domestik. Padahal, pasar domestik sebenarnya sangat menjanjikan jika mereka serius menggarapnya," ungkap Yongki.

Menurut Yongki, pangsa pasar domestik alas kaki lokal sudah mencapai 30 persen, naik 5 persen dibandingkan tahun 2006. Kondisi ini menunjukkan, produk lokal tetap mendapat tempat meskipun ada gempuran produk impor dari China dan Taiwan.

Beberapa faktor yang melemahkan industri alas kaki lokal di antaranya adalah minimnya kulit impor, kualitas kulit lokal, dan terbatasnya warna kulit imitasi.

"Keterlibatan pemerintah mutlak karena industri alas kaki berbentuk usaha mikro dan kecil menengah sangat banyak menyerap tenaga kerja. Promosi merek lokal untuk kebanggaan nasional dan kebijakan yang konsisten sangat dibutuhkan," tutur Yongki.

Direktur Industri Aneka Departemen Perindustrian Nugraha Soekmawidjaja mengatakan, pemerintah saat ini tengah menyusun skenario besar revitalisasi industri sepatu.

Menurut Nugraha, saat ini sudah ada kelompok yang menciptakan desain dengan menggunakan komputer. Kelompok ini dikelola oleh mahasiswa perguruan tinggi maupun swasta di Jawa Barat.

Kelompok ini sudah mengekspor sepatu bermerek Shuku ke Jepang. Selain itu, Pusat Desain Sepatu Jawa Barat yang akan dijadikan pelaksana pengembangan model produk alas kaki. (osa/ham)

No comments: