"Cek Kosong" Globalisasi
Syamsul Hadi
Bagi Thomas Friedman (1997), substansi ekonomi dari globalisasi adalah ide kapitalisme pasar bebas (free market capitalism).
Intinya, semakin membuka ekonomi untuk perdagangan bebas dan kompetisi, semakin efisien dan tumbuh suburlah ekonomi Anda. Semakin patuh kepada prinsip-prinsip pasar bebas, semakin makmur negeri Anda.
Keyakinan itu terpatri kuat di benak pengambil kebijakan ekonomi negeri ini. Dalam sebuah kesempatan, Presiden Yudhoyono menyatakan, bangsa Indonesia tidak perlu menghindar dari fenomena globalisasi. Tidak ada pilihan lain bagi bangsa ini kecuali berperan aktif dalam globalisasi itu. Positioning semacam inilah yang mendasari keterlibatan aktif Indonesia dalam negosiasi perdagangan bebas di level global, regional, dan bilateral. Di aras domestik, kebijakan privatisasi, deregulasi, dan liberalisasi menjadi pilihan yang seakan niscaya dan tak tergantikan.
Bagi ekonom Perancis, Robert Cohen (2006), ilusi yang berbahaya adalah membayangkan bahwa partisipasi aktif dalam globalisasi ekonomi akan melahirkan penyebaran kemakmuran yang bersifat spontan. Bagi Cohen, teknologi komunikasi telah menghadirkan realitas kemakmuran negara maju yang enak ditonton di TV, tetapi hampir mustahil dicapai bagian terbesar masyarakat di negara-negara berkembang. Dalam bahasa getir Joseph Stiglitz, "It is better to be a cow in Europe than to be a poor person in a developing country" (Stiglitz, 2006:85).
Strategi berkompetisi
Bentuk permainan utama globalisasi adalah persaingan bebas, dengan para kompetitor yang tangguh. Namun, Alexander Hamilton (1755-1804)—Menteri Kemakmuran AS semasa Presiden George Washington—menyatakan, AS harus melakukan proteksi dan subsidi untuk menghadapi Inggris yang lebih dulu maju melalui Revolusi Industri. AS era George Washington menolak desakan Inggris untuk menerapkan ekonomi pasar bebas. Ibarat pertandingan lari cepat, Inggris lebih dulu ada di depan, dan akan jadi pemenang, sedangkan AS akan menjadi pecundang (Krane dan Amawi, 1997).
Negara-negara yang secara historis terlambat membangun industrinya, seperti Jerman, Italia, Jepang, Korsel, bahkan AS, semula bersikap antipasar bebas. Mereka menerapkan subsidi kepada industrinya dan memasang tarif tinggi bagi barang-barang impor dari negara-negara lebih maju. Setelah siap, tarif dan subsidi diturunkan. Kini mereka mempromosikan pasar bebas dengan perhitungan, produksinya dapat memenangi persaingan dengan negara-negara lain. Produk mereka akan membanjiri negara-negara lain, bukan sebaliknya.
Sektor pertanian merupakan kekecualian. Perundingan WTO Putaran Doha (Doha Development Round) terhenti karena keengganan negara maju (AS, Uni Eropa, dan Jepang) untuk membuka pasar mereka bagi produk pertanian negara berkembang. Padahal, di sektor manufaktur, hak cipta dan jasa, negara berkembang telah memberikan konsesinya kepada negara maju. Dan sektor pertanian adalah keunggulan komparatif (comparative advantage) negara berkembang dalam perdagangan internasional. Artinya, jika prinsip timbal balik (mutual benefit) dijalankan, tak ada pilihan lain bagi negara maju itu selain menanggalkan proteksinya di sektor pertanian.
Namun, itu tidak terjadi. Negara maju memperjuangkan sektor industrinya dengan membuka pasar negara berkembang. Dalam waktu bersamaan, negara maju melindungi petani dengan segala cara guna melanggengkan proteksi pertanian.
Berbeda dengan Indonesia dari zaman ke zaman, pemerintah negara-negara maju siap "pasang badan" untuk membela petani mereka. Mereka mengategorikan petani dalam vulnerable group. Jepang, Uni Eropa, dan AS melakukan serupa, meski dengan tekanan berbeda. Sebutlah paradoks atau anomali, namun intinya sama, kepentingan politik tetap kental di era globalisasi. Kepentingan nasional (national interest) tetap menjadi dasar pemerintah negara maju dalam berkiprah di era globalisasi. Jadi, sudah matikah nasionalisme?
Menunda kemakmuran
Sebagai wujud partisipasi dalam globalisasi, negosiasi perdagangan bebas, di mana RI terlibat di semua level, hanya dilakukan sekelompok elite pemerintahan. Masalahnya, imbas aneka kesepakatan perdagangan bebas akan dirasakan masyarakat. Begitu pula kebijakan liberalisasi yang menjadi trademark globalisasi.
Pembuatan Undang-Undang Penanaman Modal (UUPM), misalnya, tak lepas dari "arahan" institusi finansial global yang sarat kepentingan bisnis negara maju. Termasuk Jepang, yang menjadikan syarat tak tergantikan bagi penandatanganan kesepakatan perdagangan bebas bilateral (EPA) Indonesia-Jepang.
Perlakuan sama yang diberikan kepada modal asing dan dalam negeri dalam UUPM, misalnya, berkonsekuensi pada menyempitnya ruang untuk mengembangkan industri dan wirausaha domestik. Amat absurd melihat perlakuan sama atas perusahaan raksasa dunia beraset puluhan kali lipat GDP Indonesia dengan usaha kecil rakyat yang modal utamanya "semangat juang dan kerja keras".
Bagi Cohen, globalisasi ibarat cek kosong: awalnya membangkitkan harapan, akhirnya menimbulkan kekecewaan. Di negeri ini, rakyat yang malang dibius dengan mimpi indah, "cek kosong" itu dapat dicairkan atau "diuangkan" menjadi kemakmuran bangsa pada 2030, 2040, dan seterusnya. Percayalah!
No comments:
Post a Comment