Thursday, May 31, 2007

Tentang Kinerja BUMN

Penilaian kinerja BUMN yang berlangsung selama ini setidaknya memiliki kelemahan dalam tiga hal. Pertama, tolok ukur penilaian kinerja BUMN cenderung berwatak kapitalistik. Padahal, sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945, penyelenggaraan perekonomian Indonesia harus dilakukan berdasarkan demokrasi ekonomi. Artinya, penilaian kinerja BUMN pun seharusnya dilakukan berdasarkan paradigma demokrasi ekonomi tersebut.

Tetapi karena tolok ukur kinerja BUMN telanjur berwatak kapitalistik, dilakukannya penilaian kinerja BUMN dengan menggunakan tolok ukur keuangan sebagaimana pada perusahaan-perusahaan kapitalistik menjadi sulit dielakkan. Artinya, jika BUMN diibaratkan seekor sapi, penilaian kinerjanya cenderung dilakukan dengan menggunakan tolok ukur kinerja seekor buaya.

Pangkal masalahnya terletak pada terdapatnya perbedaan orientasi yang sangat besar antara kapitalisme dengan demokrasi ekonomi. Kapitalisme berorientasi pada pemupukan keuntungan individual. Sedangkan demokrasi ekonomi lebih mengutamakan kemakmuran masyarakat di atas kemakmuran orang seorang.

Berangkat dari perbedaan orientasi tersebut, cara pandang terhadap kinerja BUMN dengan sendirinya berbeda secara diametris. Dalam pandangan kapitalisme, keuntungan sebuah BUMN dipatok berdasarkan suku bunga bank. Jika tingkat keuntungan sebuah BUMN lebih rendah daripada tingkat suku bunga bank, maka langsung akan muncul pertanyaan, ''Buat apa punya BUMN?''

Dari sinilah bermulanya gagasan untuk menjual BUMN. Padahal, jika kinerja BUMN terus menerus dinilai dengan tolok ukur kinerja kapitalistik, hal itu tidak hanya akan mendorong dilakukannya privatisasi BUMN, tetapi juga akan mendorong dilakukannya peningkatan efisiensi BUMN dengan menghalalkan segala cara.

Kedua, jika pada tingkat paradigmatik telah terjadi kesalahan yang cukup mendasar, keberadaan UU BUMN sebagai pedoman dasar penyelenggaraan BUMN menjadi perlu dipertanyakan. Artinya, sebagaimana dialami oleh UU No. 20/2002 tentang Kelistrikan, sejauh manakah UU BUMN telah disusun sesuai dengan amanat Pasal 33 UUD 1945?

Sejauh yang saya pahami, cara pandang UU BUMN terhadap keberadaan BUMN dalam sistem perekonomian Indonesia memang cenderung bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. UU BUMN melihat BUMN terutama sebagai entitas bisnis. Padahal, dalam Pasal 33 UUD 1945, keberadaan BUMN terutama didasarkan atas adanya pengakuan terhadap cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, yang harus dikuasai oleh negara.

Artinya, jika panduan penyelenggaraan BUMN pun sudah tidak jelas orientasinya, sebenarnya tidak terlalu sulit untuk menarik kesimpulan bahwa salah urus pengelolaan BUMN pada dasarnya berlangsung secara makro, tidak hanya secara mikro pada tingkat masing-masing BUMN.

Implikasinya, jika pada tingkat penyelenggara negara pun terdapat ketidakjelasan mengenai keberadaan dan orientasi penyelenggaraan BUMN, bagaimana mungkin kita bisa berharap adanya kriteria yang jelas dalam memilih jajaran manajemen BUMN. Sebab itu, alih-alih membina, tidak berlebihan bila pejabatapejabat pemerintah tertentu lebih suka membinasakan atau menjadikan BUMN sebagai sapi perah.

Ketiga, terjadinya kekacauan institusional dalam menetapkan pola relasi antara BUMN dengan pemerintah. Berdasarkan namanya, BUMN adalah milik Negara, bukan milik pemerintah. Tetapi jika dilihat kepemilikan sahamnya, saham BUMN dimiliki oleh pemerintah. Pertanyaannya, bagaimanakah seharusnya hubungan antara BUMN dengan pemerintah dilembagakan? Saya pernah berdebat mengenai masalah ini dengan salah seorang pejabat pemerintah yang juga duduk sebagai komisaris sebuah BUMN. Dia dengan tegas menolak keberadaan BUMN sebagai perusahaan milik rakyat. Sebagaimana dikemukakannya, hitam di atas putih, BUMN adalah milik pemerintah.

Lantas saya katakan padanya, sesuai dengan namanya, BUMN adalah milik Negara. Karena negara adalah milik seluruh warga negara, tentu tidak berlebihan bila BUMN disebut sebagai perusahaan rakyat atau perusahaan publik dalam arti yang sebenarnya. Artinya, jika dilihat berdasarkan peristiwa penjualan sebagian saham BUMN di lantai bursa, apakah peristiwa tersebut memang tepat disebut sebagai 'go publik'? Atau sebaliknya, lebih tepat disebut sebagai 'go privat'?

Semua kekacauan itu, hemat saya, hanya mengungkapkan cukup parahnya kesimpangsiuran dalam melihat BUMN di Indonesia. Bagi saya, keberadaan BUMN sebagai perusahaan publik tidak perlu diperdebatkan. Sedangkan kedudukan pemerintah sebagai 'pemilik' saham BUMN, tidak dapat disamakan dengan kepemilikan perusahaan swasta. Kepemilikan pemerintah pada BUMN adalah atas nama seluruh rakyat Indonesia.

Akibat kekacauan pola relasi antara pemerintah dan BUMN tersebut, mudah dimengerti bila proses pergantian manajemen BUMN cenderung simpang siur. Implikasinya, walau pun korupsi terjadi secara luas di BUMN, tetapi jika ditelusuri asal mula buruknya kinerja BUMN, tuduhan pertama justru harus dijatuhkan kepada para pejabat pemerintah yang menjadi penguasa BUMN. Dalam keyakinan saya, jika pemerintah baik, kinerja BUMN pasti baik. Sebaliknya, jika penguasa tidak memiliki misi yang jelas dalam mengelola BUMN, bahkan cenderung melanggar konstitusi dan menjadikan BUMN sebagai sapi perah, sampai kapan pun kinerja BUMN akan sulit diperbaiki.

(Revrisond Baswir )
Kemiskinan Fantasi

Kontroversi angka kemiskinan dan pengangguran yang muncul belakangan ini tidak dapat disederhanakan sebagai persoalan ketidaktersediaan atau ketidakakuratan data. Secara mendasar, kontroversi tersebut berkaitan dengan dua persoalan berikut.

Pertama, sehubungan dengan naskah pidato kenegaraan Presiden, jika dicermati pilihan data yang ditampilkan, terjadinya rekayasa sistemik dalam penulisan naskah pidato sulit dihindarkan. Secara kronologis, corak isi pidato ditetapkan terlebih dulu, setelah itu baru dipilih angka yang sesuai. Indikasinya dapat ditelusuri dengan mencermati pilihan tahun angka kemiskinan dan pengangguran yang ditampilkan.

Sehubungan dengan angka kemiskinan, misalnya, tahun yang dipilih untuk dibandingkan dengan kondisi Februari 2005 adalah 1999. Ini bukan tanpa alasan. Sebagaimana diketahui, tahun 1999 kemiskinan tercatat sebesar 23,5 persen. Dua tahun berikutnya turun menjadi 19,1 persen dan 18,4 persen. Artinya, jatuhnya pilihan untuk menampilkan angka kemiskinan 1999 dimaksudkan untuk menampilkan efek dramatis dalam panurunan angka kemiskinan di Indonesia.

Hal sebaliknya terjadi dalam menampilkan angka pengangguran. Untuk periode 1999 sampai dengan Februari 2005, jumlah pengangguran meningkat dari 6,4 persen menjadi 9,9 persen. Angka-angka ini jelas tidak sesuai dengan corak isi pidato yang direncanakan. Agar sesuai dengan corak isi pidato, maka pilihan dijatuhkan pada angka pengangguran November 2005 dan Februari 2006. Pada November 2005 pengangguran tercatat sebesar 11,2 persen. Sedang pada Februari 2006 turun menjadi 10,4 persen.

Sebagaimana digugat oleh Tim Indonesia Bangkit, keputusan untuk menampilkan angka kemiskinan 1999-Februari 2005 secara politis tidak dapat dibenarkan. Kabinet Indonesia Bersatu secara resmi baru mulai bekerja sejak Oktober 2004. Sebaliknya, jika angka pengangguran yang ditampilkan meliputi periode Februari 2005-Februari 2006, pengangguran justru naik ari 9,9 persen menjadi 10,4 persen.

Kedua, sehubungan data kemiskinan dan pengangguran yang dilansir Badan Pusat Statistik (BPS), jika dicermati metodologinya, terjadinya rekayasa sistemik dalam melakukan pendataan sulit pula dihindarkan. Ini tidak hanya berkaitan dengan proses pengumpulan dan cara pengolahannya yang sering berubah, tetapi juga sehubungan dengan definisinya.

Sehubungan dengan angka kemiskinan, misalnya, BPS secara tegas membatasi diri dengan mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar minimal. Pada tingkat pengukuran, definisi itu diterjemahkan menjadi dua indikator, yaitu nilai rupiah untuk memenuhi kebutuhan enerji minimal sebesar 2.100 kalori/kapita/hari, dan nilai rata-rata (dalam rupiah) dari 47 hingga 51 komoditi dasar non makanan.

Muaranya, berdasarkan hasil survei terhadap 10.000 rumah tangga miskin yang dilakukan pada Februari 2005, garis kemiskinan per Februari 2005 hanya berjumlah sebesar rata-rata Rp 129.108/kapita/bulan. Sedangkan proyeksi untuk Maret 2006 hanya berjumlah sebesar rata-rata Rp 152.847/kapita/bulan. Dengan garis kemiskinan yang sangat minim tersebut, mudah dimengerti bila jumlah penduduk miskin di Indonesia cenderung sangat rendah. Masalahnya, jika garis kemiskinan dinaikkan sedikit, jumlah penduduk miskin langsung membengkak. Sebagai perbandingan, jika diukur berdasarkan garis kemiskinan sebesar Rp 18.000/kapita/hari atau setara Rp 540.000/kapita/bulan, jumlah penduduk miskin langsung membengkak mendekati 60 persen.

Hal serupa terjadi pula sehubungan dengan data pengangguran. Sebagaimana diketahui, angka pengangguran BPS didasarkan pada definisi bekerja yang dibatasi selama sekurang-kurangnya satu jam dalam seminggu yang lalu. Artinya, jika pada saat pencacahan seseorang mengaku melakukan pekerjaan sekurang-kurangnya satu jam dalam satu minggu sebelumnya, ia tidak akan dicatat sebagai penganggur.

Akibatnya, jika definisi bekerja dinaikkan menjadi beberapa jam, angka pengangguran langsung membengkak. Tahun 2002, misalnya, jumlah pengangguran terbuka hanya 9,1 persen. Namun, jika definisi menganggur digeser menjadi bekerja kurang dari 15 jam dalam seminggu yang lalu, angka pengangguran bertambah sebesar 7,2 persen menjadi 16,3 persen. Bahkan, jika definisi menganggur dinaikkan menjadi bekerja kurang dari 25 jam, angka pengangguran membengkak menjadi 27,5 persen.

Sebab itu, dalam wacana pengangguran di Indonesia, dikenal dua kategori pengangguran, yaitu pengangguran terbuka bagi mereka yang bekerja kurang dari satu jam dalam seminggu yang lalu, dan pengangguran terselubung atau setengah penganggur bagi mereka yang bekerja kurang dari 35 jam dalam seminggu yang lalu. Tahun 2002, secara keseluruhan pengangguran tercatat sebebsar 34,3 persen.

Mencermati kedua persoalan tersebut, dapat disaksikan bahwa masalah mendasar yang dihadapi ketika berbicara mengenai data kemiskinan dan pengangguran di Indonesia tidak hanya terbatas pada soal ketersediaan, keakuratan, atau pada cara menampilkannya. Tetapi berkait erat dengan kuatnya kecenderungan untuk mengingkari realitas dan mengedepankan fantasi dalam melakukan pengukuran.

Dengan latar belakang seperti itu, munculnya kemiskinan dan pengangguran fantasi dalam Pidato Kenegaraan Presiden pada 16 Agustus lalu, harus dipahami sekedar sebagai babak lanjutan dari kecenderungan untuk berfantasi ria tersebut. Selamat berfantasi.

(Revrisond Baswir )

Ekonomi Kolonial

Salah satu dosa besar kebanyakan ekonom Indonesia terletak pada kecenderungan mereka untuk mengabaikan watak kolonial perekonomian Indonesia. Hal itu tentu tidak hanya membingungkan, tetapi juga sangat berbahaya dan harus segera dihentikan.

Sebagai sebuah negara yang lahir dari rahim penjajahan, watak kolonial perekonomian Indonesia sebenarnya tidak terlalu sulit untuk dipahami. Pertama, penjajahan selama tiga setengah abad yang dialami Indonesia mustahil tidak mewariskan sesuatu yang bersifat struktural. Kedua, masa kemerdekaan yang baru berlangsung selama enam dekade, yang tidak secara sadar diarahkan untuk melakukan koreksi, jelas merupakan periode yang sangat singkat untuk meniadakan jejak kolonial itu.

Persoalannya, karena mengabaikan watak kolonial perekonomian Indonesia, kebanyakan ekonom Indonesia juga tidak memiliki agenda yang jelas dalam membangun struktur perekonomian Indonesia merdeka. Alih-alih memiliki agenda yang jelas, kebanyakan ekonom Indonesia justru terjerumus menjadi kaki tangan dan bekerja untuk mempertahankan struktur perekonomian yang memuliakan penjajah dan menistakan rakyat banyak tersebut.

Kecenderungan itu, selain bertentangan dengan amanat konstitusi, jelas sangat bertolak belakang dengan cita-cita para bapak pendiri bangsa. Sebagaimana dapat disimak pada berbagai tulisan pribadi mereka, para bapak pendiri bangsa pada umumnya secara jelas merumuskan agenda ekonomi mereka sebagai bagian dari upaya sistematis untuk membangun ekonomi nasional sebagai koreksi terhadap ekonomi kolonial.

Simak, misalnya, pemikiran ekonomi Bung Karno berikut. Dalam pandangan Bung Karno, watak kolonial perekonomian Indonesia setidak-tidaknya dapat ditelusuri pada tiga hal. Pertama, pada ekspor Indonesia yang didominasi oleh ekspor bahan mentah. Kedua, pada impor Indonesia yang didominasi oleh impor barang-barang konsumsi. Dan ketiga, pada pasar keuangan Indonesia yang dimanfaatkan oleh para pemodal asing untuk memutar kelebihan modal mereka.

Dengan latar belakang pemahaman seperti itu, agenda Bung Karno dalam membangun ekonomi Indonesia merdeka menjadi sangat jelas. Sesuai dengan cita-cita proklamasi, Indonesia harus secepatnya menghentikan posisinya sebagai eksportir bahan mentah. Indonesia juga harus secepatnya menghentikan ketergantungannya terhadap impor barang-barang konsumsi. Sedangkan dalam bidang pembiayaan, Indonesia harus lebih mengutamakan penggunaan modal sendiri daripada modal asing.

Hal yang lebih kurang serupa dapat disimak pula pada pemikiran ekonomi Bung Hatta. Dalam pandangan Bung Hatta, watak kolonial perekonomian Indonesia terutama terungkap pada tatanan sosial perekonomian Indonesia yang terbagi menjadi tiga kelas. Pertama, kelas atas yang menguasai sektor industri, diisi oleh bangsa Eropa. Kedua, kelas tengah yang menguasai sektor perdagangan, diisi oleh warga timur asing. Dan ketiga, kelas bawah yang terdiri dari kaum buruh dan tani, diisi oleh warga Indonesia asli.

Dengan latar belakang pemahaman seperti itu, dalam membangun ekonomi Indonesia merdeka, penyelenggaraan demokrasi ekonomi adalah harga mati bagi Bung Hatta. Artinya, sebagaimana tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945, perekonomian harus disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Sedangkan bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Situasi perekonomian Indonesia saat ini jelas sangat jauh dari cita-cita para bapak pendiri bangsa tersebut. Sebaliknya, karena kebanyakan ekonom Indonesia cenderung mengabaikan watak kolonial perekonomian Indonesia, mereka bahkan sama sekali tidak memiliki hasrat untuk mewujudkan cita-cita para pejuang kemerdekaan itu. Alih-alih berhasrat mewujudkannya, justru tidak sedikit di antara mereka yang secara terang-terangan melecehkan dan menjadikannya sebagai bahan tertawaan.

Demokrasi ekonomi, misalnya, mereka pandang sebagai konsep yang mengada-ada. Ekonomi usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan mereka pelesetkan sebagai ekonomi keluarga-keluarga. Peranan BUMN sebagai penyelenggara cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak mereka lihat sebagai sesuatu yang hanya bersifat sementara. Sedangkan dominasi asing terhadap sektor pertambangan Indonesia mereka pandang sebagai sesuatu yang mulai.

Yang paling menyedihkan adalah sikap mereka terhadap modal asing. Dalam pandangan kebanyakan ekonom, modal asing tidak hanya tidak dipandang sebagai ancaman, tetapi justru dilihat sebagai sesuatu yang dibutuhkan. Akibatnya, alih-alih bekerja keras untuk meningkatkan kemandirian ekonomi nasional, mereka justru sibuk memuja dan memuliakan modal asing sebagai dewa penyelamat perekonomian Indonesia.

Kesimpulannya sangat sederhana, setelah enam dekade, struktur perekonomian Indonesia tetap bertahan sebagai ekonomi kolonial. Kebanyakan ekonom Indonesia, alih-alih berusaha mengoreksi struktur perekonomian yang memuliakan penjajah dan menistakan rakyat banyak tersebut, justru cenderung bekerja untuk melanggengkan dan menyempurnakannya. Saya terus terang curiga, jangan-jangan kebanyakan ekonom memang dipelihara oleh penjajah untuk menjadi kaki tangan mereka. Wallahu'alam bishawab.

(Revrisond Baswir )
Fatwa MA dan Penyehatan BUMN

Penyehatan BUMN, bak perdebatan mana yang lebih dulu, telor atau ayam? Entah dari mana memulainya. Banyak diskusi dan seminar yang telah digelar. Namun seolah berhenti pada tataran wacana. Walau bukan berarti tidak ada jalan menuju profesionalitas BUMN.

Fatwa Mahkamah Agung (MA) No WKMA/Yud/20/VIII/2006, tanggal 16 Agustus 2006, bisa menjadi entry point. Meski awalnya fatwa ini merupakan respons terhadap surat Menkeu No S-324/MK.01/2006, tanggal 26 Juli 2006. Sejatinya surat ini mengenai revisi PP No. 14/2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah.

Fatwa itu berisi pemisahan aset milik perusahaan negara dengan aset negara. Tentu saja ini disambut gembira kalangan perbankan BUMN. Penyelesaian kredit macet menuai titik terang. Revisi terhadap PP pun segera disusun pemerintah.

Di sisi lain, bila sebelumnya kalangan perbankan khawatir mengucurkan likuiditas karena takut kalau macet dianggap merugikan negara, kini ada tambahan payung hukum untuk menerapkan prinsip perbankan secara independen. Tentu saja dampaknya bisa mendorong pertumbuhan sektor riil. Ternyata fatwa itu tak sekadar melandasi penertiban kredit macet. Langkah cepat lainnya diambil Kementerian Nagara BUMN. Seperti yang dilaporkan Republika (26/8), Menneg BUMN mengeluarkan surat edaran hanya beberapa hari setelah fatwa MA dikeluarkan.

Surat edaran itu meminta agar direksi BUMN menginventarisasi aset perusahaanya masing-masing, dengan deadline Desember tahun ini. Ancaman penyitaan dan penyelesaian secara hukum pun diberikan terhadap aset yang telah berpindah tangan.

Menurut Sekretaris Menneg BUMN, Said Didu (Republika, 26/8), aset milik negara yang dikelola BUMN tidak terdata secara efektif, baik berupa rumah dinas, kendaraan dinas, tanah, gedung perkantoran, dan pabrik. Kas APBN pun terbebani, karena pemerintah tetap harus membayar pajak, sementara aset tersebut telah berpindah kepemilikan.

Terlepas dari kepentingan lain, fatwa MA dan surat edaran itu patut mendapat dukungan. Bila penerapan good corporate governance (GCG) di BUMN yang menjadi tujuan, tentu tak cukup hanya berhenti pada langkah inventarisasi. Dalam GCG setidaknya mengandung lima nilai utama: accountability, responsibility, transparency, fairness, dan independency (Daniri, 2005).

Prinsip accountability memberikan kejelasan fungsi, struktur, sistem dan pertanggungjawaban yang membuat perusahaan berjalan efektif. Dengan adanya fatwa MA, posisi aset menjadi jelas. Pemisahan ini juga mencerminkan kejelasan fungsi, struktur, dan -- yang lebih penting -- pertanggungjawaban pengelolaan aset.

Pada titik inilah inventarisasi aset harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab. Bukan sekadar laporan di atas kertas. Bila diperlukan mekanisme hukum bisa dijalankan.

Persoalannya di tengah mengikisnya kepercayaan terhadap penegakan hukum, akankah prinsip responsibility bisa dijalankan secara maksimal. Karena prinsip ini mengharuskan pertanggungjawab bukan hanya pada status akhir aset, tapi juga proses kepemilikan atau perpindahan tangan, apakah sesuai dengan aturan yang berlaku?

Di sini, penerapan prinsip lainnya, terutama transparency dan fairness, menjadi keharusan. Inventarisasi aset harus dijalankan secara transparan, baik secara proses maupun hasil akhirnya. Sehingga publik dan seluruh stakeholder bisa mengawasi pengolaan aset di masa depan. Namun pada saat proses inventarisasi dilakukan, pengawasan oleh publik perlu intermediasi. Karena sulit bagi publik untuk meneliti semua arsip dari 158 perusahaan BUMN secara bersamaan. Nah, untuk menjamin fairness dalam inventarisasi ini pemerintah harus menetapkan dan menentukan sistem pengawasan yang independen.

Bukan mustahil dalam proses inventarisasi terjadi manipulasi dan kongkalingkong di antara direksi BUMN dengan unsur lainnya. Ini bukan berarti sebagai sebuah prasangka buruk, namun sebagai upaya preventif. Selain inventarisasi, fatwa MA juga menegaskan payung hukum keindepenan perusahaan BUMN. Artinya jalan menuju GCG juga bisa dimulai dari prinsip independency. Fatwa ini menegaskan pengelolaan perusahaan BUMN seharusnya lepas dari intervensi pemerintah.

Inventarisasi aset yang sedang dilakukan harus dimaknai sebagai pengawasan, bukan sebagai campur tangan (intervensi) pengelolaan aset, baik oleh pengelola perusahaan maupun Kementerian Negara BUMN (sebagai wakil pemerintah).

Demikian pula dengan penyelesaian kredit macet di bank BUMN. Pemerintah tak perlu buru-buru memvonis sebagai tindakan merugikan negara bila terjadi kredit macet. Toh, fatwa MA memberikan kejelasan bahwa piutang perusahaan BUMN, bukan piutang negara. Sehingga tak perlu langsung ditangani dengan UU Antikorupsi.

Biarkanlah mekanisme hukum perbankan dan perseroan yang menyelesaikan terlebih dulu bila terjadi kredit macet. Baru bila ada unsur pidana atau korupsi dalam proses pencairan atau pelaksanaan kredit, instrumen KUHP atau UU Antikorupsi digunakan.

Sebagai penutup, bisa dikatakan bahwa fatwa MA hanyalah jalan masuk. Untuk menuju BUMN yang sehat, diperlukan penerapan prisip-prinsip GCG secara serius dan konsisten. Artinya, inventarisasi aset BUMN yang kini sedang dilakukan pemerintah masih memerlukan upaya lanjutan.

(Muhammad Syafii Antonio )
Menggerakkan Sektor Riil

Bank Indonesia telah menurunkan kembali SBI menjadi 9 persen dengan harapan bahwa sektor riil mulai dapat berkembang. Namun penurunan SBI tidak dengan sendirinya menggerakkan sektor riil karena masih harus menunggu penurunan bunga pinjaman dan keadaan dari sektor riil yang bersangkutan. Biasanya penurunan SBI segera diikuti oleh penurunan bunga deposito, namun penurunan bunga pinjaman membutuhkan waktu karena bank cenderung mempertahankan perbedaan bunga deposito dan pinjaman untuk mendapatkan keuntungan optimal. Setelah beberapa waktu baru bunga pinjaman akan menurun sekalipun biasanya tidak setinggi penurunan bunga deposito.

Penurunan bunga pinjaman juga tidak berarti terbuka luasnya akses kredit bagi sektor riil, karena hanya sektor riil yang memenuhi persyaratan tertentu, terutama dalam aspek keuangan, yang mempunyai akses pada kredit perbankan. Dengan kata lain, penurunan suku bunga tidak dengan sendirinya menggerakkan sektor riil secara optimal. Bagi suatu perusahaan, untuk mendapatkan akses kredit perbankan paling tidak membutuhkan persyaratan kondisi keuangan yang cukup baik. Hal ini dipersyaratkan oleh supervisi Bank Indonesia. Karena itu perusahaan baru atau yang kondisi keuangannya tidak baik, tidak mempunyai akses pada kredit perbankan.

Bagi perusahaan yang memiliki akses pada kredit perbankan, pada umumnya akses yang relatif terbuka adalah kredit modal kerja yang sifatnya untuk menutupi kesenjangan waktu dalam aliran kas perusahaan. Jangka waktunya biasanya lebih pendek daripada satu tahun. Sedangkan untuk mendapatkan kredit investasi untuk pengembangan kegiatan perusahaan atau kegiatan baru dengan jangka waktu lebih panjang, semakin sulit diperoleh dari perbankan, karena bagi bank risikonya tinggi. Hal ini menjadi salah satu sebab relatif rendahnya investasi dalam negeri, selain tentunya juga lingkungan investasi yang masih kurang kondusif.

Belakangan ini, atas desakan pemerintah, bank BUMN mulai menandatangani kesepakatan untuk membiayai pembangunan jalan tol. Namun, dalam realisasinya masih sangat bergantung pada sejauh mana penghambat utama pembangunan jalan tol yaitu pembebasan tanah dapat dipercepat, kembali hal ini merupakan tanggung jawab pemerintah. Selain itu pembangunan jalan tol yang merupakan investasi jangka panjang juga tidak dapat bergantung pada kredit perbankan, karena sumber utama kredit perbankan adalah dana jangka pendek dalam bentuk deposito. Investasi infrastruktur semestinya lebih bergantung pada ekuitas bukan pada kredit bank.

Keadaannya berbeda dengan kredit konsumsi, terutama kartu kredit dan kendaraan bernmotor. Hanya dengan keterangan mengenai besarnya gaji dan fotokopi KTP, seseorang dapat memperoleh kartu kredit dan kredit kendaraan bermotor. Bahkan untuk kredit pemilikan sepeda motor, keterangan gaji terkadang tidak diperlukan karena perusahaan keuangan yang menyalurkan kredit sepeda motor memberikan persyaratan lain yang lebih mudah. Kredit pemilikan rumah juga relatif mudah daripada mendapatkan kredit untuk perusahaan, tentunya dengan tingkat pendapatan yang bersangkutan yang memadai.

Menyimak hal tersebut, maka pertumbuhan ekonomi pada tahun 2007 yang diperkirakan sekitar 7 persen akan banyak bergantung pada konsumsi masyarakat. Namun, dengan tingkat pengangguran yang tinggi dan juga tingkat kemiskinan yang tinggi, maka pertumbuhan konsumsi akan lebih banyak ditentukan oleh bagian masyarakat yang berpendapatan tinggi. Konsumsi pemerintah turut memperkuat sumbangan konsumsi bagi pertumbuhan ekonomi.

Sumber pertumbuhan lain adalah ekspor, terutama dari hasil sumber daya alam, seperti karet, CPO, dan batu bara. Selama harga komoditas tersebut masih tinggi di pasar dunia, maka pertumbuhan ekspor Indonesia relatif tinggi. Ekspor produk padat karya seperti tekstil dan garmen juga masih cukup baik, karena importir tidak mau terlalu bergantung pada Cina. Pada umumnya eksportir mendapatkan pembiayaan dari sumber di luar negeri, dengan bunga yang relatif rendah dan persyaratan yang terkadang lebih mudah, terutama untuk perusahaan dengan pasar ekspor yang jelas. Namun konsekuensinya dana yang diperoleh tidak masuk ke dalam negeri.

Sedangkan investasi asing, sekalipun minat tetap tinggi sebagaimana terlihat dari cukup tingginya tingkat persetujuan PMA, realisasinya rendah karena investor menganggap belum terjadinya perbaikan yang berarti dalam lingkungan investasi. Dari realisasi yang relatif rendah tersebut pada umumnya investasi asing mengarah juga pada kegiatan konsumsi seperti kendaraan bermotor dan perdagangan ritel berskala besar.

Jelaslah bahwa perkembangan sektor riil membutuhkan usaha lebih besar dari sekadar penurunan bunga dan kesepakatan bank BUMN untuk membiayai infrastruktur. Dibutuhkan proses saling mendekati antara sektor riil dan keuangan yang membuat kegiatan perusahaan sektor riil dapat dibiayai oleh bank dan sumber pendanaan lainnya. Dengan tidak adanya bank investasi di Indonesia, maka tumpuan menjadi pada bank BUMN. Namun ini tidak berarti bahwa bank BUMN dapat dengan leluasa membiayai investasi, karena mereka juga terikat pada persyaratan kehati-hatian perbankan.

Jika pemerintah dan bank BUMN berusaha untuk menstimulasi perkembangan sektor riil, maka pilihan proyek yang dibiayai haruslah mempunyai kemungkinan yang cukup tinggi untuk berhasil dan menjauhkan dari penyakit lama mark up nilai proyek untuk kepentingan pihak tertentu. Selanjutnya proyek yang dibiayai juga cukup menarik secara bisnis, sehingga dapat melibatkan peranan perbankan swasta, paling tidak dalam memberikan kredit modal kerja. Selain itu perlu pula diperjelas mengenai aspek akuntabilitas, jangan sampai proyek yang dimaksudkan sebagai pendorong perkembangan sektor riil kemudian terbelenggu oleh permasalahan audit dan investigasi anti-korupsi yang bertele-tele.

(Umar Juoro )

Masih Adakah Pemerintah?

Tahun 2007 boleh jadi merupakan kesempatan terakhir bagi pemerintahan SBY-JK untuk membuktikan prestasi dan mewujudkan janji-janji pada saat kampanye lalu. Pertengahan tahun 2008, kita sudah mulai sibuk dengan persiapan pemilu untuk memilih pemerintahan baru. Bahkan sekarang pun sudah banyak yang keburu ''ge-er'' merasa lebih bisa menjadi penguasa. Setidaknya puluhan nama sudah mulai digulirkan sebagai alternatif capres dan cawapres. Tapi tampaknya kita harus menerima realitas bahwa stok calon pemimpin masih yang itu-itu juga.

Dalam bidang perekonomian, sejumlah masalah masih terus mengganjal. Pertumbuhan ekonomi masih belum bisa melesat seperti yang dijanjikan, yakni di atas tujuh persen. Bank masih sangat kesulitan untuk membiayai perusahaan-perusahaan yang mampu menggerakkan perekonomian secara sehat. Investasi belum kunjung berkembang dan malahan sepanjang tahun 2006 menjadi sangat merosot dengan pertumbuhan yang tak mencapai 3 persen.

Target angka pengangguran sampai 5 persen di tahun 2009 semakin berat dan malahan berpotensi untuk terus membengkak. Menakertrans sendiri memperkirakan akan terjadinya penambahan pengangguran sebesar dua setengah juta orang tahun ini. Tentu itu merupakan perkiraan yang tidak gegabah dan dilandasi oleh perkembangan yang terjadi selama ini. Perkiraan tersebut jelas merupakan berita buruk bagi mereka yang berada dalam angkatan kerja. Langkah-langkah pemutusan hubungan kerja (PHK) masih terus marak dan terus menghantui serikat pekerja.

Ujungnya, target penurunan angka kemiskinan tentunya semakin berat. Ketiadaan lapangan kerja merupakan sumber kemiskinan struktural yang pada gilirannya menuntut berbagai langkah terobosan. Sementara langkah struktural tersebut tidak kunjung datang, angka kemiskinan terancam terus mengalami peningkatan oleh fenomena yang bersifat temporer. Peningkatan kemiskinan di tahun 2006 yang lalu tak pelak lagi merupakan akibat dari kenaikan harga BBM yang sangat drastis di akhir tahun 2005. Para ekonom saat ini sangat mengkhawatirkan tidak terkendalinya harga beras yang akan melahirkan orang-orang miskin baru.

Penanganan masalah-masalah tersebut tentunya tidak bisa hanya diserahkan kepada mekanisme ''pasar'' dan kebijakan ekonomi yang bersifat as usual. Kita tidak bisa meminta agar perusahaan menambah lapangan kerja. Kita juga tidak bisa meminta agar pasar menyediakan makanan bagi orang miskin secara cukup. Ini adalah tugas pemerintah.

Tetapi, kenyataannya, menteri-menteri di bidang perekonomian sudah semakin jauh dari masyarakat. Keputusasaan di kalangan akar rumput semakin memuncak akibat absennya peran pemerintah. Hal itu sangat terlihat jelas tersirat dari wajah para korban semburan Lapindo dan di wilayah bencana lainnya. Bahkan mereka menampakkan kebencian yang begitu mendalam terhadap pemerintah.

Kesan yang sama akan kita jumpai kalau kita sering berkomunikasi dengan para penganggur dan kaum miskin. Buliran-buliran kuning nasi aking dan bau apek raskin yang bercampur dengan kotoran tikus membangkitkan jarak antara mereka dan pemerintah. Bahkan keputusasaan mereka telah mengakibatkan mereka merindukan kembalinya Orde Baru. Sungguh merupakan sebuah halusinasi yang membahayakan tercapainya cita-cita demokratisasi.

Sementara itu, sejumlah menteri di bidang perekonomian masih bicara mengenai hal-hal yang sangat abstrak yang tidak menyentuh langsung terhadap apa yang dirasakan oleh masyarakat. Menko Perekonomian misalnya lebih piawai berbicara masalah-masalah stabilitas ekonomi makro dan lebih mirip pejabat bank sentral. Tak ada satu pun menteri yang fasih berbicara mengenai bagaimana menggerakkan sektor ril, menciptakan lapangan kerja secara cepat, melaksanakan reforma agraria, dan hal-hal yang sangat teknis.

Begitupun Menteri Keuangan telah gagal dalam membuat APBN yang efektif dalam menggerakkan perekonomian. Yang dibicarakan lebih banyak mengenai defisit anggaran dan masalah penyerapan. Kita menjadi lupa bahwa di tengah lesunya investasi swasta, peran pemerintah harus semakin besar dalam menggerakkan sektor ril. Dan itu harus terefleksi dalam bentuk strategi anggaran.

Ketidakberdayaan para menteri telah mengakibatkan tugas-tugas mereka ''terpaksa'' diambil alih oleh Presiden dan Wapres. Kini mereka berdua banyak melakukan rakortas di berbagai kementerian dan departemen. Sungguh merupakan sebuah pemandangan yang teramat ironis jika dilihat dari sudut pandang ketatanegaraan. Menteri adalah pembantu presiden dan bukan sebaliknya. Selain itu masalahnya adalah apakah keduanya mempunyai waktu dan energi yang cukup untuk menutupi banyak kelemahan.

Kini Presiden dan Wapres setidaknya telah menunjukkan kepada masyarakat bahwa yang dibutuhkan adalah ''action'' yang nyata. Mungkin keduanya telah sependapat bahwa masa tebar pesona telah usai. Tetapi, masalahnya kemudian adalah implementasi yang sangat lemah di tingkat menteri ke bawah. Kita memang telah sampai pada tahap di mana birokrasi tidak bekerja atau setidaknya birokrasi yang bekerja secara alakadarnya. Sampai kapan kita akan tetap bersabar menunggu gerakan nyata dari pemerintah? Sementara itu orang miskin semakin tidak sabar menunggu giliran dientaskan dari kubangan kemiskinan. Para penganggur sudah bosan menanti pekerjaan yang tak kunjung tersedia. Action please!

(Iman Sugema )
Kebijakan Relaksasi Perbankan

Seakan gemas dengan kinerja perbankan konvensional dalam menyalurkan kredit, Bank Indonesia (BI) mengeluarkan kebijakan yang memberikan insentif tambahan untuk mendorong fungsi intermesiasi perbankan.

Memang kemampuan perbankan konvensional dalam menghimpun dana masyarakat tidak diragukan lagi, namun dana masyarakat yang begitu besar terkumpul di perbankan konvensional sebagian besar tidak dapat disalurkan dalam bentuk kredit.

Hanya sekitar 40 persen dari dana masyarakat tersebut yang dapat disalurkan ke sektor rill dalam bentuk kredit, sedangkan selebihnya diinvestasikan dalam bentuk surat berharga. Salah satu surat berharga yang menjadi favorit kalangan perbankan karena risikonya yang nihil adalah Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Hal ini tetntu menambah gemas BI karena semakin besar dana perbankan yang dipakai membeli SBI berarti semakin besar pula bunga yang harus dibayar BI.

Hebatnya lagi lemahnya kemampuan menyalurkan kredit, masih ditambah dengan lemahnya kemampuan menjaga kualitas kredit. Dari 40 persen dana masyarakat yang disalurkan kembali ke masyarakat dalam bentuk kredit, sekitar tujuh persennya tergolong bermasalah. Angka ini jauh lebih besar bila diperhitungkan pula kredit bermasalah yang telah dipindahkan dan ditangani BPPN beberapa tahun yang lalu.

Sebagian pengamat optimistis kebijakan relaksasi akan efektif mendorong berjalannya fungsi intermediasi perbankan. Namun sebagian yang lain meragukan efektivitasnya, mengingat belum bergeraknya sektor riil. Rendahnya kemampuan menyalurkan kredit ini sebenarnya juga meresahkan sebagian kalangan perbankan. Risk adjusted return dalam menyalurkan kredit untuk membiayai bisnis nasabah, dipandang masih terlalu besar, sehingga sebagian kalangan perbankan memilih menyalurkan dalam bentuk kredit konsumen semisal kredit pemilikan motor.

Itu sebabnya, meski BI terus mendorong perbankan untuk menyalurkan kredit untuk usaha produktif, namun kredit konsumen masih dipandang lebih cocok oleh kalangan perbankan. Dengan nominal kredit konsumen yang relatif kecil, tidak heran bila secara keseluruhan kemampuan perbankan konvensional hanya berkisar 40 persen.

Sebagian kalangan perbankan berpendapat masalahnya bukan pada perbankan, tapi dunia usaha yang memang tidak mampu menyerap kredit. Benarkah dunia usaha tidak mampu menyerap kredit? Kinerja perbankan syariah membantah hal ini. Fungsi intermediasi berjalan secara optimal. Seluruh dana masyarakat yang dihimpun perbankan syariah disalurkan kembali ke masyarakat dalam bentuk pembiayaan. Hebatnya lagi, hanya 4,5 persen dari pembiayaan itu yang bermasalah.

Begitu hebatkah prinsip syariah sehingga kinerja perbankan syariah sangat berbeda dengan perbankan konvensional? Ternyata fungsi intermediasi perbankan syariah di Malaysia tidak sehebat di Indonesia. Industri perbankan syariah di Malaysia hanya mampu menyalurkan 50 persen dalam bentuk pembiayaan dari dana yang dapat dihimpun dari masyarakat. Bagaimana kita dapat menjelaskan hal ini?

Ternyata kebijakan bank sentrallah yang mendorong perbedaan itu. Bank Negara Malaysia membayar return yang sama untuk setiap kelebihan dana yang ditempatkan perbankan baik konvensional maupun syariah, sehingga perbankan syariah berperilaku sama dengan perbankan konvensional dalam hal memiliki kelebihan likuiditas.

Sedangkan BI membayar return yang sangat kecil untuk kelebihan dana perbankan syariah yang ditempatkan dalam bentuk Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI), dan membayar return yang tinggi dua kali lipat atau lebih dibanding perbankan konvensional yang membeli SBI.

Return yang rendah bagi perbankan syariah inilah yang mendorong perbankan syariah untuk menyalurkan seluruh dana masyarakat kembali ke dunia usaha dalam bentuk pembiayaan. Alhamdulillah, hanya sedikit yang bermasalah.

Sepintas memang terasa unik. Untuk mendorong perbankan syariah menyalurkan pembiayaan agar fungsi intermediasinya optimal, BI memberikan disinsentif berupa return yang kecil. Sedangkan untuk mendorong perbankan konvensional menyalurkan kredit, BI memberikna insentif berupa program relaksasi.

Perbankan syariah tentu tidak perlu meminta perlakuan yang sama dengan perbankan konvensional, karena memang masing-masing sistem mempunyai mekanisme kerja yang berbeda. BI pun tidak menganut equal treatment dalam mengembangkan kedua sistem perbankan ini, namun yang digunakan adalah fair treatment.

Pertanyaannya, fair-kah memberikan disinsentif untuk mendorong perbankan syariah menyalurkan kelebihan dananya, dan di pihak lain memberikan insentif untuk mendorong perbankan konvensional menyalurkan kelebihan dananya? Dalam hal kebijakan relaksasi yang memberi insentif itu juga diberlakukan untuk perbankan syariah, apakah kebijakan itu yang diperlukan perbankan syariah? Bukankah fungsi intermediasi perbankan syariah telah berjalan dengan baik?

Yang diperlukan perbankan syariah adalah kemudahan memperluas akses agar masyarakat dapat mempunyai pilihan bahkan di setiap outlet perbankan konvensional. Akses inilah yang akan mendorong naiknya penghimpunan dana masyarakat, dan sebagaimana telah terbukti disalurkan seluruhnya kembali ke masyarakat. Ini pula yang mendorong BI memulai program akselerasi perbankan syariah.

Bila akses dibuka demikian luasnya, yang diperlukan adalah pengaturan dan pengawasan syariah untuk menjaga kepatuhan syariah. Di sinilah peran Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI dan Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang ditempatkan di masing-masing lembaga keuangan syariah menjadi sangat penting. Kerja keras BI, DSN MUI, dan tentunya kalangan perbankan syariah telah menjadikan Indonesia sebagai pemain penting dalam industri ini. Patut dicatat, hal itu semua terjadi sejak 1992 tanpa adanya UU Perbankan Syariah.

(Adiwarman A Karim )
Sedia Payung Sebelum Krisis

Iman Sugema

Tentunya bukan hal yang mengada-ada jika sejumlah negara di Asia sangat mengkhawatirkan akan terulangnya krisis finansial seperti tahun 1997-1998 yang lalu. Pasalnya arus hot money yang mengguyur kawasan ini terlalu deras. Suatu waktu modal jangka pendek tersebut bisa meninggalkan kawasan Asia tanpa pemberitahuan terlebih dahulu dan dalam jumlah yang sangat besar. Tentu neraca pembayaran dan pasar finansial di kawasan tersebut bisa tiba-tiba rontok.

Di Indonesia bagaimana? Sejak delapan bulan yang lalu, Tim Indonesia Bangkit (TIB) sudah berusaha untuk mengingatkan hal ini. Baru setelah Menteri Keuangan keceplosan atau salah omong, diskursus mengenai hal tersebut mulai ramai dibicarakan. Sebagaimana biasa, pemerintah saling meralat kehebohan tersebut. Katanya bahaya krisis sama sekali tidak ada karena fundamental ekonomi begitu kokoh dan tidak ada dikotomi antara sektor finansial dan sektor ril. Dikatakan pula bahwa pemerintah sedang mempersiapkan langkah-langkah pengamanan.

Kita patut sepakat bahwa langkah pengamanan harus dilakukan sejak sekarang. Kalau baru niat saja sih belum cukup. Toh pelaku pasar sudah cukup mafhum bahwa tim ekonomi di Kabinet Indonesia Bersatu selalu pandai memainkan wacana tapi kemudian realisasinya kosong melompong. Jangankan untuk persiapan menghadapi krisis yang belum tentu terjadi, untuk masalah yang sudah begitu kronik sekalipun tak kunjung ada penyelesaian. Contoh yang paling nyata adalah daya serap anggaran, mitigasi dampak sosial lumpur Lapindo, dan proyek infrastruktur yang belum juga tergarap.

Ada beberapa langkah yang harus diambil sebagai prasyarat agar kita siap menghadapi krisis. Kalau bisa malahan kita harus mencegahnya secara dini karena kita memiliki pengalaman yang cukup pahit dalam krisis yang lalu. Dalam kolom ini saya hanya akan mengemukakan elemen-elemen intinya saja.

Elemen yang pertama adalah menyamakan persepsi di dalam lingkaran tim ekonomi. Ini merupakan pekerjaan tersulit karena tim ekonomi memiliki kepentingan untuk selalu bisa memperlihatkan bahwa keadaan baik-baik saja alias tidak ada masalah. Kalau sikap seperti ini terus berlanjut maka yang akan terjadi adalah kita terlambat menyadari bahwa krisis sudah di ambang mata. Kesalahan di waktu krisis yang lalu adalah kenyataan bahwa kita tak memiliki persiapan sama sekali sehingga respons kebijakan seringkali salah arah dan terlambat. Akibatnya fatal, krisis menjadi berlarut-larut dan merembet ke segala bidang.

Yang harus diyakini adalah bahwa krisis bisa datang besok, lusa, tahun depan atau kapan saja tanpa ada peringatan terlebih dahulu. Yang bisa kita baca dan petakan adalah tanda-tandanya. Salah satu tanda umumnya adalah derasnya aliran hot money. Aliran masuk memang tidak membahayakan dan kita bisa senang karena harga aset finansial menjadi sangat menggelembung. Yang jadi masalah adalah ketika arus tersebut berhenti dan kemudian berbalik arah. Dornbusch mengibaratkan hal ini dengan ungkapan sebagai berikut: ''It is not the speed that kills, but it is the sudden stop.''

Elemen yang kedua adalah kita harus mengupayakan agar secara sistematis arus masuk hot money bisa berkurang. Prinsipnya sama dengan pengaturan tingkat kecepatan; bila terlalu cepat maka harus dilakukan pengereman secara sedikit demi sedikit kalau tidak mau terjungkal di tikungan. Di sini berarti kita harus bisa mendefinisikan seberapa deras arus hot money yang dianggap aman.

Yang terjadi sekarang ini justru tim ekonomi secara langsung maupun tidak langsung selalu mempromosikan hot money. Lebih parah lagi mereka cenderung memandang gelembung pasar finansial sebagai sebuah prestasi yang membanggakan. Kalau saja krisis kemudian benar-benar terjadi maka orang pertama yang harus dimintai pertanggungjawaban adalah mereka.

Rezim militer Thailand beberapa bulan yang lalu pernah melakukan capital control secara terbatas dan kontan mengundang reaksi negatif dari para pelaku pasar. Sehari setelah itu kebijakan tersebut kemudian ditanggalkan. Akibatnya, pelaku pasar selalu waswas jangan-jangan kebijakan itu akan diterapkan lagi suatu waktu.

Para fundamentalis pasar cenderung meremehkan keefektifan kebijakan tersebut. Dalam banyak ulasan malahan mereka menyalahkan pemerintah Thailand sehingga negeri gajah putih tersebut tidak menarik lagi sebagai sasaran investasi jangka pendek. Mereka memuji Indonesia yang tidak ikut-ikutan langkah Thailand.

Harus difahami secara benar bahwa tujuan pemerintah Thailand adalah mengurangi arus hot money. Walaupun kebijakan itu ditarik kembali, tetapi mereka telah mengirim pesan kepada pasar bahwa jika perlu arus modal akan ditutup. Dan akibatnya memang arus modal sedikit melambat. Tentu ini merupakan perang psikologis yang harus dimainkan karena pasar finansial lebih banyak digerakkan faktor sentimen dan ekspektasi. Intinya adalah terkadang kita perlu menciptakan sentimen negatif secara artifisial supaya pasar tidak telanjur memanas.

Sekali lagi, adalah sangat penting untuk menurunkan arus modal masuk. Harga aset finansial yang terlalu cepat meroket dapat menghambat perkembangan di sektor ril. Logikanya sangat sederhana. Kalau return dari aset finansial jauh lebih tinggi dibanding keuntungan berusaha di sektor ril, maka pemilik uang akan cenderung bermain di pasar finansial dan melupakan sektor ril. Akibatnya investasi sektor ril melemah sementara sektor finansial menggelembung. Itulah tanda-tanda awal terjadinya the great depression. Karena itu sedia payung sebelum krisis!

Sesat Pikir UU Penanaman Modal

Oleh : Revrisond Baswir

Kontroversi mengenai Rancangan Undang-undang (RUU) Penanaman Modal untuk sementara berakhir sudah. Dari seluruh fraksi yang ada di DPR, sebagaimana terungkap dalam Sidang Paripurna DPR beberapa waktu lalu, ternyata hanya Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP) dan Fraksi Kebangkitan Bangsa (FPKB) yang secara tegas menolak pengesahan RUU tersebut. Fraksi-fraksi yang lain, sekurang-kurangnya dalam pandangan saya yang sejak awal menolak RUU itu, sepakat untuk menggelar karpet merah bagi semakin sempurnanya pelembagaan neokolonialisme di Indonesia.

Saya tentu tidak sembarangan untuk sampai pada kesimpulan seperti itu. Secara singkat, alasan saya adalah sebagai berikut. Pertama, UU Penanaman Modal yang akan menggantikan UU No 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan UU No 6/1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) tersebut, sangat jelas bersifat ahistoris. Artinya, UU itu cenderung mengabaikan latar belakang Indonesia sebagai sebuah negara yang pernah dijajah. Padahal, sebagai akibat dari penjajahan selama 3,5 abad yang pernah dialami Indonesia, perekonomian Indonesia telanjur terjebak dalam sebuah struktur perekonomian yang berwatak kolonial. Hal itu dapat ditelusuri baik dengan menyimak kedudukan perekonomian Indonesia terhadap pusat-pusat kapitalisme internasional, struktur sosial-ekonomi mayoritas warga negara Indonesia, maupun dengan menyimak kedudukan Jakarta (Batavia) terhadap berbagai wilayah lainnya di Indonesia.

Para Bapak Pendiri Bangsa, karena menyadari kenyataan tersebut, sepakat untuk menyelenggarakan perekonomian Indonesia berdasarkan demokrasi ekonomi. Tujuannya adalah untuk mengoreksi warisan struktural yang berwatak kolonial itu. UU Penanaman Modal, karena bersifat ahistoris, sama sekali tidak peduli dengan adanya kebutuhan untuk melakukan koreksi tersebut. Sebaliknya, UU itu justru dengan sengaja menyodorkan berbagai fasilitas bagi semakin sempurnanya pelembagaan neokolonialisme di Indonesia.

Kedua, karena bersifat ahistoris dan mengabaikan adanya kebutuhan untuk mengoreksi watak kolonial perekonomian Indonesia, maka mudah dimengerti bila para pendudukung UU tersebut cenderung tidak menyadari keberpihakan mereka yang sangat berlebihan terhadap para penanam modal asing. Sebagaimana sering mereka kemukakan, terutama ketika membela diri terhadap tuduhan-tuduhan seperti itu, salah satu asas yang dipakai dalam menyusun UU Penanaman Modal adalah asas ''perlakuan yang sama''.

Sepintas lalu memang tampak seolah-olah tidak ada masalah dengan asas tersebut. Tetapi, bila disimak berdasarkan sifat ahistoris UU itu, justru penggunaan asas yang mengabaikan adanya kebutuhan untuk mengoreksi watak kolonial perekonomian Indonesia itulah yang menjadi pangkal semua masalah. Artinya, dengan dipakainya asas ''perlakuan yang sama'' sebagai asas penyelenggaraan penanaman modal di Indonesia, di tengah-tengah struktur perekonomian Indonesia yang berwatak kolonial, maka sekurang-kurangnya para pendudukung UU itu telah secara terbuka menyatakan dukungan mereka terhadap status quo. Padahal jika dikaitkan dengan berbagai produk perundang-undangan yang lain, seperti UU Keuangan Negara, UU BUMN, UU Minyak dan Gas, UU Kelistrikan (yang telah dibatalkan karena melanggar konstitusi), berlangsungnya proses pelembagaan neokolonialisme di Indonesia tidak terlalu sulit untuk dipahami.

Ketiga, karena bersifat ahistoris dan mengabaikan adanya kebutuhan untuk mengoreksi watak kolonial perekonomian Indonesia, maka UU Penanaman Modal dengan sendirinya memiliki potensi yang sangat besar untuk melanggar konstitusi. Para Bapak Pendiri Bangsa, sejalan dengan kesepakatan untuk menyelenggarakan perekonomian Indonesia berdasarkan demokrasi ekonomi tadi, dengan tegas memutuskan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Artinya, sekurang-kurangnya sebagaimana dipahami oleh para penyusun UU No 1/1967 tentang PMA, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus secara tegas dinyatakan tertutup terhadap penguasaan penuh oleh para penanam modal asing.

UU Penanaman Modal, karena bermaksud menggelar karpet merah bagi pelembagaan neokolonialisme di Indonesia, justru dengan sengaja menghilangkan rangkaian kalimat yang tercantum dalam Pasal 6 UU No 1/1967 tersebut. Artinya, jika dibandingkan dengan UU No 1/1967 yang merupakan pembuka jalan bagi berlangsungnya proses neokolonilaisme di negeri ini, UU Penanaman Modal justru secara terbuka ditujukan untuk menyempurnakan kesalahan sejarah tersebut.

Menyimak ketiga alasan itu, terus terang saya bertanya dalam hati, benarkah para pendukung UU Penanaman Modal sama sekali tidak menyadari sesat pikir yang mereka lakukan dalam menyusun UU itu, atau sebaliknya, mereka memang dengan sadar bekerja sebagai agen kolonial di Indonesia? Jawabannya, wallahualam.


Liberalisasi Investasi

Oleh : Umar Juoro

DPR telah mengesahkan UU Penanaman Modal yang tidak lagi membedakan antara investasi asing dan dalam negeri, dan bahkan memberi izin penggunaan lahan hingga 90 tahun. Bagi mereka yang mengharapkan pelonggaran peraturan untuk menarik investasi, terutama investasi asing, UU ini merupakan langkah maju yang akan menarik investasi asing lebih besar.

Sedangkan bagi mereka yang khawatir terhadap dominasi asing terhadap perekonomian Indonesia, UU ini dipandang sebagai akan makin memperkuat dominasi asing terhadap perekonomian Indonesia. Sebenarnya UU Penanaman Modal tidaklah terlalu banyak diharapkan bahkan oleh investor asing sendiri. Kecuali dalam beberapa kasus, misalnya calon investor pengelola pelabuhan di Batam yang menuntut izin penggunaan lahan selama 80 tahun, pada umumnya investor tidak menuntut izin penggunaan lahan hingga 90 tahun. Dengan perturan sebelumnya, izin penggunaan lahan selama 25 tahun dan dapat diperpanjang, sebenarnya cukup memadai.

Yang paling dikeluhkan investor asing adalah peraturan ketenagakerjaan yang terlalu ketat, terutama pada saat perusahaan memberhentikan pekerjanya biayanya terlalu tinggi, dan permasalahan pertentangan antara satu UU dengan UU lainnya, misalnya UU Pertambangan dengan UU Kehutanan, berkaitan dengan pengelolaan pertambangan di hutan lindung. Permasalahan lain adalah berkaitan dengan implementasi kebijakan misalnya dalam hal penguasaan tanah untuk proyek infrastruktur, khususnya jalan tol.

Tentu saja investor asing menanggapi baik diperbolehkannya penggunaan tanah hingga 90 tahun, namun bagi mereka yang terpenting adalah bagaimana pelaksanaannya. Selain itu, sebagaimana dengan peraturan lainnya adalah berkaitan dengan apakah Mahkamah Konstitusi tidak akan mempermasalahkan UU Penanaman Modal ini sebagai tidak sejalan dengan Konstitusi, sebagaimana terjadi pada UU Minyak dan Gas, dan UU Kelistrikan. Dengan kata lain, permasalahan mendasar bagi lemahnya investasi di Indonesia sebenarnya bukanlah UU dan peraturannya yang kurang liberal, kecuali mungkin UU Ketenagakerjaan, tetapi lebih pada konsistensi pelaksanaannya. Jadi seliberal apapaun UU atau peraturan yang dibuat, jika dalam pelaksanaannya tetap tidak jelas, perkembangan investasi akan tetap lemah.

Bukti menunjukkan di negara lain dengan UU yang tidak seliberal Indonesia, seperti Cina, Vietnam, dan India, mereka lebih mampu menarik investasi daripada Indonesia dengan UU yang secara umum lebih liberal. Di Cina, misalnya, izin penggunaan tanah sampai dengan 90 tahun hanya diberikan pada daerah khusus, tidak berlaku umum. Apalagi India, hampir di semua lini peraturan yang menyangkut ekonomi India lebih ketat daripada Indonesia.

Pendekatan kita selalu adalah percaya bahwa dengan UU yang lebih liberal investasi akan berkembang dan pertumbuhan ekonomi akan lebih tinggi. Hal ini memang ada benarnya ketika Indonesia meliberalisasikan sektor pertambangan pada akhir tahun 1960-an dan sektor perdagangan pada pertengahan 1980-an dengan menurunkan tarif untuk menarik investasi industri padat karya. Namun sejak itu kebijakan liberalisasi kehilangan kekuatannya. Liberalisasi perbankan pada akhir tahun 1980-an lebih besar pengaruhnya pada krisis ekonomi yang mendalam daripada mendorong perkembangan pereknomian yang berkesinambungan.

Celakanya, ketika kita menyadari perekonomian sudah demikian terbuka dan asing banyak menguasai sektor perekonomian, kita berusaha mengurangi keterbukaan tersebut yang menyebabkan menurunnya kredibiltas kebijakan, seperti yang coba dilakukan oleh Pemerintahan Soeharto untuk melakukan kendali modal yang gagal diterapkan. Sekarang juga berkembang wacana mengurangi liberalisasi sektor keuangan yang sudah terlanjur demikian terbuka.

Berbeda dengan negara lain yang lebih berhasil menarik investasi, mereka meliberalisasikan perekonomiannya secara bertahap atau terbatas sambil memberikan kesempatan kekuatan di dalam negeri mengembangkan dirinya. Dengan demikian, bukan saja kebijakan lebih meyakinkan, tidak bolak-balik, tetapi kekuatan dalam negeri juga mendapatkan kesempatan ikut berkembang.

Jika saja kita memberikan kebebasan investasi dari luar lebih terbatas sifatnya, misalnya di dalam Kawasan Ekonomi Khusus, pemerintah dapat berkonsentrasi menjalankan peraturan dan kebijakan tersebut dengan lebih fokus, dan kekuatan dalam negeri dapat mempersiapkan diri serta ikut mendapatkan manfaat dari kebijakan liberalisasi ini.

Namun DPR telah menetapkan UU dan konskuensinya adalah bagaimana implementasinya, dengan catatan MK tidak membatalkan UU ini. Kemungkinan besar berlakunya UU ini akan makin mendorong investasi di kegiatan perkebunan, terutama pada perkebunan yang produknya mempunyai permintaan yang tinggi, terutama CPO. Namun dalam kegiatan lain, tampaknya belum akan memberikan pengaruh berarti.

Dalam investasi infrastruktur, permasalahan berkaitan dengan aspek lain yang lebih menentukan, khususnya berkaitan dengan pembebasan lahan. Pembangunan jalan tol tertunda bukan karena kurang panjangnya izin penggunaan lahan, 25 tahun sudah cukup panjang, apalagi dapat diperpanjang lagi setelah kontraknya selesai, tetapi berkaitan dengan pembebasan lahan. Sekalipun sudah ada Perpres untuk pembebasan lahan, namun dalam realisasainya tidak banyak mengalami kemajuan, apalagi tugas ini ada di tangan pemda. Jadi implementasi jauh lebih penting daripada UU atau peraturan yang liberal.

DPR Heran Pemerintah
Tolak Jadikan BUMN Sebagai Badan Publik


Jakarta-RoL-- Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai Golkar Hajriyanto Y Thohari menyatakan kalangan DPR sangat heran dengan penolakan pemerintah untuk memasukkan BUMN dan BUMD sebagai Badan Publik melalui Undang Undang Keterbukaan Informasi Publik.

"Padahal Undang Undang (UU) Keterbukaan Informasi Publik (KIP) itu dimaksudkan untuk kebaikan. 'Kok' pemerintah bilang UU ini destruktif terhadap BUMN dan BUMD jika memasukkannya dalam kategori badan publik," katanya di Jakarta, Rabu,

Hajriyanto Thohari dan koleganya di parlemen menilai bahwa BUMN juga BUMD bukanlah badan steril. "Selama ini BUMN dan BUMD diperiksa BPK dan dibentuk bukan untuk mencari laba tetapi untuk melindungi hajat hidup orang banyak sekaligus menjalankan misi pelayanan publik," ujarnya.

Jadi, lanjutnya, BUMN itu milik negara dan karena itu pula menjadi milik rakyat.

"Rakyat berhak memperoleh akses terhadap BUMN," tandasnya.

Hajriyanto Thohari juga menambahkan bahwa UU KIP memang bukan untuk memberantas korupsi. Tapi bersama-sama dengan UU lain, seperti UU tentang Perlindungan Saksi, UU tersebut akan menjadi instrumen efektif mencegah korupsi.

"Nah, UU yang dimaksudkan untuk kebaikan seperti itu, kok dibilang destruktif terhadap BUMN dan BUMD," katanya.

Dia juga mengungkapkan bahwa pemerintah saat bertemuan dengan parlemen beberapa hari lalu tidak bisa menjelaskan di sisi mana faktor destruktifnya.

"Pemerintah menolak secara kategoris BUMN masuk badan publik. Padahal, mestinya perlu dianalisis aspek mana dari BUMN yang harus dikecualikan dan mana yang bisa diakses. Jadi, seharusnya itu bukan harga mati dan kemudian menolak secara kategoris," tegasnya.

Hajriyanto Thohari berpendapat bahwa kebanyakan BUMN merugi lebih karena maraknya korupsi didalam BUMN itu.

"Ketidaktransparanan BUMN telah menjadikan publik sebagai konsumen sering dirugikan dan dibutakan terhadap kinerja mereka. Rakyat yang seharusnya dilayani BUMN justru sebaliknya sering dirugikan dan tidak berdaya, sebagaimana halnya dalam kasus kenaikkan tarif listrik, air, dan telpon yang sering sepihak," kata Hajriyanto Thohari. <>antara



Mesin Ekonomi Harus Dipercepat

Inflasi Diarahkan Menuju Angka Regional 3-5 Persen

Jakarta, Kompas - Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia harus dipercepat karena momentum saat ini sangat mendukung. Faktor pendukung utama yakni pertumbuhan ekspor yang ditopang oleh naiknya harga komoditas dunia, tingkat inflasi yang semakin rendah, serta suku bunga yang cenderung menurun.

"Perekonomian Indonesia 10 tahun setelah krisis telah berada di trek yang benar. Perbaikan telah terjadi, tetapi memang kurang cepat. Nah, ini yang perlu kita percepat," kata Menteri Perekonomian Boediono dalam kata sambutan pada Indonesia Investor Forum 2, Rabu (30/5) di Jakarta.

Boediono menambahkan, pertumbuhan ekonomi yang cepat bukan berarti harus spektakuler. Pertumbuhan ekonomi yang cepat harus disertai kestabilan dan kesinambungan. "Jangan sampai ekonomi hanya bertumbuh tinggi 1-2 tahun, tapi tahun ketiga turun lagi," katanya.

Optimisme pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat, menurut Boediono, selain didorong oleh laju ekspor yang semakin tinggi akibat kenaikan harga komoditas, juga karena Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2007 lebih besar daripada APBN 2006.

"Pertumbuhan ekspor sebesar 17-18 persen mungkin bisa kita capai tahun ini. Dari sisi penyerapan anggaran, Menteri Keuangan telah menerapkan mekanisme baru agar anggaran bisa cepat terserap. Tahun 2008 pemerintah juga sepakat untuk meningkatkan belanja meski mengakibatkan defisit sedikit naik. Yang penting hal itu menjadi stimulus bagi pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi," katanya.

Sebagai gambaran perbaikan solid yang telah dicapai Indonesia, Boediono mengatakan, sejak tahun 2002 pertumbuhan ekonomi secara bertahap terus meningkat dari 4-4,5 persen menjadi 5 persen pada tahun 2003-2004. Lalu meningkat lagi menjadi 5,5-5,6 persen pada tahun 2005-2006 dan tahun ini diharapkan bisa menjadi 6 persen, bahkan lebih. "Tahun 2008 pertumbuhan ekonomi diharapkan bisa mencapai 7 persen. Itu kalau kita bernasib baik. Target kita sih di 6,8 persen," katanya.

Dari sisi kesempatan kerja, perkembangannya juga terus membaik. Dari 88 juta orang bekerja pada 1998 telah meningkat menjadi 98 juta pada 2007.

Inflasi juga sudah jauh membaik, dari 80 persen pada saat krisis menjadi 17-18 persen pada tahun 2005 karena adanya kenaikan harga bahan bakar minyak. "Namun saat ini angka inflasi sudah mencapai 6 persen lebih. Jadi sebenarnya sudah lebih stabil kondisinya," kata Boediono.

Dia menambahkan, target inflasi dalam jangka menengah diarahkan ke angka regional 3-4 persen. Diperlukan koordinasi antara fiskal dan moneter yang jauh lebih baik lagi. Arus barang juga harus diperlancar.

"Peran daerah dalam menjaga kestabilan harga juga harus ditingkatkan, sebab ada daerah yang harganya tiba-tiba melonjak," kata Boediono.

Pada kesempatan terpisah, Deputi Gubernur Senior BI Miranda Goeltom mengingatkan, stabilitas makro belum diikuti pertumbuhan signifikan pada sektor riil karena kekakuan struktural pada sisi suplai.

Pengembangan kapasitas industri saat ini masih terkendala oleh keterbatasan investasi, kurangnya sarana infrastruktur dan teknologi, serta akses kredit.

Untuk memastikan stabilitas makro-ekonomi dapat mempercepat pergerakan mesin ekonomi, paket percepatan pembangunan infrastruktur dan perbaikan iklim investasi mendesak segera diimplementasikan. (DAY/JOE/TAV)

Penanaman Modal
Investor Masih Dibayangi Ketidakpastian Berusaha

Jakarta, Kompas - Ketidakpastian berusaha dirasakan masih membayangi calon investor di Indonesia. Perubahan aturan dan perdebatan publik yang dimunculkan oleh pejabat pemerintah dinilai kerap memunculkan ketidakpastian itu.

Pandangan tersebut dikemukakan oleh pemimpin Gemala Group Sofjan Wanandi dan pemimpin lembaga konsultan bisnis Castle Asia James Castle, dalam diskusi "To Revitalize Economy: Boosting the Real Sector" di Jakarta, Rabu (30/5).

Castle menjelaskan, ketidakpastian berusaha yang kini dirasakan calon investor muncul karena beberapa bentuk intervensi pasar yang dilakukan pemerintah. Bentuk intervensi pasar yang tidak sehat itu, dicontohkan antara lain tampak pada tingginya bea masuk impor beras dan gula serta rencana pemerintah menaikkan pajak ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO).

"CPO sebagai komoditas ekspor yang bagus akan dikenai pajak ekspor, sebaliknya gula dikenai pajak impor tinggi untuk memproteksi industri yang tidak efisien. Ini tidak ubahnya menghukum yang sukses dan melindungi yang gagal," ujar Castle.

Perubahan regulasi periklanan juga dinilai memunculkan ketidakpastian baru bagi calon investor. Awal Mei lalu, pemerintah menerbitkan pelarangan iklan televisi yang bermateri asing atau dibuat oleh perusahaan asing.

"Ada asumsi bahwa aturan bisa sewaktu-waktu diubah. Banyak tindakan birokratik seperti itu yang bisa memunculkan ketidakpastian bagi calon investor," kata Castle.

Investasi di sektor riil, menurut Castle, juga tidak akan membaik selama infrastruktur tidak ditingkatkan secara signifikan. Pengembangan infrastruktur terkait erat dengan kinerja badan usaha milik negara (BUMN), misalnya pada bidang kelistrikan dan pelabuhan. BUMN selama ini dinilai lamban merespon tuntutan pasar.

Oleh karena itu, pemerintah pun dipandang perlu mendorong BUMN menjadi lebih efisien dan transparan. Dengan begitu, diharapkan investasi di bidang infrastruktur lebih berkembang.

Penyerapan Kredit Rendah

Sofjan Wanandi menyarankan pemerintah tidak menghabiskan terlalu banyak energi berkutat dengan isu politik dan persoalan masa lalu, sementara dunia usaha masih dibayangi ketidakpastian berusaha.

Rendahnya penyerapan kredit pada sektor manufaktur, disebutkan Sofjan, sebagai salah satu bukti belum kuatnya keyakinan untuk berinvestasi.

Menurut Data Bank Indonesia, 26,8 persen dari Rp 167,4 triliun total kredit yang tidak terserap hingga triwulan I 2007 berada di sektor manufaktur. "Pelaku sektor manufaktur merasa tidak cukup kompetitif mengembangkan usaha. Itu karena struktur biaya (produksi) dan ketidakpastian berusaha masih tinggi," ujar Sofjan. (DAY)

Pasar Modal
Dekatkan Sektor Riil ke Bursa

Pengembangan industri pasar modal tidak terlepas dari perbaikan di dalam industri itu sendiri. Seperti lagu lama yang berulang, berbagai pihak mendengungkan perlunya pembenahan aturan-aturan yang terkait dengan dunia tersebut, supaya semakin banyak pihak yang dapat memetik manfaat dari pasar modal.

Menteri Perindustrian Fahmi Idris beranggapan sebenarnya banyak industri sektor riil yang berkembang dan memerlukan alternatif sumber pendanaan selain dari perbankan.

"Pada 2007 ini diperkirakan cabang industri kertas dan barang cetakan akan bertumbuh sebesar 12,47 persen dan makanan, minuman, serta tembakau tumbuh 9,84 persen," ujar Fahmi pada seminar di Indonesia Investor Forum, Rabu (30/5) di Jakarta.

Dengan pertumbuhan seperti itu, tentu saja industri memerlukan pasokan modal yang salah satunya dapat diperoleh dari pasar modal. Sayangnya, banyak kendala yang dialami seperti peraturan, kurangnya pengetahuan atau biaya, sehingga perusahaan tersebut tidak dapat memasuki dunia pasar modal.

"Saya pernah ke sebuah kabupaten di Sulawesi, dan dari 20 perusahaan yang saya kunjungi, hanya ada empat yang merupakan perusahaan milik orang Indonesia, selebihnya dikuasai orang asing," ujar Fahmi lagi.

Salah satu sebab peralihan kepemilikan itu, menurut Fahmi, adalah sulitnya pengusaha mendapatkan pinjaman modal sehingga harus menjual sebagian saham perusahaannya kepada pihak asing, terutama pada saat krisis melanda pada 1998-1999. Bagaimana menghubungkan perusahaan dengan pasar modal menjadi catatan dari Indonesia Investor Forum kali ini, salah satunya melalui perbaikan kebijakan dan aturan di bursa.

Perbanyak produk

Selain untuk menarik perusahaan masuk ke bursa, perbaikan kebijakan dan aturan di pasar modal penting juga untuk memperbanyak produk pasar modal selain saham, reksa dana, dan obligasi.

Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) Fuad Rahmany sebelumnya pernah mengatakan, bursa harus didukung oleh produk pasar modal yang tidak bergantung pada emiten saja. Maksudnya, bursa tidak dapat mengandalkan emiten saja yang jumlahnya masih terbatas, melainkan dapat juga mengundang perusahaan yang belum terdaftar di bursa untuk menerima manfaat dari bursa.

Produk yang saat ini sedang dirancang untuk diterbitkan adalah exchange traded fund (ETF), yaitu reksa dana yang diperdagangkan di bursa seperti saham. Langkah ke arah itu sudah ada, seperti rencana penerbitan ETF oleh Bahana Securities dan Treasure Fund.

Selain itu, perusahaan properti Lippo Karawaci Tbk yang tercatat di Bursa Efek Jakarta sudah menerbitkan real estate investment fund (Reit) di Singapura, bukan di Bursa Efek Jakarta.

"Saat ini fasilitas penerbitan Reit baru ada di Singapura. Kalau di dalam negeri, belum ada peraturan seperti undang-undang trust. Ini yang belum jelas di sini," ujar Direktur Pengelola Lippo Karawaci Ketut Budi Wijaya di sela-sela Indonesia Investor Forum kemarin. "Trust" merupakan persetujuan untuk mengelola aset atau uang untuk kepentingan pihak lain yang ditunjuk.

Hal lain yang menjadi kendala dalam penerbitan Reit di dalam negeri adalah perpajakan. "Demikian pula dengan di Malaysia, pendapatan dari Reit dikenai pajak sehingga tidak menarik dan pasarnya tidak berkembang. Di Singapura tidak ada pajak, aturan trust jelas, dan cara berinvestasi mudah, semisal dengan melalui ATM saja," ujar Ketut.

Tampaknya, dengan kendala undang-undang trust yang belum memadai, akan sulit membuat produk baru seperti Reit di bursa Indonesia. Ketut menambahkan, trust merupakan kumpulan aset yang tidak cocok diatur melalui undang-undang perusahaan terbatas.

Reit dapat diterbitkan oleh perusahaan yang belum terdaftar di bursa sehingga semakin banyak perusahaan properti yang dapat meraup dana dari pasar modal dengan mengikuti aturan yang berlaku seperti transparansi.

Pajak

Isu besar berikutnya adalah masalah perpajakan. Kalangan pasar modal sudah berulang kali meminta perbedaan perlakuan pajak antara perusahaan terbuka dan perusahaan yang belum terbuka.

Syukurlah! Isu ini tampaknya sudah ditanggapi pemerintah. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Investor Forum pada hari pertama mengungkapkan bahwa dalam satu atau dua bulan ini insentif pajak untuk emiten akan diumumkan. Syaratnya, perusahaan mencatatkan sahamnya minimal 15 persen di bursa. Maklumlah, ada perusahaan yang hanya memiliki satu persen saham di bursa juga dapat disebut sebagai perusahaan terbuka.

Menurut Menkeu, insentif itu akan masuk ke Paket Kebijakan Sektor Keuangan 2007 yang merupakan kelanjutan Paket Keuangan 2006. Insentif itu diterbitkan sebagai respons pemerintah atas tuntutan perkembangan pasar modal, pasar keuangan, dan perbankan.

Ketua Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) Erlangga Hartarto menilai langkah pemerintah itu akan berdampak positif terhadap bursa. Tarif pajak penghasilan (PPh) yang lebih rendah akan menambah perusahaan tertutup yang masuk ke bursa. Selain itu, membendung keinginan emiten untuk keluar dari bursa. AEI mengusulkan tarif PPh 20 persen bagi perusahaan terbuka atau lebih rendah 10 persen daripada tarif PPh bagi perusahaan tertutup. (JOE/TAV)

Wednesday, May 30, 2007

PEMBANGUNAN
Berbagai Tantangan, Berbagai Upaya

Setiap negara berjuang untuk mencapai target Tujuan Pembangunan Millenium (MDGs) demi kepentingan nasionalnya. Hal ini dinyatakan oleh para wakil dari kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara dalam pertemuan tentang MDGs di Hanoi beberapa waktu lalu.

Namun, tabrakan kepentingan dari masing-masing tujuan tampaknya membuat pencapaian seluruh tujuan pada waktu yang bersamaan sangat sulit.

Menteri Pembangunan Sosial dan Keamanan Manusia Thailand Paiboon Wattanasiritham yakin bahwa Thailand akan mencapai beberapa tujuan MDGs sebelum tahun 2015, tetapi juga menyadari berbagai kesulitannya.

Duta Besar China Hu Qianwen mengemukakan, meskipun China mencapai kemajuan yang signifikan di bidang ekonomi beberapa tahun terakhir ini, angka kemiskinan masih sangat tinggi. Kalau standar kemiskinan adalah satu dollar AS per kapita per hari, China memiliki 135 juta orang yang hidup di bawah garis kemiskinan.

Pembangunan yang masif dan kerusakan lingkungan merupakan persoalan besar meskipun wilayah yang dihutankan naik dari 16,55 persen tahun 1998 menjadi 18,21 persen tahun 2004. "China masih butuh waktu panjang untuk mencapai MDGs," ujarnya.

Vietnam lain lagi tantangannya. Negeri ini mengalami kemajuan pesat di bidang ekonomi akhir-akhir ini dan Indeks Pembangunan Manusia-nya dalam Laporan Pembangunan Manusia yang diterbitkan oleh Dana Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pembangunan (UNDP) beberapa tahun terakhir ini melampaui Indonesia.

Namun, seperti dikemukakan Wakil Kepala Kantor Komite Nasional untuk Kemajuan Perempuan Vietnam Nguyen Thi Hoai Thu, "Kecurigaan jender dan chauvinisme masih kuat di dalam masyarakat. Fakta tentang adanya ketidakadilan jender masih sulit diterima."

Memang, keterwakilan dan partisipasi perempuan dalam politik mendapat perhatian dari partai dan negara, tetapi ukuran-ukuran konkret dalam perencanaan, pelatihan, dan penerapan kemampuan perempuan masih kurang.

Seperti halnya di banyak negara di dunia, perempuan Vietnam juga memanggul beban berganda-ganda, di rumah maupun di ruang publik, tetapi tidak mendapat dukungan cukup dari suami untuk meringankan beban pekerjaan rumah tangga.

Banyak upaya juga dilakukan. Selain proyek percontohan dan upaya penghapusan utang, masyarakat sipil di Filipina, seperti dikemukakan Prof Leonor Magtolis Briones dari National College of Public Administration Universitas Filipina, membentuk apa yang dinamakan Social Watch Phillipines.

Mereka melakukan pemantauan yang berbasis pada Indeks Kualitas Hidup yang dikembangkan oleh organisasi itu. Organisasi itu berjaringan dengan organisasi serupa di negara lain.

Di tingkat nasional, Mongolia menambah satu tujuan MDGs, yakni memperkuat pemerintahan demokratik dan hak-hak asasi manusia. Target sasaran kedelapan dikaitkan langsung dengan sasaran pertama, yakni penghapusan kemiskinan. Target universal akses kepada kesehatan reproduksi masuk ke sasaran kelima.

Indonesia

Dalam dialog nasional mengenai perempuan dan pencapaian MDGs di Kantor Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat beberapa waktu lalu, Menko Kesra Aburizal Bakrie mengemukakan, prioritas pertama pemerintah saat ini adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui pengurangan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja.

Deputi Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bidang Kemiskinan, Ketenagakerjaan, dan Usaha Kecil Menengah Prasetyono Wijoyo, mengutip data Badan Pusat Statistik tahun 2006, mengatakan, jumlah penduduk miskin saat ini adalah 39,05 juta atau 17,75 persen dari jumlah penduduk Indonesia saat ini. Jumlah rumah tangga miskin 19,1 juta, terdiri dari 2,8 juta sangat miskin, 8,2 juta miskin, dan 6,9 juga dekat miskin.

Namun, definisi kemiskinan ini masih bisa diperdebatkan kalau indikatornya hanya pendapatan per orang per hari dan asupan gizi, bukan indikator kesejahteraan secara menyeluruh.

Bahkan, standar kemiskinan Perserikatan Bangsa-Bangsa saat ini yang dua dollar AS per kapita per hari itu pun bisa dipertanyakan. Angka inflasi, misalnya, tak pernah dipertimbangkan sebagai faktor penting. Meski wacana tentang kemiskinan berkembang pesat, indikator yang digunakan belum beranjak dari sebelumnya.

Prasetyono Wijoyo lebih jauh mengungkapkan, angka kematian ibu melahirkan di Indonesia masih tertinggi di Asia Tengara, yakni 307 per 100.000 kelahiran hidup, angka partisipasi sekolah menengah pertama kelompok pendapatan terendah hanya 70 persen dari angka nasional yang 81 persen. Kasus malnutrisi dan angka kematian anak balita tinggi.

Akses masyarakat miskin kepada air bersih masih sangat rendah, hanya 52 persen, dan 44 persennya tanpa sanitasi yang layak. Semua ini membuat Indeks Pembangunan Manusia Indonesia berada di urutan 110 dari 171 negara (HDR 2005).

Deputi Bidang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Kantor Menko Kesra Sujana Royat menambahkan, angka pengangguran terbuka 10,9 juta atau 10,3 persen dari total angkatan kerja. Akses kepada pelayanan kesehatan, pendidikan, perumahan dan permukiman, infrastruktur, permodalan dan kredit, serta informasi bagi rakyat miskin masih sangat terbatas.

Selain itu, kawasan kumuh di perkotaan masih sangat luas, yakni sekitar 56.000 hektar tersebar di 110 kota. Dari 66.000 desa, 42.000 di antaranya dapat dikategorikan sebagai desa miskin.

Pemerintah mempunyai beberapa program penghapusan kemiskinan, di antaranya, seperti yang diungkapkan oleh Menko Kesra Aburizal Bakrie, adalah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat yang merupakan penggabungan dari Program Pengembangan Kecamatan (PPK) dan Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan di 2.389 kecamatan dan 3.581 kelurahan. Katanya, dana untuk itu berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Perempuan

Duta Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk MDGs di Kawasan Asia Pasifik Erna Witoelar dalam dialog nasional itu mengutarakan, sasaran MDGs tak ada yang baru bagi gerakan perempuan di Indonesia.

Namun, ia mengingatkan, meskipun secara umum diskriminasi mulai berkurang, masih banyak pembedaan hak yang dialami perempuan; selain kendala struktural dan partisipasi perempuan yang masih terbatas di tingkat pengambilan keputusan, baik di ruang publik maupun domestik.

"Saya menemukan beberapa kasus di Lombok yang memperlihatkan bagaimana perempuan berada di ujung maut karena tidak berani mengambil keputusan atas dirinya sendiri," ujar Ketua Umum Muslimat NU Khofifah Indar Parawansa tentang tingginya angka kematian ibu di berbagai wilayah di Indonesia. Masalah serupa juga dipaparkan seorang peserta dari Kalimantan Selatan.

Tingginya angka buta aksara di kalangan perempuan membuat mereka menjadi korban permaduan. "Di Lombok, perempuan membubuhkan cap jempolnya untuk izin suami menikah. Padahal, ia tahu apa isi pernyataan itu," ujar Khofifah tentang tingginya angka kawin cerai di berbagai wilayah di Indonesia.

Oleh karena itu, seperti dikemukakan Erna Witoelar, "Selain tujuan ke-3, yakni tercapainya kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan, target dan indikator dari Tujuan MDGs lainnya harus mengarusutamakan kepentingan perempuan." (MARIA HARTININGSIH)