Thursday, May 24, 2007

Keuangan Daerah
Menelisik Peraturan "Haram"

Persoalan peraturan daerah kembali mencuat. Substansinya masih sama. Tak ubahnya lagu lama yang terus diputar ulang. Masalah ini kembali muncul karena masih menurut perkiraan Departemen Keuangan ada sekitar 1.366 peraturan daerah yang mengatur tentang pungutan daerah tidak dilaporkan ke Depkeu.

Membuat peraturan yang ujungnya berupa pajak daerah dan retribusi daerah merupakan langkah paling cepat dan halal untuk menggenjot pendapatan asli daerah (PAD). Maklum, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) baru dinilai sehat jika PAD-nya mencapai 40 persen dari seluruh belanja daerah.

Oleh karena itu, daerah berupaya dengan segala cara menerbitkan aturan pungutan pajak dan retribusi baru. Caranya, pertama, bisa dengan menerbitkan peraturan daerah, yang diusulkan pemerintah daerah lalu dibahas bersama DPRD. Kedua, menerbitkan Surat Keputusan Kepala Daerah, yakni keputusan sepihak dari eksekutif daerah.

Akan tetapi, tidak selalu yang halal bagi daerah itu, halal pula di mata pemerintah pusat. Suatu perda bisa dikategorikan haram, kalau aturan yang dibikin itu dinilai bertentangan dengan peraturan lain, atau menimbulkan biaya tinggi ekonomi.

Maklum, pemerintah pusat berniat menggenjot kegiatan ekonomi di daerah. Tapi kalau sejak awal sudah banyak perda yang meminta setoran, bagaimana pengusaha mau berinvestasi. Begitu kira-kira isi otak pemerintah pusat.

Tetapi lain padang beda belalang. Maka, lain pula pikiran pemerintah di daerah. Perda menjadi senjata ampuh untuk mempertebal kantong daerah.

Oleh karena itu, Departemen Keuangan harus menelisik semua rancangan peraturan daerah (ranperda) maupun perda yang terkait dengan pajak daerah dan retribusi daerah. Semua daerah wajib menyampaikan perda dan ranperda yang dibuatnya. Yang jelas-jelas tidak punya payung hukum atau bertentangan dengan aturan di atasnya, harus dibatalkan. Ada pula yang cuma perlu direvisi.

Ekonom Faisal Basri melihat, persoalan ini tidak akan selesai sepanjang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah masih timpang. Hubungan keuangan masih vertikal, sehingga otonomi politik yang luar biasa di daerah saat ini tidak diimbangi dengan perimbangan keuangan yang adil.

Di era otonomi daerah sekarang, ujar Faisal, praktis tidak ada pengalihan kewenangan atas pajak dari pemerintah pusat kepada daerah. Akibatnya, pemerintah daerah mengais pendapatan melalui pajak dan retribusi daerah yang kian membebani masyarakat dan dunia usaha.

"Bahkan, PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) yang kini jadi hak daerah, penentuan NJOP (nilai jual objek pajak) masih di pusat," kata Faisal.

Dalam kondisi seperti itu, pemerintah pusat juga tidak memberi insentif kepada daerah dalam menggaet investor. Alasannya semua basis pembagian nilai tambah dari sektor usaha seperti upah (pajak pengasilan), konsesi lahan, dan pajak lainnya masih dipegang oleh pemerintah pusat.

Oleh karena itu, otonomi politik haruslah sejalan dengan pemberian otonomi ekonomi kepada daerah.

Pemerintah pusat sendiri seperti kewalahan dalam mengawasi dan mengevaluasi seluruh perda yang diproduksi daerah. Hingga saat ini saja, masih ada 3.447 perda serta 130 ranperda pajak dan retribusi daerah yang masih menumpuk di Ditjen Perimbangan Keuangan menunggu dievaluasi.

Akibatnya, daerah harus menunggu lama. Seperti yang dialami Pemerintah Kabupaten Purwakarta. Mereka menunggu rekomendasi Depkeu atas tujuh renperda yang diusulkan sejak tahun lalu.

"Tidak ada perda tentang pajak dan retribusi (di Purwakarta) yang belum kami laporkan ke Depkeu dan justru sebaliknya, hingga kini belum ada rekomendasi atas tujuh rancangan perda yang kita usulkan," ujar Muhamad Rifai, Kepala Bagian Hukum Pemerintah Kabupaten Purwakarta.

Padahal, ketujuhnya merupakan ranperda yang mengatur pungutan atas sektor-sektor usaha penting bagi kabupaten ini. Ketujuh adalah raperda tentang pasar dan pertokoan, izin usaha jasa konstruksi, pajak restoran, retribusi parkir di jalan umum, izin mendirikan bangunan, tarif dan retribusi pelayanan kesehatan pada rumah sakit umum, serta raperda tentang pencegahan dan penanggulangan bahaya kebakaran.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, rancangan perda terkait pajak dan retribusi harus dikonsultasikan terlebih dulu dengan Depkeu. Akan tetapi didalam perundangan itu tidak disebutkan batas waktu konsultasi hingga terbitnya rekomendasi.

"Pemerintah daerah justru bisa dirugikan dari segi waktu, karena dengan mekanisme itu proses terbentuknya perda menjadi semakin lama," tambah Muhammad.

Hal itu, seharusnya menjadi evaluasi kinerja pemerintah pusat, yang dalam hal ini Departemen Keuangan. Lambannya proses evaluasi raperda menyebabkan terlambatnya pelaksanaan perda.

Anggapan yang sama juga diungkapkan oleh Pemerintah Kota Provinsi Bangka Belitung.

Mengenai ekonomi biaya tinggi yang diakibatkan adanya perda tentang pajak dan retribusi, lanjutnya, seharusnya menjadi evaluasi bersama. Jika terbukti menghambat investasi, maka perda yang ada layak dibatalkan atau diperbaiki.

Ketua DPRD Kabupaten Ponorogo, Supriyanto menyarankan, dibentuk mekanisme pengawasan terhadap setiap produk peraturan daerah yang sudah disepakati dan diterapkan. Mekanisme pengawasan itu sebaiknya mencakup aturan main antara pemerintah pusat dan daerah, sekaligus sistem pelaporan dan sanksi pelanggaran.

Menurut Supriyanto, kewajiban bagi daerah untuk melaporkan setiap perda ke pemerintah pusat merupakan kebijakan yang baru diterapkan 2-3 tahun terakhir. Karenanya, daerah memerlukan waktu untuk memahaminya.

Meski demikian, kemampuan untuk menilai perda yang bermanfaat dan yang sudah kehilangan fungsinya sudah muncul di daerah. Seperti yang diakui Wakil Ketua DPRD Jember H Machmud Sardjujono.

Menurutnya, ada sejumlah perda yang tak berfungsi karena bertentangan atau tidak dilaporkan ke pemerintah pusat. Namun demikian, perda tersebut awalnya untuk menjaring PAD, namun setelah perkembangan zaman berubah begitu cepat maka perda tersebut menjadi tak ada artinya.

"Kami pernah punya peraturan daerah tentang pemungutan pajak untuk radio, juga pajak pening untuk sepeda atau becak," kata Machmud.

Banyaknya perda yang dinilai ilegal itu, menurut pengajar Fakultas Hukum Universitas Airlangga Suparto Wijoyo, menunjukkan kinerja Departemen Dalam Negeri perlu dipertanyakan. "Semua peraturan harus dikonsultasikan dengan pemerintah pusat. Kalau banyak yang cacat hukum, berarti ada yang salah dengan mekanisme yang digunakan," tutur Suparto,

Menurut Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran I Gde Pantja Astawa, pemerintah daerah tidak perlu takut atas ancaman pembatalan perda, karena mekanisme pembatalan ada di Mahkamah Agung. "Bila pemda menganggap perda sesuai untuk kepentingan daerah mereka bisa mengajukan banding ke MA bila Pemerintah Pusat membatalkannya," kata Pantja.

"Di satu sisi, ini juga terjadi karena faktor ketidaktahuan pemerintah daerah sendiri. Sebagai contoh, di Ponorogo saat ini ada dua perda yang belum dilaporkan, yakni perda kedudukan pemerintah desa dan perda struktur organisasi pemerintahan," katanya seraya berharap agar pemerintah pusat mulai menyusun aturan baku tentang mekanisme pelaporan perda tersebut.

Pengajar kebijakan publik FISIP Universitas Airlangga, Gitadi Tegas Supramudyo memandang, pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus lebih arif mengimplementasikan otonomi daerah. Mekanisme pelaporan diperlukan, tetapi pemerintah daerah juga harus memerhatikan kebutuhan dan aspirasi masyarakatnya.

"Yang terjadi saat ini, sengaja atau tidak sengaja, perda mungkin dibuat dengan niat awal meningkatkan pendapatan asli daerah. Namun, akhirnya perda malah merugikan publik dan mendistorsi peraturan pusat," tutur Gitadi.

(AND/ITA/ONI/INA/SIR/MKN/CHE/YNS/AND/ITA)

No comments: