Friday, May 25, 2007

Ketergantungan Pada Beras

Hermas E Prabowo

Badan Pusat Statistik menghitung, laju pertumbuhan penduduk pada 2005-2010 sebesar 1,3 persen, tahun 2011-2015 sebesar 1,18 persen, dan 2025-2030 sebesar 0,82 persen, maka di tahun 2030 kebutuhan beras untuk pangan mencapai 59 juta ton. Dengan catatan konsumsi per kapita beras tetap, yaitu 139 kg per orang per tahun.

Dalam perjalanan waktu menuju 23 tahun nanti, bangsa Indonesia bakal mengalami krisis beras yang hebat. Beras akan menjadi komoditas yang amat langka, bergengsi, mahal, strategis, dan mudah dipermainkan..

Di sisi lain pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa karena suplai lebih kecil dari permintaan. Impor beras sulit dilakukan karena kebutuhan beras dunia juga meningkat tajam sementara produksi melandai. Tahun ini saja produksi beras dunia hanya tumbuh 0,8 persen atau dari 419,2 juta ton menjadi 422,6 juta ton.

Di depan mata

Krisis beras tengah menghadang di depan mata. Namun, sesungguhnya ada empat skenario penyelesaian masalah yang bisa ditawarkan.

Pertama, pemerintah harus menggenjot peningkatan luas area panen dari yang sekarang 11,84 juta hektar (ha) menjadi 22,95 juta ha, atau naik 11,11 juta ha dalam waktu 23 tahun. Skenario pertama dijalankan dengan asumsi rata-rata produktivitas padi tetap, yaitu 4,61 ton per ha.

Untuk menjalankan skenario pertama tidak mudah. Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air mencatat, sekarang ini rasio jumlah penduduk dibanding luas lahan sawah sekitar 360 meter persegi per orang dan kecenderungannya terus menurun.

Di tengah teror terus menurunnya rasio kepemilikan sawah, maka laju alih fungsi lahan sawah ke sektor nonpertanian bergerak semakin cepat. Menurut data Departemen Pertanian, setiap tahun seluas 110.000 ha sawah dikonversi. Dengan kata lain, pada tahun 2030 kita akan kehilangan 2,42 juta ha sawah.

Dengan produktivitas rata-rata 4,6 ton gabah kering giling (GKG), berarti potensi GKG pada tahun 2030 mencapai 11,132 juta ton, atau mendekati 6,67 juta ton setara beras. Untuk mengatasinya, mungkin pemerintah akan membuka lahan sawah baru, namun biayanya pasti akan mahal.

Degradasi lahan

Persoalan lain yang tak kalah pelak adalah soal tingginya laju degradasi lahan. Deptan menghitung meningkatnya luas lahan kritis mencapai 2,8 juta ha per tahun. Semakin banyak lahan yang dibuat kritis, akan mengurangi suplai air irigasi.

Hal itu disebabkan kerusakan fungsi daerah tangkapan air, untuk memberikan suplai air yang seimbang, baik di musim kemarau maupun saat hujan. Sekarang ini saja, dari 62 waduk besar dan kecil di seluruh Jawa, hanya tiga waduk yang volume airnya melebihi ambang batas.

Persoalan lain lagi masalah kejenuhan tingkat produktivitas lahan (levelling off). Melihat kenyataan di atas, menjalankan skenario pertama adalah mustahil.

Skenario kedua yang mungkin bisa dipertimbangkan adalah meningkatkan produktivitas padi dua kali lipat dari sekarang, dari 4,6 ton per ha menjadi 9,2 ton per ha. Menurut Kepala Badan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian Kaman Nainggolan, untuk memenuhi target skenario kedua tidak mudah.

Data menunjukkan, bila dibagi dalam sepuluh tahunan ada fenomena menarik. Perkembangan produksi beras nasional (1950-1959) rata-rata mencapai 3,7 persen per tahun, (1960-1969) mencapai 4,6 persen, (1970-1979) mencapai 3,6 persen, dan (1980-1990) 4,3 persen. Pada tahap berikutnya terus terjadi penurunan. Tahun (1991-2000) pertumbuhan hanya 1,4 persen, dan pada enam tahun terakhir pertumbuhan rata-rata hanya 1,5 persen. Sejak tahun 1992 terjadi gejala levelling off produksi padi dengan kenaikan rata-rata produksi hanya 1,4 persen.

"Kondisi itu disebabkan karena terkurasnya tingkat kesuburan lahan," katanya.

Untuk menaikkan produktivitas hingga 9,2 ton GKG per ha, pemerintah tentu tidak bisa mengandalkan pola penanaman konversional. Harus ada terobosan teknologi tanaman pangan.

Ada kemungkinan bila menggunakan padi hibrida. Namun harus diingat bahwa penggunaan padi hibrida secara masif akan berdampak pada kestabilan lingkungan dan siklus hama.

"Sekarang memang belum terasa. Nanti kalau semuanya sudah berganti hibrida, kita tidak akan pernah tahu hama apa yang bakal menyerang," kata Dirjen Tanaman Pangan Sutarto Alimoeso.

Skenario ketiga kita berharap agar pertumbuhan penduduk tetap pada jumlah sekarang (zero growth). Namun apakah langkah ini mungkin dilakukan, mengingat budaya bangsa kita masih banyak yang meyakini bahwa membatasi jumlah kelahiran anak itu adalah dosa. Tindakan poligami atau beristri lebih dari satu bukanlah sebuah persoalan.

Mencontoh negara lain

Bila melihat persoalan di atas, yang paling mungkin dilakukan adalah skenario terakhir. Yaitu menurunkan konsumsi beras per kapita dari 139 kg per tahun menjadi hanya 70 kg. Upaya yang harus dilakukan adalah diversifikasi konsumsi dari beras ke singkong, ubi-ubian, sayur, jagung, sagu, komoditas lokal lain.

Di Ghana, misalnya, konsumsi per kapita energi warganya meningkat 1.700 kalori pada tahun 1979 - 1981 menjadi 2.580 kalori pada tahun 1999 - 2001 (naik 65 persen) yang berasal dari peningkatan produksi dan konsumsi singkong.

Di Indonesia, diversifikasi pangan justru mengarah ke bahan baku impor, seperti gandum. Padahal setiap tahunnya devisa kita terkuras sekitar 650 juta dollar AS untuk keperluan impor gandum yang mencapai 4,5 juta ton per tahun.

Untuk melakukan diversifikasi pangan, memang harus ada upaya keras dari semua pihak Termasuk utamanya bagaimana meningkatkan nilai tambah dan mengemas singkong, ubi, jagung, dan sagu menjadi makanan bergengsi.

No comments: