Oleh : Umar Juoro
DPR telah mengesahkan UU Penanaman Modal yang tidak lagi membedakan antara investasi asing dan dalam negeri, dan bahkan memberi izin penggunaan lahan hingga 90 tahun. Bagi mereka yang mengharapkan pelonggaran peraturan untuk menarik investasi, terutama investasi asing, UU ini merupakan langkah maju yang akan menarik investasi asing lebih besar.
Sedangkan bagi mereka yang khawatir terhadap dominasi asing terhadap perekonomian Indonesia, UU ini dipandang sebagai akan makin memperkuat dominasi asing terhadap perekonomian Indonesia. Sebenarnya UU Penanaman Modal tidaklah terlalu banyak diharapkan bahkan oleh investor asing sendiri. Kecuali dalam beberapa kasus, misalnya calon investor pengelola pelabuhan di Batam yang menuntut izin penggunaan lahan selama 80 tahun, pada umumnya investor tidak menuntut izin penggunaan lahan hingga 90 tahun. Dengan perturan sebelumnya, izin penggunaan lahan selama 25 tahun dan dapat diperpanjang, sebenarnya cukup memadai.
Yang paling dikeluhkan investor asing adalah peraturan ketenagakerjaan yang terlalu ketat, terutama pada saat perusahaan memberhentikan pekerjanya biayanya terlalu tinggi, dan permasalahan pertentangan antara satu UU dengan UU lainnya, misalnya UU Pertambangan dengan UU Kehutanan, berkaitan dengan pengelolaan pertambangan di hutan lindung. Permasalahan lain adalah berkaitan dengan implementasi kebijakan misalnya dalam hal penguasaan tanah untuk proyek infrastruktur, khususnya jalan tol.
Tentu saja investor asing menanggapi baik diperbolehkannya penggunaan tanah hingga 90 tahun, namun bagi mereka yang terpenting adalah bagaimana pelaksanaannya. Selain itu, sebagaimana dengan peraturan lainnya adalah berkaitan dengan apakah Mahkamah Konstitusi tidak akan mempermasalahkan UU Penanaman Modal ini sebagai tidak sejalan dengan Konstitusi, sebagaimana terjadi pada UU Minyak dan Gas, dan UU Kelistrikan. Dengan kata lain, permasalahan mendasar bagi lemahnya investasi di Indonesia sebenarnya bukanlah UU dan peraturannya yang kurang liberal, kecuali mungkin UU Ketenagakerjaan, tetapi lebih pada konsistensi pelaksanaannya. Jadi seliberal apapaun UU atau peraturan yang dibuat, jika dalam pelaksanaannya tetap tidak jelas, perkembangan investasi akan tetap lemah.
Bukti menunjukkan di negara lain dengan UU yang tidak seliberal Indonesia, seperti Cina, Vietnam, dan India, mereka lebih mampu menarik investasi daripada Indonesia dengan UU yang secara umum lebih liberal. Di Cina, misalnya, izin penggunaan tanah sampai dengan 90 tahun hanya diberikan pada daerah khusus, tidak berlaku umum. Apalagi India, hampir di semua lini peraturan yang menyangkut ekonomi India lebih ketat daripada Indonesia.
Pendekatan kita selalu adalah percaya bahwa dengan UU yang lebih liberal investasi akan berkembang dan pertumbuhan ekonomi akan lebih tinggi. Hal ini memang ada benarnya ketika Indonesia meliberalisasikan sektor pertambangan pada akhir tahun 1960-an dan sektor perdagangan pada pertengahan 1980-an dengan menurunkan tarif untuk menarik investasi industri padat karya. Namun sejak itu kebijakan liberalisasi kehilangan kekuatannya. Liberalisasi perbankan pada akhir tahun 1980-an lebih besar pengaruhnya pada krisis ekonomi yang mendalam daripada mendorong perkembangan pereknomian yang berkesinambungan.
Celakanya, ketika kita menyadari perekonomian sudah demikian terbuka dan asing banyak menguasai sektor perekonomian, kita berusaha mengurangi keterbukaan tersebut yang menyebabkan menurunnya kredibiltas kebijakan, seperti yang coba dilakukan oleh Pemerintahan Soeharto untuk melakukan kendali modal yang gagal diterapkan. Sekarang juga berkembang wacana mengurangi liberalisasi sektor keuangan yang sudah terlanjur demikian terbuka.
Berbeda dengan negara lain yang lebih berhasil menarik investasi, mereka meliberalisasikan perekonomiannya secara bertahap atau terbatas sambil memberikan kesempatan kekuatan di dalam negeri mengembangkan dirinya. Dengan demikian, bukan saja kebijakan lebih meyakinkan, tidak bolak-balik, tetapi kekuatan dalam negeri juga mendapatkan kesempatan ikut berkembang.
Jika saja kita memberikan kebebasan investasi dari luar lebih terbatas sifatnya, misalnya di dalam Kawasan Ekonomi Khusus, pemerintah dapat berkonsentrasi menjalankan peraturan dan kebijakan tersebut dengan lebih fokus, dan kekuatan dalam negeri dapat mempersiapkan diri serta ikut mendapatkan manfaat dari kebijakan liberalisasi ini.
Namun DPR telah menetapkan UU dan konskuensinya adalah bagaimana implementasinya, dengan catatan MK tidak membatalkan UU ini. Kemungkinan besar berlakunya UU ini akan makin mendorong investasi di kegiatan perkebunan, terutama pada perkebunan yang produknya mempunyai permintaan yang tinggi, terutama CPO. Namun dalam kegiatan lain, tampaknya belum akan memberikan pengaruh berarti.
Dalam investasi infrastruktur, permasalahan berkaitan dengan aspek lain yang lebih menentukan, khususnya berkaitan dengan pembebasan lahan. Pembangunan jalan tol tertunda bukan karena kurang panjangnya izin penggunaan lahan, 25 tahun sudah cukup panjang, apalagi dapat diperpanjang lagi setelah kontraknya selesai, tetapi berkaitan dengan pembebasan lahan. Sekalipun sudah ada Perpres untuk pembebasan lahan, namun dalam realisasainya tidak banyak mengalami kemajuan, apalagi tugas ini ada di tangan pemda. Jadi implementasi jauh lebih penting daripada UU atau peraturan yang liberal.
No comments:
Post a Comment