Monday, May 28, 2007

Antara Stigma

Badan usaha milik negara atau BUMN selalu saja menarik diperbincangkan. Di sana tersimpan aset yang luar biasa besarnya, mencapai Rp 1.400-an triliun. Aset tersebut bertebaran di seantero Nusantara.

tigma yang masih saja melekat di tubuh BUMN adalah sarang korupsi dan kolusi berbagai kepentingan, sapi perahan, pusat jarahan, yang semuanya berujung pada hilangnya daya saing. Padahal, manajemen beberapa BUMN sebenarnya telah melaksanakan berbagai upaya pembenahan untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut.

Pada tahun lalu, jumlah BUMN dengan kepemilikan pemerintah di atas 51 persen mencapai 139 perusahaan. Jumlah itu terdiri atas 126 persero (12 di antaranya berbentuk terbuka atau tercatat sahamnya di bursa saham) dan 13 perusahaan umum. Sementara jumlah BUMN dengan kepemilikan negara yang minoritas sebanyak 21 perusahaan.

Perkembangan aset BUMN pun terus menunjukkan pertumbuhan dengan tingkat yang bervariasi. Rata-rata penambahan aset BUMN setiap tahunnya mencapai kisaran Rp 100 miliar. Meskipun meningkat, penambahan aset BUMN tersebut dinilai banyak kalangan masih sangat kecil.

Menurut data yang dilansir Kementerian Negara BUMN, total penjualan (revenue) BUMN pada tahun 2006 diperkirakan mencapai Rp 870,99 triliun atau meningkat hanya sekitar sembilan persen dibandingkan dengan perolehan tahun 2005. BUMN pernah mencatat peningkatan pendapatan terbesarnya pada tahun 2004 ketika melonjak Rp 264 triliun, atau sekitar 96 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Laba yang dapat diperoleh BUMN juga menunjukkan fluktuasi, seiring kondisi perekonomian dan kebijakan yang ada (lihat grafik). Contoh tahun 2005, laba BUMN menurun karena kontribusi BUMN perbankan juga turun yang terpengaruh oleh kebijakan perbankan Bank Indonesia.

Jumlah BUMN yang mencatat keuntungan bersih pada tahun 2005 sebanyak 103 perusahaan dengan laba Rp 42,3 triliun, sementara yang mencatat rugi sebanyak 31 perusahaan dengan nilai kerugian Rp 6,6 triliun.

Tahun lalu diperkirakan membaik sebab ada 114 BUMN yang diperkirakan untung dengan laba bersih Rp 54,42 triliun, sedangkan yang merugi menurun jadi 20 perusahaan dengan kerugian tinggal Rp 2,27 triliun.

Dengan kinerja seperti itu, menurut Menneg BUMN Sugiharto, BUMN sebenarnya telah berkontribusi positif terhadap perekonomian. Hal itu bisa dilihat dari kontribusinya terhadap keuangan negara pada tahun 2006 yang diperkirakan mencapai Rp 68,8 triliun, meningkat signifikan dibandingkan dengan tahun 2005 senilai Rp 55,6 triliun. Kontribusi itu berupa pembayaran pajak, dividen, dan hasil privatisasi.

"Selain itu, BUMN juga sebenarnya telah ikut mendorong pertumbuhan ekonomi nasional dengan belanja operasional dan belanja modalnya. Pada tahun 2006 diperkirakan mencapai Rp 675 triliun atau setara dengan 20,24 persen dari produk domestik bruto tahun 2006 yang mencapai Rp 3.338 triliun," katanya.

Andalan

Dengan eksistensi seperti itu, BUMN seharusnya benar-benar bisa diandalkan menjadi alat negara untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan bangsa serta tidak membebani negara. Permasalahannya, kinerja BUMN tersebut masih belum optimal. Masih terdapat begitu banyak kelemahan koordinasi kebijakan antara langkah perbaikan internal perusahaan dan kebijakan industrial dan pasar tempat BUMN tersebut beroperasi.

Permasalahan lain yang dihadapi BUMN ialah masih belum terpisahkannya fungsi komersial dan pelayanan masyarakat sebagian besar BUMN. Problem terberatnya karena belum terimplementasikannya prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan benar (good corporate governance) secara utuh dan menyeluruh pada semua BUMN.

Belum lagi permasalahan lain yang muncul dalam proses pembinaan dan pengembangannya karena begitu banyaknya kepentingan kelompok tertentu yang "tidak mau ketinggalan" meraup manfaat langsung ataupun tidak langsung dalam pengelolaan BUMN.

Lihatlah, misalnya, keributan yang terjadi menjelang pergantian BUMN. Yang lebih menyedihkan jika pergantian pengelola BUMN dilandasi semangat korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), serta cara-cara kotor seperti "maling teriak maling".

Langkah strategis untuk menghapus stigma buruk pengelolaan BUMN adalah menunjukkan kinerja yang solid. Bukan hanya angka-angka seperti aset, penjualan, laba, dan belanja modal yang terus meningkat, melainkan juga semakin membaiknya tata kelola perusahaan yang kian mendekati kesempurnaan.

Semua celah untuk terjadinya korupsi dan kolusi ditutup rapat. Hanya dengan itu semua, tentu BUMN akan semakin diandalkan dapat memberi manfaat lebih besar bagi kesejahteraan rakyat dan bangsa. (Andi Suruji)

No comments: