Wednesday, May 23, 2007

Kurs Ideal Berada di Level Rp 9.000

Jakarta, Kompas - Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah mengatakan, nilai tukar yang paling tepat, baik bagi eksportir maupun importir, adalah Rp 9.000 per dollar AS.

Pada level tersebut terjadi pertemuan antara kebutuhan nilai tukar yang dinilai nyaman oleh eksportir dan importir.

"Importir senang dengan Rp 8.500 hingga Rp 9.000 per dollar AS, sedangkan eksportir senang pada level Rp 9.000 hingga Rp 9.500 per dollar AS. Jika dibagi dua, maka akan ditemukan garis tengahnya pada level Rp 9.000 per dollar AS. Kalau begitu, angka yang baik bagi keduanya adalah sekitar Rp 9.000," kata Burhanuddin seusai menghadiri rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Jakarta, Selasa (22/5).

Menurut Burhanuddin, pemerintah memperkirakan nilai tukar rupiah di sepanjang tahun 2008 berkisar Rp 9.100 hingga Rp 9.400 per dollar AS. Hal itu searah dengan perkiraan BI, yakni Rp 9.000-Rp 9.300 per dollar AS.

"Hal itu dimungkinkan mengingat kondisi fundamental ekonomi yang masih kuat. Selain itu, aliran modal global masih akan masuk ke dalam negeri hingga tahun 2008," ujarnya.

Menteri Koordinator Perekonomian Boediono mengemukakan, terus menguatnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS tidak menjadi masalah bagi pemerintah sepanjang fundamental ekonomi dijaga dan inflasi bisa diturunkan.

"Penguatan rupiah merupakan irama dari mata uang dunia. Kita jaga fundamentalnya. Yang penting kepercayaan diri. Dengan fundamental kita sekarang, dengan inflasi lebih rendah, kurs yang terlalu kuat tidak akan banyak membawa dampak," ujar Boediono di Kantor Presiden.

Nilai tukar rupiah pada 22 Mei 2007 berada pada posisi Rp 8.675 per dollar AS. Posisi itu menguat dibandingkan dengan hari sebelumnya yang berada di kisaran Rp 8.765-Rp 8.770 per dollar AS.

Waspada

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, Indonesia harus mewaspadai konstelasi ekonomi antara Amerika Serikat dan Asia.

Amerika sedang mengalami defisit ganda, baik dalam neraca pembayaran maupun anggaran, sedangkan beberapa negara di Asia (terutama China) justru mengalami surplus.

"Dengan kondisi itu, Asia akan diwarnai penguatan nilai tukar, yang ditopang fundamental ekonomi dan perubahan keseimbangan nilai tukar Asia dan Amerika," katanya.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi mengingatkan, jika penguatan rupiah terus terjadi lebih dari dua bulan, kinerja ekspor Indonesia akan terganggu. Hal itu disebabkan daya tahan eksportir Indonesia terhadap berbagai guncangan masih rendah. (OIN/INU)

No comments: