Thursday, May 31, 2007


Ekonomi Kolonial

Salah satu dosa besar kebanyakan ekonom Indonesia terletak pada kecenderungan mereka untuk mengabaikan watak kolonial perekonomian Indonesia. Hal itu tentu tidak hanya membingungkan, tetapi juga sangat berbahaya dan harus segera dihentikan.

Sebagai sebuah negara yang lahir dari rahim penjajahan, watak kolonial perekonomian Indonesia sebenarnya tidak terlalu sulit untuk dipahami. Pertama, penjajahan selama tiga setengah abad yang dialami Indonesia mustahil tidak mewariskan sesuatu yang bersifat struktural. Kedua, masa kemerdekaan yang baru berlangsung selama enam dekade, yang tidak secara sadar diarahkan untuk melakukan koreksi, jelas merupakan periode yang sangat singkat untuk meniadakan jejak kolonial itu.

Persoalannya, karena mengabaikan watak kolonial perekonomian Indonesia, kebanyakan ekonom Indonesia juga tidak memiliki agenda yang jelas dalam membangun struktur perekonomian Indonesia merdeka. Alih-alih memiliki agenda yang jelas, kebanyakan ekonom Indonesia justru terjerumus menjadi kaki tangan dan bekerja untuk mempertahankan struktur perekonomian yang memuliakan penjajah dan menistakan rakyat banyak tersebut.

Kecenderungan itu, selain bertentangan dengan amanat konstitusi, jelas sangat bertolak belakang dengan cita-cita para bapak pendiri bangsa. Sebagaimana dapat disimak pada berbagai tulisan pribadi mereka, para bapak pendiri bangsa pada umumnya secara jelas merumuskan agenda ekonomi mereka sebagai bagian dari upaya sistematis untuk membangun ekonomi nasional sebagai koreksi terhadap ekonomi kolonial.

Simak, misalnya, pemikiran ekonomi Bung Karno berikut. Dalam pandangan Bung Karno, watak kolonial perekonomian Indonesia setidak-tidaknya dapat ditelusuri pada tiga hal. Pertama, pada ekspor Indonesia yang didominasi oleh ekspor bahan mentah. Kedua, pada impor Indonesia yang didominasi oleh impor barang-barang konsumsi. Dan ketiga, pada pasar keuangan Indonesia yang dimanfaatkan oleh para pemodal asing untuk memutar kelebihan modal mereka.

Dengan latar belakang pemahaman seperti itu, agenda Bung Karno dalam membangun ekonomi Indonesia merdeka menjadi sangat jelas. Sesuai dengan cita-cita proklamasi, Indonesia harus secepatnya menghentikan posisinya sebagai eksportir bahan mentah. Indonesia juga harus secepatnya menghentikan ketergantungannya terhadap impor barang-barang konsumsi. Sedangkan dalam bidang pembiayaan, Indonesia harus lebih mengutamakan penggunaan modal sendiri daripada modal asing.

Hal yang lebih kurang serupa dapat disimak pula pada pemikiran ekonomi Bung Hatta. Dalam pandangan Bung Hatta, watak kolonial perekonomian Indonesia terutama terungkap pada tatanan sosial perekonomian Indonesia yang terbagi menjadi tiga kelas. Pertama, kelas atas yang menguasai sektor industri, diisi oleh bangsa Eropa. Kedua, kelas tengah yang menguasai sektor perdagangan, diisi oleh warga timur asing. Dan ketiga, kelas bawah yang terdiri dari kaum buruh dan tani, diisi oleh warga Indonesia asli.

Dengan latar belakang pemahaman seperti itu, dalam membangun ekonomi Indonesia merdeka, penyelenggaraan demokrasi ekonomi adalah harga mati bagi Bung Hatta. Artinya, sebagaimana tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945, perekonomian harus disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Sedangkan bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Situasi perekonomian Indonesia saat ini jelas sangat jauh dari cita-cita para bapak pendiri bangsa tersebut. Sebaliknya, karena kebanyakan ekonom Indonesia cenderung mengabaikan watak kolonial perekonomian Indonesia, mereka bahkan sama sekali tidak memiliki hasrat untuk mewujudkan cita-cita para pejuang kemerdekaan itu. Alih-alih berhasrat mewujudkannya, justru tidak sedikit di antara mereka yang secara terang-terangan melecehkan dan menjadikannya sebagai bahan tertawaan.

Demokrasi ekonomi, misalnya, mereka pandang sebagai konsep yang mengada-ada. Ekonomi usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan mereka pelesetkan sebagai ekonomi keluarga-keluarga. Peranan BUMN sebagai penyelenggara cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak mereka lihat sebagai sesuatu yang hanya bersifat sementara. Sedangkan dominasi asing terhadap sektor pertambangan Indonesia mereka pandang sebagai sesuatu yang mulai.

Yang paling menyedihkan adalah sikap mereka terhadap modal asing. Dalam pandangan kebanyakan ekonom, modal asing tidak hanya tidak dipandang sebagai ancaman, tetapi justru dilihat sebagai sesuatu yang dibutuhkan. Akibatnya, alih-alih bekerja keras untuk meningkatkan kemandirian ekonomi nasional, mereka justru sibuk memuja dan memuliakan modal asing sebagai dewa penyelamat perekonomian Indonesia.

Kesimpulannya sangat sederhana, setelah enam dekade, struktur perekonomian Indonesia tetap bertahan sebagai ekonomi kolonial. Kebanyakan ekonom Indonesia, alih-alih berusaha mengoreksi struktur perekonomian yang memuliakan penjajah dan menistakan rakyat banyak tersebut, justru cenderung bekerja untuk melanggengkan dan menyempurnakannya. Saya terus terang curiga, jangan-jangan kebanyakan ekonom memang dipelihara oleh penjajah untuk menjadi kaki tangan mereka. Wallahu'alam bishawab.

(Revrisond Baswir )

No comments: