Thursday, May 24, 2007

Daya Saing Investasi Cetak E-mail

Oleh: Fahruddin Salim

Perkembangan investasi dalam sektor riil ternyata berbanding terbalik dengan investasi dalam portofolio. Investasi dalam portofolio akhir-akhir ini mengalir deras dan dikhawatirkan akan menimbulkan gelembung yang dapat mengancam kestabilan keuangan dan perekonomian.

Dana pemodal asing yang diinvestasikan di surat berharga, seperti saham, Sertifikat Bank Indonesia (SBI), dan surat utang negara (SUN) per 10 Mei 2007 mencapai Rp142,5 triliun. Dana tersebut terdiri atas Rp77,2 triliun yang ditempatkan di SUN dan Rp45,3 triliun di SBI, serta sekitar Rp20 triliun diinvestasikan di pasar modal. Sebaliknya, investasi dalam sektor riil ternyata masih tersendat, padahal investasi inilah yang sangat diperlukan dalam menggerakkan perekonomian.

Investasi sektor riil pada 2006 hanya tumbuh 2,91 persen. Angka itu lebih rendah daripada pertumbuhan investasi pada 2005 yang mencapai 10,8 persen. Pada 2007 ini, Indonesia membutuhkan aliran dana investasi sebesar Rp989 triliun untuk bisa mencapai target pertumbuhan ekonomi 6,3 persen. Pertumbuhan investasi yang diperlukan untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi 6,3 persen adalah sebesar 12,3 persen dengan total pembentukan modal tetap bruto 2007 Rp989 triliun.

Sektor riil dan investasi yang belum membaik menyebabkan pergerakan ekonomi menjadi lambat bahkan peran investasi sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi terus menurun. Investasi yang dicapai masih belum mampu menjadi lokomotif bagi perekonomian. Sebab, sumbangan investasi terhadap pembentukan produk domestik bruto masih terbilang kecil. Persoalan investasi memang sangat kompleks. Masalahnya tidak hanya masalah tanah bagi investasi asing.

Bahkan, masalah kecil dan sepele saja, kita tidak mampu menuntaskannya.Tengok misalnya masalah perizinan, infrastruktur hingga masalah keamanan. Buruknya kondisi tersebut ternyata tidak dibarengi dengan langkah pemerintah untuk menuntaskannya. Bahkan, justru cenderung mengalihkan perhatian yang sesungguhnya dikeluhkan pengusaha, yakni masalah perizinan, infrastruktur, perburuhan, hingga keamanan.

Oleh sebab itu, tidaklah heran jika investor masih enggan masuk dan pertumbuhan investasi masih mengandalkan konsumsi masyarakat dan belanja pemerintah. Pertumbuhan investasi belum didongkrak sektor strategis yang menyerap tenaga kerja. Sementara itu, pertumbuhan industri manufaktur justru merosot. Kinerja pertumbuhan sektor manufaktur dalam dua tahun terakhir tidak menggembirakan. Sektor tersebut tumbuh di bawah pertumbuhan ekonomi.

Bila ekonomi 2005–2006 tumbuh 5,6 persen dan 5,5 persen, sektor manufaktur hanya tumbuh sekitar 4,6–4,7 persen. Pertumbuhan ideal sektor manufaktur tahun ini adalah 7,2 persen. Dengan demikian, ekonomi bisa tumbuh lebih dari 6 persen. Sektor manufaktur diharapkan memperoleh investasi yang besar untuk mendongkrak pertumbuhan yang berkualitas. Sektor itu diklaim ampuh menanggulangi pengangguran yang selanjutnya menggerus jumlah penduduk miskin yang tercatat lebih dari 37 juta jiwa.

Dalam memacu investasi, pemerintah juga harus mengupayakan kinerja industri berjalan efektif, dengan menciptakan iklim industri yang sehat dan bersahabat agar bisa menarik bagi penanaman modal baru dalam tiap sektor industri. Setiap rupiah investasi berharga bagi pertumbuhan lapangan kerja. Memburuknya investasi di sektor manufaktur selama ini juga berpengaruh terhadap produktivitas tenaga kerja.

Dari sisi tenaga kerja, tingkat pertumbuhan angkatan kerja yang cukup tinggi, yang disertai rendahnya akumulasi kapital, membawa implikasi pada rasio tenaga kerja terhadap kapital yang terlalu tinggi. Kondisi ini tentunya akan berdampak buruk pada produktivitas tenaga kerja. Sementara pada saat yang bersamaan, buruh terus menuntut agar memperoleh upah yang lebih tinggi.

Apabila dibandingkan, ternyata peningkatan upah riil melebihi produktivitas tenaga kerja di sektor formal. Bahkan setelah krisis, perbedaan antara keduanya lebih besar dibandingkan sebelum krisis. Hal ini dapat menimbulkan konsekuensi pada pengurangan jumlah buruh agar efisiensi dan produktivitas dapat terjaga tinggi. Perkembangan investasi yang melemah juga berdampak negatif pada produktivitas perekonomian. Bahkan lebih lanjut lagi, estimasi BI menunjukkan perkembangan total factor productivity (TFP) menurun hingga di bawah 1 persen pada periode 2000–2004 jauh di bawah pertumbuhan TFP periode 1993–1997 yang mencapai 3 persen.

Mencermati soal produktivitas ini, salah satu pertimbangan investasi terutama di sektor industri adalah soal peningkatan produktivitas. Dalam hal ini, salah satunya adalah produktivitas atas tenaga kerja yang digunakan. Produktivitas tenaga kerja menjadi penting karena bagaimanapun hal ini terkait dengan posisinya sebagai faktor produksi. Pada saat yang sama, laporan Asian Development Outlook 2006 juga menyebutkan, peningkatan upah buruh, angka inflasi yang tinggi, dan kurs rupiah yang relatif kuat telah menggerogoti kemampuan bersaing Indonesia di pasar ekspor.

Pada saat bersamaan, China dan Vietnam telah menjadi pesaing utama bagi Indonesia. Dalam hal pakaian jadi dan tekstil, pangsa pasar Indonesia telah digerogoti China dan Vietnam, terutama sejak berakhirnya era kuota pada Desember 2004 lalu. Jika daya saing tidak diperbaiki, Indonesia juga segera menghadapi pesaing baru di pasar ekspor seperti Bangladesh dan India.

Sementara itu, laporan hasil penelitian yang dikeluarkan International Finance Corporation (IFC) dan Bank Dunia, serta Bank Pembangunan Asia yang tertuang dalam Laporan IFC dan Bank Dunia mengenai Doing Business 2007. Indonesia menduduki peringkat ke-135 dari 175 negara dalam hal kemudahan memulai usaha baru. Peringkat itu turun dari posisi ke-131 tahun lalu, karena perbaikan tak sesignifikan negara lain. Kemudahan untuk memulai usaha baru merosot sehingga investasi tak meningkat secara signifikan, sementara kinerja pertumbuhan ekspornya juga turun dibandingkan negara-negara sekawasan ASEAN.

Penurunan peringkat tersebut bukan berarti negatif bagi Indonesia, melainkan perbaikan yang terjadi di negara-negara lain sangat signifikan, sementara di Indonesia tidak. Secara umum, lemahnya arus masuk investasi dalam beberapa tahun terakhir turut membuat daya saing Indonesia menurun. (*)

Fahruddin Salim
Kandidat Doktor Manajemen Bisnis Unpad Bandung

No comments: