Monday, May 28, 2007

Impor Makin Jadi Tradisi

Penghargaan dari Organisasi Pangan Sedunia atau FAO, yang diberikan kepada Presiden Soeharto tahun 1984 karena berhasil menciptakan swasembada beras, hingga saat ini selalu menjadi patokan keberhasilan sektor pertanian.

Masyarakat tidak peduli kondisi dan tantangan saat ini yang jauh berbeda. Di mata masyarakat, harga beras yang murah dan mudah didapat menjadi satu-satunya acuan.

"Keinginan masyarakat itu yang ingin kami wujudkan kembali, disertai dengan peningkatan kesejahteraan petani," kata Menteri Pertanian Anton Apriyantono.

Akan tetapi, untuk mewujudkan itu, diakui Menteri Pertanian, tidak gampang karena kondisi dan tantangannya sudah jauh berbeda. Selain iklim politik yang berubah, jumlah penduduk juga sudah jauh meningkat, sedangkan luas lahan pertanian semakin terdesak untuk permukiman dan perdagangan.

"Meski demikian, saat ini sektor pertanian secara makro mengalami kemajuan yang cukup signifikan," kata Anton.

Menurut dia, tahun 2005 pertumbuhan sektor pertanian tidak mengalami pertumbuhan yang spektakuler karena pengaruh iklim yang kurang mendukung. Namun, pada tahun 2006 dari target 2,9 persen ternyata bisa tumbuh 3,4 persen. Adapun nilai tukar petani, yang November 2005 setelah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) hanya 97 persen, pada Januari 2007 sudah mencapai 108 persen.

"Hal ini merupakan indikasi adanya perbaikan di tingkat kesejahteraan petani. Dan berdasarkan data Badan Pusat Statistik, kontribusi terbesar berasal dari petani padi," ujarnya.

Jadi perhatian

Selama masa kerja Kabinet Indonesia Bersatu, sektor pertanian memang mendapat perhatian serius. Tidak heran jika kemudian dana cukup besar dikucurkan pada sektor pertanian. Jika tahun 2006 anggaran Departemen Pertanian sebesar Rp 6,2 triliun, tahun 2007 ini naik fantastis sebesar Rp 2,5 triliun menjadi Rp 8,7 triliun.

Besarnya anggaran sektor pertanian ini, antara lain, untuk lebih meningkatkan kinerja di bidang pertanian.

Menurut Anton, prestasi pertanian cukup memuaskan, antara lain peningkatan produksi padi dari 54,15 juta ton gabah kering giling (GKG) pada tahun 2005 naik hampir 300.000 ton menjadi 54,40 juta ton pada tahun 2006.

Kini pada tahun 2007 pemerintah menargetkan produksi beras sebesar 32,96 juta ton yang diproduksi dari 33 provinsi. Adapun sasaran luas panennya 11,86 juta hektar.

Pemerintah menghendaki peningkatan produksi beras sepanjang tahun 2007 sebesar 2 juta ton, atau peningkatan produksi GKG dari 54,40 juta ton pada tahun 2006 menjadi 58,18 juta ton pada tahun 2007. Adapun produktivitas lahan naik dari 4,6 ton per hektar pada tahun 2006 menjadi 4,9 ton per hektar.

Meski terjadi peningkatan produksi padi, diperkirakan produksi padi dalam negeri sampai tahun 2008 tidak akan bisa memenuhi seluruh kebutuhan konsumsi masyarakat sebanyak 131 kilogram per kapita per tahun. Karena itu, impor beras masih akan dilakukan.

Direktur Utama Perum Bulog Mustafa Abubakar mengatakan, impor beras akan dilakukan dengan tetap berpegang pada komitmen lama dengan total volume beras impor yang sudah disepakati dengan Pemerintah Vietnam dan Thailand sebesar 1,5 juta ton. Dari jumlah itu, sebanyak 500.000 ton berstatus opsi. Adapun realisasinya, tahap pertama baru 370.000 ton dari target 500.000 ton, sedangkan realisasi tahap kedua baru 99.000 ton

Di tengah upaya meningkatkan produksi pertanian, kini konversi lahan sawah menjadi ancaman serius. Bayangkan saja, selama 14 tahun terakhir diperkirakan konversi lahan sawah sekitar 110.000 hektar per tahun dan sebagian besar menjadi lahan permukiman. Jumlah ini setara dengan 111.000 lapangan sepak bola setahun, atau lahan sawah setara 304 lapangan sepak bola yang dikonversi setiap hari.

Konversi lahan

Badan Pertanahan Nasional mencatat, dari total luas sawah 8,9 juta hektar (terdiri atas lahan sawah nonirigasi 1,45 juta hektar dan lahan beririgasi 7,31 juta hektar), sekitar 3,099 juta hektar sawah di antaranya akan dikonversi secara terencana melalui rencana tata ruang wilayah (RTRW) kabupaten/kota untuk permukiman, pusat bisnis, perkantoran, infrastruktur jalan, dan keperluan lainnya. Ironisnya, konversi lahan tersebut sebagian besar sudah disetujui DPR setempat dalam bentuk peraturan daerah.

"Konversi lahan ini berpotensi menurunkan produksi pertanian," kata Direktur Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air Departemen Pertanian Hilman Manan.

Jika konversi lahan ini benar- benar terjadi sesuai dengan rencana, Indonesia berpotensi kehilangan produksi GKG sebesar 14,26 juta ton atau lebih dari 10 juta ton beras.

Lahan sawah menjadi incaran investor karena sebagian besar hamparannya rata dan infrastrukturnya sudah terbentuk sehingga mereka tidak perlu biaya besar untuk memanfaatkannya. Di sisi lain, pemerintah daerah lebih suka mengambil jalan pintas untuk meningkatkan pendapatan asli daerah.

"Pemerintah daerah tidak berpikir soal pengaruhnya terhadap ketahanan pangan nasional," kata Hilman Manan.

Kendala lain yang bisa memengaruhi produksi beras adalah laju kerusakan jaringan irigasi yang mengairi lahan seluas 7,3 juta hektar. Usia jaringan irigasi tersebut rata-rata di atas 15 tahun, dengan tingkat kebocoran dan penguapan yang tinggi.

Produksi alami penurunan

Jika produksi padi mengalami peningkatan, tidak demikian halnya dengan produksi jagung. Pada tahun 2005 produksi jagung mencapai 12,523 juta ton, sedangkan tahun 2006 menurun 3,09 persen menjadi 12,136 juta ton. Adapun konsumsi jagung nasional untuk pangan dan pakan pada tahun 2006 sebanyak 12,150 juta ton.

Akibat defisit itu, hingga Oktober 2006 Indonesia harus mengimpor 1,355 juta ton jagung. Padahal, tahun 2005 impor jagung hanya 0,43 juta ton.

Pemerintah sendiri menargetkan produksi jagung nasional tahun 2007 meningkat menjadi 13,536 juta ton, meliputi luas area tanam 3,796 juta hektar.

"Untuk meningkatkan produksi ini, pemerintah akan memberikan bantuan benih jagung hibrida dan komposit kepada petani jagung yang tersebar di 32 provinsi dengan luas areal 900.000 hektar," kata Direktur Jenderal Tanaman Pangan Departemen Pertanian Sutarto Alimoeso.

Selain jagung, produksi tebu juga belum bisa surplus dan memenuhi kebutuhan gula dalam negeri. Bahkan, realisasi tanam tebu sepanjang tahun 2006 masih di bawah target yang ditetapkan. Tahun 2006, target areal tanam tebu seluas 399.692 hektar dan target produktivitas 79,63 ton per hektar. Dengan target rendemen 7,79 persen, diharapkan produksi gula nasional bisa mencapai 2,48 juta ton.

Akan tetapi, realisasi tanamnya hanya 396.441 hektar dan produktivitasnya cuma 76,3 ton per hektar, sedangkan tingkat rendemennya 7,63 persen. Dengan produksi sebesar 2,66 juta ton tidak bisa memenuhi kebutuhan gula nasional 2007 yang diperkirakan 2,70 juta ton.

"Untuk mencapai swasembada gula tahun 2008 dan surplus produksi gula tahun 2009, pemerintah akan melebarkan lahan ke wilayah Sulawesi Selatan, Maluku, dan Merauke," kata Direktur Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian Achmad Manggabarani.

Sungguh suatu tantangan yang tidak ringan jika sektor pertanian akan dijadikan andalan pertumbuhan perekonomian. (MAS/THY)

No comments: