| ||
Privatisasi dengan Strategi? |
Oleh: Robert P Tobing
Menoleh ke belakang sejenak akan keberadaan kementerian BUMN, Tito Sulistio, mengatakan pengelolaan BUMN dari dahulu terus-menerus menjadi ajang perebutan antara departemen teknis dan departemen keuangan.
Masing-masing departemen merasa sebagai pemilik sehingga ingin menaruh ”orangnya” masing-masing sebagai direktur utama atau direksi yang bisa dikendalikan atau diperah oleh menterinya. Yang paling berpengaruh jelas departemen keuangan karena BUMN yang bleeding terus, entah karena pengelolaan yang tidak beres atau yang memang dibuat rugi terus, maka untuk tambahan modal harus menghadap shareholder utama yaitu departemen keuangan. Tarik-menarik ini terus berlangsung sampai muncul opsi satu kementerian yang membawahi BUMN atau tidak perlu kementerian khusus, alias balik ke departemen keuangan karena mereka wakil pemerintah yang menggurusi harta pemerintah.
Strategi Ownership
Hasil akhir pro-kontra adalah munculnya kementerian BUMN. Sekarang, secara institusi, kementerian BUMN menjadi wakil tunggal pemegang saham pemerintah. Secara praktis, tetap saja penempatan utusan-utusan departemen teknis masih banyak, khususnya dalam level komisaris. Tradisi tersebut masih kuat supaya urusan lancar dengan departemen teknis (misalnya urusan izin) maka dalam BUMN bidang telekomunikasi misalnya, komisaris bahkan komisaris utama diberikan kepada departemen terkait. Untuk BUMN kesehatan, orang departemen kesehatan pasti kebagian jabatan. Entah mengerti bisnis atau tidak, pokoknya harus ada.
Bangku komisaris yang lain diberikan kepada orang-orang di kementerian BUMN atau Depkeu. Ini semua Sofyan juga tahu. Cuma apa akibat panjang dari sejarah dan praktik? Pertama, secara historis, kementerian BUMN sangat kental dengan politik sehingga BUMN pun sarat dengan politik. Direksi BUMN bernuansa politik ketimbang profesional. Ditambah lagi dengan era partai, maka partai juga ingin sekali menaruh kadernya, termasuk di BUMN karena merupakan sumber dana yang besar sekaligus bagi-bagi rezeki dan posisi.
Kedua, komisaris yang dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas berperan penting untuk mengevaluasi kinerja direksi, termasuk mengangkat dan memberhentikan, menjadi mandul. Bukan hanya karena sebagian utusan departemen sehingga profesionalismenya patut dipertanyakan (sibuk dengan pekerjaan departemen, kualifikasi mungkin tidak sesuai dengan kebutuhan BUMN), tetapi juga otoritas tersebut ada di kementerian BUMN. SINDO, 12 Mei, memberitakan Sofyan sudah menunjuk penjamin untuk BNI melakukan second offering.
Di swasta, penunjukan penjamin emisi dilaksanakan oleh direksi karena sudah diputuskan oleh RUPS bahwa perusahaan akan melakukan penjualan saham.Jadi, tujuan utama untuk jual saham sudah disetujui komisaris, penunjukan penjamin (bersifat teknis) dilaksanakan oleh direksi.Yang menjadi pertanyaan, apa kerjaan direksi dan komisaris di BUMN? Bandingkan lagi dengan kasus Pertamina di mana komisaris utamanya adalah Meneg BUMN dan terjebak memutuskan hal teknis soal management choice! Sementara direksi dan komisaris BUMN dibayar mahal,keputusan strategis dilakukan oleh Meneg BUMN.Padahal, posisi Meneg BUMN secara struktural berada di luar organisasi perusahaan, tetapi sangat berkuasa.
Tepat sekali rencana Sofyan untuk membenahi good corporate governance (GCG), khususnya untuk dirinya sendiri dan kementerian BUMN. Secara praktis, sampai seberapa jauh wewenang seorang meneg dan stafnya dalam ”membina” BUMN sehingga tidak membuat lumpuh, short run mindset, iklim ketidakpastian dari direksi atau komisaris BUMN? Ini penting sekali sehingga investor tahu persis siapa ”pemilik” BUMN tersebut. Hal lain,bagaimana accountabilitydan penilaian kinerja para komisaris utusan, termasuk yang berasal dari kementerian?
Jika seorang Sofyan atau deputi menteri menjadi komisaris utama BUMN gemuk, siapa menilai keberhasilannya? Kebijakan penugasan menjadi komisaris BUMN sekadar untuk tambahan gaji PNS,jika ada,harus dihapuskan. Bagaimana GCG untuk DPR sehingga untuk privatisasi tidak perlu minta persetujuan DPR yang pasti membuat proses privatisasi makin panjang, extracost, dan bisa jadi momentum harga yang bagus akan hilang. Bagaimana GCG menunjang program SDM dalam BUMN sehingga dirut bisa dihasilkan dari dalam dan menjadi carier path.
Sebuah riset yang dilakukan oleh salah satu majalah bisnis yang mengevaluasi penerapan GCG pada perusahaan publik (dianalisis lebih lanjut oleh Anna Rusia, 2007) maka dalam kurun waktu 2001–2004 yaitu populasi emiten pada tahun 2004 berjumlah 335 maka emiten yang bersedia disurvei tahun 2001 hanya 52 atau 16% dan terus merosot, di tahun 2004 hanya 22 atau 7% dari total populasi. Salah satu penyebab merosotnya peserta adalah elemen GCG yang diuji makin banyak. Yang mendapat skor tertinggi dalam peringkat 1–10 pada tahun 2001 ada dua BUMN (posisi 1 dan 4), satu BUMN (posisi tujuh) sedangkan tahun 2003 dan 2004 semua posisi disabet oleh swasta. Sekali lagi terbukti implementasi GCG di BUMN publik masih rendah, apalagi BUMN nonpublik yang tidak ada keharusan menerapkan GCG.
Strategi Privatisasi
Uraian Tito bahwa privatisasi yang dilakukan pemerintah tanpa strategi jangka panjang hanya untuk menambal APBN, sangat jelas bahkan menjadi indikator keberhasilan Meneg BUMN. Jadi konsep atau tujuan privatisasi yang sesungguhnya pada pemerintah juga salah kaprah. Maka, ini menjadi tugas kedua Sofyan, menyamakan persepsi mengenai privatisasi sehingga strategi privatisasi juga dipahami dengan baik, khususnya menteri keuangan. Selanjutnya,Tito menyatakan bahwa ”privatisasi adalah terminologi ekonomi dan bukan bahasa politik”. Mas Tito terkejut dengan pikiran Laksamana Sukardi bahwa privatisasi menjadi alat mengurangi KKN.
Seharusnya Tito tidak perlu terkejut karena secara teori privatisasi pada dasarnya keputusan bisnis yang berarti keputusan ekonomi. Tetapi dalam konteks BUMN, seperti uraian di atas,BUMN sarat dengan politik sehingga lebih cocok disebut BPMN (Badan Politik Milik Negara). Dalam kesempatan ngobroldalam suatu seminar dengan mantan Dirut Indosat yang pertama mengenai Indosat sebelum dan sesudah go public di bursa lokal dan di US maka diakui biaya yang aneh-aneh sebelum go public menurun signifikan dibandingkan setelah go public.
Intervensi kebijakan, titipan-titipan juga berkurang.Apalagi setelah Singtel masuk dengan kepemilikan cukup besar, intervensi ”pemerintah” yang tidak pada tempatnya dapat dikurangi. Itulah sebabnya memasang Dirut menjadi alot karena harus meyakinkan Singtel bahwa orang pilihan pemerintah memang layak menjadi top leader. Tips untuk calon direksi BUMN, salah satu profesional bargaining dengan Meneg BUMN jika ingin diangkat, berani minta kepada Meneg untuk melakukan strategi privatisasi misalnya dalam bentuk strategic investor atau dual listing. Kalau tidak, BUMN dan direksinya siap diobok-obok setiap saat. Sofyan mungkin juga tahu akan hal ini,tapi apakah mau dan berani? (*)
Robert P Tobing
Dosen FEUI dan Konsultan
No comments:
Post a Comment