Sudah hampir 1,5 tahun Indonesia diselimuti kondisi makro ekonomi yang nyaman dan mengundang optimisme. Inflasi semakin rendah, nilai tukar kian menguat, dan cadangan devisa terus membesar. Namun, selama 1,5 tahun itu pula, kita terus bertanya kapan sektor riil akan bergerak cepat, kapan investasi akan ditanamkan?
Sejak awal 2006, kondisi makro ekonomi memang terus membaik dan stabil. Hal itu antara lain tercermin trend penurunan laju inflasi.
Inflasi yang rendah tentu bakal meningkatkan daya saing produk di pasar internasional. Rendahnya inflasi juga berdampak langsung terhadap penurunan suku bunga.
Sejak awal 2006 hingga Mei 2007, suku bunga acuan atau BI Rate telah turun 400 basis poin menjadi 8,75 persen. Turunnya suku bunga otomatis akan meringankan biaya produksi karena beban membayar bunga kredit akan berkurang.
Sejak awal 2006 hingga sekarang, nilai tukar rupiah cenderung menguat secara konsisten. Pada perdagangan Selasa (22/5), kurs rupiah ditutup di level Rp 8.675 per dollar AS, yang berarti menguat lebih dari 10 persen dibandingkan awal 2006 yang sekitar Rp 9.700 per dollar AS.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda S Goeltom menyatakan, penguatan kurs sebesar 10 persen bisa menambah pertumbuhan ekonomi sebesar 0,5 persen dan menurunkan tekanan inflasi 0,7 persen.
Kondisi makro ekonomi yang baik ini juga tercermin dari membesarnya cadangan devisa, yang pada akhir April 2007 sudah mencapai 50,3 miliar dollar AS.
Peringkat surat utang yang diterbitkan pemerintah juga semakin positif. Ini artinya risiko negara semakin berkurang.
Dalam pikiran awam, dengan kondisi makro ekonomi yang serba baik itu, pelaku usaha baik domestik maupun asing tentu akan berbondong-bondong berinvestasi di Indonesia.
Bukankah kestabilan makro ekonomi, kepastian hukum dan usaha, dan risiko usaha rendah merupakan hal yang paling dibutuhkan dunia usaha?
Namun kenyataannya, hingga kini laju pertumbuhan sektor riil dan investasi masih bergerak lamban. Selama tahun 2006, investasi hanya tumbuh 2,9 persen.
Kredit perbankan, yang menjadi indikator geliat sektor riil hanya tumbuh sekitar Rp 8 triliun selama triwulan I 2007. Padahal, untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 6 persen tahun ini dibutuhkan pertumbuhan kredit sekitar 20 persen.
Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah beberapa waktu lalu mengakui laju investasi memang masih sangat rendah. "Sektor riil sebenarnya sudah mulai bergerak tapi lajunya belum seperti yang diharapkan," katanya.
Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), total realisasi investasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA) selama triwulan I 2007 mencapai Rp 40,59 triliun, atau bertumbuh 27,16 persen dibandingkan periode sama tahun 2006 yang sebesar Rp 31,92 triliun. Nilai realisasi selama triwulan I 2007 sudah mencapai 30 persen dari target investasi 2007 yang senilai Rp 120,94 triliun.
Menurut Burhanuddin, pembangunan infrastruktur, yang dianggap sebagai gerbong laju perekonomian, belumlah seperti yang diharapkan. "Kita harus bekerja sangat keras untuk mempercepat laju perekonomian," katanya.
Syarifuddin Alambai, Komisaris Utama PT Semesta Marga Raya mengatakan, pembangunan jalan tol memang masih menghadapi banyak kendala. Salah satunya adalah lambannya pembebasan tanah oleh pemerintah daerah setempat. Ini membuat investor enggan berinvestasi di jalan tol.
Dewan Penasihat Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Anton J Supit di sela-sela pameran produk kulit Indonesia di Jakarta, Selasa (22/5), mengatakan, ada dua kunci untuk menggerakkan sektor riil di tengah kondisi ekonomi makro yang membaik. Pertama, keseriusan pemerintah menciptakan iklim investasi. Percuma saja presiden dan menteri berpromosi untuk menarik investor asing ke Indonesia, jika kondisi investasi di dalam negeri tidak ada jaminan kepastian usaha.
Sebagai contoh, unjuk rasa, pemogokan, bahkan sampai terjadi tindakan anarkhis kerap mengalahkan kepastian hukum. Sudah setahun pemerintah tidak memberikan kepastian tentang Undang-undang Tenaga Kerja. Hal ini menyebabkan investor asing maupun domestik resah.
Menurut Anton, sewaktu ribuan buruh berunjuk rasa menolak revisi UU Tenaga Kerja, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta revisi UU Tenaga Kerja dihentikan. Lima perguruan tinggi dilibatkan untuk mengkaji UU Tenaga Kerja itu.
"Ternyata sampai sekarang, UU Tenaga Kerja itu belum tersentuh secara maksimal. Padahal, jika memang tidak akan dilakukan revisi, hasil kajian perguruan tinggi itu seharusnya dipublikasikan terlebih dahulu untuk menunjukkan kepastiannya," kata Anton.
Kunci kedua adalah keseriusan menangani sektor pertanian. Menurut Anton, sektor ini memikul beban paling berat, karena 60 persen angkatan kerja berada di sektor pertanian, termasuk perikanan dan perkebunan. Jika sektor pertanian diberdayakan, niscaya daya beli masyarakat akan meningkat, sehingga mendorong pergerakan ekonomi.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia Benny Soetrisno memandang, makro ekonomi merupakan cermin kinerja bisnis finansial. Masalahnya harus dilihat lebih teliti, karena keuntungan perbankan diperoleh dari jasa dan suku bunga.
Menurut Benny, indikator perdagangan uang yang membaik, bukan berarti identik dengan membaiknya perdagangan barang. Padahal, jika perdagangan barang membaik, produksi manufaktur akan bergerak dan lapangan kerja akan terbuka luas.
Lantas, mengapa sektor riil enggan bergerak di tengah membaiknya kondisi makro ekonomi? Benny menyebut bahwa pengalaman pahit terjadinya kredit macet membuat perbankan hanya mencari aman dan berlindung di bawah SBI. Sebagian besar bank tidak berani lagi ambil risiko dalam pengucuran kredit.
Benny yang menjabat Ketua Umum Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI) menegaskan, saat ini, Indonesia memang membutuhkan ekonom yang bisa menghubungkan antara kondisi makro dan mikro ekonomi.
"Butuh keberanian pemerintah. Keberpihakan pemerintah dalam menentukan kebijakan, terutama dalam upaya menggerakkan sektor riil, haruslah lebih jelas," kata Benny. (M Fajar Marta/Stefanus Osa)
No comments:
Post a Comment