Tahun 2007 boleh jadi merupakan kesempatan terakhir bagi pemerintahan SBY-JK untuk membuktikan prestasi dan mewujudkan janji-janji pada saat kampanye lalu. Pertengahan tahun 2008, kita sudah mulai sibuk dengan persiapan pemilu untuk memilih pemerintahan baru. Bahkan sekarang pun sudah banyak yang keburu ''ge-er'' merasa lebih bisa menjadi penguasa. Setidaknya puluhan nama sudah mulai digulirkan sebagai alternatif capres dan cawapres. Tapi tampaknya kita harus menerima realitas bahwa stok calon pemimpin masih yang itu-itu juga.
Dalam bidang perekonomian, sejumlah masalah masih terus mengganjal. Pertumbuhan ekonomi masih belum bisa melesat seperti yang dijanjikan, yakni di atas tujuh persen. Bank masih sangat kesulitan untuk membiayai perusahaan-perusahaan yang mampu menggerakkan perekonomian secara sehat. Investasi belum kunjung berkembang dan malahan sepanjang tahun 2006 menjadi sangat merosot dengan pertumbuhan yang tak mencapai 3 persen.
Target angka pengangguran sampai 5 persen di tahun 2009 semakin berat dan malahan berpotensi untuk terus membengkak. Menakertrans sendiri memperkirakan akan terjadinya penambahan pengangguran sebesar dua setengah juta orang tahun ini. Tentu itu merupakan perkiraan yang tidak gegabah dan dilandasi oleh perkembangan yang terjadi selama ini. Perkiraan tersebut jelas merupakan berita buruk bagi mereka yang berada dalam angkatan kerja. Langkah-langkah pemutusan hubungan kerja (PHK) masih terus marak dan terus menghantui serikat pekerja.
Ujungnya, target penurunan angka kemiskinan tentunya semakin berat. Ketiadaan lapangan kerja merupakan sumber kemiskinan struktural yang pada gilirannya menuntut berbagai langkah terobosan. Sementara langkah struktural tersebut tidak kunjung datang, angka kemiskinan terancam terus mengalami peningkatan oleh fenomena yang bersifat temporer. Peningkatan kemiskinan di tahun 2006 yang lalu tak pelak lagi merupakan akibat dari kenaikan harga BBM yang sangat drastis di akhir tahun 2005. Para ekonom saat ini sangat mengkhawatirkan tidak terkendalinya harga beras yang akan melahirkan orang-orang miskin baru.
Penanganan masalah-masalah tersebut tentunya tidak bisa hanya diserahkan kepada mekanisme ''pasar'' dan kebijakan ekonomi yang bersifat as usual. Kita tidak bisa meminta agar perusahaan menambah lapangan kerja. Kita juga tidak bisa meminta agar pasar menyediakan makanan bagi orang miskin secara cukup. Ini adalah tugas pemerintah.
Tetapi, kenyataannya, menteri-menteri di bidang perekonomian sudah semakin jauh dari masyarakat. Keputusasaan di kalangan akar rumput semakin memuncak akibat absennya peran pemerintah. Hal itu sangat terlihat jelas tersirat dari wajah para korban semburan Lapindo dan di wilayah bencana lainnya. Bahkan mereka menampakkan kebencian yang begitu mendalam terhadap pemerintah.
Kesan yang sama akan kita jumpai kalau kita sering berkomunikasi dengan para penganggur dan kaum miskin. Buliran-buliran kuning nasi aking dan bau apek raskin yang bercampur dengan kotoran tikus membangkitkan jarak antara mereka dan pemerintah. Bahkan keputusasaan mereka telah mengakibatkan mereka merindukan kembalinya Orde Baru. Sungguh merupakan sebuah halusinasi yang membahayakan tercapainya cita-cita demokratisasi.
Sementara itu, sejumlah menteri di bidang perekonomian masih bicara mengenai hal-hal yang sangat abstrak yang tidak menyentuh langsung terhadap apa yang dirasakan oleh masyarakat. Menko Perekonomian misalnya lebih piawai berbicara masalah-masalah stabilitas ekonomi makro dan lebih mirip pejabat bank sentral. Tak ada satu pun menteri yang fasih berbicara mengenai bagaimana menggerakkan sektor ril, menciptakan lapangan kerja secara cepat, melaksanakan reforma agraria, dan hal-hal yang sangat teknis.
Begitupun Menteri Keuangan telah gagal dalam membuat APBN yang efektif dalam menggerakkan perekonomian. Yang dibicarakan lebih banyak mengenai defisit anggaran dan masalah penyerapan. Kita menjadi lupa bahwa di tengah lesunya investasi swasta, peran pemerintah harus semakin besar dalam menggerakkan sektor ril. Dan itu harus terefleksi dalam bentuk strategi anggaran.
Ketidakberdayaan para menteri telah mengakibatkan tugas-tugas mereka ''terpaksa'' diambil alih oleh Presiden dan Wapres. Kini mereka berdua banyak melakukan rakortas di berbagai kementerian dan departemen. Sungguh merupakan sebuah pemandangan yang teramat ironis jika dilihat dari sudut pandang ketatanegaraan. Menteri adalah pembantu presiden dan bukan sebaliknya. Selain itu masalahnya adalah apakah keduanya mempunyai waktu dan energi yang cukup untuk menutupi banyak kelemahan.
Kini Presiden dan Wapres setidaknya telah menunjukkan kepada masyarakat bahwa yang dibutuhkan adalah ''action'' yang nyata. Mungkin keduanya telah sependapat bahwa masa tebar pesona telah usai. Tetapi, masalahnya kemudian adalah implementasi yang sangat lemah di tingkat menteri ke bawah. Kita memang telah sampai pada tahap di mana birokrasi tidak bekerja atau setidaknya birokrasi yang bekerja secara alakadarnya. Sampai kapan kita akan tetap bersabar menunggu gerakan nyata dari pemerintah? Sementara itu orang miskin semakin tidak sabar menunggu giliran dientaskan dari kubangan kemiskinan. Para penganggur sudah bosan menanti pekerjaan yang tak kunjung tersedia. Action please!
No comments:
Post a Comment