Iman Sugema
Tentunya bukan hal yang mengada-ada jika sejumlah negara di Asia sangat mengkhawatirkan akan terulangnya krisis finansial seperti tahun 1997-1998 yang lalu. Pasalnya arus hot money yang mengguyur kawasan ini terlalu deras. Suatu waktu modal jangka pendek tersebut bisa meninggalkan kawasan Asia tanpa pemberitahuan terlebih dahulu dan dalam jumlah yang sangat besar. Tentu neraca pembayaran dan pasar finansial di kawasan tersebut bisa tiba-tiba rontok.
Di Indonesia bagaimana? Sejak delapan bulan yang lalu, Tim Indonesia Bangkit (TIB) sudah berusaha untuk mengingatkan hal ini. Baru setelah Menteri Keuangan keceplosan atau salah omong, diskursus mengenai hal tersebut mulai ramai dibicarakan. Sebagaimana biasa, pemerintah saling meralat kehebohan tersebut. Katanya bahaya krisis sama sekali tidak ada karena fundamental ekonomi begitu kokoh dan tidak ada dikotomi antara sektor finansial dan sektor ril. Dikatakan pula bahwa pemerintah sedang mempersiapkan langkah-langkah pengamanan.
Kita patut sepakat bahwa langkah pengamanan harus dilakukan sejak sekarang. Kalau baru niat saja sih belum cukup. Toh pelaku pasar sudah cukup mafhum bahwa tim ekonomi di Kabinet Indonesia Bersatu selalu pandai memainkan wacana tapi kemudian realisasinya kosong melompong. Jangankan untuk persiapan menghadapi krisis yang belum tentu terjadi, untuk masalah yang sudah begitu kronik sekalipun tak kunjung ada penyelesaian. Contoh yang paling nyata adalah daya serap anggaran, mitigasi dampak sosial lumpur Lapindo, dan proyek infrastruktur yang belum juga tergarap.
Ada beberapa langkah yang harus diambil sebagai prasyarat agar kita siap menghadapi krisis. Kalau bisa malahan kita harus mencegahnya secara dini karena kita memiliki pengalaman yang cukup pahit dalam krisis yang lalu. Dalam kolom ini saya hanya akan mengemukakan elemen-elemen intinya saja.
Elemen yang pertama adalah menyamakan persepsi di dalam lingkaran tim ekonomi. Ini merupakan pekerjaan tersulit karena tim ekonomi memiliki kepentingan untuk selalu bisa memperlihatkan bahwa keadaan baik-baik saja alias tidak ada masalah. Kalau sikap seperti ini terus berlanjut maka yang akan terjadi adalah kita terlambat menyadari bahwa krisis sudah di ambang mata. Kesalahan di waktu krisis yang lalu adalah kenyataan bahwa kita tak memiliki persiapan sama sekali sehingga respons kebijakan seringkali salah arah dan terlambat. Akibatnya fatal, krisis menjadi berlarut-larut dan merembet ke segala bidang.
Yang harus diyakini adalah bahwa krisis bisa datang besok, lusa, tahun depan atau kapan saja tanpa ada peringatan terlebih dahulu. Yang bisa kita baca dan petakan adalah tanda-tandanya. Salah satu tanda umumnya adalah derasnya aliran hot money. Aliran masuk memang tidak membahayakan dan kita bisa senang karena harga aset finansial menjadi sangat menggelembung. Yang jadi masalah adalah ketika arus tersebut berhenti dan kemudian berbalik arah. Dornbusch mengibaratkan hal ini dengan ungkapan sebagai berikut: ''It is not the speed that kills, but it is the sudden stop.''
Elemen yang kedua adalah kita harus mengupayakan agar secara sistematis arus masuk hot money bisa berkurang. Prinsipnya sama dengan pengaturan tingkat kecepatan; bila terlalu cepat maka harus dilakukan pengereman secara sedikit demi sedikit kalau tidak mau terjungkal di tikungan. Di sini berarti kita harus bisa mendefinisikan seberapa deras arus hot money yang dianggap aman.
Yang terjadi sekarang ini justru tim ekonomi secara langsung maupun tidak langsung selalu mempromosikan hot money. Lebih parah lagi mereka cenderung memandang gelembung pasar finansial sebagai sebuah prestasi yang membanggakan. Kalau saja krisis kemudian benar-benar terjadi maka orang pertama yang harus dimintai pertanggungjawaban adalah mereka.
Rezim militer Thailand beberapa bulan yang lalu pernah melakukan capital control secara terbatas dan kontan mengundang reaksi negatif dari para pelaku pasar. Sehari setelah itu kebijakan tersebut kemudian ditanggalkan. Akibatnya, pelaku pasar selalu waswas jangan-jangan kebijakan itu akan diterapkan lagi suatu waktu.
Para fundamentalis pasar cenderung meremehkan keefektifan kebijakan tersebut. Dalam banyak ulasan malahan mereka menyalahkan pemerintah Thailand sehingga negeri gajah putih tersebut tidak menarik lagi sebagai sasaran investasi jangka pendek. Mereka memuji Indonesia yang tidak ikut-ikutan langkah Thailand.
Harus difahami secara benar bahwa tujuan pemerintah Thailand adalah mengurangi arus hot money. Walaupun kebijakan itu ditarik kembali, tetapi mereka telah mengirim pesan kepada pasar bahwa jika perlu arus modal akan ditutup. Dan akibatnya memang arus modal sedikit melambat. Tentu ini merupakan perang psikologis yang harus dimainkan karena pasar finansial lebih banyak digerakkan faktor sentimen dan ekspektasi. Intinya adalah terkadang kita perlu menciptakan sentimen negatif secara artifisial supaya pasar tidak telanjur memanas.
Sekali lagi, adalah sangat penting untuk menurunkan arus modal masuk. Harga aset finansial yang terlalu cepat meroket dapat menghambat perkembangan di sektor ril. Logikanya sangat sederhana. Kalau return dari aset finansial jauh lebih tinggi dibanding keuntungan berusaha di sektor ril, maka pemilik uang akan cenderung bermain di pasar finansial dan melupakan sektor ril. Akibatnya investasi sektor ril melemah sementara sektor finansial menggelembung. Itulah tanda-tanda awal terjadinya the great depression. Karena itu sedia payung sebelum krisis!
No comments:
Post a Comment