Thursday, May 31, 2007

Tentang Kinerja BUMN

Penilaian kinerja BUMN yang berlangsung selama ini setidaknya memiliki kelemahan dalam tiga hal. Pertama, tolok ukur penilaian kinerja BUMN cenderung berwatak kapitalistik. Padahal, sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945, penyelenggaraan perekonomian Indonesia harus dilakukan berdasarkan demokrasi ekonomi. Artinya, penilaian kinerja BUMN pun seharusnya dilakukan berdasarkan paradigma demokrasi ekonomi tersebut.

Tetapi karena tolok ukur kinerja BUMN telanjur berwatak kapitalistik, dilakukannya penilaian kinerja BUMN dengan menggunakan tolok ukur keuangan sebagaimana pada perusahaan-perusahaan kapitalistik menjadi sulit dielakkan. Artinya, jika BUMN diibaratkan seekor sapi, penilaian kinerjanya cenderung dilakukan dengan menggunakan tolok ukur kinerja seekor buaya.

Pangkal masalahnya terletak pada terdapatnya perbedaan orientasi yang sangat besar antara kapitalisme dengan demokrasi ekonomi. Kapitalisme berorientasi pada pemupukan keuntungan individual. Sedangkan demokrasi ekonomi lebih mengutamakan kemakmuran masyarakat di atas kemakmuran orang seorang.

Berangkat dari perbedaan orientasi tersebut, cara pandang terhadap kinerja BUMN dengan sendirinya berbeda secara diametris. Dalam pandangan kapitalisme, keuntungan sebuah BUMN dipatok berdasarkan suku bunga bank. Jika tingkat keuntungan sebuah BUMN lebih rendah daripada tingkat suku bunga bank, maka langsung akan muncul pertanyaan, ''Buat apa punya BUMN?''

Dari sinilah bermulanya gagasan untuk menjual BUMN. Padahal, jika kinerja BUMN terus menerus dinilai dengan tolok ukur kinerja kapitalistik, hal itu tidak hanya akan mendorong dilakukannya privatisasi BUMN, tetapi juga akan mendorong dilakukannya peningkatan efisiensi BUMN dengan menghalalkan segala cara.

Kedua, jika pada tingkat paradigmatik telah terjadi kesalahan yang cukup mendasar, keberadaan UU BUMN sebagai pedoman dasar penyelenggaraan BUMN menjadi perlu dipertanyakan. Artinya, sebagaimana dialami oleh UU No. 20/2002 tentang Kelistrikan, sejauh manakah UU BUMN telah disusun sesuai dengan amanat Pasal 33 UUD 1945?

Sejauh yang saya pahami, cara pandang UU BUMN terhadap keberadaan BUMN dalam sistem perekonomian Indonesia memang cenderung bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. UU BUMN melihat BUMN terutama sebagai entitas bisnis. Padahal, dalam Pasal 33 UUD 1945, keberadaan BUMN terutama didasarkan atas adanya pengakuan terhadap cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, yang harus dikuasai oleh negara.

Artinya, jika panduan penyelenggaraan BUMN pun sudah tidak jelas orientasinya, sebenarnya tidak terlalu sulit untuk menarik kesimpulan bahwa salah urus pengelolaan BUMN pada dasarnya berlangsung secara makro, tidak hanya secara mikro pada tingkat masing-masing BUMN.

Implikasinya, jika pada tingkat penyelenggara negara pun terdapat ketidakjelasan mengenai keberadaan dan orientasi penyelenggaraan BUMN, bagaimana mungkin kita bisa berharap adanya kriteria yang jelas dalam memilih jajaran manajemen BUMN. Sebab itu, alih-alih membina, tidak berlebihan bila pejabatapejabat pemerintah tertentu lebih suka membinasakan atau menjadikan BUMN sebagai sapi perah.

Ketiga, terjadinya kekacauan institusional dalam menetapkan pola relasi antara BUMN dengan pemerintah. Berdasarkan namanya, BUMN adalah milik Negara, bukan milik pemerintah. Tetapi jika dilihat kepemilikan sahamnya, saham BUMN dimiliki oleh pemerintah. Pertanyaannya, bagaimanakah seharusnya hubungan antara BUMN dengan pemerintah dilembagakan? Saya pernah berdebat mengenai masalah ini dengan salah seorang pejabat pemerintah yang juga duduk sebagai komisaris sebuah BUMN. Dia dengan tegas menolak keberadaan BUMN sebagai perusahaan milik rakyat. Sebagaimana dikemukakannya, hitam di atas putih, BUMN adalah milik pemerintah.

Lantas saya katakan padanya, sesuai dengan namanya, BUMN adalah milik Negara. Karena negara adalah milik seluruh warga negara, tentu tidak berlebihan bila BUMN disebut sebagai perusahaan rakyat atau perusahaan publik dalam arti yang sebenarnya. Artinya, jika dilihat berdasarkan peristiwa penjualan sebagian saham BUMN di lantai bursa, apakah peristiwa tersebut memang tepat disebut sebagai 'go publik'? Atau sebaliknya, lebih tepat disebut sebagai 'go privat'?

Semua kekacauan itu, hemat saya, hanya mengungkapkan cukup parahnya kesimpangsiuran dalam melihat BUMN di Indonesia. Bagi saya, keberadaan BUMN sebagai perusahaan publik tidak perlu diperdebatkan. Sedangkan kedudukan pemerintah sebagai 'pemilik' saham BUMN, tidak dapat disamakan dengan kepemilikan perusahaan swasta. Kepemilikan pemerintah pada BUMN adalah atas nama seluruh rakyat Indonesia.

Akibat kekacauan pola relasi antara pemerintah dan BUMN tersebut, mudah dimengerti bila proses pergantian manajemen BUMN cenderung simpang siur. Implikasinya, walau pun korupsi terjadi secara luas di BUMN, tetapi jika ditelusuri asal mula buruknya kinerja BUMN, tuduhan pertama justru harus dijatuhkan kepada para pejabat pemerintah yang menjadi penguasa BUMN. Dalam keyakinan saya, jika pemerintah baik, kinerja BUMN pasti baik. Sebaliknya, jika penguasa tidak memiliki misi yang jelas dalam mengelola BUMN, bahkan cenderung melanggar konstitusi dan menjadikan BUMN sebagai sapi perah, sampai kapan pun kinerja BUMN akan sulit diperbaiki.

(Revrisond Baswir )

No comments: