ASEAN 2015
Jangan Sampai Jadi Pecundang
Nur Hidayati
Pelaku usaha dan pemerintah perlu bergegas menyiapkan diri menghadapi Pasar Tunggal ASEAN 2015. Jika tidak, Indonesia dengan jumlah penduduk terbesar di ASEAN serta daya saing industri yang masih tertinggal akan dimanfaatkan sebagai pasar saja, tanpa kemampuan memanfaatkan peluang ekonomi di pasar regional itu.
Terbentuknya Masyarakat Ekonomi atau Pasar Tunggal ASEAN juga memang diyakini menjadi strategi penting untuk menghadapi arus besar globalisasi. Tanpa integrasi ekonomi, posisi tawar negara- negara anggota ASEAN untuk menarik investasi juga akan kian melemah karena jaringan produksi membutuhkan pemanfaatan potensi kawasan secara terintegrasi.
Pakar pemasaran Hermawan Kartajaya, Direktur PT HM Sampoerna Tbk Andrew White, Wakil Presiden Direktur PT Indofood Sukses Makmur Franciscus Welirang, serta Ketua Komite Tetap Kebijakan Publik Kamar Dagang dan Industri Utama Kajo mendiskusikan peluang korporasi Indonesia dalam Pasar Tunggal ASEAN itu pada forum seminar di Jakarta, Kamis (31/5).
Hermawan mengingatkan, arus besar globalisasi lebih kerap memunculkan kalangan yang kalah secara ekonomi daripada pemenang. "Oleh karena itu, globalisasi akan memunculkan lokalisasi yang pada akhirnya membentuk regionalisasi. Itulah sebabnya Uni Eropa terbentuk. Tidak ada yang kuat sendirian melawan globalisasi. Baru sekarang ASEAN mau bergegas mengejar ketinggalan dalam penguatan ekonomi regional ini," ujarnya.
Dalam pertemuan menteri ekonomi ASEAN di Brunei Darussalam awal Mei lalu, ditetapkan bahwa integrasi ekonomi ini akan membentuk pasar dan basis produksi tunggal yang memungkinkan adanya aliran bebas barang, jasa, modal, investasi, dan pekerja terampil.
Melalui integrasi ini, ditargetkan pula terbentuknya kawasan yang berdaya saing tinggi serta terintegrasi dengan ekonomi global. Integrasi ekonomi juga ditujukan untuk mengurangi kesenjangan pembangunan ekonomi di kawasan ini.
Andrew White meyakini, bagi Indonesia, terbentuknya Pasar Tunggal ASEAN akan mendorong produktivitas, efisiensi, dan daya saing pelaku usaha. Posisi tawar negara anggota ASEAN dalam menggaet investasi dan berhadapan dengan mitra dagang utamanya pun diyakini meningkat jika kawasan ini terintegrasi secara ekonomi.
Saat ini, perdagangan antarnegara ASEAN masih jauh lebih rendah daripada perdagangan negara-negara ASEAN dengan mitra dagang di luar ASEAN. Demikian pula arus investasi intra-ASEAN dibandingkan dengan ekstra-ASEAN. Data Sekretariat ASEAN menunjukkan, hanya sekitar 25 persen pangsa perdagangan antarnegara ASEAN dibandingkan perdagangan negara-negara itu dengan mitranya di luar ASEAN.
"Padahal, mitra dagang utama ASEAN seperti AS, misalnya, getol membuat perjanjian perdagangan bebas (termasuk dengan masing-masing negara anggota ASEAN) untuk memperkuat kemitraan dagang. Itu seperti meninggalkan uang di atas meja untuk dimanfaatkan oleh kompetitor kita," ujar Andrew.
Memperkuat pasar domestik
Akan tetapi, Indonesia masih harus menata pasar domestik dan industri nasionalnya dengan tenggat yang ada agar dapat memanfaatkan peluang dalam integrasi ekonomi tersebut. Indonesia sudah "berprestasi" baik dalam membuka pasar domestik dalam kerangka kawasan perdagangan bebas ASEAN (ASEAN Free Trade Area/AFTA) sebagai langkah menuju integrasi ekonomi kawasan tersebut.
Rata-rata tarif bea masuk Common Effective Preferential Tariff (CEPT) Indonesia tahun 2007 tercatat sebesar 2,7 persen. Saat ini, 65,5 persen dari total pos tarif di Indonesia telah menjadi nol persen. Pada tahun 2002, rata-rata tarif bea masuk CEPT itu masih 4,3 persen.
Dalam rangka implementasi penyederhanaan prosedur ekspor, impor, dan proses kepabeanan di lingkungan ASEAN atau dikenal dengan ASEAN single window, Indonesia juga menargetkan akhir tahun ini national single window sudah jalan di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.
Meski demikian, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Perdagangan Luar Negeri Departemen Perdagangan Arief Adang mengingatkan, Indonesia masih harus bergegas mengatasi ketinggalan dalam harmonisasi standar produk di ASEAN.
Saat ini sudah terdapat harmonisasi standar untuk 140 jenis produk di ASEAN, dan ditargetkan mencapai 189 produk pada tahun 2011. Padahal, Indonesia baru memiliki 19 standar produk SNI yang sudah diharmonisasikan dengan standar ASEAN.
"Artinya, walaupun pasar itu sudah terbuka, produk kita tidak akan bisa masuk pasar ASEAN kalau tidak punya standar produknya," ujar Arief. Standar juga merupakan salah satu instrumen yang diperlukan untuk mengamankan pasar domestik.
Secara lebih mendasar, kondisi pasar dan industri nasional saat ini masih jauh dari siap untuk bertarung di kawasan ekonomi terintegrasi ASEAN. Utama Kajo menyebutkan, perlu penataan regulasi di tingkat nasional dan daerah, termasuk di bidang ritel, untuk memastikan pasar domestik berjalan lebih sehat sekaligus melindungi konsumen.
Ketidakmampuan Indonesia menangani membanjirnya produk ilegal di pasar domestik merupakan masalah klise yang belum teratasi.
Di sisi lain, ekspor yang masih bertumpu pada komoditas primer tak lepas dari kebijakan industri nasional yang mengabaikan peningkatan nilai tambah, khususnya pada produk berbasis bahan baku dari dalam negeri.
Produktivitas tenaga kerja Indonesia yang masih jauh tertinggal dibandingkan dengan pekerja di negara-negara ASEAN lainnya juga menjadi ganjalan serius.
Mengutip kajian Bank Dunia, Utama mencontohkan, jika tenaga kerja Indonesia membutuhkan waktu 12 jam untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, pekerja di Thailand hanya perlu 2 jam 40 menit untuk pekerjaan serupa. Di Singapura, malah hanya dalam waktu 45 menit.
Fokus pada peningkatan kemampuan sumber daya manusia, produktivitas, serta efisiensi semakin penting karena industri di negara-negara ASEAN umumnya menghasilkan produk yang hampir sama.
Berbagai pemeringkatan menunjukkan Indonesia, yang pernah dikenal sebagai "pemimpin" ASEAN, kini sudah tertinggal dari tetangganya. Tanpa keseriusan berbenah, pasar tunggal yang seharusnya menjadi peluang justru akan membuat Indonesia terlindas.
No comments:
Post a Comment