Membuat Dingin Uang Panas Itu...
Oleh Andi Suruji
Uang panas atau "hot money" yang masuk ke negara kita ini selalu menjadi momok bagi banyak pihak. Itu karena karakteristik dana tersebut bisa keluar lagi seketika dan dapat merepotkan. Karena itu, banyak peringatan dimunculkan di publik agar hati-hati dan waspada.
Inilah repotnya. Ketika banyak uang asing masuk, kita ribut. Uang tidak mau masuk, kita lebih ribut lagi. Begitulah ungkapan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla beberapa waktu lalu, menanggapi ribut-ribut soal derasnya aliran masuk uang panas.
Uang panas adalah dana-dana yang oleh pengelolanya dialirkan masuk ke suatu pasar, suatu perekonomian, atau suatu negara dengan spektrum jangka pendek. Dana itu ditempatkan untuk investasi portofolio atau surat-surat berharga yang bisa dijual cepat, dan uangnya ditarik lagi keluar setiap saat jika dinilai sudah tidak memberikan keuntungan optimal bagi pemilik atau pengelolanya.
Tahun 2006, arus modal swasta yang mengalir ke pasar negara berkembang mencapai 647 miliar dollar AS. Itu hanya sebagian dari 1,5 triliun dollar AS dana kelolaan 8.500 perusahaan hedge fund. Dana itu berputar terus ke pasar mana saja yang menjanjikan keuntungan optimal.
Meroketnya indeks harga saham di bursa China, seperti Shanghai yang sudah mencapai 50 lebih persen dari posisi awal tahun, tidak terlepas dari derasnya aliran uang panas ke negara itu. Pada tahun 2005, sekitar 78,71 miliar dollar AS uang panas masuk ke China. Tahun 2006, sudah mencapai 3,6 persen dari Produk Domestik Bruto China. Sejak Januari hingga Maret 2007, tambahan aliran uang panas yang masuk ke China itu diperkirakan mencapai 30 miliar dollar AS.
Fenomena aliran modal masuk ke negara berkembang itu didorong adanya kelebihan likuiditas di pasar keuangan dunia. Dari mana ekses likuiditas ini?
Menurut analis dan pengamat pasar modal dan perbankan Mirza Adityaswara, paling tidak ada tiga penyebab. Pertama, kelebihan likuiditas di negara maju berasal dari kebijakan suku bunga rendah yang dijalankan mantan Gubernur Bank Sentral Amerika Serikat Alan Greenspan pada periode 1998-2004. Kebijakan suku bunga rendah ditempuh Greenspan untuk mencegah resesi ekonomi dunia setelah terjadi krisis ekonomi di Asia, Rusia, Brasil, dan kejatuhan harga saham sektor teknologi di AS, serta serangan teroris yang dikenal dengan "9/11".
Terjadi pula pergeseran pola investasi. Minat masyarakat negara maju berinvestasi di negara berkembang semakin meningkat. Kondisi makroekonomi negara berkembang, seperti inflasi yang terkendali, defisit yang terjaga, dianggap sudah semakin baik sehingga risiko berinvestasi pun semakin menurun. Pertumbuhan ekonomi tinggi yang ditunjang ekspor dan penanaman modal asing langsung membuat negara Asia seperti China dan India memiliki cadangan devisa yang mencapai ratusan miliar dollar AS. Cadangan devisa yang menumpuk tersebut turut menjadi sumber ekses likuiditas dunia.
Sumber ekses likuiditas yang ketiga, naiknya harga minyak dan komoditas tambang sehubungan tingginya permintaan dari negara-negara Asia (lagi-lagi terutama China dan India). Saat ini negara-negara penghasil minyak (Timur Tengah dan Rusia) mengalami peningkatan surplus devisa ratusan miliar dollar AS. Uang itu juga harus diinvestasikan.
Menurut data Emerging Portfolio Fund Research, dari awal 2004 sampai April 2007, jumlah dana yang masuk ke reksa dana saham negara berkembang tidak kurang dari 53 miliar dollar AS. Sekitar 40 miliar dollar AS di antaranya masuk ke Asia. Data ini belum termasuk dana yang masuk untuk membeli surat utang (obligasi). Juga belum termasuk dana yang masuk ke pengelola hedge funds dan private equity.
Bagaimana Indonesia?
Di Indonesia, dana jangka pendek tadi di antaranya dibelikan Surat Utang Negara sekitar Rp 80 triliun dan Sertifikat Bank Indonesia sekitar Rp 40 triliun. Katakanlah dana asing yang tertanam di pasar saham Rp 10 triliun, maka seluruh dana portofolio yang bisa dikategorikan sebagai hot money berjumlah Rp 130 triliun atau setara dengan 15 miliar dollar AS.
"Jikapun kita tambahkan dengan utang pemerintah dan swasta yang jatuh tempo, yang totalnya, katakanlah, 5 miliar dollar AS, maka total jenderal klaim jangka pendek masih belum mencapai separuh dari cadangan devisa yang kini lebih dari 50 miliar dollar AS," ujar ekonom Faisal Basri.
Dengan membandingkan klaim dana jangka pendek tersebut dengan cadangan devisa yang dikelola Bank Indonesia, rasanya memang masih cukup aman! Pertahanan finansial Indonesia juga sudah di-back-up dengan sejumlah instrumen dukungan negara lain berupa billateral swap arrangement dengan Jepang, Korea Selatan, dan China. Miliaran dollar AS bisa ditarik sewaktu-sewaktu dari negara itu manakala Indonesia menghadapi persoalan moneter.
Jadi tidak usah terlalu cemaslah! Meski demikian, tidak ada salahnya untuk senantiasa waspada. Dalam suatu perekonomian yang tingkat kepercayaan masyarakatnya kepada penyelenggara negara makin menurun, dibuktikan dengan berbagai survei, guncangan sedikit saja bisa membuat mereka panik. Masyarakat tidak mau melihat lagi krisis moneter, krisis keuangan, dan krisis ekonomi yang kemudian menjadi krisis multidimensi, seperti yang terjadi pada masa lalu. Menyengsarakan banyak orang...!
Contoh nyata ketika beberapa hari lalu rupiah terus menguat sampai kurs Rp 8.700 per dollar AS, banyak orang langsung ribut. Kondisi itu dinilai merugikan, setidaknya memberatkan eksportir, meskipun di sisi lain ada juga golongan pengusaha, seperti importir bahan baku kebutuhan produksi untuk konsumsi domestik, boleh dikatakan diuntungkan jika rupiah menguat.
Masyarakat pun diam-diam memborong dollar. Padahal, mereka tidak punya kebutuhan transaksi valuta asing, kecuali motif spekulasi untuk meraih untung alias capital gain. Jika spekulan kecil-kecilan ini pun serentak turut meramaikan pasar jika terjadi guncangan, tentu saja memang bisa membuat pengendali moneter kewalahan.
Kerja keraslah!
Mencegah mengalirnya dana jangka pendek masuk ke Indonesia jelas tidak mungkin. Justru harus dimanfaatkan optimal untuk memperkuat perekonomian. Intinya, buatlah uang panas itu menjadi dingin sehingga bisa tenang dalam jangka waktu yang relatif lebih lama. Caranya? Membuat ekonomi kita lebih efisien dan kompetitif ketimbang negara lain.
Stabilitas politik, keamanan berinvestasi, dan stabilitas makroekonomi menjadi hal yang sangat tinggi urgensinya. Di ranah politik, jangan ada "ribut-ribut" yang mencemaskan investor. Di wilayah keamanan, bom-bom jahat itu jangan lagi meledak di mana-mana.
Di wilayah ekonomi, stabilitas makro, seperti inflasi, nilai tukar, adalah panglima. Paket-paket kebijakan iklim investasi, paket kebijakan keuangan, dan paket-paket kebijakan ekonomi lainnya harus segera diimplementasikan secara konsisten.
"Hilangkan hambatan. Segera setelah hambatan itu muncul, investor akan menarik dananya keluar. Saat hambatan mulai muncul, mereka pikir kalian akan menutup pintu sehingga mereka ingin keluar sebelum pintu tertutup. Jadi, Indonesia harus memiliki pasar yang lebih terbuka dan lebih likuid," begitu nasihat pelaku pasar keuangan tersohor, Mark Mobius, Direktur Pengelola Franklin Templeton Investments yang mengelola dana 33 miliar dollar AS, dan 50 persen ditempatkan di Asia.
Pastikan investor merasa aman dalam arti risikonya cukup rendah. Kebijakan pemerintah harus konsisten. Thailand merupakan contoh bagus. Begitu kebijakan pemerintah tak konsisten, investor langsung menarik uangnya.
"Analisa investor portofolio selalu dimulai dari stabilitas politik, makroekonomi, dan perbankan. Artinya, siapa pun Pemerintah Indonesia, kehati-hatian mengelola anggaran negara dan mengelola neraca pembayaran adalah hal yang sangat penting. Tekanan politis yang mengorbankan aspek kehati-hatian perbankan jangan pernah dilakukan," pesan Mirza Adityaswara.
No comments:
Post a Comment