Saturday, June 2, 2007

ANALISIS
Ancaman Krisis Tak Sekadar Basa-basi

Oleh Hendri Saparini

Sepuluh tahun pascakrisis, Indonesia kembali menghadapi ancaman terperosok pada kesalahan yang sama. Tim Indonesia Bangkit telah menyampaikan peringatan tersebut sejak delapan bulan lalu. Namun, pemerintah dengan tegas membantahnya.

Setelah warning yang sama disampaikan oleh pejabat lembaga asing dalam pertemuan para menteri ekonomi di Kyoto pada Mei 2007, barulah Menteri Keuangan RI menyatakan ekonomi Indonesia saat ini mirip kondisi menjelang krisis 1997/1998. Namun, pernyataan tersebut segera dibantah oleh menteri ekonomi lainnya maupun Bank Indonesia.

Reaksi cepat "asal bantah" tersebut sangat mirip dengan peristiwa sepuluh tahun lalu. Pada bulan November 1996, ECONIT dalam Econit’s Economic Outlook 1997 mengingatkan bahwa ekonomi Indonesia akan memasuki tahun ketidakpastian dan berpotensi terjadi koreksi.

Pada waktu itu, rupiah telah overvalued sebesar 7-8 persen dan overleverage yang berlebihan di dunia usaha akibat cross ownership dan cross management sehingga struktur ekonomi sangat rapuh.

"Financial bubble"

Sejak beberapa kuartal terakhir telah terjadi peningkatan modal jangka pendek (hot money) yang luar biasa ke kawasan Asia Timur. Perkembangan ini dinilai banyak negara, seperti Korea Selatan, Thailand, dan China, cukup mengkhawatirkan.

Alasannya, aliran hot money telah mengakibatkan mata uang mereka terlalu kuat sehingga mengganggu kinerja ekspor.

Negara-negara tersebut segera mengambil langkah untuk memperlemah nilai tukarnya, termasuk meredam overheating, menaikkan pajak transaksi di pasar modal dan pasar uang, untuk mengempeskan financial bubble dan property bubble yang berlebihan.

Perlu diingat, sepuluh tahun lalu Indonesia terseret gelombang krisis jauh lebih dalam dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya karena struktur ekonomi yang rapuh.

Terlalu menyederhanakan masalah bila saat ini tim ekonomi pemerintah menganggap Indonesia lebih kuat menghadapi ancaman krisis hanya karena alasan aliran dana dari luar telah dicatat dengan baik dan transparan dibandingkan sepuluh tahun lalu.

Sebagaimana negara-negara Asia lainnya, saat ini Indonesia juga mengalami financial bubble. Namun, respons yang diambil sangat berbeda. Pemerintah Indonesia tidak mengakui adanya financial bubble sehingga tidak ada respons kebijakan optimal untuk mengurangi potensi bahaya. Padahal, indikasi bubble dan rapuhnya struktur ekonomi sudah cukup banyak.

Pertama, Indonesia paling rentan terhadap krisis karena peningkatan ekspor dan cadangan devisa lebih banyak ditopang oleh kenaikan harga komoditas dan aliran hot money. Sangat berbeda dengan negara Asia Timur lainnya yang mengalami kenaikan ekspor dan cadangan devisa dari kenaikan produktivitas dan volume ekspor.

Kedua, pelaksanaan regulasi legal lending limit belum betul- betul efektif. Data kami menunjukkan telah kembali terjadi peningkatan group lending dan pembiayaan di sektor properti yang berlebihan. Hal tersebut sangat rentan terhadap potensi peningkatan kredit bermasalah (nonperforming loan/NPL) perbankan.

Ketiga, terjadi pertumbuhan semu di sektor perbankan. Saat ini net interest margin (NIM) perbankan sangat tinggi (6 persen), paling tinggi di dunia. Padahal, pertumbuhan kredit masih sangat rendah dan kredit yang tak dicairkan sangat tinggi (26,8 persen di sektor manufaktur).

Ini menunjukkan bahwa NIM yang tinggi tersebut terutama diakibatkan oleh penerimaan bank dari bunga rekap dan investasi besar-besaran di instrumen Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Surat Utang Negara (SUN) atau Surat Perbendaharaan Negara (SPN), bukan akibat membaiknya kinerja sektor riil.

Kesehatan bank juga belum sepenuhnya pulih. Banyak bank membukukan peningkatan profit yang tidak sebanding dengan pertumbuhan kredit. Ini terjadi karena bank tetap menjadi pasien negara yang masih terus diinfus lewat bunga bank rekap, SBI, dan SUN.

Kredit konsumsi tumbuh lebih cepat dibandingkan kredit modal kerja dan investasi. Bila porsi kredit konsumsi pada tahun 2000 hanya sebesar 15 persen, saat ini telah melonjak hampir dua kali lipat menjadi 29 persen. Tambahan pula, saat ini mulai terjadi peningkatan kredit macet di sektor konsumsi akibat rendahnya daya beli.

Keempat, sektor riil, seperti manufaktur, mengalami perlambatan pertumbuhan. Manufaktur yang biasanya menjadi lokomotif pertumbuhan saat ini justru tumbuh di bawah tingkat pertumbuhan ekonomi.

Sementara itu, kinerja sektor finansial dan pasar uang sangat luar biasa, padahal kenaikan indikator fundamental tidak mendukung. Terjadi gap yang semakin tinggi antara harga aset finansial dan faktor fundamental pendukungnya.

Kelima, telah terjadi property bubbles. Seperti diketahui, empat tahun terakhir pertumbuhan pasok properti cukup tinggi, baik residensial maupun bisnis. Sementara permintaannya masih rendah akibat belum pulihnya daya beli masyarakat dan tidak adanya investasi baru yang signifikan.

Akibatnya, terjadi kelebihan pasok yang mengancam kredit macet di sektor properti yang cukup besar (Kompas, 24 Mei 2007, "Ribuan Kios di Pertokoan Hayam Wuruk-Kota Kosong").

Cepat atau lambat financial bubble pasti akan mengalami koreksi. Alan Greenspan, mantan pemimpin Bank Sentral AS, telah mengingatkan kemungkinan akan terjadinya koreksi ekonomi dunia sebesar sepertiganya.

Jika prediksi ini benar, target pertama pelarian modal adalah negara-negara yang financial bubble-nya paling besar dan struktur ekonominya paling rapuh.

Masih banyak indikator lain yang menunjukkan terjadinya financial bubble dan lemahnya struktur ekonomi Indonesia. Pemerintah sebaiknya tidak terlalu cepat "asal bantah" tentang adanya ancaman krisis. Lebih baik segera melakukan langkah-langkah antisipasi ketimbang sibuk menyangkalnya.

Akibat belum membaiknya ekonomi rakyat yang diindikasikan dari tingginya angka kemiskinan dan pengangguran, aktivitas dan tekanan politik mulai meningkat saat ini, lebih awal dari perkiraan sebelumnya, yaitu tahun 2008.

Membesarnya financial bubble dan peningkatan tekanan politik merupakan kombinasi yang sangat berbahaya seperti halnya yang terjadi pada tahun 1997/ 1998. Tambahan pula, kualitas dan kredibilitas data serta prediksi pemerintah sangat rendah.

Hendri Saparini Managing Director ECONIT

No comments: