Wednesday, June 6, 2007

ndustri Tekstil Makin Terpojok Kebijakan PLN

Jakarta, kompas - Industri tekstil dan produk tekstil semakin disulitkan dengan kebijakan yang diterapkan PT Perusahaan Listrik Negara. Kebijakan yang dinilai menyulitkan itu antara lain program Daya Max Plus, tarif multiguna, dan aturan pembangunan pembangkit berbahan bakar batu bara.

Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia Benny Soetrisno mengemukakan hal itu seusai rapat dengan Panitia Kerja (Panja) PLN DPR, Senin (4/6) di Jakarta. Panja menggelar rapat dengar pendapat dengan konsumen PLN sektor industri, bisnis, dan perumahan.

"PLN bilang mereka mengalami kekurangan pasokan listrik, tapi ternyata kalau kita mau bayar dengan harga yang mahal, listriknya ada. Kami juga mempertanyakan, bagaimana sebenarnya program konversi energi di PLN karena nyatanya subsidi listrik dari tahun ke tahun bukannya turun, malah naik," papar Benny.

Sekitar 70 persen kebutuhan energi listrik industri tekstil bergantung pada PLN, sisanya dipenuhi sendiri dengan menggunakan genset atau pembangkit batu bara.

Kebijakan PLN yang membatasi penggunaan listrik oleh industri dengan program Daya Max Plus dinilai Benny tidak adil. Sebab, ternyata tidak ada insentif untuk industri yang mengalihkan pemakaian listriknya di luar waktu beban puncak.

Padahal, dulu berdasarkan perhitungan PLN, industri yang beroperasi selama 24 jam akan mendapat keuntungan balik dari insentif penggunaan listrik di luar waktu beban puncak.

Selain beban aturan Daya Max Plus, sesuai dengan Surat Direktur Utama PLN kepada asosiasi tekstil tertanggal 16 April 2007, tarif multiguna juga tetap diberlakukan jika ada kesepakatan bisnis antara PLN dan industri.

"Kebijakan ini menimbulkan kerancuan karena negosiasi memunculkan ketidakseragaman pemberlakuan tarif antarperusahaan. Kalaupun industri bayar 50 persen dari tarif multiguna, tetap saja jumlahnya 1,5 kali lebih tinggi dari tarif normal," tutur Benny.

Sementara upaya industri untuk beralih ke energi alternatif seperti batu bara, sebagaimana yang dikampanyekan pemerintah, terbentur kebijakan PLN. Industri yang akan membangun pembangkit harus mempunyai izin usaha kelistrikan sendiri.

Namun, syarat bahwa penggunaan pembangkit tidak boleh paralel dengan yang dimiliki PLN dinilai memberatkan. Selain itu, PLN juga masih mengenakan pajak penerangan jalan umum sebesar 2,5 persen untuk industri yang sudah menggunakan listrik dari pembangkit sendiri.

Seluruh kebijakan PLN tersebut, lanjut Benny, berpotensi menurunkan daya saing industri tekstil. Padahal, industri ini menyumbang 25 persen dari surplus perdagangan Indonesia 2005.

Industri tekstil dalam tiga tahun terakhir mengalami pertumbuhan positif, rata-rata 11,5 persen setahun.

Tahun 2006 industri tekstil mencetak angka total ekspor 9,4 miliar dollar AS. Tahun 2007 ekspor ditargetkan naik menjadi 10,6 miliar dollar AS.

Ketua Panja PLN DPR Agusman Effendi mengatakan, panja menemukan indikasi ketidakefisienan PLN dengan harga jual listrik di tingkat pembangkit sudah lebih dari 8 sen dollar AS di sejumlah daerah.

Selain itu, konsumen juga mengeluhkan biaya lebih yang harus mereka keluarkan saat pemasangan listrik karena harus mendapat sertifikasi dari Asosiasi Kontraktor Listrik dan Mekanikal Indonesia.

Pemerintah telah mengajukan skenario perhitungan subsidi listrik tahun 2007 antara Rp 30,8 triliun-Rp 38,64 triliun. (DOT)

No comments: