Pasar Tradisional
Berubah atau mati. Di tengah zaman yang bergerak, berhenti dan terlena pada "kejayaan" masa lalu bukanlah cara bertahan hidup. Sekitar 12,6 juta pedagang pasar tradisional di seluruh Nusantara kini berhadapan dengan tantangan tersebut. Mereka dicap enggan memperbaiki diri. Dorongan negara ke arah perbaikan itu pun tak jelas.
Di masa lalu, pola "kekeluargaan" membuat pedagang pasar tradisional tumbuh seiring produsen pakaian jadi di berbagai daerah dan industri tekstil di negeri ini. Perdagangan bisa berjalan dengan modal kepercayaan. Setelah Pasar Tanah Abang, Jakarta, direnovasi, harga kios di pasar itu jadi terlalu mahal bagi pedagang yang sebelumnya sudah belasan tahun berdagang di sana.
Pedagang berikut jaringan produsen garmen domestik tersingkir. Kini, pedagang yang tidak memiliki jaringan produksi merajai pasar dengan produk garmen impor dari China.
Meski begitu, pasar tradisional masih bisa bersaing dengan pasar modern untuk produk makanan segar, seperti daging, ikan, dan sayuran. Penelitian Nielsen (Januari 2007) menunjukkan, sebanyak 83 persen-93 persen konsumen pasar modern tetap berbelanja ke pasar "basah".
Pasar tradisional juga bukan cuma untuk kalangan ekonomi menengah dan bawah. Di pasar tradisional yang tertata modern, seperti di kawasan Bumi Serpong Damai (BSD), Tangerang, jumlah mobil pengunjung yang diparkir mencapai 70.000 hingga 80.000 unit per bulan, dua kali lipat dari jumlah sepeda motor (Kompas, 16/8/2006).
Akan tetapi, sangat sedikit pasar tradisional berwajah seperti Pasar BSD yang dikelola swasta. Sebagian besar pasar tradisional adalah aset negara. Di DKI Jakarta, misalnya, terdapat 151 pasar yang semua dikelola Perusahaan Daerah Pasar Jaya.
BSD dapat merevitalisasi pasar tradisional yang sudah ada di kawasan itu dan mengembangkannya. Pedagang lama pun menikmati kesuksesan tersebut. Namun, tidak demikian dengan revitalisasi pasar tradisional milik pemerintah yang kerap mirip cerita Pasar Tanah Abang.
Logika pasar
Kota Wisata Cibubur, Bogor, dua pekan lalu meluncurkan penjualan perdana Fresh Market, pasar tradisional berwajah modern. Sejumlah 200 lapak, 200 kios, dan 118 ruko ditawarkan laris manis.
Terkait itu, Sekjen Asosiasi Pengusaha Ritel (Aprindo) Indonesia Tutum Rahanta berkomentar, "Dengan menghitung potensi, pengembang swasta berani membuat pasar tradisional baru di daerah itu. Logikanya, untuk modernisasi pasar tradisional yang sudah ada di pusat Kota Jakarta, dengan captive market yang sudah jelas, pasti lebih diminati investor."
Kenyataannya, logika dagang itu tidak dapat sepenuhnya dipakai untuk menjelaskan urusan "perdagangan" pemerintah di negeri ini. Renovasi pasar tradisional milik pemerintah dengan melibatkan swasta dipandang sebagai pengalihan aset atau kerja sama yang harus disetujui DPRD.
"Artinya, ada proses politik yang harus dilewati dan kebanyakan DPRD tidak prokonsumen. Mereka tidak jelas maunya," ujar pengajar Manajemen Perubahan di Universitas Indonesia, Rhenald Kasali.
Berbelitnya prosedur itu, diyakini para pedagang pasar akan menambah biaya siluman, berujung pada lonjakan harga hak pakai kios. Fakta lain, pengembang membangun kembali pasar dengan kapasitas (jumlah kios baru) jauh lebih besar dari sebelumnya.
"Padahal, kios yang terjual tidak akan sebanyak itu. Akhirnya, biaya perawatan, termasuk untuk kios yang belum laku, pasti dibebankan ke pedagang lama yang mau jualan lagi," ujar Ketua Bidang Litbang Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) Setyo Edi.
Kekosongan ruang dalam pasar jamak ditemukan. Akibatnya, pedagang yang sebelumnya berjualan di kios dalam pasar menggelar dagangannya di kaki lima sekitar pasar.
"Anak, istri, atau adik ipar saya suruh jualan di luar karena di dalam kosong, jarang juga pengunjung masuk. Kios akhirnya jadi gudang saja," ujar Irwadi Sayuti, pedagang pakaian di Pasar Mampang.
Kekosongan ruang itu tak dapat dilepaskan dari kejenuhan pasar di kawasan kota Jakarta. Rhenald mengingatkan, alternatif belanja di pusat kota amat banyak. Permintaan tak seimbang dengan pertumbuhan suplai kios baru di pasar tradisional. Pengunjung pasar pun makin tersebar.
Aprindo menyarankan agar pemerintah daerah mengadakan survei yang saksama tentang kejenuhan pasar di suatu kawasan sebelum mengeluarkan izin baru untuk pengembangan pusat perbelanjaan di kawasan tersebut.
Proses politik untuk sampai pada keputusan revitalisasi pasar, pengembangan melebihi potensi penyerapan, serta pengalaman dipermainkan oknum pengelola pasar kerap memunculkan resistensi pedagang saat rencana revitalisasi digulirkan.
"Setiap pasar tradisional akan dibangun lagi, pedagang lama selalu dijanjikan dapat tempat. Masalahnya, apa pedagang sanggup menebus harga yang ditetapkan pengelola dan developer itu?" ujar Ngadiran, pedagang sembako yang sudah berjualan di Pasar Mampang sejak 1969.
Kios yang tidak laku merupakan risiko bagi pengembang. Resistensi pedagang terhadap renovasi pasar juga mempertinggi risiko bagi pengembang.
Risiko itu makin besar karena bank amat ketat memberi kredit kepada pedagang. Hal itu dikarenakan pedagang hanya mendapat hak pakai dari pengelola pasar dengan waktu relatif pendek, 20 tahun. Perhitungan risiko ini pada akhirnya membuat harga jual kios pasar pemerintah yang direvitalisasi memberatkan pedagang.
Dalam hal merevitalisasi pasar tradisional, pemerintah bukan diharapkan mendanai. Keberpihakan itu bisa dimulai dengan tidak menggenjot target setoran pengelola pasar bagi pendapatan asli daerah (PAD).
Pedagang di pasar pun berharap masa hak pakai kios diperpanjang sehingga bank dapat memberi kredit lebih longgar. Pemerintah pun dapat mengurangi risiko pengembang dengan memangkas biaya "politik" atau biaya "oknum".
No comments:
Post a Comment