KOMPAS 23/06/07
Geneva, Jumat - Jika perundingan soal liberalisasi perdagangan internasional tak bisa mencapai hasil akhir pada Agustus 2007, perundingan bisa terhenti selama bertahun-tahun, atau buntu selamanya. Ini akan mengarah pada peningkatan proteksionisme dan pertikaian di dalam perdagangan internasional.
Demikian peringatan Direktur Jenderal Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) Pascal Lamy di Geneva, Swiss, Jumat (22/6), mengomentari kegagalan pertemuan G-4 di Potsdam, Jerman.
Proteksionisme pernah membuat perekonomian global menghadapi malaise, julukan terkenal bagi kehancuran perekonomian global yang dimulai tahun 1929. Puluhan juta orang mendadak jatuh miskin karena perdagangan, pilar utama perekonomian global, tersumbat.
Bayang-bayang ke arah proteksionisme makin kuat. Empat pemain utama dalam perdagangan global yang disebut sebagai G-4 (AS, Uni Eropa, Brasil, dan India) gagal mencapai kesepakatan pada pertemuan mereka di Potsdam, Kamis lalu.
Hadir dalam pertemuan di Potsdam itu antara lain Kepala Perwakilan Dagang AS Susan Schwab, Menteri Perdagangan (Menperdag) India Kamal Nath, Menteri Luar Negeri Brasil Celso Amorim, Ketua Komisi Perdagangan Uni Eropa (UE) Peter Mandelson, dan Ketua Komisi Pertanian UE Marianne Fischer-Boel.
Pertemuan Potsdam sangat diharapkan bisa menghidupkan kembali perundingan perdagangan, yang tidak mengalami kemajuan dalam enam tahun terakhir.
Nihil tawaran baru
Menperdag Indonesia Mari Elka Pangestu mengatakan, "Kegagalan itu terjadi karena negara berkembang menilai tak ada tawaran baru dari negara maju."
Di G-4, India dan Brasil mewakili kepentingan negara berkembang dan Uni Eropa serta Amerika Serikat mewakili kepentingan negara maju. "Kita menginginkan pertemuan itu sukses, dalam arti negara berkembang meraih apa yang diinginkan," kata Mari.
Harapan negara berkembang adalah negara maju bersedia membuka pasar terhadap ekspor manufaktur negara berkembang dan memangkas subsidi pertanian, yang selama ini menghambat akses komoditas pertanian negara berkembang memasuki pasar negara maju.
Jika itu terwujud, kata Mari, Indonesia akan menikmati kemudahan atas ekspor minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan juga produk manufaktur seperti tekstil dan alas kaki. Sektor itulah antara lain yang menjadi kekuatan Indonesia di dalam perdagangan internasional.
Mari mengatakan, Indonesia bukanlah pemain besar di sektor pertanian secara umum. Namun, jika subsidi pertanian di negara maju dikurangi, Indonesia juga punya potensi untuk menikmatinya di kemudian hari.
Misi Potsdam
Pertemuan Potsdam merupakan bagian dari putaran perundingan perdagangan internasional, yang disebut sebagai putaran Agenda Pembangunan Doha (Doha Development Agenda), yang diluncurkan tahun 2001 di Doha, Qatar. Tujuannya, menciptakan tatanan baru perdagangan internasional, menggantikan sistem perdagangan internasional hasil Putaran Uruguay, yang dinilai sudah usang.
Saat diluncurkan, Presiden AS George Walker Bush berjanji bahwa Putaran Doha akan menjadi salah satu sarana pembangkit perekonomian negara berkembang, lewat akses perdagangan yang lebih besar atas komoditas negara berkembang di pasar negara maju.
Di Potsdam, Menperdag India Kamal Nath dan Menlu Brasil Celso Amorim walk out alias meninggalkan ruang sidang. Problem mendasar masih tetap sektor pertanian. Washington dan Brussels menegaskan setiap penurunan subsidi pertanian di negara maju harus dibarengi dengan pembukaan pasar nonpertanian, manufaktur, dan jasa di negara berkembang.
Brasil dan India tak mau mengurangi tarif impor untuk produk nonpertanian. Dua negara ini menuntut Eropa dan AS harus mengurangi lebih banyak subsidi pertanian. Hal itu tidak dipenuhi.
Brasil dan India menuduh AS dan Uni Eropa menuntut terlalu banyak. "Tuntutan negara maju terlalu tinggi," kata Celso Amorim, merujuk pada keinginan AS dan UE agar negara berkembang menurunkan tarif sebesar 58 persen untuk impor barang manufaktur sebagai imbalan atas penurunan subsidi pertanian di negara maju.
Di sisi lain, kata Kamal Nath, AS hanya mau menurunkan subsidi pertanian menjadi maksimal 17 miliar dollar AS per tahun. Brasil dan India meminta batas subsidi pertanian di AS maksimal 12 miliar dollar AS dan 20 miliar dollar AS untuk UE. Menlu Brasil mengatakan, AS dan UE tidak menawarkan hal yang mendekati keinginan G-20 (perwakilan negara berkembang).
Menperdag AS Mike Johanns dan Kepala Perwakilan Dagang AS Susan Schwab mengatakan telah menawarkan penurunan subsidi yang berarti, yang juga sudah sulit dijalankan oleh UE.
Komisi Pertanian UE Marianne Fischer-Boel juga membela tawaran UE bahwa tarif impor komoditas pertanian sudah diturunkan menjadi 50 persen dan sudah mengurangi lebih dari 70 persen subsidi pertanian di UE.
Namun, Amorim dan Nath mengatakan, tak berguna berunding mengingat hal yang dibahas tak mengalami perubahan.
India mengatakan, tak ada lagi masa depan bagi G-4. "Itu adalah akhir dari G-4," kata Nath setelah pertemuan yang gagal di Potsdam.
"Negara maju tetap menginginkan peningkatan dan perlindungan kemakmuran petani mereka, sementara India baru pada tahap berbicara untuk melindungi kehidupan petani," kata Kamal Nath.
Di Geneva, Jumat, semua duta besar dari 150 negara anggota WTO kembali bertemu. Namun, dalam pertemuan itu, negara maju lagi-lagi tak mau menawarkan penurunan subsidi pertanian yang mendasar.
Mengomentari itu, Menperdag Selandia Baru Phil Geoff mengatakan, tampaknya tak mungkin mengharapkan tercapainya kesepakatan segera soal perdagangan internasional.
Menperdag Australia Warren Truss mengatakan, kegagalan G-4 dan pertemuan Geneva merupakan kemunduran Agenda Doha karena tak ada yang mengalah. (REUTERS/AP/AFP/MON)
No comments:
Post a Comment