Monday, June 25, 2007

Ekonomi Asia dalam Ancaman
Benih Ketegangan Sosial dan Politik Makin Subur di Banyak Negara


Singapura, Minggu / kompas - Dalam dua dekade terakhir perekonomian Asia dipuja-puji karena tumbuh paling cepat di dunia. Namun, jika ditelaah lebih mendalam, Asia juga menjadi lokasi warga paling miskin di dunia secara ekonomi. Kesenjangan telah tertanam dalam dan bagai bom waktu yang berpotensi merusak kemakmuran.

Demikian terungkap dari Forum Ekonomi Dunia tentang Ekonomi Asia Timur di Singapura, Minggu (24/6).

Dari waktu ke waktu, sentra pertumbuhan di Asia bermunculan silih berganti. Setelah di Jepang, sentra pertumbuhan muncul di Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, dan Singapura yang kemudian dijuluki sebagai negara industri baru Asia atau new industrial countries (NICs).

ASEAN pernah tampil sebagai emerging newly industrial countries (ENICs) karena pertumbuhan ekonomi tinggi di Malaysia, Thailand, Indonesia, dan Filipina. Status ini tak meningkat lebih jauh, kecuali Malaysia. Meskipun demikian, Asia kembali dicengangkan oleh tampilnya China, negara dengan rekor pertumbuhan ekonomi tertinggi dalam sejarah perekonomian modern.

Namun, kemakmuran Asia itu dipandang memiliki kerawanan. Fokus pada pertumbuhan tinggi mengabaikan aspek pemerataan pendapatan dan kesempatan yang relatif merata pada warga. Hal ini telah menjadi sumber ledakan sosial politik di masa depan. Faktanya, Asia adalah juga lokasi bagi 1,2 miliar warga dari total dua miliar penduduk termiskin di dunia.

Rajat Nag, Direktur Pelaksana Bank Pembangunan Asia (ADB), mengatakan, kesenjangan pendapatan di Asia menjadi potensi ancaman. "Kesenjangan telah menjadi benih-benih ketegangan sosial dan mengancam kemakmuran Asia," kata Nag.

Studi yang dipublikasikan ADB pada Desember 2006 memperingatkan bahwa pertumbuhan ekonomi Asia terpusat di perkotaan dan mengabaikan pedesaan, yang melahirkan kesenjangan spasial. Hal itu mempercepat arus urbanisasi pada masa lalu dan masa datang. Penduduk perkotaan di Asia meningkat 70 persen secara total selama 25 tahun mendatang dan membuat jumlah warga perkotaan di Asia mencapai 2,6 miliar jiwa.

Dengan demikian, muncul tekanan besar untuk pengadaan sarana di perkotaan. Sekarang ini saja perkotaan di Asia telah dihadapkan pada kemacetan lalu lintas, polusi yang makin buruk, kualitas kehidupan yang makin anjlok, dan kemiskinan yang makin menonjol di perkotaan.

Studi lain juga menyebutkan polusi udara di Asia akan membunuh lebih dari 500.000 warga perkotaan di Asia setiap tahun.

Selain kesenjangan spasial, juga terjadi kesenjangan pendapatan yang makin tinggi antarwarga. "Asia makin kaya, tetapi juga makin timpang," kata Nag.

Hal ini menjadi sumber ledakan sosial dan politik. "Para pemimpin politik, perusahaan, atau kita semua harus mengatasi akar ketimpangan yang kini menjadi warna utama di Benua Asia. Kita sangat yakin bahwa pertumbuhan ekonomi adalah cara terbaik untuk mengurangi kemiskinan. Namun, kita sama sekali tidak memberi perhatian pada distribusi pendapatan," tutur Nag.

Nag menambahkan, "Kita harus mulai berbicara soal pertumbuhan yang mengikutsertakan segenap lapisan masyarakat. Kita juga harus berpikir soal pertumbuhan yang mendongkrak kehidupan rakyat."

Inilah yang luput dari kemilau soal sukses ekonomi Asia. Padahal, di balik sukses itu terdapat pula sistem pendidikan yang buruk, dan prasarana yang tak memadai.

Ketegangan bernuansa SARA

Indonesia pun tak luput dari persoalan yang kurang lebih serupa. Untuk melanjutkan momentum pertumbuhan dan mengatasi kekurangan di bidang prasarana, Indonesia membutuhkan investasi di bidang infrastruktur. Indonesia juga perlu menciptakan sebuah iklim yang bisa merangsang arus investasi asing masuk.

Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengatakan, Indonesia juga menghadapi masa paling krusial. Berbagai tindakan telah dilakukan pemerintah untuk memperbaiki iklim investasi. "Namun," kata Mari, "berbagai tantangan masih menghadang."

Pertemuan di Singapura itu juga menyinggung secara tersamar soal kesenjangan ekonomi antarkelompok etnis. Menteri Luar Negeri Singapura George Yeo, misalnya, mengatakan, urbanisasi berdampak pula terhadap problem ekonomi, etnis, dan agama. Hal ini merujuk pada ketimpangan ekonomi, yang secara tidak sengaja membuat kelompok etnis dan agama terkotak-kotak secara ekonomi.

Yeo mengatakan, penting bagi penguasa perkotaan untuk melakukan perbaikan pada aspek kehidupan dan juga prasarana di perkotaan untuk kelanggengan masa depan Asia.

Jika tidak diatasi, perkotaan di India dan China, umpamanya, akan menjadi simbol kemakmuran, tetapi juga menjadi ajang bagi bangkitnya sikap ekstremisme, tindak kekerasan, dan segala bentuk tindakan membahayakan yang bermula dari ketidakbahagiaan warga. Demikian peringatan dari Menlu Yeo.

Presiden Filipina Gloria Macapagal-Arroyo mengatakan, "Abad ke-21 juga memberi kita problem nyata, berupa kerusakan lingkungan hidup, munculnya kantong-kantong kemiskinan."(REUTERS/AP/AFP/MON)

No comments: