Pertumbuhan Vs Pemerataan?
Hari Susanto
Hari Selasa (12/6/2007), pemerintah mengumumkan pemberlakuan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2007 tentang Kebijakan Percepatan Pembangunan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Inpres No 6/2007).
Menurut Menko Perekonomian Boediono, inpres ini untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan mengurangi tingkat pengangguran dan kemiskinan.
Menarik disimak, nuansa Inpres No 6/2007 ini masih berbau pemikiran kaum pemikir ekonomi klasik/neoklasik yang masih menonjolkan aspek pertumbuhan ekonomi, meski memberi tekanan pada program untuk pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Di satu sisi pemerataan pendapatan bisa diperlihatkan oleh keberpihakan terhadap pemberdayaan UMKM. Di sisi lain, keinginan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi yang tinggi masih menjadi jargon Kabinet Indonesia Bersatu.
Model yang gagal
Pada awal 1970-an, Mahbub Ul-Haq mengingatkan, model pembangunan yang mengandalkan pertumbuhan tinggi sebagai model yang gagal untuk diterapkan di negara-negara berkembang. Alasannya, proses redistribusi, pada gilirannya, tidak terjadi secara otomatis.
Bahkan, implikasi dari model yang mengandalkan pertumbuhan ekonomi sebagai mesin pembangunan berperan besar terhadap ketidakseimbangan redistribusi hasil-hasil pembangunan kepada berbagai kelompok masyarakat, yakni kelompok masyarakat miskin, sedang, dan kaya.
Jadi, target pembangunan dengan pertumbuhan ekonomi tinggi itu tampaknya secara otomatis berpengaruh terhadap redistribusi yang pada gilirannya memperlihatkan adanya kerugian yang harus dibayar oleh golongan/kelompok masyarakat berpendapatan tetap/rendah, the expenses of growth, seperti kaum buruh, termasuk pegawai negeri sipil, tentunya.
Retrospeksi atas model-model pembangunan di masa lalu memang penting sebagai pertimbangan untuk menentukan model-model pembangunan di masa datang. Kegagalan model pembangunan yang mengandalkan pertumbuhan sebagai mesin utama pembangunan tentu tidak bisa diulang karena pertumbuhan hanya salah satu unsur dalam proses pembangunan.
Untuk itu, pembangunan tidak harus mengandalkan pada pertumbuhan. Pembangunan harus mengakomodasi kepentingan kelompok yang relatif masih miskin. Dalam menyerang kemiskinan dan memperkecil kesenjangan pendapatan di antara kelompok miskin, sedang, dan kaya, tampaknya perlu ada keberpihakan pemerintah yang jelas dan tegas dalam pembangunan. Pertanyaannya, bagaimana keberpihakan itu dilakukan?
Mengembangkan usaha mikro, kecil, dan menengah merupakan cara mengurangi kemiskinan dan kesenjangan melalui wirausaha. Namun, perkembangan UMKM terhambat permodalan. Upaya pemerintah memperkenalkan kredit tanpa agunan telah dilakukan tahun 1970-an dan diperkenalkan kembali beberapa tahun terakhir, dan diperkuat dengan Inpres No 6/2007. Tetapi, secara administratif, realisasi di lapangan masih rumit.
Meski banyak contoh keberhasilan UMKM meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin, pemerintah tampaknya setengah hati membantu pengembangan UMKM, terlihat dari realisasi pengaturan lembaga keuangan mikro dan kecil (LKMK). Padahal, permodalan merupakan hambatan signifikan dalam pengembangan usaha mikro dan kecil.
Tahun 2005, PBB memfokuskan pembangunan usaha mikro dan kecil. Terkait hal itu, tahun 2005, Indonesia sepakat harus mampu mengurangi jumlah penduduk miskin melalui pengembangan usaha mikro dan kecil. Data pengusaha di milenium ketiga ini adalah: usaha mikro = 41,8 juta unit (98,46 persen), usaha kecil = 588.000 unit (1,38 persen), usaha menengah = 62.000 unit (0,15 persen), usaha besar = 2.000 unit (0,01 persen)
Data itu menunjukkan, jumlah pengusaha mikro dan kecil telah mencapai 99,84 persen. Sudah selayaknya keberpihakan pemerintah untuk mendorong kegiatan usaha mikro dan kecil menjadi agenda yang tegas dan jelas di masa kini dan mendatang. Melalui keberpihakan inilah berbagai usaha menyerang kemiskinan dan menurunkan kesenjangan pendapatan dapat diterjang cepat, tegas, dan lugas.
Kurangi jumlah penganggur
Inpres No 6/2007 tampaknya berusaha meningkatkan pendapatan setinggi mungkin melalui pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain Inpres No 6/2007 juga mengharapkan adanya pemerataan melalui pemberdayaan UMKM agar mampu mengurangi pengangguran dan kemiskinan. Idealnya, tujuan itu amat baik.
Namun, pengalaman pembangunan ekonomi di era Orde Baru menunjukkan, semakin tinggi pertumbuhan ekonomi yang dicapai justru mengundang kian timpang distribusi pendapatan, growth without equity. Implikasinya, kesenjangan kian timpang, increasing income inequality.
Memang dalam model pembangunan dewasa ini, kita tidak bisa menelurkan satu kebijakan untuk menyelesaikan lebih dari satu tujuan. Seperti pepatah Inggris yang menyatakan, there is no way to kill two birds with one stone. Intinya, satu kebijakan yang dikeluarkan itu hendaknya untuk menyelesaikan satu persoalan saja.
Jadi, sasaran dari kebijakan sektor riil yang tertuang dalam Inpres No 6/2007 ini hendaknya hanya untuk mengembangkan UMKM saja karena pengembangan UMKM tidak akan mampu meningkatkan pertumbuhan yang tinggi karena sifatnya padat modal, labour intensified technology. Namun, keberpihakan terhadap pengembangan UMKM akan mampu mengurangi jumlah penganggur di Indonesia yang telah mencapai sekitar 11 juta jiwa ini.
Camkanlah lirik pepatah Inggris itu, there is no way to kill two birds with one stone. Ilmu ekonomi pada dasarnya dari negeri itu.
No comments:
Post a Comment