Saturday, June 2, 2007

Krisis atau Tidak Krisis?

Oleh Sri Hartati Samhadi

Beberapa pekan terakhir ini, masyarakat seperti dibuat bingung dengan polemik dan spekulasi mengenai benarkah perekonomian Indonesia yang baru mulai berdiri dan belum lepas dari trauma krisis 1997/1998 ini kembali berada di ambang krisis baru? Juga menjadi pertanyaan, masih akan mampukah bangsa ini berdiri jika sekali lagi badai krisis serupa menerjang negara ini?

Sinyalemen krisis pernah dilontarkan sejumlah ekonom yang tergabung dalam Tim Indonesia Bangkit (TIB). Namun, orang baru menganggap serius ketika Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sepulang dari menghadiri Sidang Tahunan Bank Pembangunan Asia (ADB) di Kyoto, Jepang, keceplosan (atau media massa yang salah menangkap?) menyebutkan indikasi ancaman krisis tersebut.

Padahal, sebenarnya bukan baru pertama kali ini peringatan mengenai risiko krisis disampaikan. Demikian pula, fenomena risiko pembalikan atau pelarian modal (sudden stop/capital reversal/capital flight) sebenarnya juga bukan hanya persoalan Indonesia, tetapi juga emerging market lain di kawasan Asia.

Sebelum Sri Mulyani, Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Komisi Ekonomi dan Sosial untuk Asia Pasifik (ESCAP), Bank for International Settlement yang merupakan bank sentralnya bank-bank sentral di seluruh dunia, dan mantan Pemimpin Federal Reserve (Bank Sentral AS) Alan Greenspan juga sudah mengingatkan rentannya negara- negara korban krisis Asia 1997/1998 untuk jatuh kembali ke dalam krisis.

Oleh ESCAP, Indonesia telak- telak disebut sebagai salah satu negara yang rentan untuk kembali mengalami krisis. Apa yang diungkapkan Sri Mulyani sebenarnya hanya mewakili suara keprihatinan para menteri keuangan yang hadir pada Sidang Tahunan ADB di Kyoto terhadap isu yang sama.

Indikator tanda bahaya yang mereka lihat adalah munculnya berbagai kondisi atau gejala mirip seperti yang terjadi menjelang krisis 1997/1998. Gejala tersebut terutama gelombang arus modal jangka pendek dalam skala masif ke emerging markets Asia di tengah ekses likuiditas berlimpah di pasar finansial global.

Arus modal deras itu mendorong terjadinya inflasi nilai aset-aset finansial (overvalued) atau gelembung-gelembung (bubble) dalam perekonomian yang berpotensi meledak atau mengalami koreksi tajam dalam kasus terjadi pembalikan arus modal.

Jika ini terjadi, imbasnya dikhawatirkan bakal mengguncang tidak saja di pasar modal dan pasar uang, tetapi juga perekonomian emerging market secara keseluruhan. Salah satu indikasi bubble itu adalah penguatan nilai tukar yang terlalu cepat serta lonjakan indeks harga saham dan kapitalisasi pasar modal ke rekor tertinggi. Kasus koreksi tajam harga saham di China pada Februari 2007 dan krisis Thailand Desember 2006 adalah salah satu contoh.

Jumlah modal jangka pendek yang bergentayangan di pasar uang global sekarang ini diperkirakan mencapai triliunan dollar AS, sekitar 1,3 triliun di antaranya digerakkan oleh hedge fund dan sepenuhnya bermotif spekulasi. Karena beberapa alasan, termasuk keamanan dan prospek pertumbuhan ekonomi, dana jangka pendek ini hanya mengincar tiga kawasan, yakni Amerika, Eropa, dan Asia.

Selain para hedge fund , pemain terbesar di pasar finansial adalah para investor yang meminjam dana berbunga murah seperti dari Jepang untuk ditanamkan di berbagai instrumen finansial lain yang menawarkan keuntungan tinggi (carry trade). Volume dana dalam transaksi carry trade ini diperkirakan mencapai 339 miliar dollar AS sendiri.

Dari 1,3 triliun dollar AS dana yang dikelola hedge fund, sekitar 130 miliar dollar AS di antaranya bergerak di Asia, termasuk Indonesia. Indonesia menjadi sasaran empuk di sini karena iming-iming yield yang tinggi dan spread suku bunga yang cukup lebar antara penempatan dana di rupiah dan di dollar AS.

Catatan sementara BI, jumlah yang masuk ke Indonesia mencapai sekitar 14,1 miliar dollar AS (Rp 128 triliun). Dana ini mengalir ke tiga instrumen, yakni terbesar di Surat Utang Negara/SUN (5,8 miliar dollar AS atau Rp 7,7 triliun), kemudian Sertifikat Bank Indonesia/SBI (5 miliar dollar AS atau Rp 45 triliun), dan saham (5,6 miliar dollar AS atau Rp 5,7 triliun).

Di satu sisi, serbuan dan risiko penarikan dana adalah konsekuensi dari sistem finansial global yang liberal dan lemahnya arsitektur sistem finansial global, yang membuat terjadinya krisis hanya soal waktu dan besaran (magnitude).

Namun di sisi lain, spekulasi krisis juga memunculkan kembali pertanyaan mengenai seberapa jauh Indonesia sudah mempersenjatai dan membentengi diri dari kemungkinan serangan arus modal yang bersifat destruktif sehingga lebih mampu mencegah terulangnya krisis baru dan menyelesaikan krisis yang ada.

Juga, apakah Indonesia mampu memetik pembelajaran dari krisis yang pernah terjadi agar tidak kembali terjerumus dalam krisis yang sama?

Kita tentu tak ingin lengah untuk kedua kalinya seperti sebelum krisis finansial 1997/1998. Saat itu bukan hanya pemerintah, tetapi tak kurang lembaga-lembaga internasional, seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan para ekonom internasional, pun seperti koor serempak mengatakan krisis mata uang Thailand tak akan berimbas ke Indonesia.

Nyatanya, hanya dalam hitungan hari dan menit, krisis serupa menyapu hampir seluruh Asia. Indonesia bahkan lebih parah. Krisis kepercayaan berkembang menjadi krisis multidimensi yang melibatkan pula krisis nilai tukar, krisis perbankan, krisis ekonomi, krisis sosial, dan krisis politik.

Ibaratnya, Thailand yang memulai, Indonesia yang babak belur. Selain magnitude krisis yang lebih besar, Indonesia juga menjadi negara terakhir dari lima negara Asia yang terimbas krisis, yang pulih.

Seberapa solid?

Seberapa jauh sebenarnya antisipasi dan kesiapan Indonesia dalam menghadapi kemungkinan terjadinya kembali krisis finansial tersebut? Sejumlah pejabat pemerintah dan BI mengatakan, kondisi Indonesia sekarang ini jauh lebih kuat, baik dari sisi fundamental makroekonomi, moneter, fiskal, perbankan, maupun sektor korporasi.

Ini masih diperkuat lagi dengan adanya berbagai kesepakatan kerja sama di kawasan Asia untuk menyiapkan berbagai langkah preventif, deteksi dini, dan instrumen berjaga-jaga lainnya.

Suatu perekonomian, menurut IMF, dikatakan rentan untuk jatuh ke dalam krisis jika perekonomian tersebut rentan (vulnerable) di empat sektor.

Keempat sektor itu adalah sektor eksternal (tercermin dari tingkat kecukupan cadangan devisa untuk menutup kewajiban utang jangka pendek dan defisit neraca transaksi berjalan, posisi neraca transaksi berjalan, nilai tukar riil mata uang, rigiditas rezim nilai tukar, dan utang luar negeri).

Kemudian, sektor fiskal (tercermin pada posisi keseimbangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, tingkat keseimbangan primer fiskal, rasio utang pemerintah terhadap PDB, profil jatuh tempo utang pemerintah, dan porsi utang valas terhadap total utang).

Selain itu, sektor finansial (tercermin dari rasio kecukupan modal perbankan/CAR, tingkat keuntungan atas aset/ROA, rasio kredit bermasalah/NPL, tingkat pertumbuhan kredit, dan pangsa utang dalam valuta asing).

Terakhir adalah kerentanan sektor korporasi (tercermin dari probabilitas gagal bayar utang, interest coverage ratio, rasio utang terhadap aset, tingkat pengembalian riil dari aset dan valuasi berdasarkan price-to-earning ratio/kemampuan menghasilkan laba).

Secara umum, kondisi Indonesia dinilai Menko Perekonomian Boediono, Menkeu Sri Mulyani Indrawati, dan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah (seperti dikutip di media massa) cukup solid.

Dari sisi cadangan devisa saja, misalnya, cadangan sebesar 50,9 dollar AS sekarang ini dianggap lebih dari cukup untuk menahan kemungkinan dampak eksodus mendadak dana investasi jangka pendek yang bermotif spekulasi (hot money) yang masuk ke pasar uang.

Dengan demikian, kalaupun ada penarikan modal secara mendadak dan besar-besaran, guncangan yang terjadi tidak akan terlalu besar dan tak sedahsyat seperti pada krisis 1997/1998. Demikian pula, indikator yang lain.

Namun sekali lagi, itu baru hitung-hitungan di atas kertas. Seperti disebutkan IMF dan Deputi Gubernur Senior BI Miranda S Goeltom, soliditas dalam indikator-indikator tersebut merupakan prasyarat mutlak, tetapi itu saja tidak cukup.

Di luar itu, masih ada faktor- faktor lain yang sering kali berada di luar kekuasaan otoritas fiskal dan moneter dalam negeri. Salah satunya adalah sifat alamiah hot money dan perilaku spekulan yang bergerak dalam kawanan (herd behaviour), yang sering kali tidak ada kaitan atau korelasinya dengan fundamental makroekonomi.

Selama menguntungkan, pergerakan arus modal seperti ini akan tetap sulit dibendung karena sistem finansial global sendiri tidak pernah mengatur perilaku dan arus modal ini. Karena faktor ini, IMF sendiri pun mengaku tak mampu memprediksi secara akurat kemungkinan datangnya krisis hanya berdasarkan indikator-indikator di atas.

Karena itu, yang bisa kita lakukan hanya memperkuat pertahanan ekonomi. Hal itu termasuk pembenahan sektor riil agar booming di pasar finansial benar- benar bisa ditransmisikan ke dalam bergeraknya sektor riil dan perekonomian secara keseluruhan. Kalau tidak, seperti yang dicemaskan pengamat pasar uang Farial Anwar, Indonesia hanya menjadi lahan jarahan empuk para spekulan global dan bulan-bulanan langganan krisis finansial, terutama dengan perilaku bangsa yang tidak berubah, seperti sikap business as usual, cepat berpuas diri (complacency), kemaruk (greediness), dan korup. Kekhawatiran terbesar adalah bangsa ini tak pernah mampu memetik pembelajaran dari krisis.

No comments: