Bandung-RoL-- Kerugian akibat kemacetan yang terjadi di Indonesia mencapai Rp 70 triliun-Rp 80 triliun per tahun. Angka itu diperoleh dari 60 kota/kabupaten besar yang ada di Indonesia.
''Ini proses pemiskinan Indonesia,'' ujar Guru Besar Transportasi Institut Teknologi Bandung (ITB), Prof Ofyar Z Tamin, kepada Republika, Rabu (20/6).
Ofyar mengatakan kerugian masyarakat pada 2004 di Kota Bandung sebesar Rp 1,5 miliar per hari saat premium Rp 2.500 per liter. Angka itu dihitung dari lamanya perjalanan yang diakibatkan oleh kemacetan.
Dicontohkan Ofyar, jarak antara satu tempat ke tempat lain biasanya 30 menit namun kini bisa mencapai 1-1,5 jam. Perpanjangan waktu ini membuat pengeluaran uang untuk bahan bakar lebih tinggi. Terlebih harga BBM dari waktu ke waktu semakin meningkat.
''Jika BBM naik 70 persen maka kerugiannya mencapai Rp 2,5 miliar. Lalu dikalikan 300 (perhitungan hari dalam setahun) saja, maka kerugian sekitar Rp 0,8 triliun per tahun,'' katanya menjelaskan.
Untuk wilayah Jakarta, Ofyar menjelaskan, kerugian yang diderita mencapai tiga kali lipat atau sekitar Rp 3 triliun per tahun. Dari hasil surveinya, ada 60 kota/kabupaten besar di Indonesia yang mempunyai persoalan dengan macet. Ia memprediksi uang yang terbuang percuma untuk bahan bakar sebesar Rp 70 triliun-Rp 80 triliun per tahun.
''Jumlah itu belum termasuk kerugian waktu, serta emosi yang dikeluarkan,'' cetus dia. Ia mencontohkan, akibat kemacetan emosi bisa tidak terkendali dan melakukan hal-hal bodoh. Misalnya memukul anak, membentak isteri dan lainnya.
Selain itu, angka tersebut belum dihitung dengan polusi kendaraan untuk lingkungan dan kesehatan. Polusi, mengundang infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) ataupun penyakit lainnya. Parahnya, yang merasakan ini semua adalah masyarakat.
''Pemerintah tidak merasakan itu,'' cetus dia. Kondisi ini berbeda dengan luar negeri. Pasalnya, seluruh pengeluaran yang dikeluarkan masyarakat dihitung dan menjadi tanggung jawab pemerintah, terutama jika masyarakat masuk rumah sakit.
Untuk itu, sambung Ofyar, diperlukan transportasi terintegrasi. Ia mencontohkan, trans Jakarta yang dibilang cukup sukses sebagai angkutan massal. Namun belum tentu busway sesuai dengan kota/kabupaten di Indonesia. Untuk itu perlu dilakukan penelitian jenis angkutan massal yang cocok untuk mmasyarakat.
Ofyar menambahkan, penyebab kemacetanpun harus ditanggulangi. Selama ini jumlah ruas jalan tidak sesuai dengan perkembangan pembangunan. Misalnya, jalan yang bisa dimanfaatkan hanya tiga persen dari luas Kota Bandung. ''Bandung mempunyai empat persen ruas jalan, namun satu persennya habis oleh pasar tumpah, PKL, dan lainnya,'' katanya menandaskan./Kompas 21/6/07
No comments:
Post a Comment